Kisah dari Negeri Utopia, Raja Adil Namun Rakyatnya Tidak Adil

ARTIKEL HUKUM
Hidup ini tampaknya memang jauh dari kata “logis”. Kita berpikir bahwa dengan tidak menyakiti orang lain, maka kita tidak akan disakiti oleh orang lain. Kita berpikir, dengan tidak pernah merugikan orang lain, maka orang lain tidak akan menipu ataupun merugikan diri kita. Namun apakah dunia ini berjalan dengan prinsip logika linear demikian?
Kita seringkali berpikir, dengan menjadi orang baik dan memberi kepercayaan kepada orang lain, maka orang lain tersebut akan menjaga kepercayaan yang telah kita berikan dan juga akan memperlakukan kita secara sama baiknya. Kita kerap berpikir, dengan menaruh sikap penuh hormat kepada orang lain, maka orang lain juga akan menghargai harkat dan martabat kita. Namun apakah dunia sosial kita ini, berjalan dengan logika humanis penuh idealis demikian? Antara harapan dan realita, kadang berjalan tidak pada trayek yang sama.
Kita mungkin percaya, bahwa dengan bersikap penuh kesabaran serta bersikap santun, maka orang lain juga akan bersikap lembut serta sopan terhadap kita. Kita mungkin saja meyakini, dengan menjadi seseorang yang berkepribadian luhur, maka dunia ini akan melindungi kita dari tangan-tangan orang jahat. Namun apakah kita tidak akan serta tidak pernah dikecewakan oleh harapan dan asumsi kita sendiri demikian?
Mengapa yang selalu dapat kita jumpai ialah, bersikap baik akan membuat kita menjadi rentan dijadikan “mangsa empuk” untuk dieskploitasi serta diperdaya. Kita bisa saja bersikap logis, namun orang lain belum tentu bersikap sama logisnya terhadap kita—bahkan dapat dikatakan seringkali kita menjumpai orang-orang yang berperilaku tidak logis ketika diajak berbicara secara logis, alias tidak akan “nyambung”, oleh sebab gelombang frekuensinya memang berbeda.
Pernahkah Anda sadari, seorang penipu selalu menjadikan orang-orang baik dan penyabar sebagai target yang paling mereka incar, karena korbannya tidak akan banyak melawan dan akan pasrah begitu saja terkena tipu. Seorang palaku bully, akan menjadikan anak-anak lain yang lemah-lembut sebagai mangsa bully mereka, karena korbannya tidak akan melawan dan cenderung bersikap “kelewat” bersabar. Jika Anda berpikir, bahwa bersikap lemah-lembut akan membuat Anda selamat di dunia dimana “sesama manusia saling memangsa sesamanya” ini, Anda mungkin tidak akan mampu selamat selepas usia remaja ketika Anda memasuki dunia dewasa.
Kita ingin hidup dalam dunia yang idealis, namun apakah di luar sana pernah eksis sebuah dunia penuh idealisme? Kita ingin membangun dunia yang idealis, namun apakah benar-benar ada yang ingin hidup sebagai rakyat dari dunia penuh idealisme demikian? Bila Anda seorang idealis, maka Anda tergolong makhluk langka yang paling tepat masuk museum atau kebun binatang makhluk “idealis” yang menjadi tontotan orang-orang “tidak idealis”. Dunia kini ini dipenuh-sesaki orang-orang yang jauh dari kata “ideal”—itulah fakta realita yang perlu kita “telan” dan akui bersama, suatu momok yang sejati kita buat sendiri dan akan kita wariskan pada generasi penerus yang akan terkaget-kaget mendapati wajah asli dunia ini telah dibuat demikian “koyak” oleh generasi pendahulu mereka.
Idealisme hanya ada dalam dunia dongeng dimana si baik akan selalu selamat dan keluar sebagai pemenangnya, si jahat akan kalah, lengkap dengan si puteri cantik yang akan mendampingi sang pahlawan pada akhir ceritanya. Hanya bila kita telah menjadi penghuni surga, barulah kita (hanya) akan berjumpa dengan manusia-manusia berwatak sama luhur dan sama mulianya dengan diri kita. Kita tidak akan pernah disakiti dengan menjadi seorang berhati “malaikat” di surga—namun tidak di dunia manusia, sayap-sayap merpati malaikat Anda dapat dicabuti atau bahkan Anda akan ditangkap dan dimasukkan ke sangkar oleh para manusia yang lapar akan kekuasaan dan kekayaan berlebih.
Alkisah, pada suatu waktu, di sebuah negeri, kita sebut saja sebagai Kerajaan Utopi, hidup seorang raja, yang senantiasa dituntut (dirong-rong) oleh para menterinya agar sang raja mendahulukan kepentingan negara dan rakyat, sampai-sampai meminta sang raja untuk membuktikan kecintaan pada rakyatnya dengan mengorbankan keluarga dari sang raja itu sendiri.
Namun yang tidak diketahui ataupun yang diketahui oleh sang raja yang baik hati dan budiman, para menterinya tersebut yang selalu menuntut sikap sang raja agar “begini dan begitu”, ternyata di balik punggung sang raja, justru sibuk korupsi dan memiliki agenda tersembunyi hanya untuk mementingkan kepentingan pribadinya sendiri.
Menjadi seperti sebuah dagelan yang lucu, yang lebih korup ialah justru para abdi negara, ketimbang pemimpin negaranya yang perlahan-lahan dikorbankan dan diperalat oleh para abdinya yang selama ini menuntut agar sang raja selalu berkorban demi negara: berkorban keluarga, berkorban perasaan, hingga mengorbankan diri sang raja itu sendiri bila diperlukan.
Kini kita kembali pada dunia nyata, setelah sekilas masuk ke dunia fantasi utopis di Negeri Utopi yang tidak akan lagi kita jumpai. Kita, sebagai rakyat jelata, menuntut dalam alam demokrasi ini, agar sang pemimpin / kepala negara dan kepala pemerintahan agar meminpin serta memerintah secara adil dan bijaksana. Bukankah memang seharusnya demikian?
Namun ternyata bukanlah itu yang seharusnya kita tanyakan. Mengapa? Anda sejatinya terlebih dahulu perlu menanyakan kepada diri Anda sendiri, dan berintrospeksi, apakah Anda layak mendapat seorang pemimpin negara yang menyerupai si “raja / ratu adil”? Hendaknya kita benar-benar memahami nasehat pepatah klasik, sebagai berikut: “Ketika murid siap, guru pun akan siap untuk tampil dan hadir secara sendirinya bagi si murid.”
Sebagaimana telah kita ketahui, dalam alam demokrasi, seorang pemimpin terpilih dari sistem pemilihan umum dimana rakyat menunjukkan kedaulatannya dengan menggunakan hak suaranya untuk memilih seorang calon pemimpin negara sebagai nakhoda kemana bangsa ini akan menuju dan mengarah.
Namun, yang kerap rakyat kita lupakan, ialah bahwa calon presiden mana pun (terlebih bila pencalonan hanya berupa dua atau segelintir calon yang dapat disodorkan kepada kita dan dipilih oleh rakyat, tiada telur bagus ketika kita diminta memilih satu diantara dua buah telur yang sama-sama busuknya), para calon terpilih tersebut lahir dari tengah masyarakat kita sendiri, bukan jatuh dari negeri “antah berantah” dari langit.
Rakyat yang bodoh, dipimpin oleh pemimpin yang bodoh. Itu hal yang wajar saja, bukan sesuatu yang perlu dikejutkan. Rakyat yang korup, maka mereka akan dipimpin oleh pemimpin yang tidak kalah korupnya—beradu “prestasi” dalam hal korup-mengkorupsi antara pemimpin dan sang rakyat, yakni dalam sebuah panggung kontestasi : rakyat mengkorupsi negara, dan sang penguasa mengkorupsi uang rakyat.
Rakyat yang yang menyerupai kriminil, akan dipimpin pula oleh seorang pemimpin yang menyerupai karakter manusia belum beradab. Rakyat yang militan, akan dipimpin oleh seorang berwatak militeristik. Mudah sekali untuk membuat pemetaan demografi watak penduduk khas masing-masing daerah, sehingga persebaran dan perolehan suara bagi seorang calon pemimpin tertentu, telah mampu diprediksi sejak jauh hari dengan melihat latar belakang sang calon pemimpin dan konstituen masing-masing wilayah.
Rakyat Indonesia, menuntut agar presiden mereka tidak berperilaku korup. Namun, seluruh lapisan masyarakat kita—diakui maupun tidak diakui—bahkan hingga kelas seperti office boy di perkantoran, melakukan aksi korup berjemaah, mulai dari korupsi waktu, korupsi alat tulis dan kantor, korupsi listrik, korupsi pembukuan, korup dalam hal kolusi kekuasaan untuk menindas junior atau suatu pegawai lainnya, sementara sang pemberi kerja mengkorupsi gaji para buruh mereka, hingga berbagai aksi korup lainnya yang bersifat tercela dan tidak terpuji untuk ukuran bangsa yang mengaku beradab dan “agamais”.
Para sipil peserta tender pengadaan barang dan jasa pemerintah diwarnai aksi persekongkolan pemenang tender, aksi kartel harga yang memeras rakyat, monopoli usaha yang mematikan persaingan sehat para pelaku usaha, mark up oleh pegawai pengadaan barang di perusahaan, hingga kelas usaha mikro informal seperti di pasar-pasar tradisional yang menjual daging “sapi gelondongan”, bahan pangan berpengawet bukan untuk makanan, bahan pangan dengan diberikan pewarna tekstil yang berbahaya bagi kesehatan konsumen, hingga bahkan kalangan pengemis di jalanan yang mengemis-mengemis ternyata diberitakan memiliki rumah mewah dan dua istri.
Tanyakanlah pada diri kita sendiri, bila wajah penduduk negeri kita semacam ini, seperti apakah pemimpin negara yang Anda harapkan? Negeri kita, rakyat Indonesia, belumlah siap untuk mendapati hadirnya suatu sosok pemimpin negara yang benar-benar layak dan patut disebut pemimpin yang ideal dan adil, oleh karena rakyatnya sendiri belum layak dan tidak patut mendapat seorang kepala negara yang adil dan bijaksana.
Kita sibuk ber-euforia, “pesta demokrasi”, bahkan liputan media sibuk meliput sengketa masing-masing calon pemimpin, namun lihatlah seberapa maju negeri ini sejak era reformasi tahun 1998 silam? Ataukah, kita malu untuk menyebutkan bahwa kita berjalan mundur, alih-alih berjalan maju? Tidak mengherankan timbul selentingan sindiran pendukung era Orde Baru: “Lebih enak jaman-ku, toh?” Jangan lupakan, betapa mahalnya “pesta” demokrasi ini, namun hasilnya lihatlah keadaan Indonesia sekarang ini, benar-benar maju ataukah jalan di tempat. Rakyat yang baik, akan muncul pemimpin yang ideal secara sendirinya, tidak perlu pesta demokrasi berbiaya mahal.
Inilah saatnya untuk bercermin, raja yang buruk hanya untuk rakyat yang buruk, pemimpin yang baik hanya untuk rakyat yang baik, dan presiden yang hipokrit hanya untuk rakyat yang sama hipokritnya. Sudahkah Anda menjadi warga negara dan rakyat yang baik? Sudahkah kita bercermin terhadap perilaku dan perbuatan kita sendiri, sebagai seorang penduduk suatu negara dan sebagai bagian dari komunitas dunia?
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.