Keterbatasan Ilmu Hukum, Kodrat Tidak Sempurnanya Aturan Hukum Negara

ARTIKEL HUKUM
Bila Anda berpikir atau berasumsi bahwa semua hal dapat diselesaikan oleh atau lewat keberadaan hukum negara, maka Anda keliru, dan asumsi demikian tampaknya perlu mulai Anda pertimbangkan ulang. Hukum negara bukanlah “tong sampah” dimana semua hal yang gagal ditangani faktor diluar disiplin ilmu hukum, seolah dapat ditampung dan dipikul satu titik tumpu pada “bahu” hukum negara. Hukum negara memiliki keterbatasannya tersendiri, itulah kodrat ilmu hukum yang bersifat suprastruktur, dalam artian tidak dapat dan tidak pernah berdiri sendiri. Harus penulis akui, ilmu hukum bukanlah ilmu yang bersifat mandiri.
Terdapat banyak aspek (multi faset) dan sendi kehidupan sosial kemasyarakatan, yang hanya dapat diantisipasi serta diselesaikan oleh disiplin ilmu diluar hukum. Landasan berpikirnya ternyata sangatlah sederhana. Saat kini, berbagai peraturan perundang-undangan yang ada, praktis telah mengatur setiap sendi kehidupan manusia, baik perdata maupun pidana. Namun, sebagai pertanyaan utamanya, mengapa masih saja banyak terjadi pelanggaran hukum baik berupa tindak pidana kriminil maupun kasus-kasus cidera janji di tengah masyarakat kita?
Terdapat “zona-zona” dimana hukum negara bersifat “beku”, tanpa dapat mengintervensi terlampau jauh, karena apa yang tidak dapat dijangkau ilmu hukum dan peraturan perundang-undangan, sejatinya merupakan ranah praktisi ilmu pengetahuan lainnya diluar hukum. Adalah cerminan kegagalan sendi pelaku kegiatan agama (pemuka agama), praktisi dan penyusun kebijakan pendidikan (para guru), kondisi rumah-tangga yang tidak harmonis (faktor pengayoman oleh orang tua), lingkungan pergaulan yang tidak kondusif (elemen komunitas), para pelaku usaha yang lebih mementingkan pemusatan modal pada pihak pemodal dengan cara eksploitasi sumber daya alam maupun sumber daya manusia (para ekonom dan pengusaha), hingga perilaku teladan yang kurang baik dari perilaku tidak senonoh yang dipertontonkan oleh para elit politik kita (para pejabat dan politikus).
Kegagalan seluruh pemangku kepentingan demikian, dalam pertanggung-jawaban profesi mereka, tidaklah dapat keseluruh beban tanggung-jawab tersebut dilimpahkan ke tangan praktisi ilmu hukum. Itu adalah ekspektasi yang terlampau tidak rasional, utopia yang tidak akan pernah terealisasi. Faktanya, dari tahun ke tahun peraturan perundang-undangan dicetak dan diproduksi dengan demikian produktif, bahkan terbilang terlampau masif, justru berbagai perilaku penyimpangan sosial serta tindak kejahatan semakin merajalela—seolah tidak dapat terbendung.
Salah satu contoh konkret, betapa ilmu hukum dan peraturan perundang-undangan bersifat penuh keterbatasan—lengkap dengan segala problematik ambiguitasnya—dapat kita cerminkan dari “tragedi kemanusiaan” seperti yang dialami oleh seorang remaja di Tiongkok, yang demi memenuhi hasratnya memiliki Iphone, rela menjual organ tubuhnya sendiri, yang mana pada gilirannya membuat ia harus menyesal seumur hidup. Hukum negara tidak dapat mengatur hingga sejauh itu, mengatur hingga ranah keinginan privat maupun kebebasan berkeyakinan seorang warga negara, sebagai contohnya.
Bermula pada tahun 2011 lampau, disaat Iphone 4 masih menjadi ikon simbol bergengsi yang diidamkan oleh banyak anak muda, Xiao Wang, demikian nama remaja satu ini, turut tergiur akan gaya hidup modern, terobsesi akan gawai tersebut. Akan tetapi, karena statusnya masih sebagai seorang pelajar pada saat itu, dirinya tidak memiliki cukup dana untuk membeli Iphone 4 yang kala itu dibanderol senilai $699.
Saat keinginan Wang demikian menjadi-jadi untuk memiliki Iphone, ibarat api yang disiram bensin, seseorang menawari uang sebesar $3.200 sebagai barter bila sang remaja ini bersedia memberikan satu buah ginjalnya untuk dijual. Wang menyambut tawaran itu, demi dapat membeli gawai idamannya, rela menjual satu dari dua ginjal di dalam tubuhnya.
Akan tetapi, diluar dugaan, keinginannya memiliki Iphone 4 dengan menjual ginjal, berakhir dengan kondisi harus terkapar di rumah sakit, untuk seumur hidupnya. Saat proses operasi pengambilan ginjal, dirinya ditangani oleh tenaga medis yang bukan ahlinya, mengakibatkan terjadi infeksi pada organ dalam bagian tubuhnya.
Impian memiliki gawai canggih, yang terjadi kemudian ialah fungsi satu ginjal yang masih tersisa pun akhirnya mengalami kegagalan karena infeksi pasca operasi telah merambat ke organ tubuh lainnya. Sebagai episode antiklimaksnya, secara suka tak suka kini Wang harus menjalani cuci darah di rumah sakit untuk seumur hidupnya. Wang kini bagaikan anak muda yang lumpuh, dan masa depan yang tidak pasti. Ia hanya bisa terkulai di matras ruang media untuk menjalani sisa usianya yang masih panjang.
Bila Anda berasumsi bahwa hukum telah gagal melindungi anak muda dari “kebodohannya” sendiri, maka asumsi Anda kembali telah membuat kekeliruan fatal. Bukanlah tanggung jawab hukum untuk “mengerem” gaya hidup anak muda—perlu juga kita sadari, China merupakan negara k0munisme dimana banyak aspek kehidupan sipil telah diatur secara ketat oleh hukum Negara China. Namun, sebagaimana telah kita saksikan sendiri, tragedi kemanusiaan tidak terbendung semata oleh hukum negara manapun.
Adalah tanggung jawab dan beban para budayawan kita, praktisi pendidikan kita, agamawan kita, sosiolog kita, hingga orangtua kita dan komunitas pergaulan kita, yang paling perlu dimintai pertanggung-jawaban atas kondisi-kondisi fenomena sosial demikian. Fenomena sosial yang mengemuka, kerap kali sudah berbentuk efek “puncak gunung es” yang siap menggelinding ke bawah dalam bentuk longsoran dahsyat dan menggerus segalanya. Bila hukum negara mencoba mengatasinya pada detik-detik terakhir, dikhawatirkan upaya kuratif “sudah terlambat”.
Bila ternyata si remaja tersebut memutuskan untuk kembali menjual organ tubuhnya yang lain demi mendapat iphone terbaru (karena iphone 4 kini telah menjadi ketinggalan zaman), dan setiap tahun akan menjual lagi organ tubuhnya demi mengikuti perkembangan gawai terbaru yang tiada habisnya, maka hukum negara tidak dapat melarang niat seorang warga negara untuk ranah privat dan pribadinya.
Kita tidak dapat melarang seorang remaja, sebagai contohnya, untuk bekerja paruh waktu selepas bersekolah demi meraih impian memiliki gawai yang terbaru dan tercanggih. Hukum negara yang baik bukanlah menyerupai seorang “babysitter”. Apakah Anda berharap, hukum negara kita menyerupai seorang “babysitter”? Sungguh tidak terbayangkan hukum negara dan makhluk yang semacam itu.
Hukum hanya dapat berkontribusi sebatas larangan praktik dokter yang membantu praktik jual-beli organ tubuh, namun hukum tidak dapat memberi sanksi bagi si remaja ini ataupun menghapus total praktik “black market”. Hukum bukanlah “kambing hitam” bagi seluruh kegagalan nyata para stekeholder ilmu sosial terkait, mulai dari dari kegagalan orangtua, guru, agamawan, pejabat negara, hingga para tokoh dan lingkup pergaulan.
Jika si remaja ini kemudian memutuskan untuk mengakhiri hidupnya dengan “suntik mati”, hukum hanya dapat mengatur sejauh larangan praktik legal kalangan dokter untuk membantu pasien yang menghendaki “suntik mati” (namun tidak akan dapat menghapus total praktik medik ilegal). Namun, si remaja dapat saja mengakhiri hidupnya dengan agenda secara tersembunyi seperti melompat dari ketinggian, ketika tidak ada orang yang mengawasi. Hukum negara tidak dapat mengebiri “pilihan bebas” warga negaranya. Adalah tanggung jawab disiplin ilmu sosial lainnya serta ilmu agama untuk membimbing dan mengayomi.
Berbagai fenomena dan anomali sosial, penulis tengarai sebagai bentuk nyata dan konkret tak terbatahkan dari gagal, kegagalan, dan telah gagalnya para tokoh profesi maupun penyusun kebijakan ilmu-ilmu sosial di luar disiplin ilmu hukum. Hendaknya tidak seluruh “penyakit sosial” ditangani oleh ilmu hukum. Praktisi hukum pun seyogianya tidak dijadikan sebagai “kambing hitam” kalangan profesi di luar hukum—terutama faktor pengayoman oleh orang tua, guru / tenaga pendidik, dan pemuka agama, disamping lingkungan pergaulan / pertemanan. Juga, yang tidak kalah penting, praktisi hukum hendaknya tidak melangkah terlampau jauh memasuki ranah yang bukan spesifikasi profesi ilmu hukum, terlebih mencoba mengambil-alih semuanya.
Negara yang baik, pada idealnya sangat sedikit sekali mengandalkan penegakan hukum (kuratif)—namun akan lebih berfokus pada langkah preventif dan mitigasi. Negara yang baik, akan cukup secara minim membuat pengaturan hukum, namun berfokus pada pemuliaan karakter watak warga negara dan bangsanya sendiri. Negara yang baik, tidak pernah membutuhkan demikian banyak lembaga pemasyarakatan yang tersebar di seluruh wilayah, bahkan sampai dikabarkan overload atau “over kapasitas” sepanjang tahunnya. Kemanakah semua para agamawan kita? Kemanakah semua para tenaga pendidik kita? kemanakah semua kedua orangtua mereka?
Negara Indonesia telah tergolong “inflasi” dalam soal regulasi, alias “over regulated”. Negara-negara lain telah mengakui bahwa Indonesia super “gemuk” soal kelebihan regulasi ini—namun sangat minim implementasi dan komitmennya dalam tataran penegakan hukum. Bagai “kecentilan” para regulator dan penyusun peraturan perundang-undangan di negeri ini, semua bagai teks diatas kertas yang “ompong” dan “bisu”, kering dan sepi dalam komitmen maupun konsistensi penegakannya.
Sudah saatnya kita mengubah dan merevolusi kebijakan pemimpin negeri ini, dengan mulai berfokus pada penguatan karakter sumber daya manusia, bukan semata menumpukan seluruh masalah fenomena sosial ke pundak hukum negara—serta bukan juga menebar jargon “revolusi mental”. Hukum tidaklah dibangun untuk menjadi “pencuci piring” kegagalan kalangan profesi sosial lainnya diluar hukum. Hukum bukanlah ajang “bersih-bersih” pesta kegagalan total kalangan profesi ilmu sosial lainnya.
Pada kodratnya, ilmu hukum dan peraturan perundang-undangan, selalu sangat terbatas kemampuannya dalam mengatur perilaku sosial. Faktor primernya justru terletak diluar hukum, yakni pola pengasuhan orangtua, sekolah, tempat ibadah, dan lingkungan komunitas serta pergaulan. Demikian yang kerapkali perlu kita renungkan bersama.
Akhir kata, meski bukan yang paling terakhir, bila kita kembali mendapati liputan berita maupun mengalami pengalaman kurang menyenangkan berupa fakta adanya hakim yang korup, polisi yang korup, pejabat negara yang korup, maupun aparatur penegak hukum yang korup lainnya, maka semua itu adalah cerminan kegagalan ilmu diluar disiplin ilmu hukum, bukan semata kegagalan ilmu hukum. Ilmu hukum hanyalah sebatas ilmu penunjang, bukan ilmu sosial yang paling primer.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.