Pengakuan sebagai Bukti Indirect Evidence

LEGAL OPINION
Question: Kalau sampai di persidangan nanti pihak tergugat membuat pernyataan yang secara langsung atau tidak langsung membenarkan klaim penggugat, apakah ada dampak krusial di mata hakim saat memutus gugatan?
Brief Answer: Pengakuan merupakan salah satu alat bukti yang diakui dalam hukum acara, selain alat bukti semacam dokumen / surat, saksi, keterangan ahli, petunjuk / persangkaan hakim, dsb. Mungkin dapat dikatakan, bahwa diatas seluruh alat pembuktian yang dikenal dalam hukum acara perdata, pengakuan dari pihak Tergugat merupakan alat bukti paling kuat, bahkan melampaui daya kekuatan formil akta otentik pejabat publik sekalipun.
Sengketa akan cepat selesai tanpa berlarut-larut, dan sangat memudahkan hakim saat memeriksa serta memutus perkara, ketika pihak Tergugat membuat pengakuan secara kooperatif tanpa berbelit-belit, baik secara tersirat maupun secara tersurat saat proses jawab-menjawab di persidangan.
Namun bercermin dari pengalaman, watak Bangsa Indonesia masih seolah “tabu” bersikap jujur “berkata apa adanya”. Seolah menjadi tren, mati-matian membuat bantahan, sanggahan, serta bila perlu memungkiri segala fakta yang sudah jelas. Entah mengapa, terdapat fenomena bahwa semakin cerdas intelektual seorang warga, terutama warga perkotaan, semakin sukar bagi dirinya untuk membuat pengakuan ataupun berkata apa adanya.
PEMBAHASAN:
Terdapat sebuah contoh konkret, sebagaimana dapat SHIETRA & PARTNERS cerminkan dalam putusan Pengadilan Negeri Watampone sengketa register Nomor 22/Pdt.G/2015/PN.WTP tanggal 10 Februari 2016, perkara antara:
- NURU, sebagai Penggugat; melawan
- ANAS dan HADAIYAH, selaku Para Tergugat.
Substansi sengketa dalam perkara ini adalah mengenai perbuatan melawan hukum yang didasarkan pada adanya sengketa kepemilikan atas tanah, yang mana dalam uraian surat gugatannya, Penggugat mendalilkan bahwa tanah obyek sengketa adalah milik Penggugat yang berasal dari orang tuanya. Dimana terhadapnya, Majelis Hakim membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa dalam uraian jawaban maupun duplik yang disampaikan oleh TERGUGAT II untuk kepentingan dirinya sendiri maupun selaku Kuasa dari TERGUGAT I di persidangan, menerangkan bahwa benar tanah sengketa tersebut adalah pada mulanya dikuasai dan dikerjakan oleh Ayah PENGGUGAT dan sekitar tahun 1979 kami minta kepada orang tua PENGGUGAT yakni Lelaki PAREWE (almarhun) untuk kami kerjakan dan selama kami kerjakan tidak pernah sekali pun orang tua PENGGUGAT meminta kembali tanah sengketa tersebut sampai orang tua PENGGUGAT meninggal dunia, jadi menurut kami tanah sengketa tersebut adalah sudah menjadi milik saya, dan benar pada sekitar pada tahun 1987 PENGGUGAT datang meminta kepada saya tanah sengketa dengan alasan, tanah sengketa tersebut adalah milik orang tuanya yakni NIKKANG dan PAREWE (almarhum), bahwa tanah sengketa tersebut saya tidak serahkan kepada PENGGUGAT dengan alasan orang tuanya pun tidak pernah meminta kembali dan tidak pernah menyampaikan kepada kami bahwa kelak tanah sengketa tersebut serahkan kembali kepada anak dan cucu saya, oleh karenanya tanah sengketa tersebut sudah menjadi milik saya;
“Menimbang, bahwa berdasarkan dalil-dalil gugatan PENGGUGAT yang disampaikan maupun dalil-dalil bantahan sebagaimana dikemukakan oleh TERGUGAT II untuk kepentingan dirinya sendiri maupun selaku Kuasa dari TERGUGAT I tersebut, maka Majelis Hakim dapat menyimpulkan bahwa yang menjadi pokok permasalahan (litis pedenti) yang harus dibuktikan dalam perkara ini adalah ‘Apakah tanah sengketa a quo milik PENGGUGAT yang berasal dari orang tuanya yang bernama Lelaki PAREWE (almarhum) dan Perempuan NIKKANG (almarhum)?’;
“Menimbang, bahwa selanjutnya Majelis Hakim akan mempertimbangkan pokok permasalahan (litis pedenti) dalam perkara ini berdasarkan alat bukti-alat bukti yang sah yang diajukan oleh para pihak di persidangan, namun demikian sebelum Majelis Hakim mempertimbangkan pokok permasalahan (litis pedenti) dalam perkara ini, karena pada intinya perkara a quo adalah mengenai sengketa kepemilikan atas tanah, maka dalam memeriksa perkara perdata khususnya yang berkaitan dengan tanah karena pelaksanaan putusan kelak adalah melalui suatu eksekusi riil, maka Majelis Hakim haruslah mempertimbangkan mengenai kejelasan tanah obyek sengketa terlebih dahulu, sehingga dalam pelaksanaan putusan nantinya terdapat kejelasan mengenai tanah obyek sengketa, yang bertujuan untuk menghindari suatu putusan pengadilan yang non eksekutabel kelak apabila telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde);
“Menimbang, bahwa mengenai tanah yang merupakan obyek sengketa a quo, PENGGUGAT telah mendalilkan didalam posita gugatannya yang menyebutkan bahwa gugatan PENGGUGAT kepada PARA TERGUGAT adalah mengenai sebidang tanah kering luas + 2 Ha yang terletak di ... , dengan batas-batas sebagai berikut: ... , yang kemudian setelah Majelis Hakim melakukan Pemeriksaan Setempat terhadap lokasi tanah yang menjadi obyek sengketa tersebut maka pada pokoknya kedua belah pihak telah sependapat bahwa tanah yang ditunjukkan oleh PENGGUGAT pada saat dilakukannya Pemeriksaan Setempat adalah benar sebagai tanah yang disengketakan (tanah obyek sengketa) yang dikuasai oleh TERGUGAT I dan TERGUGAT II;
“Menimbang, bahwa berdasarkan uraian pertimbangan mengenai letak maupun batas-batas tanah sengketa tersebut, Majelis Hakim memperoleh suatu alat bukti persangkaan serta berkesimpulan bahwa tanah obyek sengketa dalam perkara a quo adalah telah jelas dan telah bersesuaian pula dengan materi hasil Pemeriksaan Setempat yang telah dilakukan oleh Majelis Hakim sebagaimana tertuang dalam Berita Acara Persidangan;
“Menimbang, bahwa setelah Majelis Hakim mempertimbangkan mengenai batas-batas tanah obyek sengketa a quo, selanjutnya Majelis Hakim akan mempertimbangkan pokok permasalahan (litis pedenti) yang harus dibuktikan dalam perkara ini yaitu : ‘Apakah tanah sengketa a quo milik PENGGUGAT yang berasal dari orang tuanya yang bernama Lelaki PAREWE (almarhum) dan Perempuan NIKKANG (almarhum)?’;
“Menimbang, bahwa setelah mempertimbangkan keseluruhan bukti tertulis yang telah diajukan oleh kedua belah pihak di persidangan maka Majelis Hakim berkesimpulan bahwa relevansi dengan system pembuktian positif dalam perkara perdata maka Majelis Hakim berpendapat telah adanya pernyataan dari PARA TERGUGAT dimana dalam jawaban maupun duplik yang diajukan oleh TERGUGAT II untuk kepentingan dirinya sendiri maupun selaku Kuasa dari TERGUGAT I, PARA TERGUGAT telah mengakui hak PENGGUGAT atas tanah sengketa tersebut dimana dalam jawaban maupun duplik diajukan oleh TERGUGAT II untuk kepentingan dirinya sendiri maupun selaku Kuasa dari TERGUGAT I menyatakan bahwa benar tanah kering sengketa tersebut adalah pada mulanya dikuasai dan dikerjakan oleh ayah PENGGUGAT dan sekitar tahun 1979 PARA TERGUGAT datang kepada orang tua PENGGUGAT yakni Lelaki PAREWE (almarhum) untuk PARA TERGUGAT pinjam sekaligus mengerjakan tanah sengketa tersebut sampai orang tua PENGGUGAT meninggal dunia;
“Menimbang, bahwa dari pernyataan PARA TERGUGAT tersebut diatas merupakan pengakuan murni yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai alat bukti sebagaimana yang dijelaskan dalam Pasal 174-176 HIR dan Pasal 1923 KUHPerdata adalah ‘alat bukti berupa pernyataan / keterangan dikemukakan salah satu pihak kepada pihak lain dalam proses pemeriksaan yang dilakukan di muka Hakim dalam persidangan, dimana pengakuan tersebut berisi keterangan bahwa apa yang didalilkan lawan benar sebagian atau seluruhnya’. Sama seperti alat bukti persangkaan, bahwa pengakuan juga termasuk dalam alat bukti tidak langsung (indirect evidence) karena alat bukti tersebut tidak diajukan secara fisik dalam pemeriksaan persidangan karena bentuknya memang tidak dapat dilihat secara fisik melainkan hanya pernyataan / pengakuan dari para pihak yang berperkara atas dalil yang telah diajukan.’;
“Menimbang, bahwa dari bukti P-1 yang merupakan fotocopy Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang Pajak Bumi dan Bangunan Tahun 2015, atas nama NURU B. PAREWE dapat diketahui adanya tanah yang dibayar pajaknya oleh PENGGUGAT yang terletak di ... . Bahwa dari bukti tertulis P-1 tersebut terdapat persesuaian letak tanah yang dikuasai oleh PARA TERGUGAT;
“Menimbang, bahwa selanjutnya Majelis Hakim akan mempertimbangkan bagaimanakah kedudukan bukti tertulis P-1 tersebut secara formil dalam hukum perdata merupakan bukti berkaitan dengan pembayaran pajak atas tanah;
“Menimbang, bahwa selanjutnya berdasarkan materi jawaban maupun duplik yang diajukan oleh TERGUGAT II untuk kepentingan dirinya sendiri maupun selaku Kuasa dari TERGUGAT I serta dihubungkan dengan bukti P-1 sebagaimana telah diuraikan maka diperoleh suatu fakta yuridis bahwa tanah sengketa sebagaimana didalilkan dalam gugatan PENGGUGAT adalah berasal dari orang tua PENGGUGAT yang bernama PAREWE dan NIKKANG, dan selanjutnya fakta yuridis mengenai tanah sengketa yang berasal dari PAREWE dan NIKKANG tersebut telah diperkuat pula oleh materi jawaban maupun duplik diajukan oleh TERGUGAT II untuk kepentingan dirinya sendiri maupun selaku Kuasa dari TERGUGAT I, yang pada intinya mengakui bahwa benar tanah obyek sengketa berasal dari orang tua PENGGUGAT yang dipinjam untuk dikerjakan oleh TERGUGAT I dan TERGUGAT II;
“Menimbang, bahwa setelah mempertimbangkan materi jawaban maupun duplik yang diajukan oleh TERGUGAT II untuk kepentingan dirinya sendiri maupun selaku Kuasa dari TERGUGAT I, serta dihubungkan dengan bukti P-1 yang telah diajukan oleh PENGGUGAT di persidangan maka relevansi dengan system pembuktian positif dalam perkara perdata maka Majelis Hakim berkesimpulan bahwa tanah obyek sengketa tersebut adalah milik PENGGUGAT yang berasal dari orang tuanya yang bernama PAREWE dan NIKKANG, sehingga maka dari itu pokok permasalahan dalam perkara ini, telah terjawab yaitu tanah sengketa adalah milik dari PENGGUGAT yang berasal dari orang tuanya yang bernama PAREWE dan NIKKANG;
”Menyatakan menurut hukum bahwa perbuatan Para Tergugat tersebut diatas adalah merupakan perbuatan melawan hukum”, menurut Majelis Hakim karena telah dapat dibuktikan bahwa PENGGUGAT adalah pemilik yang sah atas tanah sengketa yang dikuasai secara tanpa hak oleh TERGUGAT I dan TERGUGAT II, sehingga terhadap petitum ketiga tersebut haruslah dikabulkan;
“Menimbang, bahwa berkaitan dengan petitum keempat yang berbunyi ‘Menghukum kepada PARA TERGUGAT atau siapa saja yang memperoleh hak daripadanya untuk mengosongkan tanah sawah sengketa tersebut kemudian menyerahkan kepada PENGGUGAT dalam keadaan kosong tanpa syarat dan beban apapun bila perlu dengan bantuan Polisi’, oleh karena telah dapat dibuktikan dan dipertimbangkan oleh Majelis Hakim bahwa tanah sengketa adalah milik PENGGUGAT yang berasal dari orang tuanya yang bernama PAREWE dan NIKKANG maka dari itu Majelis Hakim berpendapat bahwa TERGUGAT I dan TERGUGAT II ataupun siapa saja yang mendapat hak dari padanya untuk meninggalkan tanah sengketa sehingga petitum keempat tersebut haruslah dikabulkan;
M E N G A D I L I :
DALAM POKOK PERKARA:
- Mengabulkan gugatan PENGGUGAT seluruhnya;
- Menyatakan menurut hukum bahwa tanah sengketa + 2 Ha yang terletak di ... dengan batas-batas sebagai berikut : ... adalah milik PENGGUGAT yang diperoleh sebagai warisan dari Ibu PENGGUGAT yang bernama Perempuan NIKKANG (almarhumah) dan Lelaki PAREWE suami dari NIKKANG (almarhum);
- Menyatakan menurut hukum bahwa perbuatan PARA TERGUGAT tersebut diatas adalah merupakan perbuatan melawan hukum;
- Menghukum kepada PARA TERGUGAT dan atau siapa saja yang memperoleh hak daripadanya untuk mengosongkan tanah sawah sengketa tersebut kemudian menyerahkan kepada PENGGUGAT dalam keadaan kosong tanpa syarat dan beban apapun bila perlu dengan bantuan polisi.”
Catatan Penutup SHIETRA & PARTNERS:
Dalam praktik peradilan, terdapat sebuah rumusan : Gugatan yang buruk sekalipun + pengakuan Tergugat = DIKABULKAN PENGADILAN. Berlaku juga rumus sebaliknya : Gugatan yang baik sekalipun (-) minus pengakuan Tergugat = BELUM TENTU DIKABULKAN.
Demikianlah fenomena praktik peradilan yang ada selama ini. Bagaimana pun, kalangan hakim bukanlah seorang sakti yang memiliki “mata dewa” untuk melihat kejadian sebenarnya secara real. Sikap kooperatif pihak Tergugat, menjadi faktor kunci jalannya proses persidangan yang jujur dan berkeadilan.
Dengan kata lain, ketika dalil-dalil maupun dasar hukum maupun pembuktian yang dapat diajukan pihak Penggugat sangat lemah, atau bahkan dapat disebut tidak memiliki dasar hukum apapun, namun bila pihak Tergugat membenarkan dan tidak menyangkal, atau bahkan secara tegas mengakui dalil-dalil Penggugat, maka tiada lagi yang perlu dibuktikan oleh Majelis Hakim selayaknya pembuktian materiil dalam perkara pidana.
Dalam contoh kasus diatas, bila saja pihak Tergugat tidak membuat pengakuan demikian, maka dapat dipastikan gugatan Penggugat akan “mentah”, karena nyata-nyata telah ditelantarkan selama berpuluh-puluh tahun sehingga menjadi kadaluarsa haknya—terkait pula larangan kepemilikan guntai serta kaedah acquisitive verjaring. Sementara pembayaran pajak PBB, bukanlah alat bukti kepemilikan.
Jika saja pada saat proses pembuktian “pemeriksaan setempat” oleh Majelis Hakim yang turun langsung ke lapangan, pihak Tergugat tidak menyetujui lokasi bidang tanah yang ditunjukkan pihak Penggugat, maka dapat dipastikan gugatan Penggugat “kabur” alias “tidak jelas”, karena rancu batas-batas bidang tanahnya.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.