Jawaban Pragmatis atas Perilaku Pragmatis Bangsa Pragmatis

ARTIKEL HUKUM
Mengapa kepastian hukum maupun penegakan hukum di Indonesia, demikian tidak konsisten dan seolah “tebang pilih”, dimana kejahatan merajalela mendampingi berbagai aksi premanisme seolah dipelihara oleh negara yang tidak pernah benar-benar hadir di tengah masyarakat? Terhadap pertanyaan klise demikian, dapat dijawab baik secara diplomatis maupun secara empirik-sosiologis, namun tidak akan pernah dapat dijawab secara yuridis selain hanya berteori ria dengan mengulang-ulang slogan “law in the book” (das sollen) vs. “law in the society / reality” (das sein).
Normatif hukum berbicara perihal “apa yang seharusnya” (ought to), sementara tataran praktik dalam realita berbicara perihal “apa yang senyatanya terjadi” (as is), sehingga jelas bahwa norma imperatif hukum dalam penerapannya membutuhkan itikad baik para penegak hukum itu sendiri pada khususnya dan itikad baik seluruh warga negara agar senantiasa patuh terhadap hukum secara umumnya.
Secara diplomatis, dapatlah pemerintah berkelit dengan menyatakan bahwa sumber daya manusia (SDM) aparatur penegak hukum tidak memadai untuk mengawasi dan melayani ratusan juta penduduknya—meski secara gaibnya, mereka tidak pernah hadir di tengah-tengah masyarakat ketika sedang sangat dibutuhkan keberadaannya, dan sebaliknya akan selalu hadir tatkala hendak melakukan penilangan di jalan raya.
Secara diplomatis pula, pemerintah akan mendalilkan agar penalisasi perlu diarahkan kepada kebijakan dekriminalisasi demi alasan pragmatis: jumlah kapasitas penghuni Lembaga Pemasyarakatan (Lapas), telah overload dan overcapasity. Alhasil, otoritas yang menangani Lapas merasa terdesak untuk menerapkan kebijakan “obral remisi” meski ujung-ujungnya residivis kembali diringkus untuk kembali mendekam yang dalam sel dibalik jeruji yang sama ketika dibebaskan beberapa waktu sebelumnya.
Pada gilirannya, para preman dan para pihak yang mengandalkan aksi premanisme untuk merajai jalanan, seolah “dipelihara” oleh negara, menjadi raja-raja kecil di setiap lingkungan pemukiman warga. Tidak terhentikan (unstopable), tidak terkalahkan, tidak dapat ditakuti oleh hukum, tidak mengakui aturan hukum (yang berlaku kemudian ialah “hukum rimba”), dan terus berkembang-biak bak cendawan di musim penghujan.
Warga yang selama ini menjadi korban, dilarang oleh pemerintah untuk melakukan pembelaan diri seperti mempersenjatai diri dengan senjata api ataupun untuk melawan dan “main hakim sendiri”. Sementara, disaat bersamaan, aparatur penegak hukum (terutama pihak kepolisian) memonopoli penggunaan alat-alat bersenjata api maupun untuk menjebloskan para kriminil ke dalam penjara. Sama artinya, ketika aparatur penengak hukum justru mengabaikan laporan ataupun aduan warga selaku korban, bahkan dipersulit seperti kerap terjadi dialami warga korban pelapor, akses menuju peradilan yang ditutup, hal tersebut justru seolah negara memang benar-benar sedang “memelihara” premanisme di tengah masyarakat. Aparatur penegak hukum itu sendiri yang sejatinya paling perlu untuk ditindak, diringkus, dan diadili.
Kini kita beralih pada bahasan yang lebih mendekati realita sosial-kemasyarakatan kita. Budaya (kesadaran) hukum bangsa Indonesia, masih sangat minim. Mereka hanya patuh tatkala ada aparatur penegak hukum yang mengawasi. Diawasi dan ditindak sekalipun, namun bila aparaturnya mudah disuap dan disogok, sama artinya hukum dapat “dibeli”—pada muaranya wibawa hukum dipertaruhkan, dan sayangnya kini telah terdapat stigma oleh masyarakat kita sebagai “tidak kredibel” karena kerap diperjual-belikan oleh aparaturnya sendiri.
Apapun, dapat dibeli di Indonesia, termasuk hukum, termasuk perizinan yang semula “dilarang” menjadi “dibolehkan”, dari semula “ilegal” menjadi “legal dan valid”, dari semua “narapidana” menjadi “bebas murni”. Praktik berhukum kita menjadi praktik transaksional yang menghamba pada pemegang kekuasaan dan pengusaha bermodal besar. Si miskin dan warga sipil jelata, pada gilirannya hanya mampu “gigit jari” dan tersisihkan di tengah kondisi hukum yang tidak lagi kondusif.
Pada gilirannya, terjadilah apa yang penulis sebut sebagai “terlampau sering” dan “terlampau masif”-nya pelanggaran demi pelanggaran hukum terjadi di tengah masyarakat kita, dimana wibawa hukum menyentuh titik nadir bahkan kerap memiliki wajah “tumpul ke atas dan tajam ke bawah”—suatu fakta realita yang dapat dipastikan pernah kita jumpai dengan mata kepala kita sendiri, alias sudah menjadi “rahasia” umum, sebagaimana juga kerap terjadi.
Terlampau sering dan terlampau masifnya pelanggaran hukum yang dilakukan oleh masyarakat kita, maka pada gilirannya pelanggaran hukum menjadi hal yang sudah biasa dan dianggap sebagai hal lumrah dan lazim untuk dilakukan oleh masyarakat kita, ditiru oleh masyarakat kita, dan dibiarkan oleh masyarakat kita karena menjelma “konvensi” tidak tertulis yang merevisi (secara politis-sosiologis) aturan normatif pasal-pasal hukum.
Ketika pelanggaran hukum dianggap sebagai hal yang lazim untuk terjadi, biasa terjadi, dan lumrah untuk turut dilakukan pelanggaran serupa di kemudian hari oleh banyak warga negara yang menjelma apatis-pragmatis, maka hukum sekadar menjadi “pajangan” belaka (“macan ompong”), dipelajari para Sarjana Hukum yang akan senantiasa dilecehkan oleh para preman jalanan yang menguasai jalanan bak raja-raja kecil di tengah komunitas dan jalanan.
Itulah saatnya dimana, seorang ahli dan pakar hukum selalu akan kalah telak dalam menghadapi para preman yang melakukan aksi premanisme. Premanisme menjadi hukum jalanan dan hukum rimba itu sendiri. Ibarat seorang Doktor Hukum, menghadapi penganiayaan seorang preman, sang preman justru sama sekali tidak merasa takut akan pasal-pasal ancaman pemidanaan bagi perilaku kekerasan fisik yang dilontarkan oleh sang Doktor Hukum, bahkan mempertawakannya sambil terus sibuk menganiaya sang Doktor Hukum. Kenyataannya, masyarakat kita saat kini sama sekali tidak lagi takut untuk melakukan kekerasan fisik di muka umum, sebagai intimidasi nyata terhadap warga yang lemah.
Ketika pelanggaran terhadap hukum dianggap sebagai hal yang lumrah dan biasa, maka terhadap warga negara yang masih mau untuk tunduk dan taat patuh terhadap hukum, justru akan dianggap sebagai warga yang “tidak lazim”, aneh, diluar kewajaran, dan “ajaib”. Itulah fakta yang terjadi dibalik berbagai fenomena sosial-kemasyarakatan kita, dimana menjadi warga yang patuh terhadap hukum, justru akan dianggap dan dipandang sebagai “aneh”, “kuno”, “kolot”, dan “bodoh terbelakang”. Menjadi korban adalah suatu kebodohan, dan menjadi pelaku kejahatan dan pelanggaran ilegal adalah hal yang patut dibanggakan dan menjadi suatu “prestasi” tersendiri karena memang “dipelihara” oleh negara.
Bila fakta empirik demikian masih belum dianggap cukup ironis, maka penulis akan mengungkap sebuah fakta empirik lainnya. Pembeda antara “hukum negara” dan “hukum rimba”, ialah terletak pada derajat kepatuhan terhadap hukum tertulis yang diatur oleh negara. Hukum negara, akan melindungi warga negara yang patuh terhadap hukum. Faktanya, jika Anda selaku warga yang patuh terhadap hukum, maka tiada jaminan Anda akan dilindungi oleh negara.
Sebaliknya, dalam “hukum rimba”, berlaku asas “siapa yang kuat, maka ia yang menang” dan “yang kuat memakan yang kecil dan yang lemah”. Beruntung bila Anda tergolong kaum yang kuat secara ekonomi dan kekuasaan, namun adalah petaka bila Anda tergolong bagian dari si kaum miskin dan lemah. Itulah protret wajah berhukum warisan para pendahulu kita di Indonesia, dan apakah itu yang hendak kita wariskan pada generasi penerus kita? Jadilah rakyat yang humanis dan patuh terhadap hukum, barulah hukum akan memiliki wibawanya kembali—karena hukum dalam penegakannya mengandalkan itikad baik rakyat kita secara keseluruhan, tidak pernah terjadi sebaliknya.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.