Daya Ikat Penetapan Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan

LEGAL OPINION
Question: Jika surat anjuran Disnaker (Dinas Tenaga Kerja) sifatnya tidak mengikat hakim di pengadilan, bagaimana dengan Surat Penetapan dari Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan, seperti semisal masalah kekurangan pembayaran gaji UMR? Bukannya mereka semua sama-sama saja pegawai di Disnaker?
Brief Answer: Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan memang merupakan pegawai pada instansi vertikal Kementerian Ketenagakerjaan, namun disaat bersamaan secara ex officio dapat merangkap sebagai “penyidik pegawai negeri sipil”, sehingga daya ikat hukum produk “Penetapan” yang diterbitkan olehnya lebih bersifat mengikat ketimbang nota anjuran Mediator pada Disnaker.
Dari kaedah yurisprudensi yang ada, meski peraturan perundang-undangan tidak mengaturnya secara tegas, praktik peradilan telah berpendirian bahwa “Penetapan” Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan, bersifat mengingat diluar dan didalam pengadilan, terutama bagi Majelis Hakim Pengadilan Hubungan Industrial (PHI).
PEMBAHASAN:
Terkadang, yurisprudensi dibentuk berdasarkan “diamnya” Mahkamah Agung terhadap putusan judex factie, yang dapat dimaknai sebagai membenarkan secara implisit amar putusan maupun pertimbangan hukum Majelis Hakim judex factie.
Sebagai ilustrasi konkret, tepat kiranya SHIETRA & PARTNERS merujuk kaedah putusan Mahkamah Agung RI sengketa hubungan industrial register Nomor 179 K/Pdt.Sus-PHI/2017 tanggal 8 Maret 2017, perkara antara:
- PT. PRIMA JIREH, sebagai Pemohon Kasasi, semula selaku Tergugat; melawan
- 5 (lima) orang Pekerja, selaku Desember 2016, Para Termohon Kasasi dahulu Para Penggugat.
Para Penggugat bekerja dengan Tergugat dengan perjanjian kerja secara lisan, namun selama ini Tergugat membayar upah dibawah Upah Minimum Provinsi (UMP) terhadap Para Penggugat selaku Pekerja, mulai tahun 2009 s/d bulan Juli 2016.
Tindakan Tergugat telah membayar upah terhadap Para Penggugat dibawah UMP DKI Jakarta mulai tahun 2009 s/d bulan Juli 2016, sehingga bertentangan dalam Pasal 90 Ayat (1) Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang mengatur:
“Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89.”
Yang bila dikaitkan ketentuan Pasal 91 ayat (1) dan (2) No. 13 Tahun 2003, mengatur:
1) Pengaturan pengupahan yang ditetapkan atas kesepakatan antara pengusaha dan pekerja / buruh atau serikat peketja / serikat buruh tidak boleh lebih rendah dari ketentuan pengupahan yang ditetapkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2) Dalam hal kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) lebih rendah atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesepakatan tersebut batal demi hukum, dan pengusaha wajib membayar upah pekerja/buruh menurut peraturan petundang-undangan yang berlaku.”
Oleh karena Tergugat tidak beritikad balk dalam menyelesaikan perselisihan, sehingga perundingan bipartit tidak menemui titik temu (deadlock). Tanggal 25 Januari 2016, Para Penggugat mencatatkan perselisihan tersebut ke Suku Dinas Tenaga Kerja Jakarta Timur.
Tanggal 03 Februari 2016, Para Penggugat melaporkan perbuatan Tergugat kepada Suku Dinas Tenaga Kerja cq. Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan. Tanggal 25 Februari 2016, Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan turun ke lapangan menindak-lanjuti laporan dengan memeriksa perusahaan Tergugat.
Akan tetapi pada bulan Maret 2016, Tergugat tetap memberikan upah dibawah upah minimum yang berlaku terhadap para pekerjanya. Tanggal 10 Maret 2016, Tergugat menawarkan uang ganti-rugi atas kekurangan upah terhadap Para Penggugat sebesar Rp. 15.000.000,00. Tanggal 22 Maret 2016, Tergugat menawarkan kembali uang ganti-rugi sebesar Rp. 25.000.000,00 kepada Para Penggugat.
Oleh sebab tawaran yang diajukan Tergugat sangat tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka Para Penggugat menolak tawaran demikian. Karena persidangan mediasi dianggap deadlock pula, maka Mediator menerbitkan Surat Anjuran, dengan substansi:
I. Agar Pengusaha PT. Prima Jireh membayarkan Hak atas kekurangan upah Sdr. Akhmad Jayadi dkk (5 orang) sejak tahun 2009 s/d 2016 sesuai ketentuan Pasal 90 ayat (1) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagaimana daftar data kekurangan upah terlampir;
II. Agar Para Pihak memberikan jawaban secara tertulis selambat-Iambatnya 10 (sepuluh) hari setelah diterima Surat Anjuran ini.
a. Apabila Para Pihak dapat menerima anjuran ini, maka Mediator Hubungan Industrial akan membantu membuat Perjanjian Bersama.
b. Apabila kedua belah pihak atau salah satu pihak menolak anjuran ini, maka para pihak atau salah satu pihak dapat melanjutkan penyelesaian perselisihan ini kepada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.”
Penggugat menyatakan menerima apa yang telah dianjurkan oleh Mediator, meski demikian pada bulan April s/d Juni 2016, Tergugat tetap membayar upah dibawah upah minimum yang berlaku. Dengan kata lain, tidak ada perubahan kebijakan dari pihak Pengusaha.
Berlanjut pada tanggal 16 Juni 2016, Penggugat  mengirimkan Surat Somasi / Peringatan kepada Tergugat, agar segera membayar Kekurangan Upah dan membayar upah sesuai ketentuan hukum yang berlaku. Tanggal 21 Juni 2016, Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan Suku Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Administrasi Jakarta Timur menerbitkan Surat Penetapan tertanggal 21 Juni 2016 tentang Penetapan Kekurangan Pembayaran Upah A.N Sdr. Akhmad Jayadi Dkk (5 orang) Pekerja PT. Prima Jireh.
Tergugat tetap menunjukan itikad tidak baik dengan mengabaikan dan tidak menjalankan isi Surat Penetapan yang diterbitkan oleh Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan. Bulan Juni 2016, Tergugat tetap tidak mau membayar kekurangan upah dan selalu membayar upah dibawah upah minimum terhadap para Pekerja.
Berpuncak pada tanggal 15 Juli 2016, Para Penggugat melaporkan Direksi PT. Prima Jireh ke POLDA Metro Jaya, atas perbuatan telah membayar upah dibawah upah minimum yang berlaku. Terhadap gugatan pihak Pekerja, Pengadilan Hubungan Industrial Jakarta Pusat kemudian menjatuhkan putusannya Nomor 214/Pdt.Sus-PHI/2016/PN.JKT.PST. tanggal 14 November 2016, dengan pertimbangan hukum serta amar sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa Pengadilan Hubungan Industrial tidak memiliki kewenangan untuk merubah sebagian maupun seluruh isi Penetapan Pengawas Ketenagakerjaan. Dalam kaitan menghormati fungsi-fungsi kelembagaan tersebut. Majelis Hakim baru dapat mengesampingkan surat penetapan Pengawas Ketenagakerjaan Suku Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jakarta Timur apabila ada lembaga yang berwenang pada instansi pemerintah yang lebih tinggi yang membidangi ketenagakerjaan mengoreksi dan membatalkan penetapan tersebut, sehingga Majelis Hakim berpendapat bahwa Penetapan Pengawas Ketenagakerjaan tersebut sebagai dasar dalam mengabulkan gugatan Para Penggugat tanpa perlu melakukan pertimbangan lain atas substansi Penetapan Pengawas Ketenagakerjaan dimaksud;
“Menimbang bahwa oleh karena Penetapan Pengawas Ketenagakerjaan tersebut diterbitkan atas dasar kewenangan yang diberikan oleh Negara melalui undang-undang, maka penetapan tersebut berlaku sebagai hukum yang mengikat dan wajib untuk dilaksanakan oleh pihak yang disebutkan dalam penetapan;
MENGADILI :
DALAM POKOK PERKARA:
1. Mengabulkan gugatan Para Penggugat sebagian;
2. Menyatakan Tergugat telah membayar upah dibawah nilai Upah Minimum Propinsi DKI Jakarta kepada Para Penggugat sejak 19 September 2011 sampai dengan bulan Juli 2016;
3. Menghukum Tergugat untuk membayar kekurangan upah kepada Para Penggugat yang keseluruhannya sebesar Rp.324.369.400,00 (tiga ratus dua puluh empat juta tiga ratus enam puluh sembilan ribu empat ratus rupiah) dengan rincian masing-masing sebagai berikut :
1. Suhardi (Penggugat 1) Rp.38.342.000,00.
2. Harun (Penggugat 2) Rp.38.342.000,00.
3. Akhmad Jayadi (Penggugat 3) Rp.72.401.800,00.
4. Mahdori (Penggugat 4) Rp.87.641.800,00.
5. Abdul Muiz (Penggugat 5) Rp.87.641.800,00.
4. Menolak gugatan Para Penggugat untuk selebihnya.”
Pihak Pengusaha yang baru menyadari bahwa membayar upah dibawah Upah Minimum sejatinya sedang menaruh “bom waktu”, mengajukan upaya hukum kasasi, dimana terhadapnya Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan yang secara implisit dapat membenarkan pendirian PHI, sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa keberatan-keberatan kasasi tidak dapat dibenarkan setelah meneliti secara seksama memori kasasi tanggal 1 Desember 2016 dan kontra memori kasasi tanggal 27 Desember 2016 dalam hal ini Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, tidak salah menerapkan hukum, pertimbangannya telah tepat dengan Menolak Eksepsi Tergugat dan Menolak Tuntutan Provisi Para Penggugat serta Mengabulkan Gugatan Para Penggugat sebagian, oleh karena ternyata Tergugat telah membayar upah kepada Para Penggugat dibawah nilai upah minimum Propinsi DKI Jakarta sejak tanggal 19 September 2011 s/d Mei 2016, maka Tergugat harus membayar kekurangan upah Para Penggugat, sebagaimana telah dipertimbangkan dengan tepat oleh oleh Judex Factie;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, ternyata bahwa Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, sehingga permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi PT. PRIMA JIREH tersebut harus ditolak;
M E N G A D I L I :
Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi PT. PRIMA JIREH tersebut.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.