Menggugat Ketentuan Kewajiban Sertifikasi Produk / Jasa Halal Haram di Indonesia, Kebijakan yang Mengucilkan Dirinya Sendiri

ARTIKEL HUKUM
Telah terbit peraturan pemerintah yang mewajibkan setiap produk yang beredar di pasar Indonesia, agar diberi label “halal”. Alasannya, demi melindungi umat muslim dari produk-produk konsumtif yang tidak “halal”, alias mengeliminir segala produk “haram”. Segregasinya menjadi demikian jelas dan kontras, seolah dipertentangkan antara yang “halal” dan yang “haram”. Sama artinya juga melarang umat muslim untuk ber-travel dan berwisata ke luar negeri yang mayoritas penduduknya belum tentu menerapkan produk “halal” pada toko-toko kuliner mereka.
Perlu dicatat, yang penulis kritik dalam artikel ini ialah kebijakan pemerintah dalam memberlakukan kewajiban sertifikasi produk “halal”, bukan perihal isu terkait agama ataupun perihal keyakinan. Penulis tidak sedang mengkritisi keyakinan untuk percaya atau tidaknya mengkonsumsi hanya produk-produk “halal”, karena keyakinan adalah perihal ranah privat personal, pilihan bebas masing-masing individu. Bila ada yang menafsirkan lain, maka itu adalah urusan diri bersangkutan itu sendiri, karena seperti yang telah penulis tegaskan, uraian ini membatasi ruang lingkup dialektikanya sebatas mencermati dan mengkritisi kebijakan pemerintah yang bersfat “memaksa”.
Secara pribadi, penulis menilai aturan yang mewajibkan sertifikasi “halal” demikian bertendensi mematikan ekonomi pelaku usaha nonmuslim, dan disaat bersamaan membatasi akses masyarakat beragama nonmuslim untuk mendapatkan produk-produk “nonhalal”—sementara kita ketahui, kebebasan meyakini sesuatu adalah hak asasi manusia sebagaimana diamanatkan oleh Konstitusi RI. Menutup ruang publik untuk produk-produk “nonhalal”, sama artinya membatasi ruang gerak ekonomi pelaku usaha maupun konsumen nonmuslim, dimana seolah terjadi pemaksaan bagi pemeluk nonmuslim untuk hanya dapat mengkonsumsi produk-produk “halal” yang disaat bersamaan dapat juga disebut sebagai suatu kebijakan “...isasi”.
Mengkonsumsi makanan / produk “halal” maupun yang “haram”, ialah perihal pilihan itu sendiri, tidak dapat dipaksakan oleh pihak pemerintah selaku otoritas negara pembentuk aturan normatif hukum. Apa yang penulis kemukakan, bukanlah sebuah tuduhan tanda dasar, namun sinyalirnya jelas sekali. Sebagai contoh, bagaimana mungkin seseorang nonmuslim untuk membuka restoran di depan publik (jelas bahwa membuka toko komersiel yang ideal ialah di depan umum dengan banyak pelintas jalan atau padat penduduk, tidak ada toko dibuka pada gang tersembunyi yang hanya disambangi oleh kekelawar dan burung hantu), dengan menuliskan atau mencantumkan keterangan di atas papan nama tokonya : “Di sini hanya dijual masakan tidak halal”, atau bahkan tercantum lebih eksplisit lagi : “Di sini haya dijual masakan HARAM”.
Kebijkaan lama, masihlah bersifat lebih moderat, dimana produsen dan penjual bersifat fakultatif saja untuk mendaftar guna mendapatkan labelisasi produk “halal”, tidak bersifat dipaksakan, namun sebatas kesukarelaan saja. Sebab, pihak konsumen itu sendiri yang kemudian akan memutuskan, apakah akan membeli atau tidaknya produk tanpa pencantuman label “halal” dalam kemasan, dimana bila kemasan produk tidak mencantumkan label “halal”, maka cukup diri konsumen bersangkutan mengasumsikan produk tersebut tidak “halal” dan tidak perlu membeli terlebih untuk mengkonsumsinya.
Yang menjadi berbahaya dari kebijakan pemerintah saat kini, pencantuman keterangan “tidak halal” itu konotasinya bisa sangat macam-macam karena sangat multitafsir serta membias, mengingat definisi “najis” maupun “haram” bukan hanya mengandung kandungan komponen “B2” ataupun “anjing”, bisa diperspektifkan juga mengandung unsur penipuan, eksploitasi tenaga kerja anak, pemaksaan, pencucian uang, kotor, tidak higienis, dsb.
Secara sosiologi, cukup pihak konsumen itu sendiri yang memutuskan, tetap hendak membelinya ataukah tidak jika tidak ada pencantuman label “halal” pada suatu toko kue, misalnya, bukannya membuat dan menerapkan kebijakan “top to down” yang bersifat normatif-imperatif berupa kewajiban sertifikasi “halal”. Sama seperti jasa hukum yang penulis sediakan dan tawarkan dalam website ini, apakah dalam website komersiel penyediaan jasa hukum ini harus pula dicantum besar-besar keterangan : “KONSULTAN HUKUM TIDAK HALAL”, atau bila dirumuskan secara lebih tersurat : “Menyediakan jasa konsulatsi hukum oleh konsultan HARAM kepada klien HARAM”, atau seperti menyerupai “Menyediakan hanya opini hukum yang HARAM”? Jika memang demikian, maka sama artinya jutaan penduduk Indonesia yang setiap harinya membaca publikasi ilmu hukum dalam website ini, sejatinya sedang dan telah mengkonsumsi opini hukum “HARAM”.
Dengan demikian, pemerintah seolah membuat garis pemisah secara tegas antara “si kafir” dan “si muslim”, “produk kafir” dan “produk muslim”, “dijagal oleh kafir” dan “dijagal oleh muslim”, “dijual oleh kafir” dan “dijual oleh muslim”, beneficial owner-nya dimiliki oleh “pengusaha kafir” dan dimiliki oleh “pengusaha muslim”, menjelma politik pecah-belah “adu domba” ala Kolonial Belanda, seolah semua hendak diseragamkan (sehingga frasa pluralistik menjadi jargon semata, dimana semua dipaksakan menjelma “halal”, seolah umat beragama lain ialah “haram”), dimana paradigma yang dipakai ialah perspektif mengkafir-kafirkan yang selama ini menjadi karakteristik atau ciri khas ideologi terorisme.
Konon menurut hukum syariah, sebagaimana dituturkan oleh salah seorang sahabat dari penulis, salah satu syarat utama perdagangan “halal” dalam Islam, yakni penjual harus terbuka menyebutkan “harga modal” Vs. “harga jual”, dimana konsumen berhak tahu berapa keuntungan yang diterima sang penjual—namun bisa jadi informasi yang penulis dengar tersebut adalah mitos belaka, karena sifatnya “de auditu”. Hingga sejauh ini, sejauh pengamatan dan sepengetahuan penulis, tidak pernah terdapat toko-toko yang menjual produk-produk “halal” mencantumkan keterangan berapa harga modal alias keuntungan yang mereka dapat atas setiap produk yang mereka jual. Lantas, mengapa juga produk yang mereka jual masih menyandang label “halal” dalam kemasan mereka, dan juga tetap dibeli serta dikonsumsi oleh penduduk muslim di Tanah Air?
Kebijakan yang mewajibkan sertifikasi “halal” dalam setiap produk yang dijual pada pasar umat muslim, sama artinya memaksa pelaku usaha nonmuslim untuk hanya boleh menjual dan berdagang secara sembunyi-sembunyi (secara bergerilya mencari penghasilan lewat berjualan produk “haram” kepada sesama nonmuslim), karena penduduk muslim ada di mana saja, tersebar di mana saja, di setiap ruas dan sudut mana saja, sehingga satu teritori Indonesia ini ialah pasar penduduk muslim.
Sebagaimana contoh yang telah penulis urai di atas, konotasinya menjadi negatif sekali, seolah sembunyi-sembunyi menjual dan memperdagangkan atau mengedarkan obat-obatan terlarang yang juga dikategorikan sebagai “haram”. Pada muaranya, konsumen yang berlatar-belakang nonmuslim seolah harus sembunyi-sembunyi seperti “pencuri” hendak yang membeli produk “nonhalal” alias “haram” demikian, sehingga mencari membeli masakan mengandung B2 sama kejahatannya seperti seorang pembeli obat-obatan terlarang yang harus bermain “kucing-kucingan” dengan aparatur penegak hukum.
Yang jelas, kini produk-produk “haram” yang tidak memiliki sertifikasi label “halal” dalam kemasan, tidak dapat dijual pada minimarket maupun supermarket manapun, karena pastinya juga akan dikunjungi oleh konsumen muslim. Jika seluruh produk yang dijual pada rak-rak etalase dan gerai minimarket maupun supermarket, hanya produk-produk “halal”, maka untuk apa lagi dicantum label “halal” dalam kemasan?
Yang jelas, kini pengusaha-pengusaha kuliner nonmuslim tidak dapat berjualan di depan umum (karena pastilah melintas pengguna jalan muslim, atau terdapat penduduk muslim setempat). Pengusaha-pengusaha kuliner nonmuslim, sekalipun tidak menjual produk B2, tetap dikategorikan sebagai “haram” karena dimasak, disentuh, dan dijual oleh seorang “kafir”. Karenanya, sama artinya pemerintah telah membredel seluruh kalangan pelaku usaha nonmuslim di Indonesia—alias mematikan hak ekonomi seluruh umat yang berbeda dari agama mayoritas di Indonesia, dimana “bhineka tunggal ika” kemudian menjelma menjadi slogan belaka.
Sementara, menurut survei yang pernah penulis baca pada jejaring resmi media sosial, penduduk muslim di Tanah Air hanya berjumlah 70-an persen dari total populasi di Indoenesia. Yang disaaat bersamaan artinya, terdapat kurang-lebih 30 persen populasi memiliki keyakinan dan kebebasan untuk memilih yang berbeda dan berlainan dengan apa yang disebut sebagai “halal” Vs. “haram”.
Menjadi pertanyaan besar bagi penulis, perlukah penulis mencantumkan secara emplisit pada website komersiel profesi penulis ini, keterangan “Konsultan Hukum HARAM, publikasi ilmu hukum dalam website ini hanya boleh dibaca oleh pembaca KAFIR”? Jika memang segala produk dan pelaku usaha “kafir” ditolak untuk mengisi republik ini, mengapa juga pemerintah secara ambigu justru membuka lebar-lebar keran importasi produk dari negara “nonmuslim” serta mengundang selebar-lebarnya lengkap dengan “karpet merah” bagi investor asing untuk masuk dan menanamkan modal “haram”-nya di Indonesia (seolah dapat mengotori tanah suci negeri ini)?
Bukankah adalah pilihan bebas konsumen itu sendiri, untuk menentukan akan mengkonsumsi atau menggunakan jasa sang pelaku usaha atau produk bersangkutan? Sama artinya, pemerintah melarang warganya sendiri yang beragama muslim untuk travel dan berwisata ke negeri-negeri yang tidak berkiblat pada keyakinan perihal “halal” Vs. “haram”, alias berwisata ke negara “HARAM”? Masih banyak kita jumpai produk pangan serta hortikultura yang dikonsumsi oleh penduduk Indonesia, semisal komoditas bawang dan buah-buahan dari daratan Tiongkok hingga hewan ternak seperti sapi dari Australia, secara impor yang masif sifatnya. Belum lagi jika kita berbicara perihal franchise kuliner ala fastfood (junkfood) dari Amerika Serikat yang sangat digemari konsumen Indonesia. Sama haram”-nya dengan ketika Joko Widodo selaku Presiden Republik Indonesia, justru mengundang dan membuka pintu selebar-lebarnya bagi pebisnis serta pengusaha Amerika Serikat ataupun RRC untuk menanamkan (menginvestasikan) modal haram”-nya di tanah suci Indonesia.
Pola berpikir pemerintah terlampau dangkal, sampai-sampai seolah “kurang kerjaan” mengatur sampai jauh ke dalam kehidupan privat (seolah tiada pekerjaan lain yang lebhi penting), dimana keyakinan adalah perihal hal privat, bukan menjadi domain hak bagi otoritas negara untuk mengaturnya. Jika pemerintah mengklaim sedang membela dan memperjuangkan hak-hak kaum muslim, maka penulis mohon diberikan dokumen berupa surat kuasa dari seluruh penduduk muslim di negeri ini yang berisi pemberian kuasa untuk itu. Sampai-sampai sempat diberitakan, sebuah toko kue mencantumkan keterangan tidak menerima pembuatan kue dengan disertai ucapan selamat hari raya Natal dan Imlek demi mendapat sertifikat demikian, buntut dari Fatwa MUI yang mengharamkan ucapan ataupun busana Natal. Janganlah sampai, pada suatu waktu, untuk mengkonsumsi (menghirup) nafas atau untuk sekadar minum air pun, udara dan air di sekitar kita harus disertifikasi “halal” Vs. “haram” terlebih dahulu. Atau bahkan menstigma Bahasa Inggris sebagai bahasa “haram”, sehingga dilarang untuk dipelajari ataupun untuk memberikan layanan jasa pelajaran bahasa asing. Pemerintah disebutkan hendak mengurangi regulasi, namun faktanya justru berkebalikan, dimana untuk hal yang paling privat-personal pun diatur-atur.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.