Demokrasi KETERWAKILAN Vs. Demokrasi MURNI, Supremasi dan Kedaulatan Rakyat Terpasung Tatkala Keliru Memilih Wakil yang Diberi Mandat

ARTIKEL HUKUM
Pemilihan Umum, Ajang bagi Rakyat Memilih dengan Memberikan Suara, ataukah Momen Disaat Kedaulatan Rakyat DIRAMPAS dan TERAMPAS?
Demokrasi, secara singkat dimkai sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Titik-tekannya terdapat dalam konsepsi perihal supremasi rakyat sebagai salah satu pilar dari sebuah kedaulatan suatu negara, yang terdiri dari unsur teritori, rakyat, dan pemerintahan yang “legitimate” alias yang diakui oleh rakyatnya dan dapat memerintah secara efektif atas wilayah negaranya (seolah-olah antara “pemerintahan” dan “rakyat” adalah komponen saling berbeda dan terpisah satu sama lain).
Sebenarnya, dari logika yang paling sederhana, dari konsepsi klasik tersebut yang menjadi konsep paling mendasar dari sebuah prinsip demokrasi, sudah tampak ambigu, karena bila memang demokrasi ialah “dari rakyat dan oleh rakyat”, maka kompenen pembentuk negara cukup terdiri dari dua unsur, yakni “teritori” dan “rakyat”—dimana terdapat pula “wakil rakyat” yang dipilih secara langsung oleh rakyat selaku pemberi “kuasa”. Karenanya, demokrasi bermakna “pemerintahan dari dan oleh rakyat”, BUKAN “pemerintahan dari dan oleh ‘wakil’ (dari) rakyat”.
Sifat paling ambigu dan rancu dari konsep demokrasi, ialah fakta empirik bahwa rakyat tidak dapat secara langsung memerintah negara, namun harus melalui “wakil” yang ditunjuk oleh rakyat lima tahun sekali. Sebagai contoh, rakyat tidak dapat memecat pejabat negara yang dinilai atau jelas-jelas telah tidak “pro” terhadap rakyat, tidak juga dapat memecat Aparatur Sipil Negara yang tidak melayani rakyat sebagaimana mestinya, tidak dapat menolak pembentukan suatu regulasi peraturan perundang-undangan yang patut ditengarai tidak “pro” terhadap rakyat, dan tidak dapat menentukan nasibnya sendiri kecuali diberi izin (rezim perizinan) oleh otoritas negara.
Uniknya, disaat bersamaan, rakyat yang harus dipaksa membayar secara langsung segala operasional pemerintahan mulai dari gaji para Pegawai Negeri Sipil maupun pengeluaran negara, hingga terhadap hutang negara, lewat berbagai retribusi dan pungutan pajak, bukan para “wakil rakyat” yang menjabat yang harus membiayai biaya operasional jalannya roda pemerintahan sekalipun selama ini para “wakil rakyat” yang telah menikmati “manisnya” kursi kekuasaan dimana rakyat yang diposisikan sebagai “hamba”-nya yang wajib patuh dan taat terhadap “pemerintah”.
Kini, kita masuk pada ulasan yang akan menggambarkan “sisi kelam” dari demokrasi di negara modern, yakni wajah sejati dari demokrasi kontemporer yang kita praktikkan selama ini di Indonesia. Siapakah yang dapat atau berhak menunjuk dan mengangkat kabinet yang berisi jajaran para menteri? Satu-satunya yang berhak untuk itu ialah Kepala Negara dan Pemerintahan, bukan rakyat—sekalipun rakyat yang memilih Kepala Negara dan Pemerintahan.
Kita tidak mengajukan protes atas fakta demikian, tidak juga protes mengapa bukan rakyat yang memilih dan menunjuk siapa yang menduduki jabatan Kepala Kantor Pertanahan, sebagai contoh lainnya, atau siapa yang semestinya menduduki kursi jabatan sebagai kepala pada berbagai instansi pemerintahan. Namun, mengapa kita mengajukan protes dan menentang keras terhadap wacana agar Bupati dan Walikota cukup ditunjuk dan diangkat oleh seorang Gubernur? Atau, bila perlu Gubernur, Bupati, Walikota, dan Kepala Desa cukup ditunjuk dan diangkat oleh Menteri Dalam Negeri.
Bila antara Bupati dan Walikota dipilih secara langsung oleh rakyat, maka mandat yang diperolah dan diberikan kepada seorang Kepala Negara, Presiden, menjadi tidak lebih berbobot ketimbang para Bupati dan Walikota yang dapat membangkang kebijakan pemerintah pusat semata berkilah bahwa antara seorang Presiden dan sekaliber Bupati sekalipun, sama-sama dipilih langsung oleh rakyat, sehingga atas dasar apa seorang Menteri Dalam Negeri yang TIDAK dipilih langsung oleh rakyat, hendak menunjuk dan mengangkat Gubernur, Bupati, dan Walikota? Sama halnya, bilamana seorang Gubernur dipilih langsung oleh rakyat, dimana Bupati dan Walikota sejatinya hanya “bawahan” dari sang Gubernur, maka mengapa kita selaku rakyat berkeberatan ketika sang Gubernur merasa cukup menunjuk dan mengangkat Bupati dan Walikota tanpa perlu dipilih langsung oleh rakyat?
Sekarang, mari kita buktikan bahwa demokrasi BUKAN dimaknai dalam praktiknya sebagai “pemerintahan dari dan oleh rakyat”. Ketika kita memberikan suara dalam suatu “pesta demokrasi” bernama Pemilihan Umum (Pemilu), baik Pemilu Kepala Daerah (Pemilukada) maupun Pemilihan Umum Anggota Legislatif dan Pemilihan Umum Presiden, sejatinya kita selaku rakyat yang notabene “stakeholders” dari negara, sekadar hanya memberikan mandat bagi calon terpilih untuk menjalankan roda organisasi publik bernama “pemerintahan” baik dalam Lembaga Eksekutif maupun Lembaga Legislatif. Pertanyaannya, yang membahas undang-undang dalam parlemen antara Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama pihak Pemerintah, adalah rakyat secara langsung ataukah para “wakil rakyat” dan pejabat Pemerintahan yang sebelumnya diberi mandat dalam Pemilu?
Dengan demikian, demokrasi modern bukan lagi dan telah berevolusi menjadi sekadar “rakyat memilih wakil-nya dengan pemberian mandat”, bukan lagi “pemerintahan (secara langsung) dari rakyat dan oleh rakyat”—namun sekadar menunjuk “wakil” berupa pemberian “Surat Kuasa” per lima tahun sekali. Yang mana gaib-nya, “Surat Kuasa” (mandat) dimaksud tidak dapat sewaktu-waktu dicabut kembali oleh rakyat ketika rakyat pemilih dikecewakan oleh para “wakil” mereka baik di Parlemen ataupun di Pemerintahan.
Di sini, sejatinya terhadap pelanggaran terhadap falsafah hukum pemberian kuasa, yakni hanya ada tersedia “option in”, tiada disertai “option out”, sehingga sekali salah dalam memilih dan memberikan suara, rakyat akan “tersandera”, “terjebak”, dan “terpenjara” dalam tempo lima tahun ke depan. Untuk sebuah upaya hukum masif-massal secara kolosal semacam “class action” maupun “citizen law suit”, dibuka peluang “opt. in” serta “opt. out”, namun mengapa untuk urusan se-masif dan se-massal Pemilu, tidak terdapat “opt. out”?
Konstruksi demikian sangat menyerupai model “Surat Kuasa MUTLAK”, dalam pengertian tidak dapat sewaktu-waktu dicabut dan ditarik kembali pemberian kuasanya, mengakibatkan para “wakil rakyat” menjadi “besar kepala” dan ibarat memegang “imunitas” selama lima tahun kedepan, yakni “imunitas dari pe-makzul-an oleh rakyat”, sekalipun sang “wakil” terang-benderang kemudian “berseberangan” dan menjadi “musuh” terhadap kepentingan rakyat. Dengan kata lain pula, demokrasi ialah proses semata secara satu arah atau linear, pemberian (menyerahkan) suara sehingga selanjutnya rakyat wajib “bungkam”, bukan penarikan kembali kuasa dan suara yang selumnya telah diserahkan (membisu seterusnya dan selanjutnya).
Bila saja demokrasi dimaknai sebagai pemberian “delegasi dari rakyat kepada para wakilnya”, maka sewaktu-waktu pelimpahan kewenangan demikian dapat ditarik dan dicabut kembali oleh rakyat, sehingga kekuasaan pengelolaan negara kembali ke tangan rakyat. Namun, pemerintah kita mengklaim bahwa demokrasi dalam Pemilu berupa pemberian “mandat dari rakyat kepada para wakilnya”, dimana “mandat” pada sifatnya ialah tidak dapat dicabut kembali oleh pihak pemberi mandat.
Ketika mencapai titik kulminasi, yang tidak dapat lagi ditoleransi ataupun dikompromikan oleh rakyat, ternyata “mandat” demikian dapat juga dicabut kembali oleh rakyat, dengan cara menumbangkan rezim yang berkuasa, bernama “revolusi” (baca : “people power”). Betul bahwa seorang Kepala Negara dapat “dijungkalkan” lewat proses “impeachment”, namun rakyat telah menjadi BUNGKAM dan DIBISUKAN paska “pesta demokrasi”, dimana kini yang berhak bersuara untuk mengajukan “impeach” hanyalah para “wakil rakyat” yang duduk di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), bukan referendum. Menurut para pembaca, bila pemerintah melarang rakyat untuk melakukan referendum untuk memerdekakan diri seperti yang dikehendaki warga di Papua, bukankah itu artinya mencederai prinsip demokrasi “dari rakyat dan oleh rakyat”?
Demokrasi dapat juga dimaknai sebagai “pemerintahan oleh orang yang sudah mati kepada rakyat yang masih hidup”. Bila ada di antara kita yang menertawai praktik persembayangan warga keturunan kepada leluhur disertai permintaan petunjuk oleh generasi penerus kepada pendahulu mereka yang telah terlebih dahulu meninggal, lantas apa bedanya dengan sebuah keberlakuan undang-undang yang bahkan hingga kini masih dipakai dan diberlakukan sebagai petunjuk utama sekalipun undang-undang dimaksud dibentuk oleh penjajah sejak era masa Kolonial Belanda seperti Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Kita selaku warga dan aparatur penegak hukum, selalu saja membuka-buka petunjuk dalam kedua Kitab Undang-Undang sebagaimana yang penulis sebutkan sebelumnya, sekalipun para pembentuknya telah lama menjadi almarhum.
Terhadap fakta bahwa kita tidak dapat mencabut kembali “mandat” maupun suara yang telah kita berikan dalam “pesta demokrasi”, dimana “pesta demokrasi” tersebut hanya berlangsung selama 1 hari dari 5 tahun lamanya (5 x 365 hari) dalam satu periode masa jabatan “wakil rakyat”, artinya “hari demokrasi” hanya berlangsung 1 hari, sementara “hari TIDAK demokratis” terjadi selama (5 x 365 hari) - 1 hari = 1824 hari kita selaku rakyat hidup (terperangkap) dalam masa TIDAK DEMOKRATIS.
Menyimak fakta di atas yang tidak pernah diungkit oleh para petinggi partai politik mana pun di Tanah Air, tepatlah bagi kita untuk disebutkan bahwasannya Pemilu bukanlah ajang untuk memberikan suara dan pilihan dari oleh rakyat, namun “penyerahan kedaulatan milik rakyat”, “penundukkan diri oleh dan dari rakyat”, hingga “pelepasan kebebasan mutlak rakyat” kepada para “wakil terpilih”.
Sehingga, pada tataran konsepsi ini, menjadi terdapat dua sudut pandang, dimana dalam sudut pandang rakyat sipil selaku peserta “pesta demokrasi”, yang terjadi ialah sebagaimana penulis singgung dalam paragraf sebelumnya, yakni sekadar sebagai “objek pemerahan” (bagai seekor sapi yang diperah untuk dieksploitasi bagi kepentingan “wakil”-nya), dimana rakyat yang memilih untuk “abstain” atau memilih untuk menjatuhkan pilihan bagi “partai Golongan Putih” (Golput) dimaknai tetap tercerabut hak-hak mutlaknya atas kebebasan, menjadi tunduk sepenuhnya pada legitimasi dan supremasi para “wakil rakyat” yang menjelma penguasa dan pemimpin negara yang berkuasa atas rakyatnya. Demokrasi juga mengusung skema “moral hazard”, dimana Kepala Negara yang dipilih dengan suara kurang dari 70% dari total warga pemilih peserta Pemilu, ternyata tetap dianggap legitimate sebagai calon presiden terpilih.
Dengan kata lain, ketika hari-H Pemilu berlangsung, yakni 1 hari itu saja, rakyat bagai bak “raja” yang diagung-agungkankan oleh para kandidat “wakil rakyat” calon pejabat negara maupun oleh para Partai Politik yang “mendadak dermawan dan berpihak para rakyat”. Namun, pada 1824 hari selebihnya diluar itu, rakyat benar-benar menjelma “budak” atau “sapi perahan” yang tidak berkutik, tidak berdaya, tidak bersuara (suara-suara pemberontakan dinilai sebagai makar terhadap rezim yang berkuasa, sekalipun semula dipilih secara langsung oleh sang rakyat), bertekuk lutut, harus mengemis-ngemis, tidak diakui sebagai pemberi suara saat Pemilu, serta tidak dipandang oleh para “wakil”-nya sendiri karena suaranya telah DIRAMPAS dan TERAMPAS.
Dimana, sebagai kesimpulan, “pesta demokrasi” di mata atau yang menjadi sudut pandang para calon “wakil rakyat”, ialah suatu momen dimana para calon “wakil rakyat” sebanyak-banyaknya MERAMPAS kedaulatan dari tangan para rakyatnya sendiri—dengan kata lain, “pesta demokrasi” ialah hari dimana kedaulatan dirampas dan terampas dari tangan rakyat, untuk berpindah ke tangan para “wakil rakyat”, menjelma rezim diktatoriat para “wakil rakyat” terhadap rakyatnya itu sendiri.
Dengan demikian, para “wakil rakyat” kita dapat saja berkilah ketika rakyat menuntut tanggung-jawab kinerja pemerintah kita, bahwasannya momen atau ajang pada “pesta demokrasi” bukanlah saat dimana dahulu kala itu rakyat memberikan mandat dan kepercayaan berupa suara kepada para calon “wakil rakyat” terpilih, namun suatu momen dimana rakyat DIJAJAH dan TERJAJAH oleh para “wakil rakyat” dimana juga kedaulatan rakyat telah TERAMPAS DAN DIRAMPAS dari tangan rakyat. Tiada “suara bersyarat batal” dalam sistem demokrasi di Indonesia, dimana bahkan perjanjian saja dapat dibatalkan akibat keberlakuan “syarat batal”, sama artinya penguasa (“wakil rakyat”) telah diberikan “blangko kosong” untuk berkuasa secara mutlak dan otoriter tanpa batasan.
Yang murni “pemerintahan dari dan oleh rakyat”, hanyalah dapat kita jumpai pada konsep “Demokrasi Murni” di Yunani, dimana sistemnya amat langsung dan sederhana sifatnya, karena tidak melibatkan rakyat banyak semasif jumlah penduduk negara kita saat kini disamping terpisah oleh sekat ruang berupa kepulauan. Ketika yang ada ialah “Demokrasi Keterwakilan”, maka yang ada bukanlah lagi “pemerintahan dari dan oleh rakyat”, namun “penjajahan mengatasnamakan wakil dari para rakyat”—dimana kedaulatan DIRAMPAS dan TERAMPAS dari tangan rakyat, dimana pula rakyat dianggap MENUNDUKKAN DIRI dan TERTUNDUK disamping TERCERABUT dari kedaulatannya sendiri. Dengan bodohnya pula, rakyat kita memilih untuk mencabut dan melepaskan kebebasannya sendiri sebagai manusia merdeka dengan cara mengikuti “pesta demokrasi”—tanpa menyadari bahaya dibalik “pesta berbiaya mahal” ini.
Itulah ketika, komponen “negara” bukan hanya lagi dua unsur (teritori dan rakyat), namun bertambah satu unsur, yakni munculnya satu “extra struktur” bernama “wakil rakyat” sehingga menjadi total tiga buah unsur penyusun “negara”—dimana, kabar buruknya, baik negara-negara berhaluan ideologi “demokratis” maupun yang berhaluan “k0munis” garis keras konservatif sekalipun, ternyata komponen penyusun “negara” sama-sama terdiri dari tiga unsur, yakni teritori, rakyat, dan pemerintah (dimana unsur yang disebutkan terakhir tersebut, bisa merupakan pemerintahan hasil dari pemilihan “wakil rakyat” maupun bisa juga merupakan pemerintahan hasil dari proses “k0munistik” dinasti layaknya Korea Utara, yang membawa kita pada satu kesimpulan tidak terbantahkan, bahwa baik antara “wakil rakyat” dan seorang “diktator rezim dinasti turun-temurun layaknya Korea Utara” dapat menjadi demikian tipis perbedaannya, dimana para “wakil rakyat” terpilih kita dapat menampakkan wajah layaknya seorang “diktator”, suatu negara demokratis berwajah k0munistik).
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.