Surat Perjanjian Kerja, Loyalitas, & Angka Masuk-Keluarnya Pegawai

ARTIKEL HUKUM
Betul bahwa perjanjian kerja dapat dilangsungkan secara lisan, dimana Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan menyatakan bahwa perjanjian kerja yang dilandasi perjanjian secara lisan, berlaku sebagai hubungan kerja permanen (alias Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu, PKWTT). Namun hal demikian, hanya relevan untuk jenis pemberi kerja pada bidang usaha informal.
Sementara untuk perusahaan yang menerapkan sistem manajerial serta memiliki sarana perangkat perkantoran seperti komputer yang saat kini sudah menjadi suatu kelaziman, adalah suatu bentuk kesan “itikad” itu sendiri bila pihak pemberi kerja tidak bersedia menyediakan surat perjanjian kerja bagi karyawan yang direkrut olehnya.
Kini, kalangan pengusaha menyebutkan, sudah tidak ada lagi karyawan yang memiliki loyalitas sebagaimana para pekerja “tempo doeloe”. Itulah yang penulis sebut sebagai: pola pikir lama yang diterapkan pada era modern, yang sudah tidak lagi pada zamannya.
Untuk memenangkan hati seorang pekerja, penting untuk dipahami, bahwa kesan pertama merupakan kesan yang tertanam paling kuat pada benak mental / jiwa dari seorang pekerja yang baru diterima bekerja. Sebaik apapun perlakuan seorang pengusaha kepada pekerjanya dikemudian hari, bila sejak awal menimbulkan kesan adanya “itikad” kurang baik dari pihak pemberi kerja kepada pegawainya, maka hal tersebut berkorelasi erat terhadap tingginya tingkat “in out” pegawai lembaga bersangkutan.
Jika belum mulai bekerja saja tidak ada kepastian untuk “dipegang” seorang pegawai perihal tanggung-jawab kerja, hak-hak dan kewajibannya, hingga besaran nominal Upah, maka bagaimana mungkin kita dapat mengharap sang pekerja dapat bekerja, berkontribusi, serta berproduksi secara optimal? Bagi seorang pekerja, harapan kalangan mereka sangatlah sederhana: pegangan berupa surat perjanjian kerja untuk ia miliki selama hubungan kerja berlangsung.
Loyalitas terkait erat dengan “rasa memiliki” (sense of belongin). Loyalitas merupakan sebentuk budaya (culture) internal perusahaan yang dibentuk melalui serangkaian kebijakan internal perusahaan dalam perlakuannya terhadap pegawai, bukan sebaliknya pegawai terhadap pengusaha—karena di perusahaan manapun, pihak pengusaha selalu memiliki daya tawar lebih kuat. Culture perusahaan, seringkali terbentuk sejak tahap citra / kesan pertama hubungan kerja berlangsung, dan itu berlaku secara langgeng.
Tulisan singkat ini penulis urai, berdasarkan pengalaman pribadi maupun pengamatan terhadap sosiologi empirik hubungan dan lingkungan kerja yang ada di Tanah Air. Penulis akan membatasi fokus bahasan perihal kaitan antara surat perjanjian kerja terhadap tingkat kedekatan mental antara pemberi kerja dan pihak angkatan kerja.
Ketika seorang pekerja diwajibkan menandatangani surat perjanjian kerja, sementara surat tersebut hanya berupa 1 rangkap, dimana setelah ditanda-tanganinya surat perjanjian kerja oleh pekerja yang baru bergabung, lalu dimonopoli substansi isinya bahkan juga hanya dikuasai serta disimpan oleh pihak manajemen perusahaan tanpa memberi pegawainya 1 rangkap asli dari surat perjanjian yang ditanda-tangani, pastilah timbul asumsi buruk di mata pegawainya terhadap “itikad” kurang “sedap” dari perusahaan tersebut—sugesti mana adalah wajar dan tidak dapat dihindari. Adalah naif mengharap sang pekerja akan legowo diperlakukan “curang” demikian.
Tidak dibahasnya substansi perikatan dalam surat perjanjian yang disodorkan pada seseorang calon pegawai, yang hanya memiliki pilihan: tanda-tangan atau “silahkan pergi”, maka pada titik itulah sebentuk perasaan pelecehan dan telah dilecehkan terbersit dalam batin sang calon pekerja—disadari ataupun tidak disadari oleh diri calon pegawai bersangkutan.
Terlebih buruk, bila sang pegawai diwajibkan membayar materai dalam surat perjanjian kerja, sementara surat tersebut hanya terdiri dari 1 rangkap dan kemudian disimpan secara monopolistik oleh pihak perusahaan, dimana sang pegawai bahkan tidak diberikan salinan surat perjanjian sekalipun telah dimohon oleh pegawai yang menanda-tanganinya, pada titik itulah perasaan telah dilcehkan menjelma perasaan “telah tertipu” atau bahkan “terjebak”.
Selama ini kalangan pengusaha terkecoh oleh asumsi, bahwa karena tingkat angkatan kerja terhadap lapangan kerja yang tersedia tidaklah setara, maka pihak pemberi kerja bebas sebebas-bebasnya menekan dan melecehkan kalangan calon pegawai atau bahkan pekerjanya sendiri, dimana kalangan tenaga kerja akan bungkam, pasrah, atau bahkan membiarkan dirinya mengobral murah eksistensi dan hak-hak yuridis maupun hak-hak normatif dirinya, membuka celah masuknya berbagai manipulasi serta eksploitasi tenaga kerja.
Apa yang kemudian akan terjadi, bila seandainya seorang pekerja yang betul-betul memiliki talenta unik, kemudian memilih untuk seketika itu juga mencari tempat kerja lain bahkan memilih melakukan solo karir dan bisnis start-up? Seseorang yang tidak memiliki talenta unik, akan cenderung bertahan, meski posisi dirinya diperas hingga tanpa “nutrisi”. Alhasil, perusahaan tersebut hanya menampung “residu”, akibat para pekerja yang memiliki potensi unik akan “terfilter” akibat perlakuan “kurang mengesankan” sejak dari awalnya diterima bekerja—sehingga dengan sendirinya sang pekerja akan merasa adanya kebutuhan untuk seketika itu juga “hengkang”. Dirinya “terlampau besar” untuk sebuah perusahaan “kerdil”.
Pertanyaannya, mungkinkah mengharap loyalitas dari sang pegawai, setelah pelecehan demikian? Ingat, yang menjadi dasar loyalitas seorang pegawai, terkait erat dengan kesan pertama saat diterima bekerja, berupa surat perjanjian kerja. Ketika hubungan kerja dilangsungkan tanpa adanya pegangan berupa surat perjanjian kerja yang dipegang 1 rangkap asli oleh sang pegawai, maka hubungan kerja sangat bersifat cair, dan sang pekerja tidak memiliki “rasa memiliki” apapun terhadap perusahaan tempatnya bekerja, selain perasaan hanya dipandang sebagai tenaga untuk dieksploitasi.
Terlebih, bila seorang pegawai direkrut untuk jenis pekerjaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT, alias Pekerja Kontrak), dimana semua kalangan pengusaha maupun kalangan pekerja menyadari, PKWT wajib bersifat perjanjian tertulis. Namun, bila pihak pengusaha “berpura-pura” tidak mengetahui atau bahkan “sengaja melanggar” dengan tidak memberikan surat perjanjian kerja PWKT bagi sang pekerja, maka pertanyaannya: perasaan apakah yang kemudian timbul dibenak sang pekerja?
Kita perlu sadari, bukan hanya kalangan pengusaha yang dapat membuat penilaian terhadap seorang pekerja. Sebaliknya, seorang pekerja juga dapat membuat penilaian terhadap “itikad” pihak pemberi kerja. Untuk itulah, sejak sedari awal penulis memberi peringatan penting, bahwa: KESAN PERTAMA BERLANGSUNG PERMANEN.
Sekali seorang pegawai merasa telah terlecehkan, bahkan sedari sejak awal dirinya mulai masuk bekerja, tiada lagi loyalitas yang dapat diharapkan, dan sekali ada kesempatan bagi sang pekerja untuk mendapat tempat kerja yang lebih ideal, maka setiap saat dirinya akan “hengkang”. Perusahaan yang dinilai tidak “fair”, hanya akan mendapat sikap tidak “fair” serupa dari pekerjanya. Mungkin inilah yang disebut sebagai hubungan sebab-akibat.
Terlebih ekstrim dalam dapat kita jumpai dalam praktik hubungan kerja dalam suatu Grup Usaha (Company Group), dimana pelanggaran terhadap hukum ketenagakerjaan kerap terjadi secara masif, bahkan kerap penulis jumpai tanpa adanya suatu etik hubungan industrial yang baik dari kalangan beneficial owner Grup Usaha terhadap para buruh / pekerjanya.
Sebagai contoh, seorang pegawai direkrut oleh sebuah Grub Usaha yang terdiri dari belasan hingga bahkan puluhan badan usaha. Namun, sang pegawai sama sekali tidak diberikan surat perjanjian kerja, juga tidak diberikan slip gaji setiap bulannya. Timbul pertanyaan pada benak sang pekerja, sebenarnya dirinya pegawai perusahaan yang mana? Jika sewaktu-waktu pihak pengusaha melakukan pelanggaran terhadap hak-hak normatifnya, bahkan memutus hubungan kerja (PHK) secara sepihak, badan hukum atau badan usaha manakah yang akan digugat oleh dirinya? Selama ini, dirinya telah dan akan bekerja dengan status sebagai karyawan perusahaan manakah? Untuk surat pengalaman kerja, dirinya akan disebut telah berkontribusi untuk perusahaan manakah?
Katakanlah pihak manajemen memberikan surat perjanjian kerja, dengan mencantumkan nama pihak pengusaha pemberi kerja, yakni salah satu nama badan hukum yang tergabung dalam Grub Usaha. Namun ketika pada praktiknya, sang pekerja dipekerjakan untuk kepentingan belasan atau bahkan puluhan badan usaha lainnya yang diatas-namakan masih satu Grub Usaha, maka sang pekerja akan merasa dieksploitasi tenaganya, bahkan secara politik tidak mampu menolak perintah demikian, karena dirinya hanya diberi Upah dari satu badan usaha semata. Pekerja manakah, yang akan timbul perasaan memiliki dan loyalitas, bila selama ini dirinya merasa seperti telah dieksploitasi secara sewenang-wenang? Cobalah amati berbagai tren dan fenomena yang terjadi pada berbagai Grub Usaha, hampir tidak dapat kita jumpai adanya loyalitas pekerja.
Pernah juga terjadi, sebuah perusahaan pegadaian yang memiliki puluhan kantor cabang dengan ribuan pekerja di seantero kota di Pulau Jawa, mengikat para pekerjanya dengan jenis PKWT. Namun terdapat dua poin dalam PKWT yang kemudian disoroti oleh pihak pekerja, yakni: 1) Upah dibawah Upah Minimum Kota; 2) ditahannya izasah pekerja bersangkutan oleh pihak perusahaan selama masih terikat masa kerja PKWT.
Ketika ditengah perjalanan masa kerja, sang pekerja memutuskan untuk mengakhiri hubungan kerja sebelum masa kerja PKWT berakhir, karena merasa tidak layak antara bobot tugas kerja yang bahkan diwajibkan kerja lembur tanpa upah lembur, ataupun perlakuan sewenang-wenang pihak perusahaan, dan meminta kembali izasahnya, pihak manajemen perusahaan justru meminta kompensasi pinalti pemutusan hubungan kerja sebelum PKWT berakhir masa berlakunya.
Meski yang terlebih dahulu melanggar ketentuan hukum, ialah pihak pengusaha, karena membayar Upah dibawah Upah Minimum, bahkan syarat kerja diluar ketentuan yuridis semisal ketentuan jam kerja, pihak pengusaha justru menyandera pekerjanya dengan tuntutan denda pinalti bagi pekerja yang memutus hubungan kerja di tengah masa berlaku PKWT.
Kecurangan sebaliknya dapat kita jumpai dalam praktik PKWT dimana pihak pengusaha memberlakuan “masa percobaan” (probation)—meski jelas bahwa PKWT melarang keberlakuan “masa percobaan”, lalu memutus hubungan kerja PKWT dengan alasan tidak lulus “masa percobaan”, untuk selanjutnya begitu saja melepas tanggung-jawab, tanpa mau dibebani kewajiban membayar pinalti serupa.
Setiap kalangan pekerja manapun menyadari, keberlakuan aturan “masa percobaan” dalam suatu hubungan kerja apapun, baik PKWT maupun PKWTT, yang bila berlarut-larut akibat diberlakukannya “masa evaluasi ulang” secara berulang-ulang, maka hal demikian mengundang antipati ketimbang simpati dari kalangan pekerja. Sentimen negatif timbul dikalangan batin para pekerja. Bila terdapat “masa evaluasi berulang-ulang” dalam surat PKWT ataupun PKWTT, sejatinya setiap kalangan calon pekerja manapun dapat mengendus karakter pengusaha bersangkutan: sang pekerja dipandang sebagai alat produksi belaka, tidak dihumanisasikan.
Hubungan industrial menjadi demikian renggang dan tidaklah mungkin lagi diharapkan timbul loyalitas, sekalipun pegawai bersangkutan telah bekerja selama belasan atau bahkan puluhan tahun terhadap perusahaan yang bersangkutan—dimana dirinya tidak akan memberi kemampuan potensi terbaiknya / kontribusi produktif lebih bagi pihak perusahaan. Dirinya hanya sekadar mengisi presensi, melakukan rutinitas seperti biasa, menerima gaji, dan pulang ke rumah saat jam pulang berdentang.
Ketika seorang pengusaha terlampau mempermasalahkan (berfokus pada) kelemahan para pekerjanya, maka janganlah heran dan tidaklah mengherankan bila tingkat “keluar-masuk”-nya perusahaan sangat tinggi. Pekerja di era modern ini cenderung memilih untuk mengabdi pada istitusi yang lebih menekankan penghargaan terhadap kelebihan para pekerjanya, ketimbang alih-alih menekankan faktor kelemahan seorang pekerja. Berfokus pada kelebihan / keunggulan, bukan berfokus pada kelemahan.
Pada prinsipnya pengusaha bersifat solutif, sementara pekerja bersifat produktif. Ketika sejak dari awal pihak pengusaha tidak mencerminkan karakter “solutif”, maka balasan sikap “produktif” semacam apa, yang diharapkan oleh pihak pemberi kerja terhadap kalangan pekerjanya?
Contoh lain, seorang pekerja divisi pajak ditanyakan oleh pimpinan perusahaan perihal pajak, namun sekalipun sang pimpinan mengajukan pertanyaan, akan tetapi sang pimpinan sama sekali tidak berminat mendengar jawaban / penjelasan yang diberikan oleh sang pegawai yang diberi pertanyaan. Hal demikian akan dirasakan sebagai sebentuk pelecehan oleh sang pegawai bersangkutan. Seorang pemimpin yang baik, sebagai penanya, bila tidak ingin mendengar pendapat pegawainya, maka jangan pernah bertanya. Jika ingin bertanya, maka harus mendengarkan jawaban yang disampaikan oleh bawahannya tersebut. Prinsip sederhana ini tampaknya sama sekali tidak diperhatikan oleh kalangan pengusaha kontemporer, yang hanya memandang seorang pekerja sebagai faktor produksi belaka—mesin, robotik pencetak produk.
Yang paling ironis dari semua itu, ialah “oknum” yang “memasang badan” dalam menghadapi dan memperlakukan para pegawainya secara tidak patut dan tidak manusiawi demikian, ialah kalangan Departemen HRD perusahaan yang notabene ialah sesama kalangan pegawai itu sendiri, seakan tidak mampu (atau mungkin tidak mau) memahami perasaan sesama kalangan buruh / pekerja, dan tanpa mau menyadari bahwa nasib pekerja Divisi HRD itu sendiri dapat bernasib serupa dengan karyawan lain yang ia perlakukan secara tidak pantas, namun dalam praktiknya kesemua itu dianggap sebagai suatu hal yang lumrah—entah kebiasaan sejak kapan.
Untuk memperingkas bahasan kita, singkat kata dapat kita tarik sebuah kesimpulan sederhana, bahwa memperlakukan calon pekerja secara terhormat, akan melahirkan ikatan batin antara pemberi kerja dan pihak pekerja bersangkutan. Produktivitas serta loyalitas akan lahir dan terpupuk secara sendirinya, ketika “rasa memiliki” terinternalisasi oleh kesadaran dan kesukarelaan yang terbit dari batin sang pekerja itu sendiri, dimana sang pekerja akan rela “hidup dan mati” membangun perusahaan dan bersama-sama menghadapi ketidak-pastian berusaha.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.