Kemajuan Teknologi, Berkah ataukah Petaka bagi Angkatan Kerja?

ARTIKEL HUKUM
Di China, sekadar sebagai perbandingan penerapan kecanggihan teknologi bagi kemakmuran rakyat, pemerintah Tiongkok betul-betul hadir demi mensejahterakan rakyatnya. Ketika rakyat sejahtera dari segi ekonomi, pada gilirannya rakyat RRC demikian mencintai dan menghargai pemerintahan di negaranya. Sah-sah saja ketika suatu pemerintahan mencoba merebut hati rakyatnya lewat memakmurkan kehidupan ekonomi rakyatnya. Yang buruk, ialah pemerintah yang lebih pandai melontarkan jargon-jargon “pro” terhadap rakyat namun ternyata nyatanya lebih memihak terhadap segelintir pelaku usaha yang hendak mengeksploitasi sumber daya alam maupun sumber daya manusia di negaranya.
Contoh paling aktual yang terjadi di Tiongkok, bahkan penerapan kemajuan teknologi benar-benar digalakkan masuk hingga ke desa-desa dan hingga berbagai pelosok di desa, dimana pemerintah Tiongkok benar-benar turun langsung ke “akar rumput” guna memberikan penyuluhan, fasilitas, serta pemberdayaan sehingga para rakyat miskin di daerah-daerah tertinggal tidak dibiarkan berjuang sendiri untuk menapaki geliat hidup ekonominya. Pemerintah Tiongkok benar-benar hadir di tengah rakyat jelatanya.
Salah satunya ialah peneapan penjualan via daring atau eCommerce terhadap komoditas tani para petani, langsung dari petani yang dijual kepada konsumen via media pemasaran via daring atau yang lebih populer dikenal dengan sebutan “toko online”. Dengan demikian, petani dapat menjual langsung komoditas hortikultura yang ditanam olehnya dan konsumen dapat langsung membelinya secara “online” tanpa memerlukan lagi perantara seperti tengkulak. Kini, petani di Tiongkok benar-benar berdaya atas produk taninya tanpa lagi bergantung pada tengkulak. Konsumen pun diuntungkan, karena mendapatkan pasokan segar dan harga yang murah langsung dari petaninya. Selain murah, kepastian usaha dan ekonomi kalangan petani di berbagai pedesaan di China, menjadi terjamin dan berdaya dalam arti yang sesungguhnya. Maka, tidaklah heran bila berbagai produk herbal dari Tiongkok membanjiri pasaran domestik di Indonesia dan di mancanegara.
Kata kunci dari keberhasilan pertumbuhan ekonomi di China, ialah adanya keseriusan serta kepedulian nyata pemerintah Tiongkok untuk memakmurkan rakyatnya. Ketika setiap aparatur pemerintahnya serius dan memiliki kemauan disamping komitmen nyata memakmurkan rakyatnya lewat langkah konkret turun langsung ke “akar-rumput” kehidupan rakyat jelata. Adanya wujud nyata pendampingan serta kepedulian berupa fasilitas, bantuan akomodasi, penyuluhan, edukasi, sarana yang dibuka lebar, pasokan energi yang berkesinambungan, hingga menggalakkan ekonomi rakyat, benar-benar berhasil membuat simpati rakyat kepada pemerintah meningkat sehingga jiwa kebangsaan di Tiongkok demikian kental terhadap pemerintahan RRC di setiap hati dan benak rakyat Tiongkok. Bandingkan secara kontras dengan mental ASN / PNS kita di Indonesia, rakyat sipil hanya dipersepsikan sebagai “sapi perahan” belaka untuk diperas dan dipungut “pungutan liar”—sekalipun sang pelaku usaha sedang mengalami kerugian usaha.
Jika saja Aparatur Sipil Negara maupun Pegawai Negeri Sipil di Indonesia benar-benar memiliki keseriusan serta kepedulian terhadap rakyatnya sendiri, serta pemerintah maupun kepala negara yang tidak “melulu” berorientasi korporasi dan pemodal kuat asing untuk mengeksploitasi negerinya sendiri, namun lebih berorientasi memfasilitasi kegiatan ekonomi kerakyatan dengan meniru / mengadaptasi strategi pemberdayaan ekonomi masyarakat lokal “akar-rumput” seperti yang diterapkan pemerintahan Tiongkok, maka alangkah indahnya.
Contoh konkret lainnya keseriusan pemerintahan Tiongkok atas kesejahteraan rakyatnya, ialah terbukti berdasarkan rilis foto satelit NASA, negara India dan Tiongkok kini lebih “hijau” (luasan sebaran pepohonan) ekosistem lingkungan hidupnya ketimbang 20 tahun lampau. Bandingkan dengan Indonesia, pemerintahnya berdalil bahwa mengundang investor asing maupun pemodal lokal untuk mengeksplorasi serta mengeskploitasi kekayaan alam negeri demi “kemakmuran” ekonomi rakyat, justru mengundang tragedi besar berupa kerusakan masif lingkungan hidup, yang pada gilirannya rakyat lokal tidak lagi memiliki mata pencahariaan, dan pemusatan kekayaan justru kian timpang antara kaum miskin dan para pemodal yang kian makmur secara timpang dan senjang tingkat kesenjangannya. Sehingga, strategi pemerintahan Indonesia sejatinya hanya lebih memakmurkan segelintir “elit” pebisnis, ketimbang memberdayakan ekonomi kerakyatan.
Loginya, jika benar-benar pemerintah Indonesia memiliki kepedulian terhadap ekonomi rakyatnya, maka tidaklah perlu pemerintah kita demikian bergantung, ketergantungan, dan “mengemis-ngemis” agar investor asing menanamkan modalnya di Indonesia—itu adalah wujud cerminan tidak kreatif disamping “kerdilnya” cara berpikir Kepala Pemerintahan di Indonesia yang tidak “berdaya” karena disandera oleh kepentingan pemodal—yang penulis tengarai sebagai bagian dari akibat “deal politis”.
Di China, strateginya ialah pemberdayaan masyarakat setempat, bukan mengundang investasi asing sebagai tumpuan utamanya. Contoh, pemerintah China berhasil menggalakkan ekonomi rakyatnya dengan memfasilitasi kemudahan dan mendorong agar mengekspor komoditas produksi mereka ke luar negeri. Pemerintah Indonesia, terlampau “kerdil” cara berpikirnya, seolah industrialisasi ekonomi selalu harus berkonotasi eksploitasi dan merusak lingkungan. Buktinya, pertumbuhan ekonomi Tiongkok mencapai dua digit sementara jumlah hutan hijaunya terus meningkat dari tahun ke tahun.
Secara kerdilnya, pemerintah Indonesia merasa bangga pertumbuhan ekonomi Indonesia mencetak angka diatas nilai 5 persen pada tahun 2019, sementara ekonomi global terjadi perlambatan ekonomi hanya mampu mencetak angka 3 persen—namun sejatinya secara angka “riil”-nya, pertumbuhan ekonomi Indonesia justru merosot dari tahun ke tahun karena kerusakan alamnya kian tidak terkontrol dan deforestasi hutan kian masif hingga ancaman punahnya lahan gambut menjelma ekosistem beton bernama perumahan dan jalan beton-aspal maupun hutan sawit yang tidak ramah terhadap sumber mata air dan unsur hara tanah.
Pertumbuhan ekonomi “riil”, hanya terjadi pada negeri Tiongkok, kerena pertumbuhan ekonominya diiringi atau seiring dengan kelestarian dan keberlanjutan ekosistem alam bernama lingkungan hidup yang terjaga dan berkembang serta bertambah alih-alih menyusut seperti di Indonesia, sehingga tragedi bencana alam sejatinya menguburkan mimpi pertumbuhan ekonomi dengan “cost” tersendiri guna pemulihan maupun kerugian akibat bencana alam maupun konflik sosial-komunal sebagai bayaran yang harus dibayar mahal oleh penduduk negeri ini ketika ekosistem sumber mencari nafkahnya rusak.
Cobalah tengok kondisi ibukota negara ini bernama Kota Megapolitan Jakarta, begitu ringkihnya karena mudah tenggelam oleh bencana alam berupa banjir, intrusi air laut, maupun penurumah permukaan tanah, maka pertumbuhan ekonomi diatas 5 persen penulis pandang sebagai “omong kosong” belaka karena senyatanya masyarakat dan penduduk Jakarta “merugi” dan harus mengeluarkan “cost” yang jauh lebih besar ketimbang angka imajiner bernama pertumbuhan ekonomi—dimana bisa jadi secara “riil” justru rakyat harus menanggung kerugian real alias bukan peningkatan ekonomi, akibat ancaman bencana alam. Tingkat pertumbuhan ekonomi nasional sifatnya ekstrinsik, sementara pertumbuhan ekonomi rakyat bersifat intrinsik yang tidak mungkin direduksi berdasarkan statisik belaka yang biasa dipropagandakan oleh pemerintah berkuasa demi klaim keberhasilan politis. Pertumbuhan ekonomi “semu”, kita rakyat kita itu sendiri yang harus membayar mahal akibat ancaman kemarau berkepanjangan dan hujan yang turun tidak pada waktunya hingga ancaman banjir.
Orientasi pemerintah Tiongkok, bukanlah aliran modal yang beredar di masyarakat, namun indikator lingkungan hidup sebagai salah satu kemakmuran bagi masyarakatnya. Aliran modal, seringkali semu dan mengecoh, karena acapkali hanya dikuasai oleh segelintir “pemusatan kekuatan ekonomi” yakni segelintir pelaku usaha / pemodal tertentu—dan pemerintah Indonesia justru terjebak dalam paradigma “kolot” demikian, yakni hanya memakmurkan segelintir “elit” pebisnis. Pemerintah Indonesia, dari Kepala Negara satu beralih ke Kepala Negara berikutnya, selalu mengandalkan hutang negara yang telah mencapai ribuan triliun Rupiah demi membuat ekonomi rakyatnya tampak makmur (kemakmuran semu lewat subsidi yang bersumber dari hutang / obligasi negara).
Hanya tinggal waktu, jika metodenya terus memupuk hutang luar negeri maupun hutang dalam negeri, pada gilirannya negara ini akan bangkrut dan rakyatnya yang akan “dipailitkan” oleh pemodal karena pemerintah mendalilkan, tingkat aman hutang negara dibandingkan dengan PDB alias Product Domestic Brutto dimana kekayaan rakyat (bukan kekayaan milik otoritas pemerintahan) yang dijadikan parameter pembandingnya—suatu teori ekonomi yang juga dapat kita tengarai sebagai dibuat dan dicetuskan oleh tokoh ekonom dari negara penyuntik pinjaman.
Pemerintah Tiongkok tidak pernah memakai indikator hutang berbanding PDB, karena pemerintah Tiongkok menyadari betul, bahwa PDB adalah hak rakyat, tidak boleh diintervensi terlebih diklaim sebagai milik pemerintah Tiongkok ketika menerbitkan obligasi dimana nominal PDB sebagai iming-iming bagi pemberi pinjaman—karenanya juga, pemerintahan Indonesia sejatinya lebih “k0munis” ketimbang pemerintahan RRC di Tiongkok, karena menjadikan PDB seolah sebagai aset seluruhnya milik pemerintahan yang berkuasa atas suatu negara “penghutang”.
Menyerahkan mekanisme pasar pada pasar itu sendiri, lewat kemajuan teknologi digital, tanpa intervensi, kontrol, maupun pengawasan pemerintah, maka sejatinya akan kian mematikan ekonomi kerakyatan. Betapa tidak, dominasi penguasaan teknologi didominasi dan dikuasai oleh pemodal kuat, maka pemodal lemah dapat dipastikan akan tergeser dan tersisihkan.
Pemusatan modal akan selalu lebih kuat menggusur pemodal lemah, bila mana pemerintah hanya bersifat pasif dan membiarkan sepenuhnya mekanisme pasar “the invinsible hand” ala Adam Smith benar-benar diberlakukan, maka dapat dipastikan terjadi kompetisi usaha tidak sehat—pemodal besar kian kuat dan pelaku usaha kecil akan kian lemah, terdikte, hanya mampu menjadi “pengikut” yang “menghamba”, atau mati perlahan, tersisihkan layaknya toko kelontong oleh gerai waralaba minimarket padat modal.
Sebagai contoh, tidak semua kemajuan “jual-beli via daring” membawa faedah bagi ekonomi kerakyatan. Faktanya eCommerce, justru mematikan sebagian pelaku usaha, dimana telah kita ketahui bersama, eCommerce mampu menghadirkan harga keekonomisan melampaui “angka psikologis” lewat memangkas rantai distributor, dimana pihak produsen langsung maupun distributor besar dapat langsung menjualnya kepada konsumen “end user” secara “direct peer to peer”, tanpa lagi lewat perantara kedua maupun perantara ketiga.
Sebagai ilustrasi, dahulu sebelum era eCommerce, penulis berlangganan lusinan produk kesehatan maupun kebutuhan konsumsi primer pada salah satu toko eceran maupun retail alias toko “offline”. Namun, ketika kini gencar perdagangan via marketplace, dimana transparansi harga pasar dan harga jual-beli demikian transparan dan mudah diakses tanpa sekat ruang maupun waktu, harga keekonomisan benar-benar terbentuk sehingga penulis perlahan-lahan mulai “beralih hati”—yang mana memang menguntungkan pihak konsumen, namun sebagai konsekuensinya banyak pedagang perantara maupun toko eceran yang perlahan namun pasti nyaris terancam “gulung tikar” atau setidaknya surut dan “menciut” proporsi pangsa dan segmen pasarnya. Terkadang, untuk beberapa komoditas tertentu dimana tempat jual-beli memiliki substitusinya, harga memang menentukan tingkat cair atau tidaknya loyalitas konsumen pada toko dimaksud, baik toko “online” maupun toko “offline”.
Contoh paling konkretnya dari implementasi kemajuan teknologi, ialah penjualan eBook hukum pada website yang penulis kelola ini, sejatinya buku-buku hukum berbentuk eBook (buku digital) yang penulis terbitkan dan pasarkan lewat marketplace berupa website ini, maupun layanan penjualan jasa konseling seputar hukum secara virtual, nyata-nyata telah sedikit-banyak berkontribusi “mematikan” ekonomi kantor hukum “fisik” maupun penerbit buku cetak konvensional tidak terkecuali toko buku-toko buku “offline” yang saat kini segmen pasarnya lebih banyak menjual pernak-pernik asesoris ketimbang dua dekade lampau dimana toko buku pada sejumlah mall lebih berfokus menjual buku-buku cetak semata.
Sebetulnya adalah tidak logis, mengundang investor asing yang padat modal dan padat teknologi, untuk diharapkan dapat memakmurkan rakyat. Kita ketahui bersama, bukan lagi rahasia umum, teknologi robotik mengancam eksistensi pekerja kasar. Secara logika akal sehat sederhana dibidang ekonomi terapan, kita ketahui pula, artian “padat modal” yang diusung investor asing bukanlah padat modal berupa biaya tenagakerja kasar, namun modal besar untuk investasi pembangunan robot-robot demikian. Menjadi pertanyaan besar bagi penulis, sebenarnya apakah “hidden agenda” pemerintahan incumbent kita saat kini? Mengapa kesan yang tidak dapat terhindarkan ialah, demikian liberalis-nya republik ini menjelma.
Mari kita buat kalkulasi sederhana ilmu ekonomi terapan lainnya. investor asing, mulai mengalir deras ke Indonesia sejak tumbangnya era Orde Baru, dengan alasan demi memakmurkan rakyat—entah ekonom manakah yang membuat asumsi semu demikian. Begitupula, sejak tahun 1998 demikian, tekonologi robotik sejatinya telah mulai populer di tengah kalangan pelaku usaha.
Ketika investor asing mulai kian membanjiri Indonesia pada era reformasi, maka semestinya tingkat pengangguran ataupun angka pengangguran terbuka di Indonesia menurun drastis. Namun, telah sedemikian banyak tercatat PMA (penanam modal asing) tercatat pada lembaga BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal) kita. Semestinya, dengan asumsi sederhana masuknya investor asing bermodal kuat dapat menurunkan angka pengangguran secara paralel dan berkesinambungan.
Namun, yang terjadi kemudian, tingkat pengangguran terbuka kian meningkat atau cenderung stagnan. Yang meningkat secara riil, ialah angka pelaku usaha kecil yang sebenarnya dilatar-belakangi keterpaksaan untuk menjadi pelaku usaha kecil dan menengah karena faktor rendahnya lapangan pekerjaan yang tidak sebanding dengan jumlah “supply and demand” angkatan kerja—sehingga, menjadi tidak logis, ketika angka jumlah PMA dan modal asingnya terus dengan demikian deras mengalir ke Indonesia, jumlah pengangguran terbuka tidak turun secara simultan “berbanding lurus” bersamaan dengan itu. Kini, semua serba otomatisasi, mesin dan robotik sebagai pekerjanya—seolah hendak menertawai pekerja tenaga kasar di negeri tempat sang investor “bercokol”, yang pada gilirannya sang investor asing akan menghisap habis kekayaan sumber daya ekonomi Indonesia lewat praktik “transfer pricing”.
Kemajuan teknologi, sejatinya hanya menguntungkan pihak-pihak yang menguasai teknologi—dan kabar buruknya, hanya dikuasai oleh segelintir pemodal kuat. Sebut saja, marketplace yang menampung jual-beli online di Indonesia, hanya berjumlah hitungan jari namun dapat mengguncang dan merobohkan jutaan toko-toko “offline” yang tersebar di Indonesia.
Sebut saja, operator pemesanan transportasi berbasis daring / online di Indonesia, saat bahasan ini disusun ternyata hanya terdiri dari dua operator sehingga berpotensi tinggi menimbulkan iklim persaingan usaha yang tidak sempurna di pasar alias menguasai pangsa pasar secara “oligopoli” demikian mendominasi tanpa kompetitor terbuka lainnya.
Kemajuan teknologi, bisa menjadi sebuah peluang serta kesempatan untuk bertumbuh dan berkembang bersama dengannya sebagai “kendaraan bisnis” yang menjanjikan—namun disaat bersamaan juga dapat menjadi ancaman laten bagi generasi berikutnya bila gagal untuk mengikuti arus kompetisi yang kian keras dan rapat.
Dunia pers global, kini telah digemparkan oleh media sosial (“medsos”) yang menyusul dengan cepat media cetak yang telah eksis sejak satu abad lampau. Si bungsu ternyata mampu melaju demikian cepat, meninggalkan sang sulung yang kian terengah-engah dan kehabisan nafas mengikuti gerakan manuvernya. Terjadi evolusi kebutuhan konsumen berita yang bersifat “mobile”. Kita semua, menjadi terbebani untuk turut berkembang bersama perkembangan teknologi—atau bila tidak, akan terancam tertinggal jauh di belakang.
Betapa tidak, berbagai media massa seperti media koran cetak, telah tercatat kolaps satu per satu, atau setidaknya beralih lini menjadi media online untuk dapat tetap eksis dan survive di tengah derasnya arus informasi “online” disamping berbagai perusahaan taxi yang juga turut bertumbangan satu per satu, yang mana lagi-lagi, mengancam eksistensi lapangan kerja para pekerja peliput beritanya. Siapa lagi dan bidang apa lagi yang kini sedang terancam eksistensinya oleh kemajuan teknologi digitalisasi dan robotik yang kian tidak terbendung seperti sekarang ini? Digadang-gadang, konon, kalangan profesi akuntan lulusan Fakultas Akuntansi akan digantikan serta tergantikan oleh tenaga mesin kecerdasan buatan bernama robot program akuntansi.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.