Menjadi Sarjana Hukum yang Modern dan Canggih, agar Tidak Tergantikan oleh Peran sebuah Robot ataupun Terdegradasi oleh Keganggihan Teknologi yang Tidak Lagi Terbendung

ARTIKEL HUKUM
Yang menjadi tuntutan bagi kalangan profesi hukum di era kecanggihan teknologi secara masif seperti masa kontemporer ini, ialah agar dapat dan mampu lebih canggih daripada kecanggihan kemajuan teknologi itu sendiri. Mampukan kita sebagai seorang manusia, lebih canggih serta lebih cerdas daripada kecanggihan teknologi itu sendiri?
Hanya dalam tempo rentang dua dekade lamanya, dimana masyarakat belum dapat mengakses berbagai peraturan perundang-undangan secara “online”, menjelma “semua dalam satu genggaman tangan”. Terbayangkan-kah oleh Anda, bagaimana rupa kemajuan teknologi untuk dua dekade yang akan datang, dan siapkah Anda serta seluruh kalangan profesi hukum global maupun di Indonesia pada khususnya?
Bahkan, satu dekade lampau, belum pernah terbayangkan oleh kita kemungkinan bersidang tanpa harus datang secara fisik menghadap ke gedung pengadilan. Semua tergantikan oleh kemajuan teknologi, termasuk tergantikannya peran kalangan sebagian besar profesi hukum “klasik” yang selama ini berpraktik secara “orthodoks” layaknya profesi hukum sebelum dikenal teknologi digital dan internet “Global Wide Web” (Sarjana Hukum “Purba”, yang cepat atau lambat akan segala “punah” dan menjadi fosil yang mengisi museum mendampingi tulang-belulang dinosaurus para pendahulu mereka).
Akan lebih banyak lagi menunggu hal-hal yang tidak pernah kita duga, pikirkan, ataupun antisipasi yang akan mungkin terjadi untuk satu abad mendatang, atau untuk beberapa dekade yang akan datang dimana tantangan bagi kalangan profesi hukum akan berubah drastis dan menuntut wajah berhukum yang lain dari yang selama ini telah “mapan” dan “nyaman” (ucapkan selamat tinggal kepada “comford zone”).
Mungkin saja, tidak tertutup kemungkinan, tidak sampai satu abad yang akan datang, pengetahuan jutaan peraturan perundang-undangan cukup dilakukan semudah menyuntikkan data-data ke dalam kepala seorang warga, layaknya memasukkan data dari flashdisk ke dalam perangkat komputer Anda. Jangan katakan “tidak mungkin”, segala hal yang ada sekarang ini pun pada mulanya dipandang sebagai “tidak mungkin” untuk terjadi (“impossible into possible, that is the meaning of technology”).
Kabar baiknya, mereka yang bukan bergelar “Sarjana Undang-Undang” akan bertahan, sementara kabar buruknya ialah mereka yang menyandang gelar “Sarjana Undang-Undang” diprediksi oleh banyak pemerhati teknologi informasi akan tersisih dalam kurun waktu kurang dari satu dekade sejak tulisan ini penulis ulas. Bukan bermaksud untuk menakut-nakuti, prediksi akan “ancaman” tergantikan oleh “kecerdasan buatan” demikian tampaknya mulai benar-benar telah menunjukkan gelagatnya untuk muncul di depan mata kita.
Kini, antar Sarjana Hukum bukan hanya harus bersaing dengan sesama Sarjana Hukum, namun juga harus mendapati kenyataan bahwa mereka siap atau tidak siap akan dihadapkan pada sepasukan robot-robot yang dipersenjatai dengan kecerdasan komputerisasi secepat jet tempur. Jika manusia memang lebih cerdas daripada sebuah kalkulator, mengapa juga hingga kini kita masih bergantung pada alat bernama kalkulator yang paling sederhana sekalipun?
Kalangan dengan latar belakang Sarjana Hukum yang berprofesi dibidang hukum, yang hanya mengandalkan telah membaca dan mampu menghafal ribuan hingga jutaan peraturan perundang-undangan, dapat dipastikan “kalah telak” bahkan “babak belur” berdarah-darah menghadapi era komputerisasi dan digitalisasi yang telah berkembang demikian pesat dan masifnya tanpa sekat batas waktu maupun ruang ini.
Pada era digital seperti sekarang ini, orang awam mana pun dan dimana pun dapat mengakses jutaan peraturan perundang-undangan semudah memainkan tuts pada keyboard gadget digital mereka, maka secara sendirinya kalangan “Sarjana Undang-Undang” telah tersisihkan dan masuk dalam “zona degradasi”. Untuk mampu bertahan dan survive pada era komputerisasi jejaring digital yang tidak mengenal belas-kasihan ini, dituntut untuk terampil dalam satu hal, yakni lebih canggih daripada kecanggihan teknologi mana pun, yaitu dengan cara mampu membuat analisa yuridis yang tidak akan pernah mampu dianalisa dan disimpulkan ataupun direkomendasikan oleh kecerdasan buatan manapun—itulah tawaran satu-satunya yang masih akan tersisa bagi kalangan profesi hukum di masa depan. Itulah kabar baik bagi kalangan profesi hukum, dibanding kalangan Akuntan yang benar-benar tidak membutuhkan kepandaian melakukan analisa namun semata kalkulasi robotik sehingga lebih rentan tergantikan perannya.
Bagi kalangan pengacara, jangan pula bersenang hati karena selama ini memonopoli ruang peradilan, karena berbagai format baku surat gugatan maupun nota pembelaan pledooi, telah pula mampu disuguhkan oleh media digital untuk dipelajari dan diaplikasikan atau diterapkan oleh masyarakat awam sekalipun—dan itulah tren terkini para pencari keadilan di Tanah Air, maju sendiri tanpa didampingi oleh kuasa hukum (dimana bahkan lawan mereka adalah kalangan pengacara, sehingga bila orang awam dapat menang melawan seorang pengacara, sungguh mencoreng kalangan profesi ke-pengacara-an di Tanah Air).
Masyarakat umum kini mampu berhemat hingga ratusan juta Rupiah untuk satu kasus perkara dari Pengadilan Negeri hingga Kasasi maupun Peninjauan Kembali, dengan cara semudah riset format baku surat gugatan, bantahan, maupun pledooi yang kini mudah dicari dan dihimpun secara “online”. Kemudahan mengakses peradilan bahkan kini kebijakan Lembaga Yudikatif telah lebih pro terhadap rakyat, lewat kehadiran e-court, peradilan yang memungkinkan pengiriman berkas perkara maupun persidangan hingga pembacaan putusan dan pencetakan putusan secara mandiri tanpa harus hadir dan tanpa harus membuang-buang waktu menuju dan kembali dari gedung pengadilan.
Dimana e-court itu sendiri kelak akan menjadi monumen titik balik kian tenggelam serta terpuruknya profesi advokat, dimana masyarakat awam tidak lagi merasa perlu membayar mahal bagi profesi pengacara mana pun. Fenomena sekaligus tren itulah yang kini penulis jumpai sendiri, dimana memang tiada faedahnya bersidang dengan menyewa kuasa hukum untuk maju atas nama sendiri tanpa diwakili oleh seorang kuasa hukum—untuk apa juga bersidang secara “online” dengan membayar mahal dan memakai jasa seorang Advokat / Lawyer, bila masyarakat umum mampu bersidang secara “online” dan membuat surat gugatan maupun bantahannya sendiri dengan semudah duduk dibalik layar komputernya pada sofa di rumah?
Masyarakat awam tentunya selalu lebih menyukai cara yang disebutkan terakhir di atas, karena semua dalam “genggaman” dan “pengaturan / kontrol” sang pencari keadilan secara pribadi dan bebas leluasa, dimana selama ini dokumen terkait perkara kerap di-“retensi” secara ilegal oleh kalangan pengacara di Tanah Air. Murah, mudah, terukur, terkontrol, serta lebih mandiri dan berdaya. Jika bisa dipermudah, mengapa dipersulit? Karena tidak dapat lagi dipersukar, maka tiada lagi “lahan basah” basi kalangan advokat untuk mengeruk keuntungan ratusan juta Rupiah untuk satu perkaranya seperti yang selama ini terjadi sebelum era kemajuan teknologi mewabah.
Bila kekhawatiran sekaligus sebagai segala pengingat (warning) tersebut tidak dirasakan menghadirkan desakan serius untuk melakukan inovasi layanan jasa hukum maupun kompetensi dan keterampilan spesifik dibidang hukum yang “tidak akan mampu digantikan oleh kecanggihan teknologi manapun”, maka siapkanlah diri Anda untuk menjumpai kejadian yang sudah akan dapat diperhitungkan sedari dini seperti dalam kisah berikut yang penulis beri judul “MENGGENGGAM ZAMAN, ATAU TERTINGGAL ATAU BAHKAN DIMAKAN OLEH KEMAJUAN ZAMAN YANG KEJAM”, secara khusus penulis kutipkan sebagai ilustrasi konkretnya:
Puluhan tahun yang lampau, pada sebuah desa, terdapat seorang tua. Pekerjaan sang pria tua tersebut ialah sebagai tukang asah pisau keliling. Setiap harinya, orang tua tua tersebut berkeliling dari satu rumah ke rumah lain untuk menawarkan jasanya. Beliau berkeliling sambil membunyikan lonceng kecil, untuk menarik perhatian orang.
Pada mula awal karirnya, banyak sekali keluarga yang memanfaatkan jasa beliau. Setiap hari selalu ada saja orang yang mengasahkan pisau ataupun gunting mereka ke orang tua tersebut. Dengan pekerjaan mengasah pisau, orang tua tersebut bisa menghidupi keluarganya.
Tahun demi tahun berlalu, zaman ternyata bergerak semakin maju, tidak pernah kecanggihan teknologi berjalan mundur ataupun stagnan, sehingga membuat segalanya menjadi lebih mudah, efisien, serta praktis, karena memang begitulah tujuan maupun tuntutan dibalik kemajuan teknologi.
Demikian juga, tidak terkecuali pisau-pisau maupun gunting-gunting yang ada di pasaran saat kini, semakin berkualitas dan murah. Sehingga perlahan-lahan tidak ada lagi masyarakat dan penduduk yang mengasahkan pisau atau guntingnya. Jasa dan keterampilannya mulai ditinggalkan oleh para pelanggan lamanya. Mereka lebih memilih untuk membeli yang baru, ketimbang mengasah pisau ataupun gunting lamanya.
Akibatnya, tidak ada lagi orang yang membutuhkan jasa orang tua si pengasah pisau. Tetapi, setiap hari orang tua tersebut tetap berkeliling seperti biasa, dengan harapan masih akan ada terdapat beberapa warga pemilik rumah yang mau memanfaatkan jasanya mengasah pisau dan gunting.
Awalnya, orang tua tersebut masih bersemangat. Akan tetapi, realita seringkali tidak berjalan sesuai harapan, maka kita yang harus mengikuti realita atau tertinggal dibelakang realita. Lama-kelamaan, semangat sang pria tua mulai kian mengendur karena terbentur pada fakta, bahwa tidak ada lagi orang yang membutuhkan dia maupun jasa pengasah pisau.
Waktu pun terus berjalan dan berlalu, akhirnya tidak lama setelahnya, orang tua tersebut meninggal dunia. Ada yang mengatakan bahwa orang tua tersebut meninggal karena penyakit yang diderita olehnya. Namun penyebab yang pasti mengenai meninggalnya sang pria tua tersebut, tidak pernah ada yang dapat mengetahuinya hingga kini.
Berikut inilah pertanyaan terpentingnya untuk kita renungkan bersama : Apa yang akan Anda rasakan dan lakukan, bila tidak ada lagi orang yang membutuhkan Anda maupun jasa Anda?
Anda akan merasa ‘dying inside’! Menurut teori kebutuhan Abraham Maslow, kebutuhan manusia yang paling tinggi adalah ‘aktualisasi diri’. Anda akan merasa sangat berarti bila Anda dibutuhkan oleh banyak orang. Oleh karena itu, buatlah sesuatu yang dapat membuat diri Anda dibutuhkan, kembangkan potensi diri Anda. [Zulaiha Amin]
Seekor dinosaurus, punah bukan karena kalah bersaing dengan sesama satwa penghuni hutam rimba belantara, namun karena tidak lagi dibutuhkan oleh dunia ini. Sama halnya, seorang Sarjana Hukum “keras kepala” yang memiliki keyakinan semu bahwa dirinya adalah “orang istimewa” dengan “bakat istimewa” namun tidak “membuka” pada realita kemajuan teknologi, akan turut punah bersama kalangan profesi lainnya yang dapat digantikan dan mulai tergantikan oleh para robot-robot yang terbuat dari “kaleng besi”.
Bila masih terdapat diantara kalangan Sarjana Hukum di Indonesia yang bersikukuh bahwa Sistem Hukum Civil Law ala Eropa Kontinental semata hanya sebatas pada peraturan perundang-undangan, maka siap-siap-lah “punah”, karena tiada warganegara awam hukum mana pun yang membutuhkan seorang “Sarjana Undang-Undang”, dimana kalangan “Sarjana Undang-Undang” tersebut akan dan telah tergantikan oleh peran sebuah robot berupa mesin pencarian digital dengan algoritma canggihnya dalam genggaman bernama teknologi seluler, perangkat digital, dan internet yang berisi gudang data raksasa peraturan perundang-undangan paling aktual dan efesien dalam mencari, melacak, serta mengaksesnya.
Silahkan adu kuat dengan membenturkan kepala Anda yang sekeras batu itu pada tembok baja kuat bernama kecanggihan teknologi yang telah di depan mata ini. Bahkan kapasitas otak Anda tidak akan pernah mampu menyaingi jejaring dunia maya dan kapasitas servernya yang demikian cepat dan cerdas.
Hanya profesi yang mengandalkan analisa yuridis yang akan bertahan dari sapuan perubahan zaman, karena kemampuan untuk melakukan analisa yuridis merupakan satu-satunya kelemahan “kecerdasan buatan” (artificial intelligence)—hanya itu ruang yang tersisa bagi kalangan profesi hukum lokal maupun global. Sebuah robot bekerja pada tataran “tekstual”, sementara daya nalar seorang manusia bermain dalam tataran “kontekstual”.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.