Bangsa yang Cerdas Mampu Bercermin Diri

ARTIKEL HUKUM
Pemerintah telah kehilangan momen paling krusial untuk dapat membuat rakyatnya yang hak-haknya kerap dikorupsi oleh pemegang kekuasaan dan para birokrat, untuk “menjadi lupa” dan berbalik menjadi “idola” sang pemegang kekuasaan dalam pemerintahan maupun otoritas negara yang selama ini patut kita berikan kritik “pedas”. Selama ini, sebagaimana kita ketahui dan menjadi pengetahuan umum, “uang yang bersumber dari dan hak untuk rakyat” (jangan pernah menggunakan terminologi “uang negara”) kerap dikorupsi oleh kalangan birokrat dan mereka yang duduk pada tampuk kekuasaan, hingga aksi kolusi seperti pungutan liar, pengabaian, dan penelantaran terhadap hak-hak warga selaku rakyat jelata.
Lantas, bagaimana “trik cerdas nan jitu”, agar rakyatnya “mendadak pikun” dan pemerintah dapat “cuci tangan berjemaah”? Yakni semudah ketika rakyat tengah menghadapi ancaman kelaparan akibat wabah sebagaimana pandemik mematikan akibat Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) yang pernah menyerang dan menjangkiti rakyat Indonesia, pemerintah menerbitkan dekrit tegas untuk mengeluarkan “sedikit dana” guna memenuhi kebutuhan dan kecukupan bahan pangan pokok bagi rakyatnya—sekali dayung dua pulau terlewati, yakni merebut kembali hati dan simpati rakyat sebagai modal “murah” untuk kampanye politik pemilu berikutnya, dan mampu mempercepat pemutusan mata rantai penularan virus penyebab wabah.
Dengan demikian, pemerintah akan tampak “pro” terhadap rakyat, penuh perhatian terhadap rakyat, perduli terhadap rakyat, benar hadir di tengah-tengah masyarakat, perduli terhadap rakyat, menjamin kehidupan rakyat, tidak sia-sia rakyat selama ini membayar pajak (serta dibebani “pungutan liar”), dan berguna bagi seluruh penduduknya. Itulah yang disebut sebagai “politik pencitraan”, dan inilah momen yang paling tepat, yakni tatkala masyarakat terancam kelaparan akibat wabah penyakit mematikan.
Bila dibanding dengan “uang rakyat” (hak-hak rakyat) yang selama puluhan tahun republik ini berdiri dan selama itu juga dikorupsi dan dikolusi oleh pemegang kekuasaan dan Aparatur Sipil Negara-nya, maka biaya untuk memberikan bahan pangan kepada rakyatnya selama beberapa bulan sangatlah tidak berbanding—bahkan dapat disebut sebagai “recehan”, sehingga menjadi rancu ketika pemerintah menyatakan tidak mampu mencukupi kebutuhan SELURUH rakyatnya (tanpa terkecuali) selama beberapa bulan masa wabah (sekalipun selama puluhan tahun gencar memungut pajak, retribusi, serta berbagai “pungutan liar” yang nilainya diluar batas kemanusiaan).
Ketika seluruh rakyat mendapat pasokan pangan yang cukup serta “terjamin” bagi seluruh rakyatnya, maka sirna-lah sudah segala “kebencian” dan “dendam” rakyat kepada pemerintahnya, terbuka upaya rekonsiliasi, dan pemerintah dapat mulai mengalihkan isu-isu terkait korupsi para birokratnya menjadi pendukung hingga menjelma simpatisan “bersama-sama memerangi virus mematikan”, membahanakan slogan “bergotong royong mengatasi wabah penyakit”, membuat antara rakyat dan pejabat yang selama ini meng-korupsi rakyat, tampak saling berangkulan sembari berpose penuh senyum untuk diabadikan dalam sesi pemotretan yang indah ala “pencitraan” oleh “monumen kemunafikan” yang dapat cukup dibanggakan oleh para penguasa kita di negeri ini sebagai modal untuk mendongkrak popularitas politik-pragmatis.
Menjadi lucu sekaligus ironis, ketika pemerintah mengklaim hanya mampu memberikan pasokan bantuan bahan kebutuhan pokok bagi SEBAGIAN rakyatnya semata. Bahkan, sesama rakyat ternyata saling meng-korupsi, dimana banyak terjadi bantuan yang disalurkan oleh pemerintah ternyata “tidak tepat sasaran” akibat ulah oknum pejabat daerah hingga oknum “sesama sipil” bernama Ketua Rukun Tetangga dan Ketua Rukun Warga yang hanya menyalurkan bantuan pangan maupun bantuan dana tunai kepada kerabat pribadinya, disalurkan hanya kepada relasi dekatnya (nepotisme), atau bahkan dikutip sejumlah pungutan liar kepada warga penerima bantuan dana tunai.
Potret wajah sosial-masyarakat kita tersebut terjadi tatkala wabah pandemik menyerang, maka bagaimana ketika keadaan normal? Dimanakah hati nurani segenap rakyat kita, yang seolah kita saat kini sedang dijajah oleh sesama anak bangsa kita sendiri? Tampaknya, musuh paling utama kita bukanlah virus penyebab wabah itu sendiri, bukan juga negara asing berlabel “kolonial”, bukan pula investor asing, namun sesama bangsa kita sendiri, ibarat “musuh dalam selimut”.
Bila terhadap sesama bangsa sendiri perilaku rakyat kita seperti demikian adanya, maka bagaimana perilaku bangsa kita terhadap bangsa lain? Itukah, wajah realita bangsa “agamais” bernama Indonesia yang selama kita bangga-banggakan? Seolah, rakyat dari republik ini tidak pernah kenal kata “malu” terlebih “takut” untuk berbuat jahat terhadap sesama kaumnya sendiri. Apakah terhadap hal yang lebih ironis, ketimbang “sesama anak bangsa saling memakan dan memangsa bangsanya sendiri”? Menjajah bangsanya sendiri, menjadi penjajah bagi bangsanya sendiri. JIka memang mereka hebat, mengapa tidak “menjajah bangsa lain” ketimbang alih-alih hanya “jago kandang” dengan “menjajah bangsa sendiri”?
Dapat dikatakan, momen serangan wabah mematikan ini merupakan “hikmah” tersembunyi yang sangat berharga, dimana kita mampu bercermin sebagai bangsa yang “beradab” atau sebaliknya masih “biadab”. Di dalam “kesempitan”, kita baru akan dapat melihat wajah asli para “tetangga” kita, sementara tatkala keadaan “normal” adalah wajar semua tampak “artifisial”, demikian pepatah pernah mengatakan.
Ketika Indonesia masih bebas dari wabah COVID-19, tidak sedikit rakyat Indonesia yang menghakimi rakyat Tiongkok sebagai sedang dikutuk oleh Tuhan lewat wabah mematikan. Kini, kita dapat melihat wajah asli rakyat kita sendiri—ternyata tidak lebih baik, tidak lebih patuh, dan tidak lebih humanis ketimbang kondisi rakyat di Tiongkok. Semut di seberang lautan ditunjuk-tunjuk serta disebut-sebut, namun gajah di depan mata seolah tidak tampak oleh penglihatan.
Akan tetapi bukanlah itu fokus utama bahasan kita dalam kesempatan ini. Saat terjadi wabah COVID-19 di Indonesia, penulis selaku warga ternyata mendapat bantuan dari pemerintah berupa satu kantung beras dan beberapa lembar masker kain—tanpa keluarga kami pernah meminta pemberian bantuan demikian. Hal tersebut membuktikan bahwa Ketua Rukun Tetangga pemukiman tempat penulis berdomisi, masih memiliki hati nurani. Lantas, apakah penulis akan menolak bantuan satu kantung beras demikian, sekalipun kondisi internal rumah kediaman penulis sama sekali tidak kekurangan bahan kebutuhan pokok? Itulah esensi utama topik bahasan kita yang akan sangat menarik untuk penulis kupas sebagai sarana pembelajaran bagi kita semua serta bagi banyak pembaca uraian di bawah ini.
Penulis tidak menolaknya, dimana keluarga penulis tetap menerima bantuan dari pemerintah berupa satu bungkus beras berisi beberapa kilogram beras. Apakah artinya penulis “mendadak bermental miskin”? Sama sekali tidak. Orang lain hendak berbuat baik kepada kita, mengapa kita menolak kebaikan hati orang lain dan perhatian pemerintah? JIka ada diantara pembaca yang mengatakan, mengapa harus menerima dikala banyak warga lain yang tidak menerima bantuan pemerintah? Maka inilah jawaban tegas penulis : Itu bukan urusan penulis, itu urusan pemerintah terhadap seluruh rakyatnya. Toh, sudah banyak penulis menghadapi aksi pungutan liar para birokrat maupun pengabaian dan penelantaran oleh aparatur sipil negara kita.
Kedua, penulis dan keluarga penulis tidak pernah meminta diberikan bantuan sembako dari pemerintah. Ketiga, setiap bulannya penulis rutin berdana 10% (sepuluh persen) dari penghasilan brutto penulis untuk kegiatan sosial secara “anonim” (karenanya tiada motif politis terlebih keperluan kampanye politik), sehingga penulis hanya bisa “take home pay” 90% dari total penghasilan brutto bulanan profesi penulis. Seberapa banyak diantara Anda, yang memiliki komitmen rutin setiap bulannya selama bertahun-tahun secara konsisten berdana 10% dari penghasilan bulanan Anda? Apalah artinya satu kantung beras bantuan pemerintah yang keluarga penulis terima, dengan besaran nominal donasi yang penulis donasikan setiap bulannya?
Jika penulis adalah seorang “murni bermental pedagang”, penulis akan memilih untuk menolak bantuan satu kantung beras dari pemerintah dan disaat bersamaan juga menolak untuk berdana hingga 10% untuk kegiatan sosial dari penghasilan bulanan pribadi penulis. Mengapa? Jelas “merugi” berdana 10% dari penghasilan bulanan, sementara hanya menerima satu kantung beras yang tidak seberapa harga nominalnya. Dengan 10% dari penghasilan bulanan, penulis mampu membeli belasan kantung beras secara swadaya dan mandiri tanpa bantuan dari pihak manapun. Sayangnya, penulis tidak pernah memandang diri penulis sebagai seorang “pedagang”—penulis adalah seorang “pebisnis” yang menyadari keuntungan dibalik pemahaman atas cara kerja Hukum Karma.
Ketika yang terjadi ialah sebaliknya, seseorang warga yang sejatinya mampu dari segi finansial, masih juga mengemis dan meminta-minta bantuan dari pemerintah, “berebutan” bantuan pemerintah dengan rakyat lain yang lebih miskin darinya seolah dirinya tidak mampu mandiri secara finansial, hingga juga tidak pernah berdana rutin bulanan sebagaimana besaran persentase dana yang penulis kerahkan setiap bulannya (tanpa bermaksud untuk menyombongkan diri penulis), itulah yang baru layak disebut sebagai “lebih hina daripada pengemis”, alias “bermental miskin”, “berwatak pengemis”, “serakah bin tidak punya malu”, atau julukan-julukan tidak bermoral lainnya patut kita alamatkan kepada diri bersangkutan.
Singkat kata, sebagai penutup uraian singkat ini, kita boleh menerima bantuan dari pihak lain, namun kita juga harus berani untuk memberi kepada pihak lain jauh lebih besar daripada apa yang pernah kita terima. Atau, dalam standar dan level yang lebih tinggi derajatnya, menerima atau tidak menerima dari pihak lain sekalipun, kita tetap perlu berdana (menanam benih “karma baik”) secara rutin, penuh komitmen, konsisten, serta “tidak kikir” ketika berdana.
Dengan cara begitulah, kita tidak akan merasa malu ataupun takut ketika ajal menjelang tatkala “dewa kematian” mengunjungi kita, kita akan siap ketika nyawa kita sewaktu-waktu dijemput, nafas terputus, dan memasuki alam kehidupan berikutnya. Mengapa? Karena kita sadar dan mengetahui betul bahwa diri kita bukanlah seorang pengemis yang mengemis-ngemis, bukan pula seorang egoistik yang serakah, tidak pernah merugikan ataupun menyakiti orang lain, dan yang terpenting, ialah kita selama ini telah menabung banyak “karma baik” sepanjang perjalanan hidup kita.
Orang-orang bijak sejatinya adalah orang-orang yang penuh kalkulasi. Sebagai contoh, orang “dungu” akan senang dan rajin menimbun harta dengan cara-cara jahat dan curang, bahkan mencari makan dengan merampok nasi dari piring orang-orang yang lebih miskin daripada dirinya, atau bahkan juga merasa bangga mampu berhasil “menggali lubang kuburnya sendiri” (menanam “Karma Buruk”). Si “dungu” tidak menyadari, bahwa isi perutnya memiliki keterbatasan, serta harta yang ia kumpulkan tidak akan dibawa serta mengikuti kematiannya—sebaliknya, segala hutang dan “karma buruk” akan ia bawa serta dan ia warisi sendiri setelah kematian tiba.
Untuk bisa menjadi “kaya raya”, kita perlu menabung serta berinvestasi. Kita tidak mungkin berharap atau sekadar menunggu, isi tabungan pada rekening kita akan bertambah secara sendirinya untuk dapat kita tarik dan pergunakan untuk dinikmati buah dan “bunga”-nya. Kita harus belajar untuk menabung, bukan tabungan dalam arti harafiah, namun tabungan berupa “perbuatan-perbuatan bajik” alias menanam “karma baik” sepanjang hidup kita. itu baru dapat disebut sebagai langkah orang cerdas.
Bukanlah menjadi persoalan apa yang kita dapatkan atau tidak dapatkan pada kehidupan masa kini, namun apa kontribusi kita terhadap kehidupan (jasa-jasa baik) yang telah kita berikan selama hidup kita. Memberi, artinya adalah keberanian melepas keterikatan dari sifat penuh kelemakatan diri kita sendiri. Master Shih Cheng Yen, pendiri Yayasan Buddha Tzu Chi pernah berpesan, yang hebat bukanlah mereka yang menengadahkan tangannya ke atas (meminta-minta), namun mereka yang menengadahkan tangannya ke bawah (memberikan). Yang manakah kita dan yang manakah Anda?
Pertanyaannya, ialah apakah kita dan mereka layak menerima bantuan dan pertolongan berupa uluaran tangan dan donasi ataupun bantuan berupa pasokan kebutuhan pokok? JIka kita selama ini hidup sebagai warga yang baik, maka kita berhak dan patut mendapatkannya, apapun latar-belakang ekonomi dan kondisi finansial kita. Jangan pernah asosiasikan orang yang mampu secara finansial tidak layak menerima sesuatu pemberian bantuan dari pihak lain, dan seolah semua orang miskin pastilah adalah orang baik yang patut menerima bantuan.
Tidak sedikit orang-orang miskin yang akibat kemerosotan moral, mengakibatkan mereka jauh dalam lembah kemiskinan (“karma buruk” yang berbuah), menyerupai “lingkaran setan” tidak berkesudahan akibat si miskin menjadikan alasan kemiskinan dirinya sebagai alibi sempurna tatkala melakukan tindak kriminal, dan karenanya pula tidak layak untuk mendapatkan “jatah” bantuan.
Karena tiadanya “karma baik” yang dapat berbuah oleh sebab memang tidak pernah ditanam olehnya di waktu lampau, maka adalah wajar hanya dapat memakan “angin kosong”. Negeri ini bukan kekurangan orang miskin, namun selalu kekurangan orang-orang bajik, dan sebaliknya berkelebihan (inflasi) orang-orang yang buruk dari segi moralitas, bukan berkekurangan orang-orang jahat.
Sebagai penutup, Sang Buddha pernah bersabda, bahwa apa yang saat ini, hari ini, kita makan, semua itu adalah “nasi basi”. Apa maksud penuturan Sang Buddha? Sang Buddha, guru para dewa dan manusia, lantas membabarkan, bahwa kita bisa memetik buah karma baik berupa makanan untuk dimakan saat kini, adalah berkat jasa-jasa baik yang kita tanam di masa lampau yang berbuah saat kini. Tanpa kita saat kini proaktif menanam benih “karma baik” yang baru untuk dapat kita panen pada kehidupan berikutnya, sama artinya kita hanya sekadar memakan “nasi basi” pada kehidupan masa kini.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.