Implementasi Asas Droit de Suite Objek Tanah Agunan dengan Hak Tanggungan

LEGAL OPINION
Question: SKMHT (surat kuasa membebankan Hak Tanggungan) ada masa berlakunya, cuma beberapa bulan. Gimana kalau objek KPR (kredit pemilikan rumah) masih dalam bentuk sertifikat induk milik developer (perusahaan pengembang perumahan) yang belum dipecah, bahkan objek rumah belum dibangun. Jika sewaktu-waktu setelah dikucurkan kredit, ternyata sertifikat tanah induk pihak developer tidak bisa dipecah dan tidak bisa dibalik-nama ke nama debitor, bagaimana, sementara SKMHT sudah habis masa berlakunya?
Brief Answer: Terdapat dua fakta hukum mendasar: 1.) Tanah masih berbentuk “sertifikat induk” milik pengembang. 2.) Ada debitor yang hendak membeli rumah mengajukan KPR. Resiko terbesar KPR, objek agunan masih belum atas nama debitor, atau belum ada kepastian apakah objek KPR dapat dialihkan haknya kepada pihak debitor. Sementara, SKMHT memiliki masa berlaku yang demikian limitatif sifat keberluannya.
Maka, mintalah pihak pengembang agar terlebih dahulu memecah sertifikat induknya, setidaknya untuk bidang tanah yang diminati sang debitor ini. Ketika sudah pecah, ikat dengan Hak Tanggungan. Jadi, KPR disini setidaknya terdapat 3 pihak yang terlibat. Sertikat tanah yang dibebani Hak Tanggungan, dengan seizin kreditor, boleh dibalik-nama ke atas nama debitor.
Yang perlu kita pahami, Hak Tanggungan mengikuti objek tanah, bukan mengikuti subjek subjeknya (asas droit de suite). Jangan gunakan SKMHT dalam kasus KPR, kecuali: debitor punya aset tanah lain untuk jadi agunan (semisal KPR untuk memiliki rumah kedua, dsb). Pengembang tidak akan merugi, karena sudah dibayar lunas oleh kreditor pemberi KPR, lalu dibalik-nama ke nama debitor bersangkutan sertifikat tanahnya.
Asas “droit de suite” dapat juga kita jumpai dalam kasus agunan jatuh dalam boedel waris kepada ahli waris, atau dalam konteks “take over” kredit. Tips tersebut membuat para pihak “sama-sama senang”. Prinsipnya: jangan beri kucuran dana kredit, bila disaat bersamaan belum terdapat agunan yang secara mudah / sederhana dapat diikat sempurna sebagai jaminan pelunasan.
Pihak kreditor pemberi fasilitas KPR dapat membuat “perjanjian bersyarat batal” dengan pihak pengembang, bahwa bila dikemudian hari objak agunan tidak dapat dibalik-nama ke atas nama debitor, maka ketika pihak pengembang mengembalikan seluruh dana pembayaran dari pihak kreditor, roya seketika diberlakukan terhadap Sertifikat Hak Tanggungan. Terkesan rumit, namun alangkah lebih ideal “sedia payung sebelum hujan”.
PEMBAHASAN:
Terdapat sebuah ilustrasi perihal sifat Hak Tanggungan yang melekat pada objek tanah dengan corak yang agak menyerupai, sebagaimana dapat SHIETRA & PARTNERS cerminkan lewat putusan Pengadilan Tinggi Yogyakarta sengketa tanah register Nomor 108/Pdt/2016/PT.YYK tanggal 4 Januari 2017, perkara antara:
- FAHRONI BIN NUR JAZIM, sebagai Pembanding, semula selaku Penggugat; melawan
1. PT. BANK BNI SYARIAH, cq, PT. BANK BNI SYARIAH CABANG YOGYAKARTA, sebagai Terbanding I semula Tergugat I;
2. MABRUR ZAM ZAM, sebagai Terbanding II semula Tergugat II;
3. PEMERINTAH RI, cq. KEMENTERIAN KEUANGAN, cq. DIREKTORAT JENDERAL KEKAYAAN NEGARA, cq. KANTOR PELAYANAN KEKAYAAN NEGARA DAN LELANG SURAKARTA, selaku Turut Terbanding semula Turut Tergugat.
Penggugat merupakan Pengurus Musholla Al Mabrur yang mewakili masyarakat Desa Bakungan, Kecamatan Karangdowo yang menggunakan Musholla Al Mabrur, yang dibangun di atas tanah Sertifikat Hak Milik Nomor 194 atas nama Ir. Mabrur Zam Zam, menurut Penggugat pada tahun 1985 telah dijadikan objek amal wakaf orang tua Tergugat II.
Berdasarkan informasi dari Surat Kabar, Sertifikat Hak Milik Nomor 194/Bakungan atas nama Ir. Mabrur Zam Zam tersebut, akan dilakukan lelang eksekusi Hak Tanggungan oleh Tergugat I melalui Turut Tergugat, berdasarkan Akad Pembiayaan dengan total hutang Rp. 1.900.000.000,- dengan nama Debitur atas nama Mabrur Zam Zam (Tergugat II).
Berdasarkan informasi tersebut pula, Penggugat mengetahui bahwa Sertifikat Hak Milik Nomor 194/Bakungan atas nama Ir. Mabrur Zam Zam (dimana berdiri Musholla Al Mabrur), masuk sebagai jaminan / agunan dalam Akad Pembiayaan antara Tergugat I dan Tergugat II, maka akan berdampak dan atau berimplikasi secara hukum terhadap keberadaan Musholla Al Mabrur yang ikut pula terlelang.
Lelang eksekusi yang dilakukan atas objek sengketa, dinilai Penggugat sebagai tidak memperhatikan kepentingan umum dan hak-hak orang muslim sekitarnya, terutama hakhak Penggugat dan masyarakat Desa Bakungan, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, yang tinggal disekitar Musholla Al Mabrur. Maka disimpulkan oleh Penggugat, perbuatan Tergugat I melalui Turut Tergugat, maupun Tergugat II yang melakukan penjaminan dan pelelangan terhadap objek sengketa, merupakan sebentuk Perbuatan Melawan Hukum.
Pelelangan tersebut menimbulkan kerugian bagi orang lain, yaitu Penggugat dan masyarakat yang tinggal di sekitar Musholla Al Mabrur, yaitu apabila objek sengketa dilelang / dieksekusi, maka tidak ada jaminan lagi Musholla tersebut tetap berdiri, sehingga Penggugat dan masyarakat sekitar tidak dapat melakukan aktivitas ibadah dan keagamaan lainnya, sedangkan dapat kita ketahui bahwa Musholla adalah tempat ibadah yang dapat dipergunakan untuk kepentingan umum, maupun untuk kegiatan keagamaan.
Yang menjadi pokok tuntutan dalam gugatan ini, ialah agar Penggugat dan umat muslim lainnya di Desa Bakungan, tidak mengalami kerugian. Sementara dalam bantahannya pihak kreditor pemegang Hak Tanggungan menyanggah, bahwa Hak Tanggungan merupakan hak kebendaan, yang salah satu ciri hak kebendaannya ialah : di tangan siapa-pun benda itu berada (droit de suite) Vide Pasal 7 UU No. 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan, yang berbunyi:
Hak tanggungan tetap mengikuti obyeknya dalam tangan siapapun obyek tersebut berada.”
Dijelaskan dan dipertegas didalam Pasal 11 Ayat (2) Huruf (g) UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, terdapat penegasan norma imperatif bahwa : pemberi hak tanggungan tidak akan melepaskan haknya atas obyek Hak Tanggungan, tanpa persetujuan tertulis lebih dahulu dari pemegang Hak Tanggungan.
Perbuatan Lelang yang dilakukan Tergugat I melalui Turut Tergugat, juga dikatakan oleh Penggugat tidak memperhatikan kepentingan umum dan hak-hak muslim. Pihak Kreditor menjawab sebagai berikut: “Pertanyaannya kepentingan umum Yang bagaimana?? Hak-hak muslim yang seperti apa??. Bangunan tersebut adalah mushola yang letaknya menjadi satu kesatuan dalam pelekatan Hak Tanggungan Tergugat I.”
Terhadap gugatan Penggugat, Pengadilan Negeri Yogyakarta kemudian menjatuhkan putusan tanggal 6 Juni 2016 Nomor 105/Pdt.G/2015/PN.Yyk, dengan amar sebagai berikut:
MENGADILI :
1. Mengabulkan Eksepsi Tergugat I;
2. Menyatakan Pengadilan Negeri tidak berwenang mengadili perkara ini.”
Penggugat mengajukan upaya hukum banding, dimana terhadapnya Pengadilan Tinggi membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa Majelis Hakim Pengadilan Tinggi setelah memeriksa dan meneliti serta mencermati dengan seksama berkas perkara serta turunan resmi Putusan Pengadilan Negeri Yogyakarta tanggal 6 Juni 2016 No. 105/Pdt.G/2015/PN Yyk, serta surat-surat lain yang berhubungan dengan perkara ini, Majelis Hakim Pengadilan Tinggi berpendapat bahwa putusan Majelis Hakim Tingkat Pertama tersebut telah mempertimbangkan dengan tepat dan benar menurut hukum, sehingga pertimbangan tersebut dapat disetujui dan dijadikan dasar pertimbangan hukum sendiri oleh Majelis Hakim Pengadilan Tinggi dalam memutus perkara ini;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas maka putusan Pengadilan Negeri Yogyakarta tanggal 6 Juni 2016, Nomor 105/Pdt.G/2015/PN.Yyk, dapat dipertahankan dan dikuatkan;
M E N G A D I L I :
1. Menerima Permohonan Banding dari Pembanding semula Penggugat;
2. Menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Yogyakarta tanggal 6 Juni 2016 Nomor 105/Pdt.G/2015/PN.Yyk. yang dimohonkan banding tersebut.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.