Spekulasi, Spekulatif, Spekulator, Makna dan Contoh

ARTIKEL HUKUM
Spekulasi, berpijak pada landasan berupa “asumsi” sebagai benihnya serta sebagai eksekutornya—itulah sebabnya dan mengapa, spekulasi selalu cenderung membahayakan sifatnya. Dengan kata lain, aksi spekulasi selalu bermula dari “asumsi”, dimana “asumsi” menjadi pelopor serta komando-nya, dari awal proses hingga akhir proses. Sebagaimana kita ketahui, “asumsi” BELUM TENTU seiring-berjalan dengan “FAKTA”.
“Fakta” tidak pernah dipandu oleh “asumsi”. Sebaliknya, “asumsi” kerap berjalan sendiri apapun “fakta”-nya, yan kadang bahkan berjalan secara bertolak-belakang. Karenanya, kita perlu membuat garis pemisah yang tegas antara “asumsi” dan “fakta”. Meyakini Vs. Membuktikan, mungkin tampak bertolak-belakang, namun idealnya dan yang paling sehat, ialah pembuktian sebagai cara kita membuat keyakinan secara rasional—keyakinan yang empirik sifatnya.
Columbus, mulanya ber-“asumsi” bahwa “Bumi ini MUNGKIN bundar”, karenanya merasa terpanggil untuk mencoba membuktikan hipotesis atau sekadar “rasa ingin tahu”-nya sendiri lewat aksi nyata (empirik) berupa penjelajahan samudera, sampai kemudian mendapati “fakta empirik” yang membalikkan “fakta yang sebelumnya bersumber dari keyakinan” (yakni “asumsi” bahwa Planet Bumi ini datar), sebelum kemudian menjelma “fakta yang bersumber dari pembuktian empirik” (yakni fakta empirik bahwa Bumi adalah bundar).
Mengapa penulis memakai istilah “fakta yang sebelumnya bersumber dari keyakinan” terkait pandangan masyarakat zaman dahulu kala bahwa Bumi berwujud datar? Karena faktanya memang belum ada penjelajah yang pernah berpetualang guna membuktikan bahwa Planet Bumi ini berbentuk bundar (pada masa itu), sehingga tiadanya penjelajahan demikian juga termasuk fakta, namun bukan fakta bahwa Bumi ini bundar, namun fakta bahwa “belum pernah ada petulang yang pernah membuktikan sejauh ini bahwa Bumi berbentuk bundar”—sama-sama “fakta”, namun dengan kualitas yang saling berbeda.
Aksi “spekulasi” (kata kerja, verba), sifatnya bernama “spekulatif” (kata sifat, adjective), sementara pelakunya disebut “spekulator”. Aksi “untung-untungan” seperti permainan “per-ju-di-an”, selalu merupakan aksi “spekulasi”. Karenanya pula, pelaku “spekulasi” yakni para “spekulator”, dapat pula kita sebut sebagai seorang “pen-ju-di”. Sebuah aksi spekulasi yang ekstrim semacam itu, tiada terdapat indikator yang jelas selain upaya “untung-untungan”, alias mengandalkan semata “nasib”, dengan bodohnya dipermainkan oleh permainan “peluang” yang tidak setara secara kalkulasi matematis—sekalipun secara akal sehat, bila “ber-ju-di” memang menguntungkan sang “pen-ju-di”, maka sudah sejak lama para bandarnya akan “gulung tikar”.
Dalam kadar tertentu, kalangan “pengusaha” adalah seorang “spekulator”, namun tidak dapat diidentikkan dengan “pen-ju-di”. Mengapa? Betul bahwa berusaha dapat bermuara pada dua kemungkinan, berupa : untung atau sebaliknya, merugi. Namun, tiada pengusaha mana pun yang tidak pernah mendahului usaha atau investasinya dengan “riset pasar”, inovasi produk yang ditawarkan ke pasar, marketing jasa yang disediakan kepada publik, strategi pemasaran, dan lain sebagainya.
Sebaliknya, “per-ju-di-an” selalu semata mengandalkan “peruntungan”. Dengan kata lain, aksi “spekulasi” selalu memiliki gradasi derajatnya, mulai dari tingkat ekstrim seperti permainan “untung-untungan” hingga derajat yang telah dimitigasi, dipetakan, serta diantisipasi segala potensi resikonya lewat langkah-langkah yang terukur dan dapat diberdayakan secara penuh daya oleh pelakunya.
Contoh, bila kalangan litigator mengajukan gugatan ke hadapan pengadilan, tanpa merasa butuh riset preseden guna “memprediksi” hasil putusan apakah gugatan semacam itu layak atau tidak layak diajukan atau bahkan mungkin akan berbuah “kontraproduktif”, maka sama artinya dirinya sedang melancarkan aksi “spekulasi”. Sebaliknya, hakim yang merasa tidak terikat oleh kaedah bentukan preseden sebelumnya (yurisprudensi), sama artinya dirinya memaksa para pencari keadilan menjadi “korban” aksi “spekulatif” sang hakim pemeriksa dan pemutus perkara. Penggugat yang “ber-ju-di” dengan nasibnya atau bahkan mempertaruhkan nasib kliennya di “meja hijau”, adalah buruk—namun lebih buruk lagi hakim yang menjadikan pencari keadilan sebagai “korban” aksi “spekulatif” sang hakim yang merasa dirinya “bebas sebebas-bebasnya” sekalipun melanggar kaedah preseden yang ada.
Tidaklah menjadi mengherankan, bila kini Hoge Raad, Mahkamah Agung Belanda, telah sejak lama secara resmi berpindah haluan dari budaya hukum Civil Law (sistem hukum Eropa Kontinental) menuju budaya hukum Common Law (sistem hukum Anglo Saxon) yang menjadikan kaedah bentukan “preseden” sebagai faktor utama “pembentukan hukum nasional”. Praktik peradilan yang baik, tidak mengajak masyarakatnya untuk menjadi seorang “spekulator”. Dengan demikian, harapan terbesarnya ialah meminimalisasi “godaan” bagi kalangan “spekulator” untuk “berspekulasi” di lembaga peradilan dengan tidak memberikan “harapan semu” bahwa gugatan “spekulatif”-nya dapat dikabulkan dan dimenangkan.
Berbeda dan kontras (berkebalikan) dengan praktik hukum di Indonesia yang tertinggal jauh di belakang tren praktik dunia hukum global, dimana berbagai upaya hukum dilancarkan secara “bombardir” mulai dari gugatan, perlawanan, banding, kasasi, hingga peninjauan kembali, dengan harapan “siapa tahu menang” dengan asumsi “siapa tahu hakim tidak mengikuti kaedah bentukan preseden yang sudah ada sebelumnya”—atau “siapa tahu hakim salah memutus akibat sudah rabun mata tuanya atau akibat telah pikun”. Spekulasi, selalu akan dibayar mahal berupa merosotnya “kepastian dan wibawa hukum”.
Contoh spekulasi yang berkembang di tengah-tengah masyarakat saat wabah pandemik Corona Virus Disease 2019 (COVID-19), pecah pendapat di antara masyarakat kita maupun masyarakat global, dengan komentar yang beragam hingga saling bertolak-belakang, mulai dari : Corona Virus adalah mutasi alamiah dari MERS dan SARS, Corona Virus adalah ciptaan “Tuhan” yang sedang memberikan cobaan bagi umat manusia, Corona Virus adalah ciptaan manusia (ilmuan “tidak waras”) guna “perang dagang kedua raksasa Amerika Serikat Vs. China”, bahkan disebutkan bahwa Corona Virus adalah ciptaan Amerika Serikat dan Israel, maupun tudingan bahwa Corona Virus adalah ciptaan peneliti senjata biologis di Wuhan-China.
Bahkan, timbul pula spekulasi “kelewat berani” oleh sebagian besar masyarakat kita yang menyebutkan bahwa wabah Virus Corona yang mematikan cukup diatasi lewat “vaksin iman”. Namun, tidak sedikit warga di Indonesia berspekulasi bahwa Corona Virus adalah hoax, sehingga merasa dirinya tetap aman berkeliaran tanpa mengenakan masker atau alat pelindung diri apapun ditengah merebaknya wabah—dan itulah gambaran nyata aksi spekulatif terburuk.
Mana yang benar, siapa yang tahu? Asumsi tetaplah asumsi. Adalah sangat berbahaya bila kita “berasumsi bahwa asumsi kita adalah fakta”—asumsi derajat kedua, asumsi diatas asumsi. Kita hanya dibolehkan secara etika untuk sebatas dan sejauh berkata: “Ada kemungkinan, ...”—penggunaan frasa semacam demikian saja, sudah merupakan suatu tuduhan yang “tendensius” dan cenderung “menghakimi” yang cukup mendiskreditkan harkat serta martabat pihak lain yang dituding. Penulis menyebutnya sebagai, penyalah-gunaan bahasa lisan maupun tertulis.
Secara etika keilmuan, ketika kita melontarkan sebuah wacana yang masih dilandasi oleh “asumsi” pribadi semata, maka kita wajib menyatakan atau memberi label sebagai “asumsi” terhadap apa yang wacanakan. Apakah hipotesis bukan sebentuk “asumsi” dalam wujud lainnya? Hipotesis adalah awal mula keberangkatan penelitian dan pencarian bukti-bukti ilmiah untuk membuktikan apakah hipotesis tersebut benar (valid) atau sebaliknya keliru (invalid), alias “evidences based”, berbasis bukti.
Karenanya, hipotesis tidak pernah berhenti sekadar sebagai sebuah hipotesis--hipotesis selalu memiliki misi berupa menuntut adanya pembuktian. Berbeda halnya dengan “asumsi”, yang kerap kali dibiarkan menjadi atau berhenti sekadar sebagai “asumsi” belaka, seolah-olah telah mencapai titik kebenaran mutlak dan absolut (postulat).
Berikut penulis kutipkan betapa berbahayanya “spekulasi”, sebagaimana Khotbah Sang Buddha dalam Sutta Pitaka, “Khotbah-khotbah Panjang Sang Buddha, Dīgha Nikāya” (salah satu sutta dalam Tripitaka, versi terjemahan dari Bahasa Pali), diterbikan oleh DhammaCitta Press, 2009: [DISCLAIMER : Catatan Penting bagi para pembaca, untuk diperhatikan, khotbah yang dibabarkan oleh Sang Buddha berikut terjadi lebih dari 2.500 tahun yang lampau, jauh sebelum agama-agama besar lainnya lahir, sehingga umat dari agama-agama besar lainnya tersebut tidak memiliki hak untuk melakukan “gugatan penistaan agama” terhadap Sang Buddha.]
Tevijja Sutta
Jalan Menuju Brahmà
1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Suatu ketika, Sang Bhagavà sedang berkunjung ke Kosala bersama lima ratus bhikkhu. Beliau datang ke suatu desa Brahmana Kosala yang bernama Manasàkaña, dan menetap di utara desa itu di sebuah hutan mangga di tepi Sungai Aciravatã.
2. Dan pada saat itu, ada banyak Brahmana yang terkenal dan makmur sedang berada di Manasàkaña, termasuk Canki, Tàrukkha, Pokkarasàti, Jàõussoni, dan Todeyya.
3. Dan Vàseññha dan Bhàradvàja sedang berjalan-jalan di sepanjang jalan, dan pada saat itu, terjadi perdebatan antara mereka mengenai topik jalan yang benar dan yang salah.
4. Brahmana muda Vàseññha berkata: ‘Ini adalah satu-satunya jalan yang lurus dan benar, ini adalah jalan langsung, jalan keselamatan yang mengarahkan seseorang yang mengikutinya pergi bergabung dengan Brahma, seperti yang diajarkan oleh Brahmana Pokkharasàti!’
5. Dan Brahmana muda Bhàradvàja berkata: ‘Ini adalah jalan lurus satu-satunya ... seperti yang diajarkan oleh Brahmana Tàrukkha!’
6. Dan Vàseññha tidak dapat meyakinkan Bhàradvàja, dan sebaliknya Bhàradvàja tidak dapat meyakinkan Vàseññha.
7. Kemudian Vàseññha berkata kepada Bhàradvàja: ‘Petapa Gotama sedang menetap di utara desa, dan sehubungan dengan Sang Bhagavà telah beredar berita baik ... (seperti Sutta 4, paragraf 2). Marilah kita menemui Petapa Gotama dan bertanya kepada-Nya, dan apa pun jawaban yang Beliau berikan, kita harus menerimanya.’ Dan Bhàradvàja setuju.
8. Maka kedua orang itu pergi menemui Sang Bhagavà. Setelah saling bertukar sapa dengan Beliau, mereka duduk di satu sisi, dan Vàseññha berkata: ‘Yang Mulia Gotama, sewaktu kami berjalan-jalan, kami berdiskusi tentang jalan yang benar dan yang salah. Aku berkata: “Ini adalah jalan langsung satu-satunya ... seperti yang diajarkan oleh Brahmana Pokkharasàti,” dan Bhàradvàja berkata: “Ini adalah jalan langsung satu-satunya ... seperti yang diajarkan oleh Brahmana Tàrukkha.” Inilah perselisihan kami, pertengkaran kami, perbedaan kami.’
9. ‘Jadi, Vàseññha, engkau mengatakan bahwa cara untuk bergabung dengan Brahmà adalah seperti yang diajarkan oleh Brahmana Pokkharasàti, dan Bhàradvàja mengatakan seperti yang diajarkan oleh Brahmana Tarukkha. Mengenai apakah perselisihannya, pertengkarannya, perbedaannya?’
10. ‘Jalan yang benar dan yang salah, Yang Mulia Gotama. Ada begitu banyak Brahmana yang mengajarkan jalan yang berbeda-beda: Addhariya, Tittiriya, Chandoka, Chandàva, para Brahmana Brahmacariya  - apakah semua cara ini mengarah menuju penggabungan bersama Brahmà? Seperti halnya di dekat desa atau kota terdapat banyak jalan yang berbeda? – apa semua jalan ini berakhir di tempat yang sama? Dan demikian pula, apakah cara-cara dari berbagai Brahmana ini … mengarahkan orang yang mengikutinya, menuju penggabungan bersama Brahmà?’
11. ‘Engkau mengatakan “Mereka mengarahkan”, Vàseññha?’ ‘Aku mengatakan: “Mereka mengarahkan”, Yang Mulia Gotama.’
‘Engkau mengatakan “Mereka mengarahkan”, Vàseññha?’ ‘Aku mengatakan: “Mereka mengarahkan”, Yang Mulia Gotama.’
‘Engkau mengatakan “Mereka mengarahkan”, Vàseññha?’ ‘Aku mengatakan: “Mereka mengarahkan”, Yang Mulia Gotama.’
12. ‘Tetapi Vàseññha, adakah satu dari para Brahmana yang terpelajar dalam Tiga Veda ini yang pernah menemui Brahma secara langsung?’ ‘Tidak, Yang Mulia Gotama.’
Pernahkah guru dari guru dari satu di antara mereka yang terpelajar dalam Tiga Veda ini yang pernah menemui Brahma secara langsung?’ ‘Tidak, Yang Mulia Gotama.’
Pernahkah para leluhur selama tujuh generasi sebelumnya dari guru dari satu di antara mereka yang pernah menemui Brahma secara langsung?’ ‘Tidak, Yang Mulia Gotama.’
13. ‘Kalau begitu, Vàseññha, bagaimana dengan para bijaksana masa lampau dari para Brahmana yang terpelajar dalam Tiga Veda ini, pembuat mantra-mantra, pembabar mantra-mantra, yang syair-syair kuno mereka dihafalkan, dibacakan, dan dikumpulkan oleh para Brahmana masa kini, dan dinyanyikan, dan dibicarakan – seperti Aññhaka, Vàmaka, Vàmadeva, Vessàmitta, Yamataggi, Angirasa, Bhàradvàja, Vàseññha, Kassapa, Bhagu - apakah mereka pernah mengatakan: “Kami mengetahui dan melihat kapan, bagaimana dan di mana Brahmà muncul?”’ ‘Tidak, Yang Mulia Gotama.’
14. ‘Jadi, Vàseññha, tidak satu pun dari para Brahmana yang terpelajar dalam Tiga Veda ini yang pernah menemui Brahma secara langsung, juga tidak satu di antara guru mereka, atau guru dari guru mereka, juga tidak para leluhur mereka selama tujuh generasi sebelumnya. Juga tidak para bijaksana masa lampau, yang mengatakan: “Kami mengetahui dan melihat kapan, bagaimana, dan di mana Brahmà muncul.” Maka apa yang dikatakan oleh para Brahmana yang terpelajar dalam Tiga Veda ini adalah: “Kami mengajarkan jalan ini untuk bergabung dengan Brahmà yang tidak kita ketahui atau tidak kita lihat, ini adalah jalan langsung satu-satunya … yang mengarah menuju penggabungan bersama Brahmà.” Bagaimana menurutmu, Vàseññha? Kalau demikian halnya, bukankah apa yang dinyatakan oleh para Brahmana ini terbukti tidak masuk akal?’ ‘Ya, sesungguhnya demikian, Yang Mulia Gotama.’
15. ‘Baiklah, Vàseññha, ketika para Brahmana yang terpelajar dalam Tiga Veda ini mengajarkan jalan yang tidak mereka ketahui dan tidak mereka lihat, dengan mengatakan: “Ini adalah jalan langsung satu-satunya …” ini tidak mungkin benar. Bagaikan sebarisan orang buta yang berjalan, saling bergandengan, dan yang pertama tidak melihat apa-apa, yang tengah tidak melihat apa-apa, dan yang terakhir tidak melihat apa-apa - demikian pula halnya dengan ucapan para Brahmana yang terpelajar dalam Tiga Veda ini: yang pertama tidak melihat apa-apa, yang tengah tidak melihat apa-apa, dan yang terakhir tidak melihat apa-apa. Ucapan dari para Brahmana yang terpelajar dalam Tiga Veda ini terbukti akan menjadi bahan tertawaan, hanyalah sekadar kata-kata, kosong dan sia-sia.’
16. ‘Bagaimana menurutmu, Vàseññha? Apakah para Brahmana yang terpelajar dalam Tiga Veda ini melihat matahari dan bulan seperti orang-orang lain, dan ketika matahari dan bulan terbit dan terbenam, apakah mereka berdoa, menyanyikan pujian, dan menyembah dengan merangkapkan tangan?’ ‘Ya, Yang Mulia Gotama.’
17. ‘Bagaimana menurutmu, Vàseññha? Para Brahmana yang terpelajar dalam Tiga Veda ini, yang melihat matahari dan bulan seperti orang-orang lain, … dapatkah mereka menunjukkan jalan untuk bergabung dengan matahari dan bulan, dengan mengatakan: “Ini adalah satu-satunya jalan langsung … yang mengarah menuju penggabungan dengan matahari dan bulan?”’ ‘Tidak, Yang Mulia Gotama.’
18. ‘Jadi, Vàseññha, Para Brahmana yang terpelajar dalam Tiga Veda ini tidak dapat menunjukkan jalan untuk bergabung dengan matahari dan bulan, yang telah mereka lihat. Dan, juga, tidak ada seorang pun dari mereka yang pernah melihat Brahmà secara langsung, …  bahkan tidak leluhur dari guru mereka selama tujuh generasi sebelumnya. Juga tidak para bijaksana masa lampau, mengatakan: “Kami mengetahui dan melihat kapan, bagaimana, dan di mana Brahmà muncul?” Bukankah apa yang dinyatakan oleh para Brahmana ini terbukti tidak masuk akal?’ ‘Ya, sesungguhnya demikian, Yang Mulia Gotama.’
19. ‘Vàsettha, ini seperti seorang laki-laki yang mengatakan: “Aku akan mencari dan mencintai seorang perempuan paling cantik di negeri ini.” Mereka akan berkata kepadanya: “ … apakah engkau tahu dari kasta apa ia berasal?” “Tidak.” “Apakah engkau tahu namanya, sukunya, apakah ia tinggi atau pendek, …, berkulit gelap atau cerah …, atau dari mana asalnya?” “Tidak.” Dan mereka akan berkata: “Jadi, engkau tidak mengetahui dan tidak melihat orang yang engkau cari dan engkau inginkan?” dan ia akan berkata: “Tidak.” Bukankah kata-kata orang itu terbukti bodoh?’ ‘Tentu saja, Yang Mulia Gotama.’
20. ‘Kemudian, Vàseññha, ini seperti ini: tidak satu pun dari para Brahmana itu … yang pernah melihat Brahmà secara langsung, juga tidak satu di antara guru mereka ….’ ‘Demikianlah, Yang Mulia Gotama.’ ‘Maka, Vàseñtha, ketika para Brahmana yang terpelajar dalam Tiga Veda ini mengajarkan jalan yang tidak mereka ketahui dan tidak mereka lihat, ini tidak mungkin benar.’
21. ‘Vàseññha, ini seperti seseorang yang membangun sebuah tangga untuk sebuah istana di persimpangan jalan. Orang-orang akan berkata kepadanya: “Tangga ini, untuk istana, yang sedang engkau bangun – tahukah engkau apakah istana ini akan menghadap ke timur, atau barat, atau utara, atau selatan, atau apakah istana ini akan tinggi, rendah, atau sedang?” dan ia akan mengatakan: “Tidak.” Dan mereka akan mengatakan: “Jadi, engkau tidak mengetahui atau melihat bentuk istana yang tangganya sedang engkau bangun?” dan ia akan menjawab: “Tidak.” Bukankah kata-kata orang itu terbukti bodoh?’ ‘Tentu saja, Bhagavà.’
22-23. (seperti paragraf 20)
24. ‘Vàseññha, ini bagaikan Sungai Aciravatã yang penuh dengan air sampai ke tepinya sehingga burung-burung gagak dapat meminum airnya, dan seseorang datang ingin menyeberang, berdiri di tepi sebelah sini, ia memanggil: “Datanglah, tepi sebelah sana, datanglah ke sini!” Bagaimana menurutmu, Vàseññha, apakah tepi sebelah sana dari Sungai Aciravatã akan datang ke tepi sebelah sini atas panggilan, permohonan, permintaan, atau bujukan orang itu?’ ‘Tidak, Yang Mulia Gotama.’
25. ‘Sekarang, Vàseñtha, para Brahmana yang terpelajar dalam Tiga Veda itu yang terus-menerus mengabaikan apa yang seharusnya dilakukan oleh seorang Brahmana, dan terus-menerus melakukan apa yang seharusnya tidak dilakukan oleh seorang Brahmana, menyatakan: “Kami mengunjungi Indra, Soma, Varuõa, Pajàpati, Brahmà, Mahiddhi, Yama.” Tetapi para Brahmana demikian yang terus-menerus mengabaikan apa yang seharusnya dilakukan oleh para Brahmana, … akan, sebagai akibat dari pemanggilan, permohonan, permintaan, atau bujukan mereka, setelah kematian, saat hancurnya jasmani, berkumpul bersama Brahmàitu mustahil.’
26. ‘Vàseññha, ini bagaikan Sungai Aciravatã yang penuh dengan air sampai ke tepinya sehingga burung-burung gagak dapat meminum airnya, dan seseorang datang ingin menyeberang, … tetapi ia terikat dan terbelenggu oleh rantai yang kuat dengan tangan di belakang punggungnya di tepi sebelah sini. Bagaimana menurutmu, Vàseññha? Dapatkah orang itu menyeberang ke tepi sebelah sana?’ ‘Tidak, Yang Mulia Gotama.’
27. ‘Demikian pula, Vàseññha, dalam disiplin Ariya, lima helai kenikmatan-indria ini disebut belenggu atau rantai. Apakah lima itu? Bentuk-bentuk yang terlihat oleh mata, yang disukai, indah, menarik, menyenangkan, memunculkan gairah; suara-suara yang terdengar oleh telinga … ; bau-bauan yang tercium oleh hidung … ; rasa kecapan yang dikecap oleh lidah; kontak yang dirasakan oleh badan yang disukai, … , memunculkan gairah. Lima ini dalam disiplin Ariya disebut belenggu dan rantai. Dan, Vàseññha, para Brahmana yang terpelajar dalam Tiga Veda itu diperbudak, tergila-gila akan lima helai kenikmatan-indria ini, yang secara salah mereka nikmati, tidak menyadari bahayanya, tidak mengetahui jalan keluar darinya.’
28. ‘Tetapi para Brahmana yang terpelajar dalam Tiga Veda itu, yang terus-menerus mengabaikan apa yang seharusnya dilakukan oleh seorang Brahmana, … yang diperbudak oleh lima helai kenikmatan-indria ini, … tidak mengetahui jalan keluar darinya, akan mencapai, setelah kematian, saat hancurnya jasmani, penggabungan dengan Brahmà – itu mustahil.’
29. ‘Vàseññha, ini bagaikan Sungai Aciravatã yang penuh dengan air sampai ke tepinya sehingga burung-burung gagak dapat meminum airnya, dan seseorang datang ingin menyeberang, … dan berbaring di tepi sebelah sini, menutup kepalanya dengan selendang. Bagaimana menurutmu, Vàseññha? Dapatkah orang itu menyeberang ke tepi sebelah sana?’ ‘Tidak, Yang Mulia Gotama.’
30. ‘Demikian pula, Vàseñtha, dalam disiplin Ariya, lima rintangan ini disebut halangan, rintangan, selubung, pembungkus. Apakah lima itu? Rintangan indriawi, kebencian, kelambanan-dan-ketumpulan, kekhawatiran dan kebingungan, keragu-raguan. Lima rintangan ini disebut halangan, rintangan, selubung, pembungkus. Dan para Brahmana yang terpelajar dalam Tiga Veda itu tertangkap, terkurung, terhalang, terjerat dalam lima rintangan ini. Tetapi para Brahmana yang terpelajar dalam Tiga Veda itu, yang terus-menerus mengabaikan apa yang seharusnya dilakukan oleh seorang Brahmana … dan yang tertangkap … terjerat dalam lima rintangan ini. Akan mencapai, setelah kematian, saat hancurnya jasmani, penggabungan dengan Brahma – itu mustahil.’
Jalan Menuju Brahmà 155
31. ‘Bagaimana menurutmu, Vàseññha? Apakah yang engkau dengar yang dikatakan oleh para Brahmana yang terhormat, tua, guru dari para guru? Apakah Brahmà terbebani oleh istri-istri dan kekayaan, atau tidak terbebani?’ ‘Tidak terbebani, Yang Mulia Gotama.’
Apakah ia penuh kebencian atau tanpa kebencian?’ ‘Tanpa kebencian, Yang Mulia Gotama.’
Apakah ia penuh permusuhan atau tanpa permusuhan?’ ‘Tanpa permusuhan, Yang Mulia Gotama.’
Apakah ia disiplin atau tidak disiplin?’ ‘Disiplin, Yang Mulia Gotama.’
32. ‘Dan, bagaimana menurutmu, Vàseññha? Apakah para Brahmana yang terpelajar dalam Tiga Veda itu terbebani dengan istri-istri dan kekayaan mereka? Atau tidak terbebani?’ ‘Terbebani, Yang Mulia Gotama.’
Apakah ia penuh kebencian atau tanpa kebencian?’ ‘Penuh kebencian, Yang Mulia Gotama.’
Apakah ia penuh permusuhan atau tanpa permusuhan?’ ‘Penuh permusuhan, Yang Mulia Gotama.’
Apakah ia disiplin atau tidak disiplin?’ ‘Tidak disiplin, Yang Mulia Gotama.’
33. ‘Jadi, Vàseññha, para Brahmana yang terpelajar dalam Tiga Veda itu, yang terbebani dengan istri-istri dan kekayaan, dan Brahmà yang tidak terbebani. Adakah kesamaan? Adakah yang sama antara para Brahmana yang terbebani ini, dan Brahmà yang tidak terbebani?’ ‘Tidak, Yang Mulia Gotama.’
34. ‘Benar sekali, Vàseññha. Bahwa para Brahmana yang terbebani ini, yang terpelajar dalam Tiga Veda, setelah kematian, saat hancurnya jasmani, akan bergabung dengan Brahmà yang tidak terbebani – ini mustahil.’
35. ‘Demikianlah, apakah para Brahmana yang terpelajar dalam Tiga Veda dan penuh kebencian … penuh permusuhan … tidak murni … tidak disiplin, adakah memiliki kesamaan, yang sama dengan Brahmà yang disiplin?’ ‘Tidak, Yang Mulia Gotama.’
36. ‘Benar sekali, Vàseññha. Bahwa para Brahmana yang tidak disiplin ini, setelah kematian akan bergabung dengan Brahmà yang tidak terbebani, adalah mustahil. Tetapi para Brahmana yang terpelajar dalam Tiga Veda, setelah duduk di tepi, akan tenggelam, berpikir mungkin menemukan jalan menyeberang yang kering. Oleh karena itu, tiga pengetahuan mereka disebut tiga gurun, tiga kebingungan, tiga penghancuran.’
37. Mendengar kata-kata ini, Vàseññha berkata: ‘Yang Mulia Gotama, aku mendengar mereka berkata: “Petapa Gotama mengetahui jalan menuju penggabungan dengan Brahmà.”’
‘Bagaimana menurutmu, Vàseññha? Misalkan ada seseorang di sini yang lahir dan dibesarkan di Manasàkaña, dan seseorang yang datang dari Manasàkaña dan tersesat jalan bertanya kepadanya. Apakah orang itu, yang lahir dan besar di Manasàkata, menjadi gugup atau bingung?’ ‘Tidak, Yang Mulia Gotama. Dan mengapa tidak? Karena orang itu pasti mengenal semua jalan.’
38. ‘Vàseññha, dapat dikatakan bahwa orang itu saat ditanyai jalan mungkin akan menjadi gugup atau bingung – namun Sang Tathàgata, saat ditanyai tentang alam Brahmà dan jalan menuju ke sana, tidak akan menjadi gugup atau bingung. Karena, Vàseññha, Aku mengenal Brahmà dan alam Brahmà, dan jalan menuju ke alam Brahmà, dan jalan mempraktikkan agar alam Brahmà dapat dicapai.’
39. Mendengar kata-kata ini, Vàseññha berkata: ‘Yang Mulia Gotama, aku mendengar mereka berkata: “Petapa Gotama mengajarkan cara untuk bergabung dengan Brahmà, sudilah Yang Mulia Gotama membantu para pengikut Brahmà!’
‘Maka, Vàseññha, dengar, perhatikanlah, dan Aku akan memberitahukan kepadamu.’
‘Baik, Yang Mulia,’ Vàseññha berkata.
Sang Bhagavà berkata:
40-75. ‘Vàseññha, seorang Tathàgata telah muncul di dunia ini, seorang Arahat, Buddha yang telah mencapai Penerangan Sempurna, memiliki kebijaksanaan dan perilaku yang Sempurna, telah sempurna menempuh Sang Jalan, Pengenal seluruh alam, penjinak manusia yang harus dijinakkan yang tiada bandingnya, Guru para dewa dan manusia, Tercerahkan dan Terberkahi. Beliau, setelah mencapainya dengan pengetahuan-Nya sendiri, menyatakan kepada dunia bersama para dewa, màra dan Brahma, para raja dan umat manusia. Beliau membabarkan Dhamma, yang indah di awal, indah di pertengahan, indah di akhir, dalam makna dan kata, dan menunjukkan kehidupan suci yang sempurna dan murni sepenuhnya. Seorang siswa pergi meninggalkan keduniawian dan mempraktikkan moralitas, menjaga pintu-pintu indrianya, mencapai jhàna pertama (Sutta 2, paragraf 41-75).’
76. ‘Kemudian, dengan hati dipenuhi dengan cinta kasih, ia berdiam memancarkan ke satu arah, ke arah ke dua, ke tiga, ke empat. Demikianlah ia berdiam memancarkan ke seluruh dunia, ke atas, ke bawah, ke sekeliling, ke segala tempat, selalu dengan hati yang dipenuhi dengan cinta kasih, berlimpah, tanpa rintangan, tanpa kebencian atau permusuhan.’
77. ‘Bagaikan seorang peniup trompet yang hanya mengalami sedikit kesulitan untuk mengumumkan pengumuman ke empat penjuru, demikianlah dengan meditasi ini, Vàseññha, dengan kebebasan hati melalui cinta kasih, ia meliputi seluruhnya, tidak ada bagian yang tidak tersentuh, tidak ada yang tidak terpengaruh dalam alam indria ini. Ini, Vàseññha, adalah cara untuk bergabung dengan Brahmà.’
78. ‘Kemudian dengan hati dipenuhi dengan belas kasihan, … dengan kegembiraan simpatik, dengan keseimbangan, ia berdiam memancarkan ke satu arah, ke arah ke dua, ke tiga, ke empat. Demikianlah ia berdiam memancarkan ke seluruh dunia, ke atas, ke bawah, ke sekeliling, ke segala tempat, selalu dengan hati yang dipenuhi dengan keseimbangan, berlimpah, tanpa rintangan, tanpa kebencian atau permusuhan.’
79. ‘Bagaikan seorang peniup trompet yang hanya mengalami sedikit kesulitan untuk mengumumkan pengumuman ke empat penjuru, demikianlah dengan meditasi ini, Vàseññha, dengan kebebasan hati melalui belas kasihan, … melalui kegembiraan simpatik, … melalui keseimbangan, ia meliputi seluruhnya, tidak ada bagian yang tidak tersentuh, tidak ada yang tidak terpengaruh dalam alam indria ini. Ini, Vàseññha, adalah cara untuk bergabung dengan Brahmà.’
80. ‘Bagaimana menurutmu, Vàseññha? Apakah seorang bhikkhu yang berdiam demikian terbebani oleh istri-istri dan kekayaan atau tidak terbebani?’ ‘Tidak terbebani, Yang Mulia Gotama. Ia tanpa kebencian …, tanpa permusuhan …, murni dan disiplin, Yang Mulia Gotama.’ [252]
81. ‘Jadi, Vàseññha, bhikkhu itu tidak terbebani, dan Brahmà tidak terbebani. Adakah yang sama antara bhikkhu yang tidak terbebani dan Brahmà yang tidak terbebani?’ ‘Sesungguhnya ada, Yang Mulia Gotama.’
‘Benar sekali, Vàseññha. Maka bhikkhu yang tidak terbebani itu, setelah kematian, saat hancurnya jasmani, akan bergabung dengan Brahmà yang tidak terbebani – itu mungkin. Demikian pula bhikkhu yang tanpa kebencian …, tanpa permusuhan …, murni …, disiplin … maka bhikkhu yang disiplin itu, setelah kematian, saat hancurnya jasmani, akan bergabung dengan Brahmà – itu mungkin.’
82. Mendengar kata-kata itu, Brahmana Vàseññha dan Brahmana Bhàradvàja berkata kepada Sang Bhagavà: ‘Sungguh indah, Yang Mulia Gotama, sungguh menakjubkan! Bagaikan seseorang yang menegakkan apa yang terjatuh, atau menunjukkan jalan bagi ia yang tersesat, atau menyalakan pelita di dalam gelap, sehingga mereka yang memiliki mata dapat melihat apa yang ada di sana. Demikian pula Yang Mulia Gotama telah membabarkan Dhamma dalam berbagai cara.’
‘Aku berlindung kepada Yang Mulia Gotama, kepada Dhamma, dan kepada Sangha. Sudilah Yang Mulia Gotama menerimaku sebagai seorang siswa awam yang telah menerima perlindungan sejak hari ini hingga akhir hidupku!’

Brahmajàla Sutta
Jaring Tertinggi
Apa yang Bukan Ajaran
**********
1.1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Suatu ketika, Sang Bhagavà, sedang melakukan perjalanan di sepanjang jalan utama antara Ràjagaha dan Nàëandà disertai oleh lima ratus bhikkhu. Dan pengembara Suppiya juga sedang melakukan perjalanan di jalan itu bersama muridnya, pemuda Brahmadatta. Dan Suppiya mencari kesalahan dalam segala cara sehubungan dengan Buddha, Dhamma, dan Sangha, sedangkan muridnya, Brahmadatta, memuji dalam segala cara. Dan demikianlah kedua orang ini, guru dan murid, masing-masing saling menentang argumentasi yang lainnya, mengikuti persis di belakang Sang Bhagavà dan para bhikkhu.
1.2. Kemudian Sang Bhagavà menginap selama satu malam bersama para bhikkhu di taman kerajaan Ambalaññhikà. Dan Suppiya juga menginap di sana selama semalam bersama muridnya, Brahmadatta. Dan Suppiya melanjutkan mengecam Buddha, Dhamma, dan Sangha, sedangkan muridnya, Brahmadatta, membela. Dan demikianlah sambil berdebat, mereka mengikuti persis di belakang Sang Buddha dan para bhikkhu.
1.3. Sekarang di pagi harinya, sejumlah bhikkhu, setelah bangun tidur, berkumpul dan duduk di Paviliun Bundar, dan ini adalah topik pembicaraan mereka: ‘Sungguh indah, Teman-teman, sungguh menakjubkan bagaimana Sang Bhagavà, Sang Arahat, Buddha yang telah mencapai Penerangan Sempurna mengetahui, melihat, dan dengan jelas membedakan kecenderungan makhluk-makhluk yang berbeda-beda! Karena di sini ada pengembara Suppiya yang mencari-cari kesalahan dalam segala cara sehubungan dengan Buddha, Dhamma, dan Sangha, sedangkan muridnya, Brahmadatta dalam berbagai cara membela Buddha, Dhamma, dan Sangha. Dan sambil masih berdebat, mereka mengikuti persis di belakang Sang Bhagavà dan para bhikkhu.’
1.4. Kemudian Sang Bhagavà mengetahui apa yang sedang dibicarakan oleh para bhikkhu, mendatangi Paviliun Bundar dan duduk di tempat yang telah dipersiapkan. Kemudian Beliau berkata: ‘Para bhikkhu, apakah yang sedang kalian bicarakan? Diskusi apakah yang terhenti oleh-Ku?’ dan mereka menceritakannya kepada Beliau.
1.5. ‘Para bhikkhu, jika seseorang menghina-Ku, Dhamma, atau Sangha, kalian tidak boleh marah, tersinggung, atau terganggu akan hal itu. Jika kalian marah atau tidak senang akan penghinaan itu, maka itu akan menjadi rintangan bagi kalian. Karena jika orang lain menghina-Ku, Dhamma, atau Sangha, dan kalian marah atau tidak senang, dapatkah kalian mengetahui apakah yang mereka katakan itu benar atau salah?’ ‘Tidak, Bhagavà.’ ‘Jika orang lain menghina-Ku, Dhamma, atau Sangha, maka kalian harus menjelaskan apa yang tidak benar sebagai tidak benar, dengan mengatakan: “Itu tidak benar, itu salah, itu bukan jalan kami, itu tidak ada pada kami.”’
1.6. Jika orang lain memuji-Ku, Dhamma, atau Sangha, kalian tidak boleh gembira, bahagia, atau senang akan hal itu. Jika kalian gembira, bahagia, atau senang akan pujian itu, maka itu akan menjadi rintangan bagi kalian. Jika orang lain memuji-Ku, Dhamma, atau Sangha, kalian harus mengakui kebenaran sebagai kebenaran, dengan mengatakan: “Itu benar, itu tepat sekali, itu adalah jalan kami, itu ada pada kami.”’
1.7. ‘Ini, para bhikkhu, adalah hal-hal mendasar, persoalan kecil dari praktik moral bagi orang-orang biasa untuk memuji Sang Tathàgata. Dan apakah hal-hal mendasar, persoalan kecil ini bagi orang-orang biasa untuk memuji Beliau?’
[Bagian singkat tentang Moralitas]
[4] 1.8. ‘“Menghindari pembunuhan, Petapa Gotama berdiam dengan menjauhi pembunuhan, tanpa tongkat atau pedang, cermat, penuh belas kasih, bergerak demi kesejahteraan semua makhluk hidup.” Demikianlah orang-orang biasa akan memuji Sang Tathàgata. “Menghindari mengambil apa yang tidak diberikan, Petapa Gotama berdiam dengan menjauhi mengambil apa yang tidak diberikan, hidup murni, menerima apa yang diberikan, menunggu apa yang diberikan, tanpa mencuri. Menghindari ketidaksucian, Petapa Gotama hidup jauh darinya, jauh dari praktik kehidupan sosial hubungan seksual.”’
1.9. ‘“Menghindari ucapan salah, Petapa Gotama berdiam dengan menjauhi ucapan salah, seorang pembicara kebenaran, seorang yang dapat diandalkan, dapat dipercaya, dapat dijadikan tempat bergantung, bukan seorang penipu dunia. Menghindari fitnah, Beliau tidak mengulangi di sana apa yang Beliau dengarkan di sini untuk merugikan orang-orang ini, atau mengulangi di sini apa yang Beliau dengarkan di sana untuk merugikan orang-orang itu.” Demikianlah Beliau adalah penengah bagi mereka yang bersengketa dan pendorong bagi mereka yang rukun, bahagia dalam kedamaian, menyukainya, gembira di dalamnya, seseorang yang berbicara demi kedamaian. “Menghindari ucapan kasar, Beliau menjauhinya. Beliau mengatakan apa yang tanpa-cela, indah di telinga, menyenangkan, menyentuh hati, sopan, indah, dan menarik bagi banyak orang. Menghindari gosip, Beliau berbicara di saat yang tepat, apa yang benar dan langsung pada pokok persoalan, tentang Dhamma dan disiplin. Beliau adalah seorang pembicara yang kata-katanya harus dihargai, sesuai pada waktunya, beralasan, dijelaskan dengan baik dan berhubungan dengan tujuan.” Demikianlah orang-orang biasa memuji Sang Tathàgata.’
1.10. ‘“Petapa Gotama adalah seorang yang menjauhi merusak benih dan hasil panen. Beliau makan sekali sehari dan tidak makan pada waktu malam, menjauhi makan pada waktu yang salah. Beliau menghindari menonton tari-tarian, nyanyian, musik, dan pertunjukan. Beliau menghindari memakai karangan bunga, pengharum, kosmetik, dan perhiasan. Beliau menghindari menggunakan tempat tidur yang tinggi atau lebar. Beliau menghindari menerima emas dan perak. Beliau menghindari menerima beras mentah atau daging mentah, Beliau tidak menerima perempuan atau gadis muda, budak laki-laki atau perempuan, domba dan kambing, ayam dan babi, gajah, sapi, kuda jantan dan betina, ladang dan bidang tanah; Beliau menghindari menjadi kurir, membeli dan menjual, menipu dengan timbangan dan takaran yang salah, dari menyuap dan korupsi, dari penipuan dan kemunafikan, dari melukai, membunuh, memenjarakan, perampok jalanan, dan mengambil makanan dengan paksa.” Demikianlah orang-orang biasa akan memuji Sang Tathàgata.’
[Bagian menengah tentang Moralitas]
1.11. ‘“Sementara beberapa petapa dan Brahmana memakan makanan pemberian mereka yang berkeyakinan, cenderung merusak benih-benih itu yang tumbuh dari akar-akar, dari tangkai, dari ruas-ruas, dari irisan, dari biji, Petapa Gotama menghindari perusakan demikian.” Demikianlah orang-orang biasa akan memuji Sang Tathàgata.’
1.12. ‘“Sementara beberapa petapa dan Brahmana memakan makanan pemberian mereka yang berkeyakinan, cenderung menikmati barang-barang simpanan seperti makanan, minuman, pakaian, alat transportasi, tempat tidur, pengharum, daging, Petapa Gotama menjauhi kenikmatan demikian.”’
1.13. ‘“Sementara beberapa petapa dan Brahmana … masih menikmati pertunjukan seperti tarian, nyanyian, musik, penampilan, pembacaan, musik-tangan, simbal dan tambur, pertunjukan sihir, akrobatik dan sulap, pertandingan gajah, kerbau, sapi, kambing, domba, ayam, burung puyuh, perkelahian dengan tongkat, tinju, gulat, perkelahian pura-pura, parade, pertunjukan manuver dan militer, Petapa Gotama menjauhi menikmati penampilan demikian.”’
1.14. ‘“Sementara beberapa petapa dan Brahmana masih menikmati permainan-permainan dan kegiatan sia-sia seperti catur delapan atau sepuluh baris, ‘catur di udara’, permainan jingkat, permainan biji-bijian, permainan dadu, melempar tongkat, ‘lukisan-tangan’, permainan bola, meniup melalui pipa mainan, permainan dengan bajak mainan, jungkir balik, permainan dengan kincir, pengukuran, kereta dan busur mainan, menebak huruf, menebak pikiran, meniru penampilan cacat, Petapa Gotama menjauhi kegiatan sia-sia demikian.”’
1.15. ‘“Sementara beberapa petapa dan Brahmana masih menyukai tempat tidur yang tinggi dan lebar dan tempat duduk yang tinggi, alas duduk berhiaskan kulit binatang, dilapisi wol atau dengan berbagai macam penutup, penutup dengan bulu di kedua sisi atau di satu sisi, penutup sutra, berhiaskan dengan atau tanpa permata, permadani-kereta, -gajah, -kuda, berbagai selimut dari kulit-kijang, bantal bertenda, atau dengan bantal merah di kedua sisi, Petapa Gotama menjauhi tempat tidur tinggi dan lebar demikian.”’
1.16. ‘”Sementara beberapa petapa dan Brahmana masih menyukai bentuk-bentuk hiasan-diri dan perhiasan seperti melumuri tubuh dengan pengharum, memijat, mandi dengan air harum, menggunakan pencuci rambut, menggunakan cermin, salep, karangan bunga, wangi-wangian, bedak, kosmetik, kalung, ikat kepala, tongkat hiasan, botol, pedang, penghalang sinar matahari, sandal berhias, serban, permata, kipas ekor-yak, jubah berumbai, Petapa Gotama menjauhi hiasan-diri demikian.”’
1.17. ‘“Sementara beberapa petapa dan Brahmana masih menyukai pembicaraan yang tidak bermanfaat seperti tentang raja-raja, perampok-perampok, menteri-menteri, bala tentara, bahaya-bahaya, perang, makanan, minuman, pakaian, tempat tidur, karangan bunga, pengharum, sanak saudara, kereta, desa-desa, pasar-pasar dan kota-kota, negara-negara, perempuan-perempuan,  pahlawan-pahlawan, gosip-sumur dan –jalanan, pembicaraan tentang mereka yang meninggal dunia, pembicaraan yang tidak menentu, spekulasi tentang daratan dan lautan, pembicaraan tentang ke-ada-an dan ke-tiada-an, Petapa Gotama menjauhi pembicaraan demikian.”’
1.18. ‘“Sementara beberapa petapa dan Brahmana masih menyukai perdebatan seperti: ‘Engkau tidak memahami ajaran dan disiplin ini – Aku memahami!’, ‘Bagaimana engkau dapat memahami ajaran dan disiplin ini?’, ‘Jalanmu semuanya salah – jalanku yang benar’, ‘Aku konsisten – engkau tidak!’, ‘Engkau mengatakannya terakhir apa yang seharusnya engkau katakan pertama kali!’, ‘Apa yang lama engkau pikirkan telah terbantah!’, ‘Argumentasimu telah dipatahkan, engkau kalah!’, ‘Pergi, selamatkan ajaranmu – keluarlah dari sana jika engkau mampu!’, Petapa Gotama menjauhi perdebatan demikian.”’
1.19. ‘“Sementara beberapa petapa dan Brahmana masih menyukai hal-hal seperti menjadi kurir dan penyampai pesan, seperti untuk raja, menteri, para mulia, Brahmana, perumah tangga, dan anak muda yang mengatakan: ‘Pergilah ke sini – pergilah ke sana! Bawalah ini ke sana – bawalah itu dari sana!’ Petapa Gotama menjauhi menjadi kurir demikian.”’
1.20. ‘“Sementara beberapa petapa dan Brahmana masih menyukai kebohongan, ucapan sia-sia, nasihat tersirat, meremehkan, dan selalu berusaha memperoleh keuntungan, Petapa Gotama menjauhi kebohongan demikian.” Demikianlah orang-orang biasa akan memuji Sang Tathàgata.’
[Bagian panjang tentang Moralitas]
1.21. ‘“Sementara beberapa petapa dan Brahmana memakan makanan pemberian mereka yang berkeyakinan, berpenghidupan dari keterampilan, penghidupan salah seperti membaca garis tangan, meramal dari gambaran-gambaran, tanda-tanda, mimpi, tanda-tanda jasmani, gangguan tikus, pemujaan api, persembahan dari sesendok sekam, tepung beras, beras, ghee atau minyak, atau darah, dari mulut, membaca ujung jari, pengetahuan rumah dan kebun, ahli dalam jimat, pengetahuan setan, pengetahuan rumah tanah, pengetahuan ular, pengetahuan racun, pengetahuan tikus, pengetahuan burung, pengetahuan gagak, meramalkan usia kehidupan seseorang, jimat melawan anak panah, pengetahuan tentang suara-suara binatang, Petapa Gotama menjauhi keterampilan dan penghidupan salah demikian.”’
1.22. ‘“Sementara beberapa petapa dan Brahmana berpenghidupan dengan keterampilan seperti menilai tanda-tanda permata, tongkat, pakaian, pedang, tombak, anak panah, senjata, perempuan, laki-laki, anak-anak, gadis-gadis, budak perempuan dan laki-laki, gajah, kuda, kerbau, banteng, sapi, kambing, domba, ayam, burung puyuh, iguana, tikus bambu, kura-kura, rusa, Petapa Gotama menjauhi keterampilan demikian.”’
1.23. ‘“Sementara beberapa petapa dan Brahmana berpenghidupan dengan keterampilan seperti meramalkan: ‘Pemimpin akan berjalan keluar – pemimpin akan berjalan kembali’, ‘Pemimpin kita akan bergerak maju dan pemimpin musuh akan bergerak mundur’, ‘Pemimpin kita akan menang dan pemimpin musuh akan kalah’, ‘Pemimpin musuh akan menang dan pemimpin kita akan kalah’, ‘Demikianlah akan ada kemenangan di satu pihak dan kekalahan di pihak lainnya’, Petapa Gotama menjauhi keterampilan demikian.”’
1.24. ‘“Sementara beberapa petapa dan Brahmana berpenghidupan dengan keterampilan seperti meramalkan gerhana bulan, matahari, bintang; bahwa matahari dan bulan akan bergerak sesuai jalur yang benar – akan bergerak tidak menentu; bahwa bintang akan bergerak sesuai jalur yang benar – akan bergerak tidak menentu; bahwa akan terjadi hujan meteor, suatu kebakaran dahsyat di angkasa, gempa bumi, guruh; matahari, bulan, dan bintang yang terbit, terbenam, gelap dan terang; dan ‘demikianlah akibat dari benda-benda ini’, Petapa Gotama menjauhi keterampilan dan penghidupan salah demikian.”’
1.25. ‘“Sementara beberapa petapa dan Brahmana berpenghidupan dengan keterampilan seperti meramalkan hujan yang baik atau buruk; panen yang baik atau buruk; keamanan, bahaya; penyakit, kesehatan, atau mencatat, menentukan, menghitung, komposisi syair, menjelaskan alasan-alasan, Petapa Gotama menjauhi keterampilan dan penghidupan salah demikian.”’
1.26. ‘“Sementara beberapa petapa dan Brahmana berpenghidupan dengan keterampilan seperti mengatur pemberian dan penerimaan dalam suatu pernikahan, pertunangan dan perceraian; [menyatakan waktu untuk] menabung dan belanja, membawa kebaikan dan keburukan, melakukan aborsi, menggunakan mantra untuk mengikat lidah, mengikat rahang, menyebabkan tangan gemetar, menyebabkan tuli, mencari jawaban dari cermin, menjadi gadis-medium, dewa; memuja matahari atau Mahà Brahmà, meniupkan api, memanggil dewi keberuntungan, Petapa Gotama menjauhi keterampilan dan penghidupan salah demikian.”’
1.27. ‘“Sementara beberapa petapa dan Brahmana memakan makanan pemberian mereka yang berkeyakinan, berpenghidupan dengan keterampilan demikian, penghidupan salah seperti menenangkan para dewa dan menepati janji terhadap para dewa, membuat jimat rumah tanah, memberikan kekuatan dan kelemahan, mempersiapkan dan menyucikan bangunan, memberikan upacara pembersihan dan pemandian, memberikan korban, memberikan obat pencahar, obat penawar, obat batuk dan pilek, memberikan obat-telinga, -mata, -hidung, salep dan salep-penawar, pembedahan mata, pembedahan, pengobatan bayi, menggunakan balsam untuk melawan efek samping dari pengobatan sebelumnya, Petapa Gotama menjauhi keterampilan dan penghidupan salah demikian.” Ini, para bhikkhu, untuk hal-hal mendasar, persoalan kecil inilah, maka orang-orang biasa memuji Sang Tathàgata.’
[12] 1.28. ‘Ada lagi, para bhikkhu, hal-hal lain, yang mendalam, sulit dilihat, sulit dipahami, damai, luhur, melampaui sekadar pikiran, halus, yang harus dialami oleh para bijaksana, yang Sang Tathàgata, setelah mencapainya dengan pengetahuan-agung-Nya sendiri, menyatakan, dan tentang hal-hal yang diucapkan dengan benar oleh ia yang sungguh-sungguh memuji Sang Tathàgata. Dan apakah hal-hal ini?’
[Enam puluh dua jenis pandangan salah]
1.29. ‘Ada, para bhikkhu, beberapa petapa dan Brahmana yang adalah spekulator tentang masa lampau, memiliki pandangan kuat akan masa lampau, dan yang mengusulkan berbagai teori spekulatif tentang masa lampau, dalam delapan belas cara. Dalam dasar apakah, dalam landasan apakah mereka melakukan hal itu?’
1.30. ‘Ada beberapa petapa dan Brahmana yang adalah penganut keabadian, yang menyatakan keabadian diri dan dunia dalam empat cara. Apakah landasannya?’
1.31. [Pandangan salah 1] ‘Di sini, para bhikkhu, seorang petapa atau Brahmana tertentu melalui usaha, upaya, penerapan, ketekunan, dan perhatian benar mencapai suatu kondisi tertentu dari konsentrasi pikiran hingga mampu mengingat kehidupan lampau – satu kelahiran, dua kelahiran, tiga, empat, lima, sepuluh, seratus, seribu, seratus ribu kelahiran, beberapa ratus, beberapa ribu, beberapa ratus ribu kelahiran, “Di sana namaku adalah ini dan itu, klanku adalah ini dan itu, kastaku adalah ini dan itu, makananku adalah ini dan itu, aku mengalami kondisi menyenangkan dan menyakitkan ini dan itu, aku hidup selama itu. Setelah meninggal dunia dari sana, aku muncul di tempat lain. Di sana namaku adalah ini dan itu … dan setelah meninggal dunia dari sana, aku muncul di sini.” Demikianlah ia mengingat berbagai kehidupan, kondisi dan kejadian-kejadian masa lampau. Dan ia berkata: “Diri dan dunia adalah abadi, mandul bagaikan puncak gunung, kokoh bagaikan tonggak. Makhluk-makhluk ini bergegas berputar, melingkar, meninggal dunia dan muncul kembali, namun hal ini tetap abadi. Mengapa demikian? Aku melalui usaha, upaya, penerapan, ketekunan, dan perhatian benar mencapai suatu kondisi tertentu dari konsentrasi pikiran hingga mampu mengingat kehidupan lampau … demikianlah aku mengetahui bahwa diri dan dunia adalah abadi ….” Ini adalah cara pertama yang karenanya beberapa petapa dan Brahmana menyatakan keabadian diri dan dunia.’
1.32. [Pandangan salah 2] ‘Dan apakah cara ke dua? Di sini, para bhikkhu, seorang petapa atau Brahmana tertentu melalui usaha, upaya … mencapai suatu kondisi tertentu dari konsentrasi pikiran hingga mampu mengingat satu periode penyusutan dan pengembangan, dua periode, tiga, empat, lima, sepuluh periode penyusutan dan pengembangan … “di sana namaku adalah ini dan itu ….” Ini adalah cara ke dua yang karenanya beberapa petapa dan Brahmana menyatakan keabadian diri dan dunia.’
1.33. [Pandangan salah 3] ‘Dan apakah cara ke tiga? Di sini, para bhikkhu, seorang petapa atau Brahmana tertentu melalui usaha, upaya … mencapai suatu kondisi tertentu dari konsentrasi pikiran hingga mampu mengingat sepuluh, dua puluh, tiga puluh, empat puluh periode penyusutan dan pengembangan. “Di sana namaku adalah ini dan itu ….” Ini adalah cara ke tiga yang karenanya beberapa petapa dan Brahmana menyatakan keabadian diri dan dunia.’
1.34. [Pandangan salah 4] ‘Dan apakah cara ke empat? Di sini, para bhikkhu, seorang petapa atau Brahmana tertentu adalah seorang yang menggunakan logika, yang menggunakan alasan. Mengembangkannya dengan alasan, mengikuti jalan pemikirannya sendiri, ia mengusulkan: “Diri dan dunia ini adalah abadi, mandul bagaikan puncak gunung, kokoh bagaikan tonggak. Makhluk-makhluk ini bergegas berputar, melingkar, meninggal dunia dan muncul kembali, namun hal ini tetap selamanya.” Ini adalah cara ke empat yang karenanya beberapa petapa dan Brahmana menyatakan keabadian diri dan dunia.’
1.35. ‘Ini adalah empat cara yang karenanya petapa-petapa dan Brahmana-brahmana ini adalah penganut keabadian, dan menyatakan keabadian diri dan dunia di atas empat landasan. Dan petapa atau Brahmana apa pun yang adalah penganut keabadian dan menyatakan keabadian diri dan dunia, mereka melakukannya di atas satu dari empat landasan ini. Tidak ada cara lainnya.’
1.36. ‘Ini, para bhikkhu, Sang Tathàgata memahami: Sudut-sudut pandang ini yang digenggam secara demikian dan karenanya akan membawa menuju alam kelahiran kembali ini dan itu di alam lain. Ini, Sang Tathàgata mengetahui, dan lebih jauh lagi, namun Beliau tidak melekat pada pengetahuan itu. Dan karena tidak melekat, Beliau mengalami bagi diri-Nya sendiri kedamaian sempurna, dan setelah memahami sepenuhnya muncul dan lenyapnya perasaan, keindahan dan bahayanya, dan kebebasan darinya, Sang Tathàgata terbebaskan tanpa sisa.’
1.37. ‘Ada, para bhikkhu, hal-hal lain, yang mendalam, sulit dilihat, sulit dipahami, damai, luhur, melampaui sekadar pikiran, halus, yang harus dialami oleh para bijaksana, yang Sang Tathàgata, setelah mencapainya dengan pengetahuan-agung-Nya sendiri, menyatakan, dan tentang hal-hal yang diucapkan dengan benar oleh ia yang sungguh-sungguh memuji Sang Tathàgata. Dan apakah hal-hal ini?’
[Akhir dari bagian-pembacaan pertama]
2.1. ‘Ada, para bhikkhu, beberapa petapa dan Brahmana yang menganut sebagian abadi dan sebagian tidak abadi, yang menyatakan keabadian sebagian dan ketidakabadian sebagian akan diri dan dunia dalam empat cara. Apakah landasannya?’
2.2. ‘Akan tiba waktunya, para bhikkhu, cepat atau lambat setelah rentang waktu yang panjang, ketika dunia ini menyusut. Pada saat penyusutan, makhluk-makhluk sebagian besar terlahir di alam Brahmà âbhassara. Dan di sana mereka berdiam, dengan ciptaan-pikiran, dengan kegembiraan sebagai makanan, bercahaya, melayang di angkasa, agung – dan mereka hidup demikian selama waktu yang sangat lama.’
2.3. [Pandangan salah 5] ‘Tetapi akan tiba saatnya, cepat atau lambat setelah rentang waktu yang panjang, ketika dunia ini mulai mengembang. Dalam dunia yang mengembang ini, sebuah istana Brahmà muncul. Dan kemudian satu makhluk, karena habisnya masa kehidupannya atau jasa baiknya, jatuh dari alam âbhassara dan muncul kembali dalam istana Brahmà yang kosong. Dan di sana ia berdiam, dengan ciptaan-pikiran, dengan kegembiraan sebagai makanan, bercahaya, melayang di angkasa, agung – dan mereka hidup demikian selama waktu yang sangat lama.’
2.4. ‘Kemudian dalam diri makhluk ini yang telah menyendiri sekian lama, muncullah kegelisahan, ketidakpuasan, dan kekhawatiran, ia berpikir: “Oh, seandainya beberapa makhluk lain dapat datang ke sini!” dan makhluk-makhluk lain, karena habisnya masa kehidupan mereka atau jasa-jasa baik mereka, jatuh dari alam âbhassara dan muncul kembali di dalam istana Brahmà sebagai teman-teman bagi makhluk ini. Dan di sana ia berdiam, dengan ciptaan-pikiran, … dan mereka hidup demikian selama waktu yang sangat lama.’
2.5. ‘Dan kemudian, para bhikkhu, makhluk yang pertama muncul di sana berpikir: “Aku adalah Brahmà, Mahà-Brahmà, sang penakluk, yang tidak tertaklukkan, maha melihat, mahasakti, yang termulia, pembuat dan pencipta, penguasa, pengambil keputusan dan pemberi perintah, Ayah dari semua yang telah ada dan yang akan ada. Makhluk-makhluk ini diciptakan olehku. Mengapa demikian? Karena akulah yang pertama memiliki pikiran: ‘Oh, seandainya beberapa makhluk lain dapat datang ke sini!’ itu adalah keinginanku, dan kemudian makhluk-makhluk ini muncul!” Tetapi makhluk-makhluk lain yang muncul belakangan berpikir: “Ini, Teman-teman, adalah Brahmà, Mahà-Brahmà, sang penakluk, yang tidak tertaklukkan, maha melihat, mahasakti, yang termulia, pembuat dan pencipta, penguasa, pengambil keputusan dan pemberi perintah, Ayah dari semua yang telah ada dan yang akan ada. Mengapa demikian? Kita telah melihat bahwa dia adalah yang pertama di sini, dan bahwa kita muncul setelah dia.”’
2.6. ‘Dan makhluk yang muncul pertama ini hidup lebih lama, lebih indah dan lebih sakti daripada makhluk lainnya. Dan akan terjadi bahwa beberapa makhluk jatuh dari alam itu dan muncul di dunia ini. Setelah muncul di dunia ini, ia pergi meninggalkan kehidupan rumah tangga untuk menjalani kehidupan tanpa rumah. Setelah pergi, ia melalui usaha, upaya, penerapan, ketekunan dan perhatian benar mencapai suatu kondisi tertentu dari konsentrasi pikiran hingga mampu mengingat kehidupan sebelumnya yang terakhir, tetapi tidak mampu mengingat yang sebelum itu. Dan ia berpikir: “Brahmà itu, … ia menciptakan kami, dan ia kekal, stabil, abadi, tidak mengalami perubahan, sama selamanya. Tetapi kami yang diciptakan oleh Brahmà itu, kami tidak kekal, tidak stabil, berumur pendek, ditakdirkan terjatuh, dan kami datang ke dunia ini.” Ini adalah kasus pertama di mana beberapa petapa dan Brahmana menganut sebagian kekal dan sebagian tidak kekal.’
2.7. [Pandangan salah 6] ‘Dan apakah cara ke dua? Ada, para bhikkhu, dewa-dewa tertentu yang disebut Rusak oleh Kenikmatan. Mereka menghabiskan banyak waktu menikmati kesenangan, bermain dan bersuka ria, sehingga perhatian mereka memudar, dan dengan memudarnya perhatian mereka, makhuk-makhluk itu jatuh dari kondisi tersebut.’
2.8. ‘Dan akan terjadi bahwa satu makhluk, setelah jatuh dari kondisi tersebut, muncul di dunia ini. Setelah muncul di dunia ini, ia pergi meninggalkan kehidupan rumah tangga untuk menjalani kehidupan tanpa rumah. Setelah pergi, ia melalui usaha, upaya, … mengingat kehidupan sebelumnya yang terakhir, tetapi tidak mampu mengingat yang sebelum itu.’
2.9. ‘Ia berpikir: “Para dewa mulia itu, yang tidak rusak oleh kenikmatan, tidak menghabiskan waktu menikmati kesenangan, bermain dan bersuka ria. Karenanya, perhatian mereka tidak memudar, dan karena itu, mereka tidak jatuh dari kondisi tersebut. Mereka kekal, stabil, abadi, tidak mengalami perubahan, sama selamanya. Tetapi kami, yang rusak oleh kenikmatan, menghabiskan banyak waktu menikmati kesenangan, bermain dan bersuka ria, karena itu, kami, dengan memudarnya perhatian, telah jatuh dari kondisi tersebut, kami tidak kekal, tidak stabil, berumur pendek, ditakdirkan terjatuh, dan kami datang ke dunia ini.” Ini adalah kasus ke dua.’
2.10. [Pandangan salah 7] ‘Dan apakah cara ke tiga? Ada, para bhikkhu, para dewa tertentu yang disebut Rusak dalam Pikiran. Mereka menghabiskan waktu memerhatikan yang lainnya dengan iri hati. Karena pikiran mereka yang rusak, mereka menjadi lelah dalam jasmani dan pikiran. Dan mereka jatuh dari tempat itu.’
2.11. ‘Dan akan terjadi bahwa satu makhluk, setelah jatuh dari kondisi tersebut, muncul di dunia ini. Ia … mengingat kehidupan sebelumnya yang terakhir, tetapi tidak mampu mengingat yang sebelum itu.’
2.12. ‘Ia berpikir: “Para dewa mulia itu, yang tidak rusak dalam pikiran, tidak menghabiskan banyak waktu memerhatikan yang lainnya dengan iri hati … mereka tidak rusak dalam pikiran, atau lelah dalam jasmani dan pikiran, dan karenanya mereka tidak jatuh dari kondisi tersebut. Mereka kekal, stabil, abadi … tetapi kami, yang rusak dalam pikiran, … adalah tidak kekal, tidak stabil, berumur pendek, ditakdirkan terjatuh, dan kami datang ke dunia ini.” Ini adalah kasus ke tiga.’
2.13. [Pandangan salah 8] ‘Dan apakah cara ke empat? Di sini, para bhikkhu, seorang petapa atau Brahmana tertentu adalah seorang yang menggunakan logika, yang menggunakan alasan. Mengembangkannya dengan alasan, mengikuti jalan pemikirannya sendiri, ia mengusulkan: “Apa pun yang disebut mata atau telinga atau hidung atau lidah atau badan, adalah tidak kekal, tidak stabil, tidak abadi, mengalami perubahan. Tetapi apa yang disebut pikiran, atau batin atau kesadaran, yaitu diri adalah kekal, stabil, abadi, tidak mengalami perubahan, sama selamanya!” ini adalah kasus ke empat.’
2.14. ‘Ini adalah empat cara yang karenanya para petapa dan Brahmana ini menganggap sebagian abadi dan sebagian tidak abadi, petapa atau Brahmana apa pun … menyatakan keabadian sebagian dan ketidakabadian sebagian akan diri dan dunia, mereka melakukan dalam satu dari empat cara ini. Tidak ada cara lain.’
2.15. ‘Ini, para bhikkhu, Sang Tathàgata memahami: sudut-sudut pandang ini yang digenggam secara demikian dan karenanya akan membawa menuju alam kelahiran kembali ini dan itu di alam lain. Ini, Sang Tathàgata mengetahui, dan lebih jauh lagi, namun Beliau tidak melekat pada pengetahuan itu. Dan karena tidak melekat, Beliau mengalami bagi diri-Nya sendiri kedamaian sempurna, dan setelah memahami sepenuhnya muncul dan lenyapnya perasaan, keindahan dan bahayanya, dan kebebasan darinya, Sang Tathàgata terbebaskan tanpa sisa.’
‘Ini, para bhikkhu, adalah hal-hal lain tersebut, yang mendalam, sulit dilihat, sulit dipahami, damai, luhur, melampaui sekadar pikiran, halus, yang harus dialami oleh para bijaksana, yang Sang Tathàgata, setelah mencapainya dengan pengetahuan-agung-Nya sendiri, menyatakan, dan tentang hal-hal yang diucapkan dengan benar oleh ia yang sungguh-sungguh memuji Sang Tathàgata.’
2.16. ‘Ada, para bhikkhu, beberapa petapa dan Brahmana yang adalah penganut keterbatasan dan penganut ketidakterbatasan, dan yang menyatakan terbatasnya dan tidak terbatasnya dunia dalam empat cara. Apakah itu?’
2.17. [Pandangan salah 9] ‘Di sini, para bhikkhu, seorang petapa atau Brahmana tertentu melalui usaha … mencapai suatu kondisi konsentrasi yang di sana ia berdiam dan melihat dunia ini sebagai terbatas. Ia berpikir: “Dunia ini adalah terbatas dan dibatasi oleh sebuah lingkaran. Bagaimanakah demikian? Karena aku telah … mencapai suatu kondisi konsentrasi yang di sana aku berdiam melihat dunia ini sebagai terbatas. Oleh karena itu, aku mengetahui bahwa dunia ini adalah terbatas dan dibatasi oleh sebuah lingkaran.” Ini adalah kasus pertama.’
2.18. [Pandangan salah 10] ‘Dan apakah cara ke dua? Di sini, seorang petapa dan Brahmana tertentu telah mencapai kondisi konsentrasi yang di sana ia berdiam dan melihat dunia ini sebagai tidak terbatas. Ia berpikir: “Dunia ini tidak terbatas dan tidak dibatasi. Petapa dan Brahmana itu, yang mengatakan bahwa dunia ini terbatas dan dibatasi adalah keliru. Bagaimanakah demikian? Karena aku telah mencapai kondisi konsentrasi yang di sana aku berdiam dan melihat dunia ini sebagai tidak terbatas. Oleh karena itu, aku mengetahui bahwa dunia ini tidak terbatas dan tidak dibatasi.” Ini adalah kasus ke dua.’
2.19. [Pandangan salah 11] ‘Dan apakah cara ke tiga? Di sini, seorang petapa dan Brahmana tertentu telah mencapai kondisi konsentrasi yang di sana ia berdiam dan melihat dunia ini sebagai terbatas dari atas-dan-bawah, dan tidak terbatas secara melintang. Ia berpikir: “Dunia adalah terbatas dan tidak terbatas. Para petapa dan Brahmana, itu yang mengatakan bahwa dunia ini terbatas adalah keliru, dan para petapa dan Brahmana itu, yang mengatakan bahwa dunia ini tidak terbatas adalah keliru. Bagaimanakah demikian? Karena aku telah mencapai kondisi konsentrasi yang di sana aku berdiam dan melihat dunia ini sebagai terbatas dari atas-dan-bawah, dan tidak terbatas secara melintang. Oleh karena itu, aku mengetahui bahwa dunia ini terbatas dan juga tidak terbatas.” Ini adalah kasus ke tiga.’
2.20. [Pandangan salah 12] ‘Dan apakah kasus ke empat? Di sini, seorang petapa atau Brahmana tertentu adalah seorang yang menggunakan logika, yang menggunakan alasan. Mengembangkannya dengan alasan, mengikuti jalan pemikirannya sendiri, ia mengusulkan: “Dunia ini bukan terbatas juga bukan tidak terbatas. Mereka yang mengatakan terbatas, adalah keliru, dan demikian pula mereka yang mengatakan tidak terbatas, dan mereka yang mengatakan terbatas dan tidak terbatas. Dunia ini bukan terbatas dan juga bukan tidak terbatas.” Ini adalah kasus ke empat.’
2.21. ‘Ini adalah empat cara yang karenanya para petapa dan Brahmana menjadi penganut keterbatasan dan ketidakterbatasan, dan menyatakan keterbatasan dan ketidakterbatasan dunia di atas empat landasan. Tidak ada cara lainnya.’
2.22. ‘Ini, para bhikkhu, Sang Tathàgata memahami: sudut-sudut pandang ini yang digenggam secara demikian dan karenanya akan membawa menuju alam kelahiran kembali ini dan itu di alam lain … (seperti paragraf 15).’
‘Ini, para bhikkhu, adalah hal-hal lain tersebut, yang mendalam, sulit dilihat, sulit dipahami, damai, luhur, melampaui sekadar pikiran, halus, yang harus dialami oleh para bijaksana, yang Sang Tathàgata, setelah mencapainya dengan pengetahuan-agung-Nya sendiri, menyatakan, dan tentang hal-hal yang diucapkan dengan benar oleh ia yang sungguh-sungguh memuji Sang Tathàgata.’
2.23. ‘Ada, para bhikkhu, beberapa petapa dan Brahmana yang adalah geliat-belut. Saat ditanya tentang masalah ini atau itu, mereka menggunakan pernyataan-pernyataan menghindar, dan mereka menggeliat bagaikan belut dalam empat cara. Apakah itu?’
2.24. [Pandangan salah 13] ‘Dalam hal ini, ada seorang petapa atau Brahmana yang tidak mengetahui yang sebenarnya apakah suatu hal baik atau buruk. Ia berpikir: “Aku tidak mengetahui sebenarnya apakah hal ini baik atau buruk. Tanpa mengetahui apakah ini benar, aku menyatakan: ‘Itu baik’, atau ‘Itu buruk’, dan hal itu mungkin suatu kebodohan, dan akan membuatku menderita. Dan jika aku menderita, itu akan menjadi rintangan bagiku.” Demikianlah karena takut berbohong, tidak suka berbohong, tetapi ketika ia ditanya tentang persoalan itu, ia menghindar dan menggeliat seperti belut: “Aku tidak mengatakan ini, aku tidak mengatakan itu, aku tidak mengatakan sebaliknya. Aku tidak mengatakan tidak. Aku tidak tidak mengatakan tidak.” Ini adalah kasus pertama.’
2.25. [Pandangan salah 14] ‘Apakah cara ke dua? Di sini seorang petapa atau Brahmana yang tidak mengetahui yang sebenarnya apakah suatu hal baik atau buruk. Ia berpikir: “Aku akan menyatakan: ‘Itu baik’, atau ‘Itu buruk’, dan aku akan merasakan keinginan atau nafsu atau kebencian atau penolakan. Jika aku merasakan keinginan atau nafsu atau kebencian atau penolakan, itu akan menjadi kemelekatan bagiku. Jika aku merasakan kemelekatan, itu akan membuatku menderita, dan jika aku menderita, itu akan menjadi rintangan bagiku.” Demikianlah, karena takut akan kemelekatan, tidak menyukai kemelekatan, ia menghindar … . Ini adalah kasus ke dua.’
2.26. [Pandangan salah 15] ‘Apakah cara ke tiga? Di sini seorang petapa atau Brahmana yang tidak mengetahui yang sebenarnya apakah suatu hal baik atau buruk. Ia berpikir: “Aku akan menyatakan: ‘Itu baik’, atau ‘Itu buruk’, tetapi ada para petapa dan Brahmana yang bijaksana, terampil, pendebat terlatih, bagaikan pemanah yang dapat membelah rambut, yang mengembara menghancurkan pandangan-pandangan orang lain dengan kebijaksanaan mereka, dan mereka akan menanyaiku, menuntut alasan-alasanku dan berdebat. Dan aku mungkin tidak mampu menjawab. Tidak mampu menjawab akan membuatku menderita, dan jika aku menderita, itu akan menjadi rintangan bagiku.” Demikianlah, karena takut berdebat, tidak suka berdebat, ia menghindar. Ini adalah kasus ke tiga.’
2.27. [Pandangan salah 16] ‘Apakah cara ke empat? Di sini, seorang petapa atau Brahmana adalah tumpul dan bodoh. Karena ketumpulan dan kebodohannya, ketika ia ditanya, ia akan mengemukakan pernyataan menghindar dan menggeliat seperti belut: “Jika engkau bertanya kepadaku apakah ada dunia lain – jika aku berpikir demikian, aku akan mengatakan ada dunia lain. Tetapi aku tidak mengatakan demikian. Dan aku tidak mengatakan sebaliknya. Dan aku tidak mengatakan tidak ada, dan aku tidak tidak mengatakan tidak ada.” “Apakah tidak ada dunia lain? ….” “Apakah ada dunia lain dan juga tidak ada dunia lain? ….” “Apakah bukan ada dunia lain dan juga bukan tidak ada dunia lain? ….” “Apakah ada makhluk-makhluk yang terlahir secara spontan? ….” “Apakah tidak ada …?” “Keduanya …?” “Bukan keduanya … ?” “Apakah Tathàgata ada setelah kematian? Apakah Beliau tidak ada setelah kematian? Apakah Beliau ada dan juga tidak ada setelah kematian? Apakah Beliau bukan ada dan juga bukan tidak ada setelah kematian? ….”53 “Jika aku berpikir demikian, aku akan mengatakan demikian … aku tidak mengatakan tidak.” Ini adalah kasus ke empat.’
2.28. ‘Ini adalah empat cara yang oleh para petapa dan Brahmana yang adalah geliat-belut gunakan untuk menghindar … Tidak ada cara lain.’
2.29. ‘Ini, para bhikkhu, Sang Tathàgata memahami: sudut-sudut pandang ini yang digenggam secara demikian dan karenanya akan membawa menuju alam kelahiran kembali ini dan itu di alam lain … (seperti paragraf 15).’
‘Ini, para bhikkhu, adalah hal-hal lain tersebut, yang mendalam, sulit dilihat, … yang Sang Tathàgata, setelah mencapainya dengan pengetahuan-agung-Nya sendiri, menyatakan, dan tentang hal-hal yang diucapkan dengan benar oleh ia yang sungguh-sungguh memuji Sang Tathàgata.’
2.30. ‘Ada, para bhikkhu, beberapa petapa dan Brahmana yang adalah penganut asal-mula-kebetulan, dan yang menyatakan asal-mula-kebetulan dari diri dan dunia di atas dua landasan. Apakah itu?’
2.31. [Pandangan salah 17] ‘Ada, para bhikkhu, para dewa tertentu yang disebut tanpa kesadaran. Segera setelah suatu persepsi muncul dalam diri mereka, para dewa itu jatuh dari alam tersebut. Dan dapat terjadi bahwa suatu makhluk jatuh dari alam tersebut dan muncul di alam ini. Ia … mengingat kehidupan sebelumnya, tetapi tidak mengingat yang sebelum itu. Ia berpikir: “Diri dan dunia muncul secara kebetulan. Bagaimanakah demikian? Sebelum ini, aku tidak ada. Sekarang dari tidak ada, aku menjadi ada.” Ini adalah kasus pertama.’
2.32. [Pandangan salah 18] ‘Apakah kasus ke dua? Di sini seorang petapa atau Brahmana tertentu adalah seorang yang menggunakan logika, yang menggunakan alasan. Ia mengembangkan pendapatnya sendiri dan menyatakan: “Diri dan dunia muncul secara kebetulan.” Ini adalah kasus ke dua.’
2.33. ‘Ini adalah dua cara yang olehnya para petapa dan Brahmana yang adalah penganut asal-mula-kebetulan menyatakan asal-mula-kebetulan dari diri dan dunia. Tidak ada cara lain.’
2.34. ‘Ini, para bhikkhu, Sang Tathàgata memahami ….’
‘Ini, para bhikkhu, adalah hal-hal lain tersebut, yang mendalam, sulit dilihat, … yang Sang Tathàgata, setelah mencapainya dengan pengetahuan-agung-Nya sendiri, menyatakan, dan tentang hal-hal yang diucapkan dengan benar oleh ia yang sungguh-sungguh memuji Sang Tathàgata.’
2.35. ‘Dan ini, para bhikkhu, adalah delapan belas cara yang olehnya para petapa dan Brahmana yang adalah spekulator tentang masa lampau … Tidak ada cara lain.’
2.36. ‘Ini, para bhikkhu, Sang Tathàgata memahami ….’
2.37. ‘Ada, para bhikkhu, beberapa petapa dan Brahmana yang adalah spekulator tentang masa depan, memiliki pandangan kuat akan masa depan dan yang mengusulkan berbagai teori spekulatif tentang masa depan, dalam empat puluh empat cara berbeda. Dalam dasar apakah, dalam landasan apakah mereka melakukan hal itu?’
2.38. ‘Ada, para bhikkhu, beberapa petapa dan Brahmana yang menyatakan suatu ajaran tentang Kesadaran yang bertahan setelah kematian, dan mereka melakukannya dalam enam belas cara yang berbeda. Dalam landasan apakah?’
[Pandangan salah 19-34] ‘Mereka menyatakan bahwa diri setelah kematian adalah sehat dan sadar dan (1) bermateri, (2) tanpa materi, (3) bermateri dan juga tanpa materi, (4) bukan bermateri dan juga bukan tanpa materi, (5) terbatas, (6) tidak terbatas, (7) keduanya, (8) bukan keduanya, (9) memiliki persepsi yang seragam, (10) memiliki persepsi yang berbeda-beda, (11) memiliki persepsi yang terbatas, (12) memiliki persepsi tidak terbatas, (13) bahagia sepenuhnya, (14) menderita sepenuhnya, (15) keduanya, (16) bukan keduanya.’
2.39. ‘Ini adalah enam belas cara yang olehnya para petapa dan Brahmana ini menyatakan suatu ajaran kesadaran yang bertahan setelah kematian. Tidak ada cara lainnya.’
2.40. ‘Ini, para bhikkhu, Sang Tathàgata memahami ….’
‘Ini, para bhikkhu, adalah hal-hal lain tersebut, yang mendalam, sulit dilihat, … yang Sang Tathàgata, setelah mencapainya dengan pengetahuan-agung-Nya sendiri, menyatakan, dan tentang hal-hal yang diucapkan dengan benar oleh ia yang sungguh-sungguh memuji Sang Tathàgata.’
[Akhir dari bagian-pembacaan ke dua]
3.1. ‘Ada, para bhikkhu, beberapa petapa dan Brahmana yang menyatakan ajaran ketidaksadaran yang bertahan setelah kematian, dan mereka melakukannya dalam delapan cara. Atas landasan apakah?’
3.2. [Pandangan salah 35-42] ‘Mereka menyatakan bahwa diri setelah kematian adalah sehat dan tidak sadar dan (1) bermateri, (2) tanpa materi, (3) keduanya, (4) bukan keduanya, (5) terbatas, (6) tidak terbatas, (7) keduanya, (8) bukan keduanya.’
3.3. ‘Ini adalah delapan cara bagi para petapa dan Brahmana menyatakan ajaran ketidaksadaran yang bertahan setelah kematian. Tidak ada cara lain.’
3.4. ‘Ini, para bhikkhu, Sang Tathàgata memahami …. Ini, para bhikkhu, adalah hal-hal lain tersebut, yang mendalam, sulit dilihat, … yang Sang Tathàgata, setelah mencapainya dengan pengetahuan-agung-Nya sendiri, menyatakan, dan tentang hal-hal yang diucapkan dengan benar oleh ia yang sungguh-sungguh memuji Sang Tathàgata.’
3.5. ‘Ada beberapa petapa dan Brahmana yang menyatakan ajaran bukan kesadaran dan juga bukan ketidaksadaran yang bertahan setelah kematian, dan mereka melakukannya dalam delapan cara. Atas landasan apakah?’
3.6. [Pandangan salah 43-50] ‘Mereka menyatakan bahwa diri setelah kematian adalah sehat dan bukan sadar dan juga bukan tidak sadar dan (1) bermateri, (2) tanpa materi, (3) keduanya, (4) bukan keduanya, (5) terbatas, (6) tidak terbatas, (7) keduanya, (8) bukan keduanya.’
3.7. ‘Ini adalah delapan cara bagi para petapa dan Brahmana menyatakan ajaran bukan kesadaran dan juga bukan ketidaksadaran yang bertahan setelah kematian. Tidak ada cara lain.’
3.8. ‘Ini, para bhikkhu, Sang Tathàgata memahami …. Ini, para bhikkhu, adalah hal-hal lain tersebut, yang mendalam, sulit dilihat, … yang Sang Tathàgata, setelah mencapainya dengan pengetahuan-agung-Nya sendiri, menyatakan, dan tentang hal-hal yang diucapkan dengan benar oleh ia yang sungguh-sungguh memuji Sang Tathàgata.’
3.9. ‘Ada, para bhikkhu, beberapa petapa dan Brahmana yang menganut pemusnahan, yang menyatakan pemusnahan, penghancuran, dan ke-tiada-an makhluk-makhluk, dan mereka melakukannya dalam tujuh cara. Atas landasan apakah?’
3.10. [Pandangan salah 51] ‘Di sini, seorang petapa atau Brahmana tertentu menyatakan dan menganut pandangan: “Karena diri ini adalah materi dan tersusun dari empat unsur, produk dari ibu dan ayah, saat hancurnya jasmani, diri ini musnah dan binasa, dan tidak ada setelah kematian. Inilah caranya diri ini musnah.” Itulah bagaimana beberapa orang menyatakan pemusnahan, penghancuran, dan ke-tiada-an makhluk-makhluk.’
3.11. [Pandangan salah 52] ‘Yang lain berkata kepadanya: “Tuan, ada diri seperti yang engkau katakan. Aku tidak menyangkalnya. Namun diri itu tidak sepenuhnya musnah. Karena ada diri yang lain, dewa, bermateri, yang berdiam di alam-indria, memakan makanan nyata. Engkau tidak mengetahuinya atau melihatnya, tetapi aku mengetahuinya dan melihatnya. Diri ini pada saat hancurnya jasmani, binasa, ….”’
3.12. [Pandangan salah 53] ‘Yang lain berkata kepadanya: “Tuan, ada diri seperti yang engkau katakan. Aku tidak menyangkalnya. Namun diri itu tidak sepenuhnya musnah. Karena ada diri yang lain, dewa, bermateri, ciptaan-pikiran, lengkap dengan semua bagian-bagian tubuhnya, tidak cacat dalam semua organ-indrianya …. Diri ini pada saat hancurnya jasmani, binasa, ….”’
3.13. [Pandangan salah 54] ‘Yang lain berkata kepadanya: “Tuan, ada diri seperti yang engkau katakan …. Ada diri yang lain yang, dengan melewatkan seluruhnya melampaui sensasi jasmani, dengan lenyapnya semua penolakan dan dengan ketidaktertarikan pada persepsi yang beraneka-ragam, melihat bahwa ruang adalah tidak terbatas, telah mencapai alam ruang tanpa batas. Diri ini pada saat hancurnya jasmani, binasa, ….”’
3.14. [Pandangan salah 55] ‘Yang lain berkata kepadanya: ‘Ada diri yang lain yang, dengan melewatkan seluruhnya melampaui alam ruang tanpa batas, melihat bahwa kesadaran adalah tanpa batas, telah mencapai alam kesadaran tanpa batas. Diri ini pada saat hancurnya jasmani, binasa, ….”’
3.15. [Pandangan salah 56] ‘Yang lain berkata kepadanya: ‘Ada diri yang lain yang, dengan melewatkan seluruhnya melampaui alam kesadaran tanpa batas, melihat bahwa kesadaran adalah tidak ada apa pun, telah mencapai alam kekosongan. Diri ini pada saat hancurnya jasmani, binasa, ….”’
3.16. [Pandangan salah 57] ‘Yang lain berkata kepadanya: “Tuan, ada diri seperti yang engkau katakan. Aku tidak menyangkalnya. Namun diri itu tidak sepenuhnya musnah. Karena ada diri yang lain, yang dengan melewatkan seluruhnya melampaui alam kekosongan dan melihat bahwa: ‘Ini adalah kedamaian, ini adalah keluhuran’, telah mencapai alam bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi. Engkau tidak mengetahuinya atau melihatnya, tetapi aku mengetahuinya dan melihatnya. Diri ini saat hancurnya jasmani, akan musnah dan binasa, dan tidak ada setelah kematian. Inilah caranya diri ini musnah sepenuhnya.” Itulah bagaimana beberapa orang menyatakan pemusnahan, penghancuran, dan ke-tiada-an makhluk-makhluk.’
3.17. ‘Ini adalah tujuh cara bagi para petapa dan Brahmana menyatakan ajaran pemusnahan, penghancuran, dan ke-tiada-an makhluk-makhluk … . Tidak ada cara lain.’
3.18. ‘Ini, para bhikkhu, Sang Tathàgata memahami …. Ini, para bhikkhu, adalah hal-hal lain tersebut, yang mendalam, sulit dilihat, … yang Sang Tathàgata, setelah mencapainya dengan pengetahuan-agung-Nya sendiri, menyatakan, dan tentang hal-hal yang diucapkan dengan benar oleh ia yang sungguh-sungguh memuji Sang Tathàgata.’
3.19. ‘Ada, para bhikkhu, beberapa petapa dan Brahmana yang menyatakan Nibbàna di sini dan saat ini, dan yang menyatakan Nibbàna di sini dan saat ini bagi makhluk hidup saat ini dalam lima cara. Atas landasan apakah?’
3.20. [Pandangan salah 58] ‘Di sini, seorang petapa atau Brahmana tertentu menyatakan dan menganut pandangan: “Dalam diri ini, yang dilengkapi dan memiliki lima kenikmatan-indria, menikmatinya, maka itulah saatnya diri mencapai Nibbàna tertinggi di sini dan saat ini.” Demikianlah beberapa menyatakannya.’
3.21. [Pandangan salah 59] ‘Yang lain berkata kepadanya: “Tuan, ada diri seperti yang engkau katakan. Aku tidak menyangkalnya. Tetapi itu bukanlah di mana diri mencapai Nibbàna tertinggi di sini dan saat ini. Mengapa demikian? Karena, Tuan, kenikmatan-indria tidak kekal, penuh penderitaan, dan mengalami perubahan, dan dari perubahan dan transformasinya muncullah kesedihan, ratapan, dukacita, dan kesusahan. Tetapi ketika diri ini, tidak melekat pada kenikmatan-indria, tidak melekat pada kondisi jahat, memasuki dan berdiam dalam jhàna pertama, yang disertai oleh awal-pikiran dan kelangsungan-pikiran, dan kegirangan dan kegembiraan yang muncul dari ketidakmelekatan, itulah saatnya diri mencapai Nibbàna tertinggi di sini dan saat ini.”’
3.22. [Pandangan salah 60] ‘Yang lain berkata kepadanya: “Tuan, ada diri seperti yang engkau katakan. Tetapi itu bukanlah di mana diri mencapai Nibbàna tertinggi di sini dan saat ini. Mengapa demikian? Karena dengan adanya awal-pikiran dan kelangsungan-pikiran, kondisi itu dianggap kasar. Tetapi ketika diri dengan melenyapkan awal-pikiran dan kelangsungan-pikiran memasuki dan berdiam dalam jhàna ke dua, dengan ketenangan dan keterpusatan pikiran, yang bebas dari awal-pikiran dan kelangsungan-pikiran dan yang muncul dari konsentrasi, dan disertai oleh kegirangan dan kegembiraan, itulah saatnya diri mencapai Nibbàna tertinggi di sini dan saat ini.”’
3.23. [Pandangan salah 61] ‘Yang lain berkata kepadanya: “Tuan, ada diri seperti yang engkau katakan. Tetapi itu bukanlah di mana diri mencapai Nibbàna tertinggi di sini dan saat ini. Mengapa demikian? Karena dengan adanya kebahagiaan, maka ada kegirangan batin, dan kondisi itu dianggap kasar. Tetapi ketika diri ini, dengan meluruhnya kegembiraan, berdiam dalam keseimbangan, penuh perhatian dan sadar dengan jelas, dalam tubuhnya sendiri mengalami kegembiraan itu, yang karenanya Para Mulia mengatakan: ‘Berbahagialah ia yang berdiam dalam keseimbangan dan perhatian’, dan dengan demikian memasuki dan berdiam dalam jhàna ke tiga, itulah saatnya diri mencapai Nibbàna tertinggi di sini dan saat ini.”’
3.24. [Pandangan salah 62] ‘Yang lain berkata kepadanya: “Tuan, ada diri seperti yang engkau katakan. Aku tidak menyangkalnya. Tetapi itu bukanlah di mana diri mencapai Nibbàna tertinggi di sini dan saat ini. Mengapa demikian? Karena pikiran mengandung gagasan kegembiraan, dan kondisi itu dianggap kasar. Tetapi ketika, dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan, dengan lenyapnya kegembiraan dan kesedihan sebelumnya, seseorang memasuki dan berdiam dalam kondisi yang melampaui kenikmatan dan kesakitan dalam jhàna ke empat, yang dimurnikan oleh keseimbangan dan perhatian, itulah saatnya diri mencapai Nibbàna tertinggi di sini dan saat ini.” Demikianlah beberapa orang menyatakan Nibbàna tertinggi di sini dan saat ini bagi makhluk hidup saat ini.’
3.25. ‘Ini adalah lima cara yang digunakan oleh beberapa petapa dan Brahmana untuk menyatakan Nibbàna di sini dan saat ini. Tidak ada cara lain.’
3.26. ‘Ini, para bhikkhu, Sang Tathàgata memahami ….’
3.27. ‘Ini adalah empat puluh empat cara yang digunakan oleh beberapa petapa dan Brahmana yang adalah spekulator tentang masa depan, memiliki pandangan kuat akan masa depan untuk mengusulkan berbagai teori spekulatif tentang masa depan. Tidak ada cara lain.’
3.28. ‘Ini, para bhikkhu, Sang Tathàgata memahami ….’
3.29. ‘Ini adalah enam puluh dua cara yang digunakan oleh beberapa petapa dan Brahmana yang adalah spekulator tentang masa lampau, masa depan, atau keduanya, untuk mengusulkan berbagai teori spekulatif tentang hal-hal ini. Tidak ada cara lain.’
3.30. ‘Ini, para bhikkhu, Sang Tathàgata memahami: sudut-sudut pandang ini yang digenggam secara demikian dan karenanya akan membawa menuju alam kelahiran kembali ini dan itu di alam lain. Ini, Sang Tathàgata mengetahui, dan lebih jauh lagi, namun Beliau tidak melekat pada pengetahuan itu. Dan karena tidak melekat, Beliau mengalami bagi diri-Nya sendiri kedamaian sempurna, dan setelah memahami sepenuhnya muncul dan lenyapnya perasaan, keindahan dan bahayanya, dan kebebasan darinya, Sang Tathàgata terbebaskan tanpa sisa.’
3.31. ‘Ini, para bhikkhu, adalah hal-hal lain tersebut, yang mendalam, sulit dilihat, sulit dipahami, damai, luhur, melampaui sekedar pikiran, halus, yang harus dialami oleh para bijaksana, yang Sang Tathàgata, setelah mencapainya dengan pengetahuan-agung-Nya sendiri, menyatakan, dan tentang hal-hal yang diucapkan dengan benar oleh ia yang sungguh-sungguh memuji Sang Tathàgata.’
[Kesimpulan]
3.32. [Pandangan salah 1-4] ‘Demikianlah, para bhikkhu, ketika para petapa dan Brahmana itu, yang adalah penganut Keabadian, menyatakan keabadian diri dan dunia dalam empat cara, itu hanyalah sekedar perasaan dari mereka yang tidak mengetahui dan tidak melihat, kegelisahan dan kebingungan dari mereka yang tenggelam dalam keinginan.’
3.33. [Pandangan salah 5-8] ‘Ketika mereka yang adalah penganut keabadian sebagian dan ketidakabadian sebagian menyatakan keabadian sebagian dan ketidakabadian sebagian dari diri dan dunia dalam empat cara, itu hanyalah sekedar perasaan dari mereka yang tidak mengetahui dan tidak melihat ….’
3.34. [Pandangan salah 9-12] ‘Ketika mereka yang menganut keterbatasan dan ketidakterbatasan menyatakan keterbatasan dan ketidakterbatasan dunia atas empat landasan, itu hanyalah sekadar perasaan dari mereka yang tidak mengetahui dan tidak melihat ….’
3.35. [Pandangan salah 13-16] ‘Ketika mereka yang adalah geliat-belut menyatakan pernyataan menghindar, dan menggeliat seperti belut di atas empat landasan, itu hanyalah sekadar perasaan ….’
3.36. [Pandangan salah 17-18] ‘Ketika mereka yang menganut asal-mula kebetulan menyatakan asal-mula yang kebetulan pada diri dan dunia di atas dua landasan, itu hanyalah perasaan ….’
3.37. [Pandangan salah 1-18] ‘Ketika mereka yang adalah para spekulator tentang masa lampau, memiliki pandangan kokoh tentang masa lampau, mengusulkan teori-teori spekulatif tentang masa lampau dalam delapan belas cara berbeda, ini hanyalah sekadar perasaan dari mereka yang tidak mengetahui dan tidak melihat, kegelisahan dan kebingungan dari mereka yang tenggelam dalam keinginan.’
3.38. [Pandangan salah 19-34] ‘Ketika mereka yang menyatakan ajaran Kesadaran yang bertahan setelah kematian mengungkapkannya dalam enam belas cara berbeda, itu hanyalah sekadar perasaan ….’
3.39. [Pandangan salah 35-42] ‘Ketika mereka yang menyatakan ajaran ketidaksadaran yang bertahan setelah kematian mengungkapkannya dalam delapan cara berbeda, itu hanyalah sekadar perasaan ….’
3.40. [Pandangan salah 43-50] ‘Ketika mereka yang menyatakan ajaran bukan kesadaran dan juga bukan ketidaksadaran yang bertahan setelah kematian mengungkapkannya dalam delapan cara, itu hanyalah sekadar perasaan ….’
3.41. [Pandangan salah 51-57] ‘Ketika mereka yang menganut pemusnahan menyatakan pemusnahan, penghancuran, dan ke-tiada-an makhluk-makhluk dalam tujuh cara, itu hanyalah sekadar perasaan ….’
3.42. [Pandangan salah 58-62] ‘Ketika mereka yang menganut Nibbàna di sini dan saat ini menyatakan Nibbàna di sini dan saat ini bagi makhluk-makhluk hidup saat ini di atas lima landasan, itu hanyalah sekadar perasaan ….’
3.43. [Pandangan salah 19-62] ‘Ketika mereka yang adalah para spekulator tentang masa depan dalam empat puluh empat cara berbeda ….’
3.44. [Pandangan salah 1-62] ‘Ketika mereka yang adalah para spekulator tentang masa lampau, masa depan, atau keduanya, memiliki pandangan kokoh, mengusulkan pandangan-pandangan dalam enam puluh dua cara berbeda, ini hanyalah sekadar perasaan dari mereka yang tidak mengetahui dan tidak melihat, kegelisahan dan kebingungan dari mereka yang tenggelam dalam keinginan.’
3.45. ‘Ketika para petapa dan Brahmana itu, yang adalah penganut keabadian menyatakan keabadian atas diri dan dunia dalam empat cara, itu dikondisikan oleh kontak.’
3.46. ‘Ketika mereka yang adalah penganut keabadian sebagian dan ketidakabadian sebagian ….’
3.47. ‘Ketika mereka yang adalah penganut keterbatasan dan ketidakterbatasan ….’
3.48. ‘Ketika mereka yang adalah geliat-belut ….’
3.49. ‘Ketika mereka yang adalah penganut asal-mula kebetulan ….’
3.50. ‘Ketika mereka yang adalah para spekulator tentang masa lampau dalam delapan belas cara ….’
3.51. ‘Ketika mereka yang menyatakan ajaran kesadaran yang bertahan setelah kematian ….’
3.52. ‘Ketika mereka yang menyatakan ajaran ketidaksadaran yang bertahan setelah kematian ….’
3.53. ‘Ketika mereka yang menyatakan ajaran bukan kesadaran dan juga bukan ketidaksadaran yang bertahan setelah kematian ….’
3.54. ‘Ketika mereka yang adalah penganut pemusnahan ….’
3.55. ‘Ketika mereka yang menyatakan Nibbàna di sini dan saat ini ….’
3.56. ‘Ketika mereka yang adalah para spekulator tentang masa depan ….’
3.57. ‘Ketika mereka yang adalah para spekulator tentang masa lampau, masa depan, atau keduanya, memiliki pandangan kokoh, mengusulkan pandangan-pandangan dalam enam puluh dua cara berbeda, itu dikondisikan oleh kontak.’
3.58-70. ‘Bahwa semua ini (penganut keabadian dan seterusnya) harus mengalami perasaan tanpa kontak adalah mustahil.’
3.71. ‘Sehubungan dengan semua ini …, mereka mengalami perasaan-perasaan ini melalui kontak yang berulang-ulang melalui enam landasan-indria; perasaan mengondisikan keinginan; keinginan mengondisikan kemelekatan; kemelekatan mengondisikan penjelmaan; penjelmaan mengondisikan kelahiran; kelahiran mengondisikan ketuaan dan kematian, dukacita, ratapan, kesedihan dan kesusahan.’
‘Ketika, para bhikkhu, seorang bhikkhu memahami sebagaimana adanya muncul dan lenyapnya enam landasan kontak, keindahan dan bahayanya, dan kebebasan darinya, ia mengetahui apa yang melampaui semua pandangan ini.’
3.72. ‘Petapa dan Brahmana yang mana pun, yang adalah para spekulator tentang masa lampau atau masa depan atau keduanya, memiliki pandangan kokoh pada persoalan tersebut dan mengusulkan pandangan spekulatif, semua ini terperangkap dalam jaring dengan enam puluh dua bagian, dan ke mana pun mereka masuk dan mencoba untuk keluar, mereka tertangkap dan terkurung dalam jaring ini. Bagaikan seorang nelayan ahli atau pembantunya yang menutup sebagian air dengan jaring yang baik, berpikir: “Makhluk besar apa pun yang ada di air ini, mereka semuanya terperangkap dalam jaring, dan terkurung dalam jaring”, demikian pula dengan semua ini: mereka terperangkap dan tertangkap dalam jaring ini.’
3.73. ‘Para bhikkhu, jasmani Sang Tathàgata yang berdiri tegak dengan unsur-unsur yang menghubungkannya dengan jasmani akan menjadi hancur. Selama jasmani ini ada, para dewa dan manusia dapat melihatnya. Tetapi saat hancurnya jasmani dan habisnya umur kehidupan, para dewa dan manusia tidak akan melihatnya lagi. Para bhikkhu, bagaikan ketika tangkai serumpun mangga dipotong, maka semua mangga pada rumpun itu akan jatuh bersamanya, demikian pula jasmani Sang Tathàgata dengan unsur-unsurnya yang menghubungkannya dengan penjelmaan telah terpotong. Selama jasmani ini ada, para dewa dan manusia dapat melihatnya. Tetapi saat hancurnya jasmani dan habisnya umur kehidupan, para dewa dan manusia tidak akan melihatnya lagi.’
3.74. Setelah kata-kata tersebut Yang Mulia ânanda berkata kepada Sang Bhagavà: ‘Menakjubkan, Bhagavà, sungguh indah. Apakah nama dari pembabaran Dhamma ini?’
‘ânanda, engkau boleh mengingat pembabaran Dhamma ini sebagai Jaring Manfaat, Jaring Dhamma, Jaring Tertinggi, Jaring Pandangan-pandangan, atau sebagai Kemenangan tanpa tandingan dalam Pertempuran.’
Demikianlah Sang Bhagavà berkata, dan para bhikkhu bergembira dan bersukacita mendengar kata-kata Beliau. Dan ketika pembabaran ini sedang disampaikan, sepuluh ribu alam-semesta berguncang.

Janavasabha Sutta
Brahmà Berbicara Kepada Para Dewa
**********
[200] 1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Suatu ketika, Sang Bhagavà sedang menetap di Nàdikà di Rumah Bata. Dan pada saat itu, Sang Bhagavà sedang menjelaskan kelahiran kembali dari berbagai umat di seluruh negeri yang telah meninggal dunia: Kàsi dan Kosala, Vajji dan Malla, Ceti dan Vaÿsa, Kuru dan Pa¤càla, Maccha dan Sårasena, dengan mengatakan: ‘Orang ini terlahir kembali di sini, dan orang itu di sana.’ Lebih dari lima puluh umat dari Nàdikà, setelah meninggalkan lima belenggu yang lebih rendah, terlahir kembali secara spontan dan akan mencapai Nibbàna tanpa kembali ke alam ini; lebih dari sembilan puluh dari mereka, setelah meninggalkan tiga belenggu dan melemahkan keserakahan, kebencian, dan kebodohan, adalah Yang-Kembali-Sekali, yang akan kembali ke alam ini sekali lagi dan kemudian mengakhiri penderitaan; dan lebih dari lima ratus, setelah meninggalkan tiga belenggu, adalah Pemenang-Arus, tidak dapat lagi terjatuh ke alam sengsara, pasti mencapai Nibbàna.
2. Berita ini sampai ke telinga para umat di Nàdikà, dan mereka senang, gembira mendengar jawaban Sang Bhagavà.
3. Dan Yang Mulia ânanda mendengar kata-kata Sang Bhagavà dan kegembiraan warga Nàdika.
4. Dan ia berpikir: ‘Ada juga warga Magadha yang telah lama menjadi pengikut Buddha yang telah meninggal dunia. Seseorang mungkin berpikir bahwa tidak ada umat dari Magadha yang meninggal dunia di Anga dan Magadha. Namun mereka juga mengabdi kepada Sang Buddha, Dhamma, dan Sangha, dan mereka melaksanakan peraturan disiplin dengan sempurna. Sang Bhagavà tidak menyebutkan tentang mereka. Baik sekali jika ada pernyataan mengenai hal ini: akan meningkatkan keyakinan banyak orang dan dengan demikian dapat mencapai kelahiran kembali di alam yang baik.’
‘Sekarang Raja Seniya Bimbisàra dari Magadha adalah seorang raja yang jujur dan adil, sahabat para Brahmana, perumah tangga, penduduk kota dan desa, sehingga kemasyhurannya menyebar luas: “Bahwa raja kita yang jujur telah meninggal dunia yang memberikan kita begitu banyak kebahagiaan. Hidup menjadi lebih mudah bagi kita yang berdiam di bawah pemerintahannya yang adil.” Dan ia adalah pengikut Sang Buddha, Dhamma, dan Sangha. Dan melaksanakan peraturan disiplin dengan sempurna. Beginilah orang-orang akan berkata: “Raja Bimbisara, yang memuja Sang Bhagavà pada hari kematiannya, telah meninggal dunia!” Sang Bhagavà belum menyatakan alam kelahirannya, dan adalah baik sekali jika ada pernyataan …. Di samping itu, di Magadha inilah, Sang Bhagavà mencapai Penerangan Sempurna. Karena Sang Bhagavà mencapai Penerangan Sempurna di Magadha, mengapa Beliau tidak menyatakan alam kelahiran kembali dari mereka yang meninggal dunia di sana? Jika Sang Bhagavà tidak memberikan pernyataan demikian, maka hal ini akan menyebabkan kekecewaan bagi para warga Magadha. Oleh karena itu, mengapa Sang Bhagavà tidak memberikan pernyataan demikian?’
5. Dan setelah merenungkan demikian dalam kesunyian, mewakili para umat dari Magadha, Yang Mulia ânanda bangun di pagi hari, mendatangi Sang Bhagavà dan memberi hormat kepada Beliau. Kemudian, setelah duduk di satu sisi, ia berkata: ‘Bhagavà, aku telah mendengar apa yang telah dinyatakan sehubungan dengan para penduduk Nàdikà.’ (seperti paragraf 1-2)
6. ‘Mereka semua adalah para pengikut Sang Buddha, Dhamma, dan Sangha, dan mereka melaksanakan peraturan disiplin dengan sempurna. Bhagavà tidak menyatakan alam kelahiran mereka … (seperti paragraf 4). Mengapa Bhagavà tidak memberikan pernyataan demikian?’ Kemudian, setelah berbicara dengan Sang Bhagavà mewakili para umat dari Magadha, ia bangkit dari duduknya, memberi hormat kepada Beliau, berjalan dengan sisi kanan menghadap Sang Bhagavà, dan pergi.’
7. Segera setelah ânanda pergi, Sang Bhagavà mengambil jubah dan mangkuk-Nya dan pergi ke Nàdikà untuk menerima dana makanan. Kemudian, dalam perjalanan kembali, setelah makan, Beliau pergi ke Rumah Bata dan, setelah mencuci kaki-Nya, Beliau masuk dan, setelah memikirkan, merenungkan, dan mencurahkan pikiran-Nya pada pertanyaan tentang para umat dari Magadha, Beliau duduk di tempat yang telah dipersiapkan, dan berkata: ‘Aku akan mengetahui alam kelahiran kembali dan masa depan mereka, apa pun itu.’ Dan kemudian Beliau melihat alam kelahiran kembali dan takdir dari mereka semua. Dan pada malam harinya, keluar dari kesunyian meditasi, Sang Bhagavà keluar dari Rumah Bata dan duduk di tempat yang telah dipersiapkan di bawah bayangan tempat tinggalnya.
8. Kemudian Yang Mulia ânanda mendatangi Sang Bhagavà, memberi hormat, duduk di satu sisi dan berkata: ‘Bhagavà, wajah Bhagavà terlihat cerah dan bersinar, menunjukkan bahwa pikiran Bhagavà sedang nyaman. Apakah Bhagavà puas dengan tempat ini?’
9. ‘ânanda, setelah engkau mengatakan kepada-Ku tentang para umat dari Magadha, Aku mengambil jubah dan mangkuk dan pergi ke Nàdikà untuk menerima dana makanan. Setelah itu … Aku pergi ke Rumah Bata dan merenungkan pertanyaan tentang para umat dari Magadha … dan Aku melihat alam kelahiran kembali dan takdir dari mereka semua. Kemudian suara dari satu yakkha yang terabaikan berteriak: “Aku adalah Janavasabha, Bhagavà! Aku adalah Janavasabha, Yang Sempurna menempuh Sang Jalan!”
‘ânanda, apakah engkau mengenal siapa yang sebelumnya bernama Janavasabha?’ ‘Aku harus mengakui, Bhagavà, bahwa aku belum pernah mendengar nama itu, akan tetapi, saat mendengar nama “Janavasabha”, aku merinding, dan aku berpikir: “Ia yang bernama Janavasabha pastilah bukan yakkha bertingkat rendah!”’
10. ‘ânanda, segera setelah Aku mendengar suara itu, yakkha itu muncul di hadapan-Ku dalam wujud mulia, dan meneriakkan teriakan ke dua: “Aku adalah Bimbisàra, Bhagavà! Aku adalah Bimbisàra, Yang Sempurna menempuh Sang Jalan!” “Ini adalah ke tujuh kalinya aku terlahir kembali sebagai pengiring Raja Vessavaõa. Demikianlah setelah meninggal dunia sebagai raja di alam manusia, sekarang aku terlahir kembali di antara para dewa, raja dari makhluk bukan manusia. Tujuh kelahiran di sini dan tujuh di sana, empat belas kelahiran, Itu adalah jumlah kehidupan yang dapat kuingat. Sejak lama, Bhagavà, aku tahu bahwa diriku bebas dari alam sengsara, dan sekarang keinginan muncul dalam diriku untuk menjadi Yang-Kembali-Sekali.” Aku berkata: “Menakjubkan, mengherankan bahwa Yang Mulia Yakkha Janavasabha dapat mengatakan hal ini. Atas dasar apakah ia dapat mengetahui pencapaian mulia demikian?”’
11. ‘“Tidak lain, Bhagavà, tidak lain, Yang Sempurna menempuh Sang Jalan, dari ajaran-Mu! Sejak saat aku mencapai keyakinan sepenuhnya, sejak saat itu, Bhagavà, sejak lama, aku tahu bahwa diriku bebas dari alam sengsara, dan bahwa keinginan telah muncul dalam diriku untuk menjadi Yang-Kembali-Sekali. Dan di sini, Bhagavà, setelah diutus oleh Raja Vessavaõa untuk suatu urusan menemui Raja Viråëhaka, aku melihat Bhagavà memasuki Rumah Bata dan duduk dan merenungkan pertanyaan tentang umat dari Magadha … dan karena aku hanya mendengar bahwa Raja Vessavaõa mengumumkan kepada pengikutnya apa takdir makhluk-makhluk itu, tidak mengherankan bahwa aku berpikir: ‘Aku akan pergi dan menjumpai Bhagavà dan melaporkan hal ini kepada Beliau.’ Dan ini, Bhagavà, adalah dua alasan mengapa aku datang menjumpai-Mu, Bhagavà.” (Janavasabha melanjutkan)’
12. ‘“Bhagavà, di masa lalu, telah lama yang lalu, pada hari Uposatha tanggal lima belas di awal musim hujan, pada malam purnama, seluruh Tiga-Puluh-Tiga Dewa duduk bersama di Aula Sudhamma - pertemuan besar para dewa, dan Empat Raja Dewa dari empat penjuru hadir di sana. Ada Raja Dewa Dhataraññha dari timur memimpin para pengikutnya, menghadap ke barat; Raja Dewa Viråëhaka dari selatan … menghadap ke utara; Raja Dewa Viråpakkha dari barat … menghadap ke timur; dan Raja Dewa Vessavaõa dari utara … menghadap ke selatan.”’
“Pada saat itu, demikianlah urutan mereka duduk, dan setelah itu, giliran kami duduk. Dan para dewa yang menjalani hidup suci di bawah Bhagavà, baru-baru ini muncul di alam Tiga-Puluh-Tiga, mengalahkan para dewa lainnya dalam hal kecemerlangan dan keagungan. Dan karena alasan itu, Tiga-Puluh-Tiga dewa gembira dan bahagia, dipenuhi sukacita dan berkata: ‘Alam para dewa sedang tumbuh berkembang, alam asura sedang mengalami kemunduran!’”
13. “Kemudian, Bhagavà, Sakka, Raja para dewa, melihat kepuasan dari Tiga-Puluh-Tiga, mengucapkan syair ini:
‘Para dewa dari Tiga-Puluh-Tiga bergembira, pemimpin mereka juga, memuji Sang Tathàgata, dan kebenaran Dhamma, Melihat datangnya para dewa baru, indah dan agung yang telah menjalani hidup suci, sekarang terlahir kembali di alam bahagia.
Mengalahkan yang lainnya dalam hal kemasyhuran dan kemegahan, Murid-murid Sang Bijaksana Yang Mahakuasa menonjol.
Melihat ini, para dewa dari Tiga-Puluh-Tiga bergembira, pemimpin mereka juga, Memuji Sang Tathàgata, dan kebenaran Dhamma.’
Mendengar kata-kata ini, Tiga-Puluh-Tiga dewa lebih gembira dan bahagia lagi, dipenuhi sukacita dan berkata: ‘Alam para dewa sedang tumbuh berkembang, alam asura sedang mengalami kemunduran!’
14. ‘“Dan kemudian mereka berkonsultasi dan merenungkan bersama tentang persoalan yang menyebabkan mereka berkumpul di Aula Sudhamma, dan Empat Raja Dewa ditegur dan dinasihati mengenai persoalan ini sementara mereka berdiri di samping tempat duduk mereka masing-masing tidak bergerak. Raja-raja, menasihati, menekankan kata-kata yang mereka ucapkan, berdiri diam, tenang, di samping tempat duduk mereka.”’
15. ‘“Dan kemudian, Bhagavà, seberkas cahaya cemerlang bersinar dari utara, dan kemegahan terlihat melebihi kemilau para dewa. Dan Sakka berkata kepada Tiga-Puluh-Tiga Dewa: ‘Tuan-tuan, ketika pertanda seperti ini terlihat, cahaya seperti ini terlihat, dan kecemerlangan seperti ini memancar, maka Brahmà akan muncul. Kemunculan kemilau ini adalah pertanda pertama dari penampakan Brahmà.’
Ketika mereka melihat pertanda ini, Brahmà akan segera muncul, ini adalah pertanda Brahmà, bersinar luas dan jauh.”’
16. ‘“Kemudian Tiga-Puluh-Tiga Dewa duduk di tempatnya masing-masing, dan berkata: ‘Mari kita tunggu apa yang muncul dari cahaya ini, dan setelah mengetahui kebenaran darinya, kita akan mendatanginya.’ Empat Raja Dewa duduk di tempatnya masing-masing, dan mengatakan hal yang sama. Demikianlah mereka sepakat.”’
17. ‘“Bhagavà, ketika Brahmà Sanankumàra muncul di hadapan Tiga-Puluh-Tiga Dewa, ia muncul dalam wujud yang lebih kasar, karena wujud alaminya tidak dapat terlihat oleh mata mereka. Ketika ia muncul di alam Tiga-Puluh-Tiga Dewa, ia mengalahkan para dewa lainnya dalam hal kecemerlangan dan keagungan, seperti halnya patung yang terbuat dari emas akan mengalahkan manusia. Dan, Bhagavà, ketika Brahmà Sanankumàra muncul di hadapan Tiga-Puluh-Tiga Dewa, tidak ada satu pun dari mereka yang memberi hormat kepadanya, atau bangkit dari duduk, atau mempersilahkan duduk. Mereka semuanya duduk diam dengan tangan dirangkapkan, bersila, berpikir bahwa ia akan duduk di tempat duduk dewa yang darinya ia menginginkan sesuatu. Dan dewa yang tempat duduknya ia duduki akan menjadi bergairah dan gembira bagaikan seorang Raja Khattiya saat menempati istana kerajaannya.”’
18. ‘“Kemudian, Bhagavà, Brahmà Sanankumàra, setelah menampakkan wujud kasar, muncul di hadapan Tiga-Puluh-Tiga Dewa dalam bentuk pemuda Pacasikha. Melayang di angkasa, ia terlihat mengambang dalam posisi bersila, seperti halnya seorang kuat yang duduk di atas bantal atau di atas tanah. Dan melihat kegembiraan Tiga-Puluh-Tiga Dewa, ia mengucapkan syair kegembiraan ini:
‘Para dewa dari Tiga-Puluh-Tiga bergembira, pemimpin mereka juga, memuji Sang Tathàgata, dan kebenaran Dhamma, melihat datangnya para dewa baru, indah dan agung yang telah menjalani hidup suci, sekarang terlahir kembali di alam bahagia.
Mengalahkan yang lainnya dalam hal kemasyhuran dan kemegahan, murid-murid Sang Bijaksana Yang Mahakuasa menonjol.
Melihat ini, para dewa dari Tiga-Puluh-Tiga bergembira, pemimpin mereka juga, memuji Sang Tathàgata, dan kebenaran Dhamma.’”’
19. ‘“Sekarang, sehubungan dengan apa yang diucapkan oleh Brahmà Sanankumàra, dan sehubungan dengan cara bicaranya: suaranya memiliki delapan kualitas: jelas, dapat dimengerti, merdu, menarik, padat, singkat, dalam, dan bergema. Dan ketika ia berbicara dalam pertemuan itu, suaranya tidak terdengar di luar. Siapa pun yang memiliki suara demikian dikatakan memiliki suara seperti Brahmà.”’
20. ‘“Dan Brahmà Sanankumàra, menggandakan wujudnya menjadi tiga puluh tiga, duduk bersila di atas tempat duduk masing-masing dari Tiga-Puluh-Tiga Dewa, dan berkata: ‘Bagaimanakah menurut Para Tiga-Puluh-Tiga Dewa? Karena Sang Bhagavà, demi belas kasih-Nya kepada dunia dan demi manfaat dan kebahagiaan banyak makhluk, telah bertindak demi keuntungan para dewa dan manusia, mereka, siapa pun itu, yang telah berlindung pada Buddha, Dhamma, dan Sangha dan telah melaksanakan peraturan-peraturan moral telah, saat hancurnya jasmani, muncul kembali dalam kelompok para dewa Paranimmita-Vasavatti, atau para dewa Nimmànaratti, atau para dewa Tusita, atau para dewa Yàma, atau dalam kelompok pengikut Tiga-Puluh-Tiga Dewa, atau Empat Raja Dewa – atau yang paling rendah dalam kelompok para gandhabba.’”’
21. ‘“Inilah pokok pembicaraan Brahmà Sanankumàra. Dan setiap dewa yang kepadanya ia berbicara berpikir: ‘Ia duduk di tempat dudukku, ia berbicara hanya kepadaku.’
Semua wujud berbicara dalam satu suara,
Dan setelah berbicara, semuanya seketika diam.
Dan demikianlah, para Tiga-Puluh-Tiga, pemimpin mereka juga masing-masing berpikir: ‘Ia hanya berbicara kepadaku.’”’
22. ‘“Kemudian Brahmà Sanankumàra berubah menjadi wujud tunggal; kemudian duduk di di tempat duduk Sakka dan berkata: ‘Bagaimanakah menurut Para Tiga-Puluh-Tiga Dewa? Sang Bhagavà ini, Sang Arahat Buddha yang tertinggi telah mengetahui dan melihat empat jalan menuju kekuatan, dan bagaimana mengembangkan, menyempurnakan dan melatihnya. Apakah empat itu? Di sini, seorang bhikkhu mengembangkan konsentrasi kehendak yang disertai dengan upaya kehendak, konsentrasi usaha …, konsentrasi kesadaran …, dan konsentrasi penyelidikan yang disertai dengan upaya kehendak. Ini adalah empat jalan menuju kekuatan …. Dan petapa atau Brahmana mana pun yang pada masa lampau telah mencapai kekuatan-kekuatan demikian dalam cara yang berbeda-beda, mereka semuanya telah mengembangkan dan melatih dengan tekun empat cara ini, dan hal yang sama berlaku bagi mereka yang di masa depan, atau mereka yang sekarang ini mencapai kekuatan-kekuatan demikian. Apakah Tuan-tuan melihat kekuatan-kekuatan itu dalam diriku?’ ‘Ya, Brahmà.’ ‘Benar, aku juga telah mengembangkan dan melatih dengan tekun empat cara ini.’”’
23. ‘“Inilah pokok pembicaraan Brahmà Sanankumàra. Ia melanjutkan: ‘Bagaimanakah menurut Para Tiga-Puluh-Tiga Dewa? Ada tiga gerbang menuju kebahagiaan yang dinyatakan oleh Sang Bhagavà yang mengetahui dan melihat. Apakah itu? Pertama, seseorang berdiam dalam kenikmatan-indria, dengan kondisi-kondisi jahat. Suatu ketika, ia mendengarkan Dhamma Ariya, ia memerhatikan dengan saksama dan berlatih sesuai dengan Dhamma. Dengan melakukan hal itu, ia kemudian menjauhi kenikmatan-indria dan kondisi-kondisi jahat demikian. Sebagai akibat dari tindakan menjauhi ini, perasaan menyenangkan muncul, dan apalagi, Kegembiraan, seperti halnya kenikmatan akan memunculkan kegirangan, demikian pula dari perasaan menyenangkan, ia mengalami kegembiraan.’”’
24. ‘“‘Ke dua, ada seseorang yang kecenderungan kasar dari jasmani, ucapan, dan pikirannya belum ditenangkan. Pada suatu ketika, ia mendengarkan Dhamma Ariya, … dan kecenderungan kasar jasmani, ucapan dan pikirannya ditenangkan. Sebagai akibat dari tindakan menenangkan ini, perasaan menyenangkan muncul, dan apalagi, Kegembiraan ….’”’
25. ‘“‘Ke tiga, ada seseorang yang benar-benar tidak mengetahui apa yang benar dan apa yang salah, apa yang patut dicela dan apa yang tidak patut dicela, apa yang harus dilatih dan apa yang tidak perlu dilatih, apa yang rendah dan apa yang mulia, dan apa yang busuk, indah, atau campuran dalam hal kualitas. Suatu ketika, ia mendengarkan Dhamma Ariya, ia memerhatikan dengan saksama dan berlatih sesuai dengan Dhamma. Sebagai akibatnya, ia menjadi mengetahui apa yang benar dan apa yang salah, apa yang patut dicela dan apa yang tidak patut dicela, apa yang harus dilatih dan apa yang tidak perlu dilatih, apa yang rendah dan apa yang mulia, dan apa yang busuk, indah, atau campuran dalam hal kualitas. Dalam diri seorang yang mengetahui dan melihat demikian, kebodohan tersingkirkan dan muncul pengetahuan. Dengan memudarnya kebodohan dan munculnya pengetahuan, perasaan menyenangkan muncul, dan apalagi, Kegembiraan, seperti halnya kenikmatan akan memunculkan kegirangan, demikian pula dari perasaan menyenangkan, ia mengalami kegembiraan. Ini adalah tiga gerbang menuju kebahagiaan, yang dinyatakan oleh Sang Bhagavà yang mengetahui dan melihat.’”’
26. ‘“Inilah pokok pembicaraan Brahmà Sanankumàra. Ia melanjutkan: ‘Bagaimanakah menurut Para Tiga-Puluh-Tiga Dewa? Seberapa baikkah Sang Buddha yang mengetahui dan melihat mengajarkan empat landasan perhatian demi mencapai apa yang baik! Apakah itu? Di sini, seorang bhikkhu berdiam merenungkan jasmani sebagai jasmani, tekun, berkesadaran jernih, penuh perhatian, dan setelah meninggalkan keserakahan dan belenggu terhadap dunia. Ketika ia berdiam demikian, merenungkan jasmaninya sendiri sebagai jasmani, ia menjadi terkonsentrasi dengan sempurna dan tenang sempurna. Dan karena tenang dan tentram, ia mencapai pengetahuan dan penglihatan eksternal terhadap jasmani-jasmani makhluk lain. Ia berdiam merenungkan perasaannya sendiri sebagai perasaan, … ia berdiam merenungkan pikirannya sendiri sebagai pikiran, … ia berdiam merenungkan objek-pikirannya sendiri sebagai objek-pikiran, tekun, berkesadaran jernih, penuh perhatian, dan setelah meninggalkan keserakahan dan belenggu terhadap dunia. Ketika ia berdiam demikian, merenungkan objek-pikirannya sendiri sebagai objek-pikiran, ia menjadi terkonsentrasi dengan sempurna dan tenang sempurna. Dan karena tenang dan tentram, ia mencapai pengetahuan dan penglihatan eksternal terhadap objek-pikiran makhluk lain. Ini adalah empat landasan kesadaran yang diajarkan dengan baik oleh Sang Buddha yang mengetahui dan melihat, demi mencapai apa yang baik.’”’
27. ‘“Inilah pokok pembicaraan Brahmà Sanankumàra. Ia melanjutkan: ‘Bagaimanakah menurut Para Tiga-Puluh-Tiga Dewa? Seberapa baikkah Sang Buddha yang mengetahui dan melihat mengajarkan tujuh prasyarat konsentrasi, demi pengembangan konsentrasi sempurna dan kesempurnaan konsentrasi! Apakah itu? Yaitu, pandangan benar, pikiran benar, ucapan benar, perbuatan benar, penghidupan benar, usaha benar, perhatian benar. Keterpusatan pikiran itu, yang dihasilkan tujuh faktor ini disebut konsentrasi benar Ariya dengan landasan dan prasyaratnya. Dari pandangan benar muncul pikiran benar, dari pikiran benar muncul ucapan benar, dari ucapan benar muncul perbuatan benar, dari perbuatan benar muncul penghidupan benar, dari penghidupan benar muncul usaha benar, dari usaha benar muncul perhatian benar, dari perhatian benar muncul konsentrasi benar, dari konsentrasi benar muncul pengetahuan benar, dari pengetahuan benar muncul kebebasan benar. Jika seseorang dengan jujur menyatakan: “Dhamma telah diajarkan dengan sempurna oleh Sang Bhagavà, terlihat di sini dan saat ini, tanpa batas waktu, mengundang untuk diselidiki, mengarah menuju kemajuan, untuk dipahami oleh para bijaksana untuk dirinya sendiri,” mengatakan: “Terbukalah pintu keabadian,” ia pasti berbicara sesuai dengan kebenaran tertinggi. Karena sesungguhnya, Tuan-tuan, Dhamma memang telah diajarkan dengan sempurna oleh Sang Bhagavà, terlihat di sini dan saat ini, tanpa batas waktu, mengundang untuk diselidiki, mengarah menuju kemajuan, untuk dipahami oleh para bijaksana untuk dirinya sendiri, dan juga, pintu menuju keabadian telah terbuka!’”’
‘“‘Mereka yang memiliki keyakinan tidak tergoyahkan terhadap Buddha, Dhamma, dan Sangha, dan memiliki moralitas-moralitas yang menyenangkan bagi Para Mulia, makhluk-makhluk yang telah muncul di sini karena latihan-Dhamma mereka, berjumlah lebih dari dua puluh empat ribu umat dari Magadha yang telah meninggal dunia, setelah menghancurkan tiga belenggu menjadi para Pemenang-Arus, tidak mungkin lagi terjatuh ke alam sengsara dan pasti mencapai Pencerahan, dan sesungguhnya juga ada Yang-Kembali-Sekali di sini. Tetapi sesungguhnya di antara kelompok lainnya itu Di antara mereka yang lebih mulia itu, pikiranku Tidak mampu memperhitungkan sama sekali, Karena takut aku akan mengucapkan kebohongan.’”’
28. ‘“Inilah pokok pembicaraan Brahmà Sanankumàra. Dan sehubungan dengan hal ini, Raja Dewa Vessavaõa merenungkan dalam pikirannya: ‘Sungguh menakjubkan, sungguh indah, bahwa Sang Guru Agung itu muncul, bahwa ada pernyataan Dhamma yang Agung itu, dan bahwa jalan menuju kemuliaan diketahui!’ Kemudian Brahmà Sanankumàra, membaca pikiran Raja Vessavaõa, berkata kepadanya: ‘Bagaimana menurutmu, Raja Vessavaõa? Telah ada Guru Agung seperti itu di masa lampau, dan pernyataan seperti itu, dan jalan demikian yang diketahui, dan akan ada lagi di masa depan.’”’
29. Demikianlah pokok pembicaraan Brahmà Sanankumàra yang dinyatakan kepada tiga-Puluh-Tiga Dewa. Dan Raja Dewa Vessavaõa, setelah mendengar dan menerimanya secara pribadi, menceritakannya kepada para pengikutnya. Dan Yakkha Janavasabha, setelah mendengar sendiri, menceritakannya kepada Sang Bhagavà. Dan Sang Bhagavà, setelah mendengarnya sendiri dan juga mengetahuinya melalui pengetahuan-super yang Ia miliki, menceritakannya kepada Yang Mulia ânanda, yang selanjutnya menceritakan kepada para bhikkhu dan bhikkhunã, dan umat-umat awam laki-laki dan perempuan.
Dan demikianlah kehidupan suci berkembang dan makmur dan menyebar luas karena dinyatakan kepada umat manusia.

Kevaddha Sutta
Apa yang Tidak Diketahui Brahmà
**********
[211] 1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Suatu ketika, Sang Bhagavà sedang menetap di Nàlandà, di kebun mangga Pàvàrika. Dan perumah tangga Kevaddha datang menemui Sang Bhagavà, bersujud di depan Beliau, dan duduk di satu sisi. Kemudian ia berkata: ‘Bhagavà, Nàlandà ini kaya, makmur, ramai, dan dipenuhi dengan orang yang berkeyakinan terhadap Bhagavà. Baik sekali jika Bhagavà mengutus beberapa bhikkhu untuk melakukan pertunjukan kesaktian dan keajaiban. Dengan demikian, Nàlandà akan lebih berkeyakinan terhadap Bhagavà.’
Sang Bhagavà menjawab: ‘Kevaddha, itu bukanlah cara Aku mengajarkan Dhamma kepada para bhikkhu, dengan mengatakan: “Pergilah, para bhikkhu, dan perlihatkanlah kesaktian dan keajaiban demi umat-awam berjubah putih!”’
2. Untuk ke dua kalinya, Kevaddha berkata: ‘Bhagavà, aku tidak akan memaksa, namun aku tetap mengatakan: “Nàlandà ini kaya, makmur, … akan lebih berkeyakinan terhadap Bhagavà.”’ Dan Sang Bhagavà menjawab seperti sebelumnya.
3. Ketika Kevaddha mengulangi permohonannya untuk ke tiga kalinya, Sang Bhagavà berkata: ‘Kevaddha, ada tiga jenis kesaktian yang Kunyatakan, setelah mencapainya dengan pandangan terang-Ku sendiri. Apakah tiga itu? Kesaktian kekuatan psikis, kesaktian telepati, kesaktian nasihat.’
4. ‘Apakah kesaktian kekuatan psikis? Di sini, Kevaddha, seorang bhikkhu memperlihatkan berbagai kesaktian dalam berbagai cara. Dari satu, ia menjadi banyak, dari banyak, ia menjadi satu … (seperti Sutta 2, paragraf 87) dan ia dengan tubuhnya pergi hingga ke alam Brahma. Dan seseorang yang memiliki keyakinan dan percaya akan melihatnya melakukan hal-hal ini.’
5. ‘Ia memberitahukan hal ini kepada orang lain yang skeptis dan tidak percaya, dengan mengatakan: “Sungguh indah, sungguh menakjubkan, kesaktian dan keterampilan dari petapa itu …” dan orang itu akan berkata: “Tuan, ada sesuatu yang disebut jimat Gandhàra. Dengan itu, bhikkhu tersebut menjadi banyak …” Bagaimana menurutmu, Kevaddha, tidak mungkinkah seorang skeptis mengatakan hal itu kepada seorang yang percaya?’ ‘Mungkin saja, Bhagavà’ ‘Dan itulah sebabnya, Kevaddha, melihat bahaya dari kesaktian demikian, Aku tidak menyukai, menolak, dan mencela mereka.’
6. ‘Dan apakah kesaktian telepati? Di sini, seorang bhikkhu membaca pikiran makhluk-makhluk lain, pikiran orang lain, membaca kondisi batin mereka, pikiran dan renungan mereka, dan mengatakan: “Pikiranmu seperti ini, kecenderunganmu seperti ini, hatimu seperti ini.” Dan seseorang yang berkeyakinan dan percaya akan melihatnya melakukan hal-hal ini.’
7. ‘Ia memberitahukan hal ini kepada orang lain yang skeptis dan tidak percaya, dengan mengatakan: “Sungguh indah, sungguh menakjubkan, kesaktian dan keterampilan dari petapa itu …” dan orang itu akan berkata: “Tuan, ada sesuatu yang disebut jimat Maõika. Dengan itu, bhikkhu tersebut dapat membaca pikiran orang lain …” Dan itulah sebabnya, Kevaddha, melihat bahaya dari kesaktian demikian, Aku tidak menyukai, menolak, dan mencela mereka.’
8. ‘Dan apakah kesaktian nasihat? Di sini, Kevaddha, seorang bhikkhu memberikan nasihat sebagai berikut: “Perhatikan seperti ini, jangan perhatikan seperti itu, arahkan pikiranmu seperti ini, bukan seperti itu, lepaskan itu, capai ini dan pertahankan ini.” Itu, Kevaddha, disebut kesaktian nasihat.’
9-66. ‘Dan lagi, Kevaddha, seorang Tathàgata telah muncul di dunia ini, seorang Arahat, Buddha yang telah mencapai Penerangan Sempurna, memiliki kebijaksanaan dan perilaku yang Sempurna, telah sempurna menempuh Sang Jalan, Pengenal seluruh alam, penjinak manusia yang harus dijinakkan yang tiada bandingnya, Guru para dewa dan manusia, Tercerahkan dan Terberkahi. Beliau, setelah mencapainya dengan pengetahuan-Nya sendiri, menyatakan kepada dunia bersama para dewa, màra dan Brahma, para raja dan umat manusia. Beliau membabarkan Dhamma, yang indah di awal, indah di pertengahan, indah di akhir, dalam makna dan kata, dan menunjukkan kehidupan suci yang sempurna dan murni sepenuhnya. Seorang siswa pergi meninggalkan keduniawian dan mempraktikkan moralitas (Sutta 2, paragraf 41-63). Ia menjaga pintu-pintu indrianya dan mencapai empat jhàna (Sutta 2, paragraf 64-82); ia mencapai berbagai pandangan terang (Sutta 2, paragraf 83-84); ia menembus Empat Kebenaran Mulia, sang jalan dan lenyapnya kekotoran-kekotoran (Sutta 2, paragraf 85-87),225 dan ia mengetahui: “ … tidak ada lagi yang lebih jauh di sini.” Itu, Kevaddha, disebut kesaktian nasihat.’
67. ‘Dan Aku, Kevaddha, telah mengalami ke tiga kesaktian ini dengan pengetahuan-super-Ku sendiri. Suatu ketika, Kevaddha, dalam persatuan para bhikkhu ini, suatu pikiran melintas dalam benak seorang bhikkhu: “Aku ingin tahu di manakah empat unsur utama – unsur tanah, unsur air, unsur api, unsur angin – lenyap tanpa sisa.” Dan bhikkhu itu mencapai konsentrasi pikiran yang memungkinkan jalan menuju alam dewa muncul di hadapannya.’
68. ‘Kemudian, setelah sampai di alam dewa Empat Raja Dewa, ia bertanya kepada para dewa di sana: “Teman-teman, di manakah empat unsur utama – tanah, air, api, angin lenyap tanpa sisa?”
Mendengar pertanyaan ini, para dewa dari alam Empat Raja Dewa berkata kepadanya: “Bhikkhu, kami tidak mengetahui di mana empat unsur utama itu lenyap tanpa sisa. Tetapi Empat Raja Dewa lebih mulia dan lebih bijaksana daripada kami. Mungkin mereka tahu di mana empat unsur utama lenyap ….”’
69. ‘Maka bhikkhu itu mendatangi Empat Raja Dewa dan mengajukan pertanyaan yang sama, tetapi mereka menjawab: “Kami tidak tahu, tetapi Tiga Puluh Tiga Dewa mungkin mengetahui ….”’
70. ‘Maka bhikkhu itu mendatangi Tiga Puluh Tiga Dewa yang menjawab: “Kami tidak tahu, tetapi Sakka, Raja para dewa, mungkin mengetahui ….”’
71. ‘Sakka, Raja para dewa, berkata: “Dewa Yàma mungkin mengetahui ….”’
72. ‘Dewa Yàma berkata: “Suyàma, putra para dewa, mungkin mengetahui ….”’
73. ‘Suyàma berkata: “Para dewa Tusita mungkin mengetahui ….”’
74. ‘Para dewa Tusita berkata: “Santusita, putra para dewa, mungkin mengetahui ….”’
75. ‘Santusita berkata: “Para dewa Nimmànarati mungkin mengetahui ….”’
76. ‘Para dewa Nimmànarati berkata: “Sunimmita, putra para dewa, mungkin mengetahui ….”’
77. ‘Sunimmita berkata: “Para dewa Paranimmita-Vasavatti mungkin mengetahui ….”’
78. ‘Para dewa Paranimmita-Vasavatti berkata: “Vasavatti, putra para dewa, mungkin mengetahui ….”’
79. ‘Vasavatti berkata: “Para dewa pengikut Brahmà mungkin mengetahui .…”’
80. ‘Kemudian bhikkhu itu, dengan mengerahkan konsentrasinya, memunculkan jalan menuju ke alam Brahmà. Ia pergi ke alam dewa para pengikut Brahmà dan bertanya kepada mereka. Mereka berkata: “Kami tidak tahu. Tapi ada Brahmà, Brahmà Agung, sang penakluk, yang tidak tertaklukkan, maha melihat, mahasakti, raja, sang pencipta, penguasa, pengambil keputusan dan pemberi perintah, ayah dari semua yang ada dan yang akan ada. Ia lebih mulia dan lebih bijaksana daripada kami. Ia pasti mengetahui di mana empat unsur utama lenyap tanpa sisa.” “Dan di manakah, Teman, sang Brahmà agung berada sekarang?” “Bhikkhu, kami tidak tahu kapan, bagaimana dan di mana Brahmà akan muncul. Tetapi ketika tandanya terlihat – ketika cahaya muncul dan sinarnya memancar – maka Brahmà akan muncul. Tanda demikian menandakan bahwa ia akan muncul.”’
81. ‘Dan tidak lama kemudian, Sang Brahma Agung muncul. Dan bhikkhu itu mendatanginya dan berkata: “Teman, di manakah empat unsur utama – tanah, air, api, angin - lenyap tanpa sisa?” Brahmà Agung menjawab: “Bhikkhu, aku adalah Brahmà, Brahmà Agung, sang penakluk, yang tidak tertaklukkan, maha melihat, mahasakti, raja, sang pencipta, penguasa, pengambil keputusan dan pemberi perintah, ayah dari semua yang ada dan yang akan ada.”’
82. ‘Untuk ke dua kalinya, bhikkhu itu berkata: “Teman, aku tidak menanyakan apakah engkau Brahmà, Brahmà Agung … aku menanyakan kepadamu di manakah empat unsur utama lenyap tanpa sisa.” Dan untuk ke dua kalinya sang Brahmà Agung menjawab seperti sebelumnya.’
83. ‘Dan untuk ke tiga kalinya, bhikkhu itu berkata: “Teman, aku tidak menanyakan itu kepadamu, aku menanyakan di manakah empat unsur utama - tanah, air, api, angin - lenyap tanpa sisa?” Kemudian, Kevaddha, sang Brahmà Agung mengangkat bhikkhu tersebut, dan membawanya ke pinggir dan berkata: “Bhikkhu, para dewa ini percaya bahwa tidak ada apa pun yang tidak terlihat oleh Brahmà, tidak ada yang tidak diketahui olehnya, tidak ada yang tidak disadarinya. Itulah sebabnya aku tidak berbicara di depan mereka. Tetapi, bhikkhu, aku tidak tahu di mana empat unsur utama itu lenyap tanpa sisa. Dan karena itu, bhikkhu, engkau telah salah bertindak, engkau telah keliru bertindak dengan melampaui Sang Bhagavà dan pergi mencari jawaban atas pertanyaan ini di tempat lain. Sekarang, bhikkhu, pergilah kepada Sang Bhagavà dan ajukan pertanyaanmu kepada Beliau, dan apa pun jawaban yang Beliau berikan, terimalah.”’
84. ‘Maka bhikkhu itu, secepat seorang kuat merentangkan atau melipat tangannya, lenyap dari alam Brahmà dan muncul di hadapan-Ku. Ia bersujud di hadapan-Ku, kemudian duduk di satu sisi dan berkata: “Bhagavà, di manakah empat unsur utama – unsur tanah, unsur air, unsur api, unsur angin – lenyap tanpa sisa?”’
85. ‘Aku menjawab: “Bhikkhu, suatu ketika para pedagang yang melakukan perjalanan laut, ketika mereka berlayar di lautan, membawa seekor burung yang dapat melihat daratan di kapal mereka. Ketika mereka tidak dapat melihat daratan, mereka akan melepaskan burung itu. Burung itu terbang ke timur, ke selatan, ke barat, ke utara, ia terbang ke atas dan ke arah-arah antara dua arah di kompas. Jika burung itu melihat daratan di arah mana pun, ia akan terbang ke sana. Tetapi jika ia tidak melihat daratan, ia akan kembali ke kapal. Demikianlah, bhikkhu, engkau telah pergi hingga ke alam Brahmà untuk mencari jawaban atas pertanyaanmu dan tidak menemukannya, dan sekarang engkau kembali kepada-Ku. Tetapi, bhikkhu, engkau tidak seharusnya bertanya dengan cara ini: ‘Di manakah empat unsur utama – unsur tanah, unsur air, unsur api, unsur angin – lenyap tanpa sisa?’ melainkan, beginilah seharusnya pertanyaan itu di ajukan:
Di manakah tanah, air, api, dan angin tidak menemukan landasannya?
Di manakah yang panjang dan pendek, kecil dan besar, cantik dan buruk rupa –
Di manakah ”batin dan jasmani” dihancurkan seluruhnya?’
Dan jawabannya adalah:
‘Di mana kesadaran adalah tanpa gambaran, tidak terbatas, cerah-cemerlang,
Di sanalah tanah, air, api, dan angin tidak menemukan landasan,
Di sanalah yang panjang dan pendek, kecil dan besar, cantik dan buruk rupa-
Di sana “batin dan jasmani” dihancurkan seluruhnya.
Dengan lenyapnya kesadaran, semuanya dihancurkan.’”’
Demikianlah Sang Bhagavà berkata, dan perumah tangga Kevaddha, senang dan gembira mendengar kata-kata Beliau.

Lohicca Sutta
Guru Yang Baik dan Yang Buruk
**********
[224] 1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Suatu ketika, Sang Bhagavà sedang mengunjungi Kosala bersama lima ratus bhikkhu, dan, sampai di Sàlavatikà, Beliau menetap di sana. Dan pada saat itu, Brahmana Lohicca sedang menetap di Sàlavatikà, tempat yang ramai, banyak rumput, kayu, air, dan jagung, yang dianugerahkan kepadanya oleh Raja Pasenadi dari Kosala sebagai anugerah kerajaan lengkap dengan kekuasaan kerajaan.
2. Saat itu, suatu pemikiran buruk muncul dalam benak Lohicca: ‘Andaikan seorang petapa atau Brahmana menemukan suatu ajaran yang baik, setelah menemukannya, ia tidak harus menyatakannya kepada orang lain; karena apakah yang dapat dilakukan seseorang untuk orang lain? Bagaikan seseorang, setelah memutuskan belenggu lama, membuat belenggu yang baru. Aku menyatakan bahwa hal demikian adalah suatu perbuatan buruk yang berakar pada kemelekatan, karena apakah yang dapat dilakukan seseorang untuk orang lain?’
3. Kemudian Lohicca mendengar bahwa Petapa Gotama telah tiba di Sàlavatikà, dan bahwa sehubungan dengan Sang Bhagavà, suatu berita baik telah beredar … (seperti Sutta 4, paragraf 2). ‘Dan sesungguhnya adalah baik sekali menemui Arahat demikian.’
4. Dan Lohicca berkata kepada Bhesika si tukang cukur: ‘Teman Bhesika, pergilah temui Petapa Gotama, tanyakan mengenai kesehatan-Nya atas namaku, kemudian katakan: “Sudilah Yang Mulia Gotama memenuhi undangan makan besok, bersama para bhikkhu, dari Brahmana Lohicca!”’
5. ‘Baiklah, Tuan,’ jawab Bhesika, dan menyampaikan pesan itu. Sang Bhagavà menerima undangan itu dengan berdiam diri.
6. Kemudian Bhesika, memahami penerimaan Sang Bhagavà, bangkit dari duduknya dan berjalan dengan sisi kanannya menghadap Sang Bhagavà. Ia kembali ke Lohicca dan memberitahukan kepadanya mengenai penerimaan Sang Bhagavà.
7. Dan Lohicca, saat malam berakhir, mempersiapkan berbagai pilihan makanan keras dan lunak di rumahnya. Kemudian ia mengutus Bhesika untuk memberitahu Sang Bhagavà bahwa makanan sudah siap. Dan Sang Bhagavà, setelah bangun pagi dan membawa jubah dan mangkuk-Nya, pergi bersama para bhikkhu menuju Sàlavatikà.
8. Dan Bhesika si tukang cukur mengikuti persis di belakang Sang Bhagavà. Dan ia berkata: ‘Bhagavà, pikiran jahat ini muncul dalam benak Brahmana Lohicca … sungguh, Bhagavà, ini adalah apa yang pernah dipikirkan oleh Brahmana Lohicca.’ ‘Tidak apa-apa, Bhesika, tidak apa-apa.’
9. Maka Sang Bhagavà datang ke kediaman Lohicca, dan duduk di tempat yang telah disediakan. Lohicca secara pribadi melayani Sang Buddha dan para bhikkhu dengan berbagai makanan keras dan lunak hingga mereka puas dan kenyang. Ketika Sang Bhagavà menarik tangan-Nya dari mangkuk, Lohicca mengambil bangku kecil dan duduk di satu sisi. Kemudian Sang Bhagavà berkata kepadanya: ‘Lohicca, benarkah bahwa suatu pikiran jahat muncul dalam benakmu … (seperti paragraf 2)?’ ‘Benar, Yang Mulia Gotama.’
10. ‘Bagaimana menurutmu, Lohicca? Bukankah engkau menetap di Sàlavatikà?’ ‘Ya, Yang Mulia Gotama.’ ‘Sekarang, jika seseorang mengatakan: “Brahmana Lohicca menetap di Sàlavatikà, dan ia menikmati seluruh buah dan penghasilan dari Sàlavatikà, tidak membaginya kepada siapa pun” – Bukankah orang yang mengatakan hal ini akan menjadi sumber bahaya bagi wargamu?’ ‘Ia dapat menjadi sumber bahaya, Yang Mulia Gotama.’
‘Dan dengan demikian, apakah ia memerhatikan kesejahteraan mereka atau tidak?’ ‘Tidak, Yang Mulia Gotama.’
‘Dan, dengan tidak memerhatikan kesejahteraan mereka, apakah hatinya dipenuhi cinta kasih terhadap mereka, ataukah kebencian?’ ‘Kebencian, Yang Mulia Gotama.’
‘Dan dengan hati penuh kebencian, apakah ada pandangan salah ataukah pandangan benar?’ ‘Pandangan salah, Yang Mulia Gotama.’
‘Tetapi, Lohicca, Aku menyatakan bahwa pandangan salah akan mengarah menuju salah satu dari dua alam tujuan kelahiran – neraka atau alam binatang.’
11. ‘Bagaimana menurutmu, Lohicca? Bukankah Raja Pasenadi dari Kosala menetap di Kàsi-Kosala?’ ‘Ya, Yang Mulia Gotama.’ ‘Sekarang, jika seseorang mengatakan: “Raja Pasenadi dari Kosala menetap di Kàsi-Kosala, dan ia menikmati seluruh buah dan penghasilan dari Kosala, tidak membaginya kepada siapa pun” – Bukankah orang yang mengatakan hal ini akan menjadi sumber bahaya bagi warganya? … bukankah hatinya penuh dengan kebencian … dan bukankah itu adalah pandangan salah?’ ‘Itu adalah pandangan salah, Yang Mulia Gotama.’
12. ‘Maka tentu saja, jika seseorang mengatakan hal yang sama tentang Brahmana Lohicca … itu adalah pandangan salah.’
13. ‘Demikian pula, Lohicca, jika seseorang mengatakan: “Andaikan seorang petapa atau Brahmana menemukan suatu ajaran yang baik, setelah menemukannya, ia tidak harus menyatakannya kepada orang lain, karena apakah yang dapat dilakukan seseorang untuk orang lain?” ia akan menjadi sumber bahaya bagi para pemuda dari keluarga yang baik yang, mengikuti Dhamma dan disiplin yang diajarkan oleh Tathàgata, mencapai keluhuran seperti buah Memasuki-Arus, Yang-Kembali-Sekali, Yang-Tidak-Kembali, Kearahatan – dan kepada semua yang mematangkan benih kelahiran kembali di alam dewa. Sebagai sumber bahaya, ia tidak berbelas kasih, dan hatinya dipenuhi kebencian, dan itu merupakan pandangan salah, yang mengarah menuju … neraka atau alam binatang.’
14. ‘Dan jika seseorang berbicara demikian tentang Raja Pasenadi, ia akan menjadi sumber bahaya bagi warga Raja, dirimu, dan orang-orang lainnya .…’
15. (seperti paragraf 13)
16. ‘Lohicca, tiga jenis guru di dunia ini layak dicela, dan jika siapa pun mencela guru-guru demikian, celaannya adalah pantas, benar, sesuai dengan kenyataan dan tidak salah. Apakah tiga itu? Di sini, Lohicca, seorang guru yang telah meninggalkan keduniawian dan menjalani kehidupan tanpa rumah, tetapi belum mencapai buah pertapaan. Dan tanpa mencapai tujuan ini, ia mengajarkan muridnya suatu ajaran, dengan mengatakan: “ini untuk kebaikanmu, ini untuk kebahagiaanmu.” Namun muridnya tidak ingin memerhatikan, mereka tidak mendengar, mereka tidak membangkitkan pikiran untuk mencapai pencerahan, dan nasihat si guru dicemooh. Ia harus dicela, dengan mengatakan: “Yang Mulia ini telah meninggalkan keduniawian …, nasihatnya dicemooh. Ini bagaikan seseorang laki-laki yang terus-menerus mendekati seorang perempuan yang menolaknya dan merangkulnya walaupun ia telah berpaling.” Aku menyatakan ini sebagai ajaran jahat yang berdasarkan pada kemelekatan, karena apakah yang dapat dilakukan seseorang untuk orang lain? Ini adalah guru pertama yang layak dicela .…’
17. ‘Kemudian, ada seorang guru yang telah meninggalkan keduniawian … tetapi belum mencapai buah pertapaan. Dan tanpa mencapai tujuan ini, ia mengajarkan muridnya suatu ajaran, dengan mengatakan: “ini untuk kebaikanmu, ini untuk kebahagiaanmu.” Muridnya ingin memerhatikan, mereka mendengarkan, mereka membangkitkan pikiran untuk mencapai pencerahan, dan nasihat si guru tidak dicemooh. Ia harus dicela, dengan mengatakan: “Yang Mulia ini telah meninggalkan keduniawian …” Ini bagaikan, meninggalkan ladangnya sendiri, ia memikirkan ladang orang lain yang perlu dikerjakan. Aku menyatakan ini sebagai ajaran jahat yang berdasarkan pada kemelekatanini adalah guru ke dua yang layak dicela .…’
18. ‘Kemudian, ada seorang guru yang telah meninggalkan keduniawian … dan yang telah mencapai buah pertapaan. Setelah meninggalkan keduniawian, ia mengajarkan … tetapi murid-muridnya tidak ingin memerhatikannya … nasihatnya dicemooh. Ia juga harus dicela … bagaikan, setelah memotong satu belenggu lama, seseorang membuat sebuah belenggu baru, Aku menyatakan ini sebagai ajaran jahat yang berdasarkan pada kemelekatan, karena apakah yang dapat dilakukan seseorang untuk orang lain? Ini adalah guru ke tiga yang layak dicela … . Dan ini adalah tiga jenis guru yang Kukatakan layak dicela.’
19. ‘Kemudian Lohicca berkata: ‘Yang Mulia Gotama, adakah guru di dunia ini yang tidak layak dicela?
20-55. ‘Di sini, Lohicca, seorang Tathàgata telah muncul di dunia ini, seorang Arahat, Buddha yang telah mencapai Penerangan Sempurna, memiliki kebijaksanaan dan perilaku yang Sempurna, telah sempurna menempuh Sang Jalan, Pengenal seluruh alam, penjinak manusia yang harus dijinakkan yang tiada bandingnya, Guru para dewa dan manusia, Tercerahkan dan Terberkahi. Beliau, setelah mencapainya dengan pengetahuan-Nya sendiri, menyatakan kepada dunia bersama para dewa, màra dan Brahma, para raja dan umat manusia. Beliau membabarkan Dhamma, yang indah di awal, indah di pertengahan, indah di akhir, dalam makna dan kata, dan menunjukkan kehidupan suci yang sempurna dan murni sepenuhnya. Seorang siswa pergi meninggalkan keduniawian dan mempraktikkan moralitas, menjaga pintu-pintu indrianya, mencapai jhàna pertama (Sutta 2, paragraf 41-76). Dan jika seorang murid dari seorang guru mencapai keluhuran demikian, guru itu adalah yang di dunia ini tidak boleh dicela. Dan jika seseorang mencela guru itu, celaannya tidak pantas, tidak benar, dan tidak sesuai dengan kenyataan, dan salah.’
56-62. ‘Ia mencapai tiga jhàna lainnya (seperti Sutta 2, paragraf 77-82) dan berbagai pandangan terang (Sutta 2, paragraf 83-84). Jika seorang murid dari seorang guru mencapai keluhuran demikian, guru itu adalah yang di dunia ini tidak boleh dicela ….’
63-77. ‘Ia menembus Empat Kebenaran Mulia, sang jalan, dan lenyapnya kekotoran … (seperti Sutta 2, paragraf 85-97).
Jika seorang murid dari seorang guru mencapai keluhuran demikian, guru itu adalah yang di dunia ini tidak boleh dicela. Dan jika seseorang mencela guru itu, celaannya tidak pantas, tidak benar, dan tidak sesuai dengan kenyataan, dan salah.’
78. Mendengar kata-kata ini, Brahmana Lohicca berkata kepada Sang Bhagavà: ‘Yang Mulia Gotama, ini bagaikan menarik rambut seseorang yang terpeleset dan jatuh ke dalam lubang, dan meletakkannya di atas tanah yang kokoh – demikian pula, aku, yang sedang terjatuh ke dalam lubang, telah diselamatkan oleh Yang Mulia Gotama! ‘Sungguh indah, Yang Mulia Gotama, sungguh menakjubkan! Bagaikan seseorang yang menegakkan apa yang terjatuh, atau menunjukkan jalan bagi ia yang tersesat, atau menyalakan pelita di dalam gelap, sehingga mereka yang memiliki mata dapat melihat apa yang ada di sana. Demikian pula Yang Mulia Gotama telah membabarkan Dhamma dalam berbagai cara.’
Aku berlindung kepada Gotama Sang Bhagavà, Dhamma, dan Sangha. Sudilah Yang Mulia Gotama menerimaku sebagai seorang siswa awam yang telah menerima perlindungan sejak hari ini hingga akhir hidupku!’

Kåñadanta Sutta
Pengorbanan tanpa Darah
**********
[127] 1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Suatu ketika, Sang Bhagavà sedang melakukan perjalanan melewati Magadha bersama lima ratus bhikkhu, dan Beliau tiba di sebuah desa Brahmana bernama Khànumata. Dan di sana Beliau menetap di taman Ambalaññhikà. Pada saat itu, Brahmana Kåñadanta sedang menetap di Khànumata, tempat yang ramai, banyak rumput, kayu, air, dan jagung, yang dianugerahkan kepadanya oleh Raja Seniya Bimbisàra dari Magadha sebagai anugerah kerajaan lengkap dengan kekuasaan kerajaan.
Dan Kåñadanta merencanakan upacara pengorbanan besar: tujuh ratus ekor sapi, tujuh ratus ekor kerbau, tujuh ratus ekor anak sapi, tujuh ratus ekor kambing jantan, dan tujuh ratus ekor domba yang semuanya diikat di tiang pengorbanan.
2. Dan para Brahmana dan perumah tangga Khànumata mendengar berita: ‘Petapa Gotama … sedang menetap di Ambalaññhikà. Dan sehubungan dengan Gotama, Bhagavà Yang Terberkahi, telah beredar berita: “Yang Terberkahi adalah seorang Arahat, Buddha yang telah mencapai Penerangan Sempurna, sempurna dalam pengetahuan dan perilaku, telah menempuh Sang Jalan dengan sempurna, Pengenal seluruh alam, Penjinak manusia yang harus dijinakkan yang tiada bandingnya, Guru para dewa dan manusia, seorang Buddha, Bhagavà Yang Terberkahi.” Beliau menyatakan kepada dunia ini dengan para dewa, màra dan Brahmà, para petapa dan Brahmana bersama dengan para raja dan umat manusia, setelah mengetahui dengan pengetahuan-Nya sendiri. Beliau mengajarkan Dhamma yang indah di awal, indah di pertengahan, dan indah di akhir, dalam makna dan kata, dan Beliau memperlihatkan kehidupan suci yang sempurna, murni sepenuhnya. Dan sesungguhnya adalah baik sekali menemui Arahat demikian.’ Dan mendengar berita itu, para Brahmana dan perumah tangga, berduyun-duyun meninggalkan Khànumata, berjumlah sangat besar, pergi menuju Ambalaññhikà.
3. Kebetulan saat itu, Kåñadanta baru saja naik ke teras rumahnya untuk istirahat siang. Melihat para Brahmana dan perumah tangga berjalan menuju Ambalaññhikà, ia menanyakan alasannya kepada pelayannya. Si pelayan menjawab: ‘Tuan, ini karena Petapa Gotama, sehubungan dengan berita baik yang beredar: “Sang Bhagavà Yang Terberkahi adalah seorang Arahat, … seorang Buddha, Sang Bhagavà Yang Terberkahi”. Itulah sebabnya, mereka pergi menemui-Nya.’
4. Kemudian Kåñadanta berpikir: ‘Aku telah mendengar bahwa Petapa Gotama memahami tentang bagaimana menyelenggarakan dengan baik upacara pengorbanan tiga tingkat dengan enam belas persyaratannya. Sekarang aku tidak memahami seluruhnya, namun aku ingin melakukan upacara pengorbanan besar. Bagaimana jika aku menemui Petapa Gotama dan bertanya kepada-Nya mengenai persoalan ini.’ Maka ia mengutus pelayannya untuk menemui para Brahmana dan perumah tangga Khànumata dan memohon agar mereka menunggunya.
5. Pada saat itu, beberapa ratus Brahmana sedang berada di Khànumata bermaksud mengambil bagian dalam upacara pengorbanan Kåñadanta. Mendengar niatnya untuk mengunjungi Petapa Gotama, mereka datang dan bertanya apakah hal itu benar. ‘Demikianlah, Tuan-tuan, aku akan mengunjungi Petapa Gotama.’
6. ‘Tuan, jangan mengunjungi Petapa Gotama … (argumentasi yang persis sama dengan Sutta 4, paragraf 5). Oleh karena itu, adalah tidak pantas bagi Yang Mulia Kåñadanta untuk mengunjungi Petapa Gotama, melainkan sebaliknya, Petapa Gotama yang seharusnya mengunjungimu.’
7. Kemudian Kåñadanta berkata kepada para Brahmana: ‘Sekarang dengarkan, Tuan-tuan, mengapa kita pantas mengunjungi Yang Mulia Gotama, dan mengapa Beliau tidak pantas mengunjungi kita … (persis sama dengan Sutta 4, paragraf 6). Petapa Gotama telah tiba di Khànumata dan sedang menetap di Ambalaññhikà. Dan petapa atau Brahmana mana pun yang datang ke wilayah kita adalah tamu kita … Beliau melampaui segala pujian.’
8. Mendengar hal ini, para Brahmana berkata: ‘Tuan, karena engkau begitu memuji Petapa Gotama, maka bahkan jika Beliau berada seratus yojana jauhnya dari sini, adalah pantas bagi mereka yang berkeyakinan untuk pergi dengan membawa tas bahu untuk mengunjungi Beliau, marilah kita semua pergi mengunjungi Petapa Gotama.’ Dan demikianlah Kåñadanta pergi bersama sejumlah besar Brahmana menuju Ambalaññhika. Ia mendekati Sang Bhagavà, saling bertukar sapa dengan Beliau, dan duduk di satu sisi. Beberapa Brahmana dan perumah tangga Khànumata bersujud kepada Sang Bhagavà, beberapa memberi hormat dengan merangkapkan kedua tangannya, beberapa menyebutkan nama dan suku mereka, dan beberapa duduk di satu sisi dan berdiam diri.
9. Duduk di satu sisi, Kåñadanta berkata kepada Sang Bhagavà: ‘Yang Mulia Gotama, aku telah mendengar bahwa engkau memahami bagaimana menyelenggarakan dengan baik upacara pengorbanan tiga tingkat dengan enam belas persyaratannya. Sekarang aku tidak memahami seluruhnya, namun aku ingin melakukan upacara pengorbanan besar. Baik sekali jika Petapa Gotama sudi menjelaskannya kepadaku.’ ‘Dengarkanlah, Brahmana, perhatikanlah dengan saksama dan Aku akan menjelaskan.’ ‘Ya, Yang Mulia,’ Kåñadanta berkata, dan Sang Bhagavà berkata:
10. ‘Brahmana, pada suatu masa, ada seorang raja yang bernama Mahàvijita. Ia kaya, memiliki banyak harta kekayaan, dengan emas dan perak yang berlimpah, harta benda dan barang-barang kebutuhan, dan uang, dengan gudang harta dan lumbung yang penuh. Dan ketika Raja Mahàvijita sedang bersenang-senang sendirian, ia berpikir: “Aku memiliki sangat banyak kekayaan, aku memiliki tanah yang sangat luas yang kutaklukkan. Seandainya sekarang aku menyelenggarakan upacara pengorbanan besar, apakah itu akan memberikan manfaat dan kebahagiaan untuk waktu yang lama?” dan ia memanggil Brahmana-kerajaan, dan menceritakan pemikirannya. “Aku ingin menyelenggarakan upacara pengorbanan besar. Instruksikan aku, Yang Mulia, bagaimana langkahnya demi manfaat dan kebahagiaan bagiku untuk waktu yang lama.”’
11. ‘Si Brahmana-kerajaan menjawab: “Negeri Baginda diserang oleh para pencuri, dirusak, desa-desa dan kota-kota sedang dihancurkan, perbatasan dikuasai oleh perampok. Jika Baginda mengutip pajak atas wilayah itu, itu adalah suatu kesalahan. Jika Baginda berpikir: ‘Aku akan melenyapkan gangguan para perampok ini dengan mengeksekusi dan hukuman penjara, atau dengan menyita, mengancam, dan mengusir’, gangguan ini tidak akan berakhir. Mereka yang selamat kelak akan mengganggu negeri Baginda. Namun dengan rencana ini, engkau dapat secara total melenyapkan gangguan ini. Kepada mereka yang hidup di dalam kerajaan ini, yang bermata pencaharian bertani dan beternak sapi, Baginda akan membagikan benih dan makanan ternak; kepada mereka yang berdagang, akan diberikan modal; yang bekerja melayani pemerintahan akan menerima upah yang sesuai. Maka orang-orang itu, karena tekun pada pekerjaan mereka, tidak akan mengganggu kerajaan ini. Penghasilan Baginda akan bertambah, negeri ini menjadi tenang dan tidak diserang oleh para pencuri, dan masyarakat dengan hati yang gembira, akan bermain dengan anak-anak mereka, dan akan menetap di dalam rumah yang terbuka.”’
‘Dan dengan mengatakan: “Jadilah demikian!” raja menerima nasihat si Brahmana-kerajaan: ia memberikan benih dan makanan ternak, memberikan modal kepada yang berdagang … upah yang sesuai … dan masyarakat dengan hati gembira … menetap di dalam rumah yang terbuka.’
12. ‘Kemudian Raja Mahàvijita memanggil si Brahmana dan berkata: “Aku telah melenyapkan gangguan para perampok; menuruti rencanamu, pendapatanku bertambah, negeri ini tenang dan tidak diserang oleh para pencuri, dan masyarakat dengan hati yang gembira bermain dengan anak-anak mereka dan menetap di dalam rumah yang terbuka. Sekarang aku ingin menyelenggarakan upacara pengorbanan besar. Instruksikan aku bagaimana cara menyelenggarakannya agar memberikan manfaat dan kebahagiaan kepadaku untuk waktu yang lama.” “Untuk hal ini, Baginda, engkau harus memanggil para Khattiya dari kota-kota dan desa-desa, para penasihatmu, para Brahmana yang paling berpengaruh, dan para perumah tangga kaya di negerimu ini, dan katakan pada mereka: ‘Aku ingin menyelenggarakan upacara pengorbanan besar. Bantu aku, Tuan-tuan, agar ini memberikan manfaat dan kebahagiaan kepadaku untuk waktu yang lama.’”’
‘Raja menyetujui, dan melakukan instruksi tersebut. “Baginda, pengorbanan dapat dimulai, sekarang adalah waktunya. Empat kelompok penerima ini akan menjadi pelengkap dalam pengorbanan ini.’
13. ‘“Raja Mahàvijita memiliki delapan hal. Ia terlahir mulia dari kedua belah pihak, … (seperti Sutta 4, paragraf 5), kelahiran yang tanpa cela. Ia tampan … tidak ada bagian yang berpenampilan rendah. Ia kuat, memiliki empat kesatuan bala tentara yang setia, dapat diandalkan, meningkatkan reputasinya di antara musuh-musuhnya. Ia adalah seorang pemberi dan tuan rumah yang bertanggung jawab, tidak menutup pintu terhadap para petapa, Brahmana dan pengembara, para pengemis dan mereka yang membutuhkan – sebuah mata air kebajikan. Ia sangat terpelajar dalam hal apa yang harus dipelajari. Ia memahami makna dari apa pun yang dikatakan, dengan mengatakan: ‘Ini adalah apa yang dimaksudkan.’ Ia terpelajar, sempurna, bijaksana, kompeten untuk menikmati manfaat-manfaat di masa lampau, masa depan, dan masa sekarang. Raja Mahàvijita memiliki delapan hal ini. Ini merupakan perlengkapan untuk upacara pengorbanan.’
[138] 14. ‘“Brahmana kerajaan memiliki empat hal. Ia terlahir mulia …. Ia terpelajar, ahli dalam mantra-mantra …. Ia berbudi, moralitasnya meningkat, memiliki moralitas yang meningkat. Ia terpelajar, sempurna dan bijaksana, dan merupakan yang pertama atau ke dua dalam memegang sendok pengorbanan. Ia memiliki empat hal ini. Ini merupakan perlengkapan untuk upacara pengorbanan.’
15. ‘Kemudian, sebelum pengorbanan, si Brahmana mengajarkan tiga syarat kepada Sang Raja. “Mungkin Baginda merasa menyesal akan upacara pengorbanan ini: ‘Aku akan kehilangan banyak kekayaan’, atau selama upacara: ‘Aku sedang kehilangan banyak kekayaan’, atau setelah upacara: ‘aku telah kehilangan banyak kekayaan.’ Jika demikian, maka Baginda tidak boleh merasa menyesal.”’
16. ‘Kemudian, sebelum pengorbanan, si Brahmana melenyapkan kecemasan Sang Raja dalam sepuluh kondisi untuk si penerima: “Yang Mulia, akan tiba dalam upacara pengorbanan ini, mereka yang melakukan pembunuhan dan mereka yang menghindari pembunuhan. Kepada mereka yang melakukan pembunuhan, biarkanlah mereka; tetapi kepada mereka yang menghindari pembunuhan akan mendapatkan pengorbanan yang berhasil dan akan bergembira dalam pengorbanan ini, dan hati mereka akan tenang. Akan tiba dalam upacara pengorbanan ini, mereka yang mengambil apa yang tidak diberikan dan mereka yang menghindari …, mereka yang menikmati hubungan seksual yang salah dan mereka yang menghindari …, mereka yang mengucapkan kebohongan … , mengucapkan kata-kata fitnah, kasar dan kata yang tidak berguna … , mereka yang serakah dan yang tidak, mereka yang menyimpan rasa benci dan yang tidak, mereka yang berpandangan salah dan yang tidak. Kepada mereka yang berpandangan salah, maka biarkanlah mereka; tetapi kepada mereka yang berpandangan benar akan mendapatkan pengorbanan yang berhasil dan akan bergembira dalam pengorbanan ini, dan hati mereka akan tenang.” Demikianlah sang Brahmana melenyapkan keraguan Raja dalam sepuluh kondisi.’
17. ‘Demikianlah sang Brahmana menginstruksikan Raja yang menyelenggarakan upacara pengorbanan besar dengan enam belas alasan, mendesaknya, menginspirasinya, dan menggembirakan hatinya. “Orang-orang akan berkata: ‘Raja Mahàvijita sedang menyelenggarakan upacara pengorbanan besar, tetapi ia tidak mengundang para Khattiya-nya …, para penasihatnya, para Brahmana yang paling berpengaruh, dan para perumah tangga kaya ….’ Tetapi kata-kata tersebut tidak sesuai dengan yang sebenarnya, karena Raja telah mengundang mereka. Dengan demikian, Raja akan mengetahui bahwa ia akan mendapatkan upacara pengorbanan yang berhasil dan bergembira karenanya, dan hatinya menjadi tenang. Atau seseorang akan berkata: ‘Raja Mahàvijita sedang menyelenggarakan upacara pengorbanan besar, tetapi ia tidak terlahir mulia dari kedua pihak .…’ Tetapi kata-kata tersebut tidak sesuai dengan yang sebenarnya …. Atau seseorang akan berkata: ‘Sang Brahmana Kerajaan tidak terlahir mulia .…’ Tetapi kata-kata tersebut tidak sesuai dengan yang sebenarnya.” Demikianlah sang Brahmana menginstruksikan Sang Raja dalam enam belas alasan ….’
18. ‘Dalam upacara pengorbanan ini, Brahmana, tidak ada kerbau yang disembelih, tidak ada kambing atau domba, tidak ada ayam dan babi, tidak juga berbagai makhluk hidup yang dibunuh, juga tidak ada pohon yang ditebang sebagai tiang pengorbanan, juga tidak ada rumput yang dipotong sebagai rumput pengorbanan, dan mereka yang disebut budak atau pelayan atau pekerja tidak bekerja karena takut akan pukulan atau ancaman, mereka tidak menangis atau bersedih. Tetapi mereka yang ingin melakukan sesuatu akan melakukannya, dan mereka yang tidak ingin melakukan tidak melakukannya; mereka melakukan apa yang mereka inginkan; dan tidak melakukan apa yang tidak mereka inginkan. Pengorbanan itu diselenggarakan dengan ghee, minyak, mentega, dadih, madu, dan sirup.’
19. ‘Kemudian, Brahmana, para Khattiya …, para menteri dan penasihat, para Brahmana berpengaruh, para perumah tangga dari desa dan kota, setelah menerima cukup penghasilan, mendatangi Raja Mahàvijita dan berkata: “Kami membawa cukup banyak harta kekayaan, Baginda, terimalah.” “Tetapi, Tuan-tuan, aku telah mengumpulkan cukup banyak kekayaan. Apa pun yang tersisa boleh kalian ambil.”’
‘Atas penolakan raja itu, mereka pergi ke satu sisi dan berdiskusi: “Tidaklah pantas bagi kita untuk membawa pulang harta ini ke rumah kita. Raja sedang menyelenggarakan upacara pengorbanan besar. Marilah kita mengikuti teladannya.”’
20. ‘Kemudian para Khattiya meletakkan persembahan mereka di sebelah timur dari ceruk pengorbanan, para penasihat meletakkan di sebelah selatan, para Brahmana di sebelah barat dan para perumah tangga kaya di sebelah utara. Dalam pengorbanan ini, tidak ada kerbau yang disembelih, … juga tidak ada makhluk hidup apa pun yang dibunuh … mereka yang ingin melakukan sesuatu akan melakukannya, dan mereka yang tidak ingin melakukan tidak melakukannya .... Pengorbanan itu diselenggarakan dengan ghee, minyak, mentega, dadih, madu, dan sirup. Demikianlah ada empat kelompok penerima, dan Raja Mahàvijita memiliki delapan hal, dan Brahmana Kerajaan memiliki empat hal dalam tiga syarat. Ini, Brahmana, disebut pengorbanan besar yang berhasil dalam enam belas tingkat dan tiga syarat.’
21. Mendengar kata-kata ini, para Brahmana berteriak keras dan berisik: ‘Sungguh suatu pengorbanan yang megah! Sungguh suatu cara yang megah dalam melakukan pengorbanan!’ tetapi Kåñadanta tetap duduk diam. Dan para Brahmana menanyakan kepadanya mengapa ia tidak bersorak mendengar kata-kata indah dari Petapa Gotama. Ia menjawab: ‘Bukannya aku tidak gembira mendengarnya. Kepalaku akan pecah menjadi tujuh keping jika aku tidak gembira mendengarnya. Tetapi aku heran bahwa Petapa Gotama tidak mengatakan: “Aku mendengar bahwa”, atau “Ini pasti seperti ini”, tetapi Beliau mengatakan: “Kejadiannya seperti ini atau seperti itu pada waktu itu.” Dan karena itu, aku merasa bahwa Petapa Gotama pada waktu itu adalah mungkin Raja Mahàvijita, yang menyelenggarakan pengorbanan, atau si Brahmana Kerajaan yang memimpin upacara pengorbanan itu untuknya. Apakah Yang Mulia Gotama mengakui bahwa Beliau menyelenggarakan, atau memimpin upacara pengorbanan besar itu, dan sebagai akibatnya, setelah kematiannya, setelah hancurnya jasmani, Beliau terlahir di alam yang baik, alam surgawi?’ ‘Aku mengakuinya, Brahmana. Aku adalah Brahmana kerajaan yang memimpin upacara pengorbanan.’
22. ‘Dan, Yang Mulia Gotama, adakah pengorbanan yang lain yang lebih sederhana, yang lebih mudah, lebih berbuah dan lebih bermanfaat daripada tiga tingkat pengorbanan dengan enam belas syarat tersebut?’ ‘Ada, Brahmana.’
‘Apakah itu, Yang Mulia Gotama?’ ‘Di mana pun pemberian rutin dari suatu keluarga yang diberikan kepada para petapa yang berbudi, ini merupakan pengorbanan yang lebih berbuah dan lebih bermanfaat daripada itu.’
23. ‘Mengapa, Yang Mulia Gotama, dan karena alasan apakah itu lebih baik?’
‘Brahmana, Tidak ada Arahat atau mereka yang telah mencapai Jalan Arahat akan menerima pengorbanan ini. Mengapa? Karena melihat penganiayaan dan pembunuhan, maka mereka tidak menerima. Tetapi mereka akan menerima pengorbanan berupa pemberian rutin dari suatu keluarga yang diberikan kepada para petapa yang berbudi, karena tidak ada penganiayaan dan pembunuhan. Itulah sebabnya, jenis pengorbanan ini lebih berbuah dan lebih bermanfaat.’
24. ‘Tetapi, Yang Mulia Gotama, adakah pengorbanan lain yang lebih bermanfaat daripada yang sebelumnya itu?’ ‘Ada, Brahmana.’
‘Apakah itu, Yang Mulia Gotama?’ ‘Brahmana, jika siapa saja yang menyediakan tempat tinggal bagi Sangha yang datang dari empat penjuru, itu merupakan pengorbanan yang lebih bermanfaat.’
25. ‘Tetapi, Yang Mulia Gotama, adakah pengorbanan lain yang lebih bermanfaat daripada tiga ini?’ ‘Ada, Brahmana.’
‘Apakah itu, Yang Mulia Gotama?’ ‘Brahmana, jika siapa saja dengan hati yang tulus berlindung pada Buddha, Dhamma, dan Sangha, itu merupakan pengorbanan yang lebih bermanfaat daripada tiga yang sebelumnya.’
26. ‘Tetapi, Yang Mulia Gotama, adakah pengorbanan lain yang lebih bermanfaat daripada empat ini?’ ‘Ada, Brahmana.’
‘Apakah itu, Yang Mulia Gotama?’ ‘Brahmana, jika siapa saja dengan hati yang tulus melaksanakan sila – menghindari membunuh makhluk hidup, menghindari mengambil apa yang tidak diberikan, hubungan seksual yang salah, kebohongan, dan meminum minuman keras dan obat-obatan yang mengakibatkan lemahnya kesadaran - itu merupakan pengorbanan yang lebih bermanfaat daripada empat yang sebelumnya.’
27. ‘Tetapi, Yang Mulia Gotama, adakah pengorbanan lain yang lebih bermanfaat daripada lima ini?’ ‘Ada, Brahmana.’
‘Apakah itu, Yang Mulia Gotama?’ ‘Brahmana, seorang Tathàgata telah muncul di dunia ini, seorang Arahat, Buddha yang telah mencapai Penerangan Sempurna, memiliki kebijaksanaan dan perilaku yang Sempurna, telah sempurna menempuh Sang Jalan, Pengenal seluruh alam, penjinak manusia yang harus dijinakkan yang tiada bandingnya, Guru para dewa dan manusia, Tercerahkan dan Terberkahi. Beliau, setelah mencapainya dengan pengetahuan-Nya sendiri, menyatakan kepada dunia bersama para dewa, màra dan Brahma, para raja dan umat manusia. Beliau membabarkan Dhamma, yang indah di awal, indah di pertengahan, indah di akhir, dalam makna dan kata, dan menunjukkan kehidupan suci yang sempurna dan murni sepenuhnya. Seorang siswa pergi meninggalkan keduniawian dan mempraktikkan moralitas, dan seterusnya (Sutta 2, paragraf 41-74). Demikianlah seorang bhikkhu sempurna dalam moralitas. Ia mencapai empat jhàna (Sutta 2, paragraf 75-82). Itu, Brahmana, adalah suatu pengorbanan … lebih bermanfaat. Ia mencapai berbagai pandangan terang (Sutta 2, paragraf 97). Ia mengetahui: “Tidak ada lagi yang lebih jauh di dunia ini.” Itu, Brahmana, adalah suatu pengorbanan yang lebih sederhana, lebih mudah, lebih berbuah, dan lebih bermanfaat dari semua lainnya. Dan lebih dari ini, tidak ada lagi pengorbanan yang lebih mulia dan lebih sempurna.’
28. ‘Sungguh indah, Yang Mulia Gotama, sungguh menakjubkan! Bagaikan seseorang yang menegakkan apa yang terjatuh, atau menunjukkan jalan bagi ia yang tersesat, atau menyalakan pelita di dalam gelap, sehingga mereka yang memiliki mata dapat melihat apa yang ada di sana. Demikian pula Yang Mulia Gotama telah membabarkan Dhamma dalam berbagai cara. Semoga Yang Mulia Gotama menerimaku sebagai siswa awam sejak hari ini hingga akhir hidupku! Dan, Yang Mulia Gotama, aku membebaskan tujuh ratus sapi, tujuh ratus kerbau, tujuh ratus anak sapi, tujuh ratus kambing jantan, dan tujuh ratus domba. Aku memberikan kehidupan kepada mereka, memberi mereka makanan berupa rumput hijau dan air sejuk untuk diminum, dan biarlah mereka bermain di angin yang sejuk.’
29. Kemudian Sang Bhagavà membabarkan ceramah bertingkat kepada Kåñadanta, tentang kedermawanan, tentang moralitas, dan tentang alam surga, menunjukkan bahaya, penurunan dan kekotoran dari kenikmatan-indria, dan manfaat dari meninggalkan keduniawian. Dan ketika Sang Bhagavà mengetahui bahwa batin Kåñadanta telah siap, lunak, bebas dari rintangan, gembira dan tenang, maka ia membabarkan ceramah Dhamma secara singkat: tentang penderitaan, asal-mulanya, lenyapnya, dan sang jalan. Dan bagaikan sehelai kain bersih yang noda-nodanya telah dihilangkan dapat diwarnai dengan sempurna, demikian pula Brahmana Kåñadanta, selagi ia duduk di sana, muncul Mata-Dhamma yang murni dan tanpa noda, dan ia mengetahui: ‘Segala sesuatu memiliki sebab dan pasti lenyap.’
30. Kemudian Kåñadanta, setelah melihat, mencapai, mengalami, dan menembus Dhamma, setelah melampaui keragu-raguan, melampaui ketidakpastian, setelah mencapai keyakinan sempurna dalam Ajaran Sang Guru tanpa bergantung pada yang lainnya, berkata: ‘Sudilah Yang Mulia Gotama dan para bhikkhu menerima makanan dariku besok!’
Sang Bhagavà menerimanya dengan berdiam diri. Kemudian Kåñadanta, mengetahui penerimaan Beliau, bangkit, memberi hormat kepada Sang Bhagavà, berjalan dengan sisi kanannya menghadap Sang Bhagavà dan pergi. Pagi harinya, ia mempersiapkan makanan keras dan lunak di tempat pengorbanan, dan ketika persiapan selesai, ia mengumumkan: ‘Yang Mulia Gotama, sudah waktunya, makanan telah siap.’
Dan Sang Bhagavà, setelah bangun pagi, pergi dengan membawa jubah dan mangkuk-Nya dan disertai oleh para bhikkhu menuju tempat pengorbanan Kåñadanta, dan duduk di tempat yang telah disediakan. Dan Kåñadanta melayani Sang Buddha dan para bhikkhu dengan makanan-makanan terbaik dengan tangannya sendiri hingga mereka puas. Dan ketika Sang Bhagavà telah selesai makan dan menarik tangan-Nya dari mangkuk, Kåñadanta mengambil bangku kecil dan duduk di satu sisi.
Kemudian Sang Bhagavà, setelah memberikan instruksi kepada Kåñadanta dalam suatu ceramah Dhamma, menginspirasinya, memicu semangatnya, dan menggembirakannya, bangkit dari duduk-Nya dan pergi.
Dalam begitu banyak sutta dalam Tripitaka yang dibabarkan oleh Sang Buddha, secara konsisten lewat ajaran maupun perilaku-Nya, Sang Buddha mengajarkan para manusia dan para dewa bahwa keajaiban bersumber dari perbuatan baik yang tidak dapat dicela oleh para bijaksana (menanam benih “Karma Baik”). Berbuat baik artinya, tidak menyakiti makhluk hidup lainnya dan juga tidak merugikan diri kita sendiri. Perbuatan bajik, adalah sumber dari keajaiban itu sendiri, karena kita sendiri yang akan mewarisi dan terlahir dari perbuatan kita sendiri, baik ataupun buruk, besar ataupun kecil, kita yang akan berhubungan dengan perbuatan kita sendiri.
Demikianlah untuk dapat menghargai hidup dan kehidupan kita sendiri, kita tidak dapat dibenarkan untuk mengorbankan ataupun menumbalkan hidup dan nyawa makhluk hidup lainnya, justru sebaliknya, kita perlu berlatih diri untuk melepas segala kemelekatan diri, keserakahan, serta praktik latih membebaskan makhluk hidup (fang-shen). Dengan menghargai hidup dan kehidupan orang lainnya maupun makhluk hidup lainnya, sejatinya kita sedang menghargai hidup dan kehidupan kita sendiri. Demikianlah untuk kerap kali kita renungkan, dan mulai berhenti membiasakan aksi-aksi spekulatif yang hanya berangkat dari asumsi yang “egoistik” dan “dangkal”. Seorang manusia dicemarkan dan dimuliakan oleh PERILAKUNYA SENDIRI, bukan karena ritual yang dilakukan olehnya.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.