Tindak Pidana Korupsi Tidak Mengenal Kadaluarsa Penuntutan

LEGAL OPINION
Question: Di KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) ada aturan perihal daluarsa hak menuntut ataupun mengadili oleh jaksa dan hakim. Undang-Undang tentang TIpikor (Tindak Pidana Korupsi) merupakan lex spesialis dari KUHP maupun KUHAP, namun tidak dijumpai pengaturan perihal daluarsa secara tersendiri. Apakah artinya Hukum Tipikor tunduk pada aturan di KUHP tentang apa yang tidak diatur secara tersendiri di UU Tipikor?
Brief Answer: Secara teori, benar demikian adanya, ketentuan khusus / spesialis tunduk pada aturan yang lebih umum, ketika ketentuan khusus tidak mengatur lain atau sebaliknya. Namun berdasarkan “judge made law” oleh kalangan hakim pengadilan, telah dibentuk norma kaedah hukum yurisprudensi, bahwa: Tipikor merupakan Kejahatan Luar Biasa, sehingga perihal kaedah kadaluarsa, tidak dapat diberlakukan dalam konteks pelaku dan perilaku terkait Tipikor.
PEMBAHASAN:
Untuk itu SHIETRA & PARTNERS merujuk pada putusan Mahkamah Agung RI perkara TIpikor register Nomor 545 K/Pid.Sus/2013 tanggal 25 April 2013, yang diperiksa dan diputus tingkat kasasi oleh Hakim Agung Artidjo Alkostar, M. Askin, dan M.S. Lumme.
Terhadap dakwaan Jaksa Penuntut, yang kemudian menjadi putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta Pusat No.39/PID.B/TPK/2012/PN.JKT.PST. tanggal 27 September 2012, dengan pertimbangan serta amar sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa dari hasil Fit and Proper Test yang dilakukan dari hash voting Terdakwa memperoleh suara mayoritas sehingga Terdakwa terpilih menjadi Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia untuk Periode 2004—2009;
“Menimbang, bahwa dari fakta-fakta hukum tersebut diatas dihubungkan dengan Pasal 185 ayat (4) KLHAP berbunyi ‘Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri tentang suatu kejadian atau keadaan dapat digunakan sebagai suatu alat bukti yang sah apabila keterangan saksi itu ada hubungannya satu dengan yang lainnya sedemikian rupa, sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu;
“Maka terlihat adanya keterangan saksi yang berdiri sendiri-sendiri, akan tetapi keterangan saksi tersebut saling berhubungan antara saksi yang satu dengan yang lainnya yaitu, sebelum dilakukan pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (DGSBI) telah dilakukan pertemuan-pertemuan antara Terdakwa dengan Fraksi PDI-P dan Fraksi TNI/Polri, yang kemudian pada tanggal 8 Juni 2004 sebelum terdakwa terpilih menjadi DGSBI, para saksi dari Fraksi PDI-P, Fraksi PPP, Fraksi Golkar, dan Fraksi TNI/Polri telah menerima Travellers Cheque (TC) dari saksi Arie Malangjudo yang nilainya masing-masing TC nilainya Rp50.000.000,00 (lima puluh juts Rupiah);
“Menimbang, bahwa dari hasil Fit and Proper Test tersebut diatas ternyata Terdakwa terpilih sebagai mayoritas yang mengalahkan calon yang lain;
“Menimbang, bahwa jika dihubungkan dengan Locus Delictie, dan Tempus Delictie dengan terpilihnya Terdakwa sebagai DGSBI dengan pemberian Travellers Cheque telah menggambarkan suatu rangkaian adanya suatu kejadian tertentu, dan para saksi yang telah menerima Travellers Cheque yang dihadirkan di depan Persidangan telah dijatuhi pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, maka dengan demikian Majelis Hakim berpendapat unsur ‘memberi sesuatu’, telah terpenuhi dan ada dalam perbuatan Terdakwa;
MENGADILI :
1. Menyatakan Terdakwa MIRANDA SWARAY GOELTOM terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana Korupsi secara bersama-sama, sebagaimana dalam dakwaan Pertama Pasal 5 ayat (1) b Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) KUHPidana;
2. Menjatuhkan pidana oleh karenanya terhadap Terdakwa Miranda Swaray Goeltom dengan pidana penjara selama 3 (tiga) tahun dan pidana denda sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta Rupiah) apabila denda tersebut tidak dibayar, diganti dengan pidana kurungan selama 3 (tiga) bulan;
3. Menetapkan agar masa penahanan yang telah dijalankan, dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;
4. Memerintahkan agar Terdakwa Miranda Swaray Goeltom tetap berada dalam tahanan.”
Dalam tingkat banding, yang menjadi putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Tinggi Jakarta No.56/PID/TPK/2012/PT.DKI. tanggal 13 Desember 2012, dengan amar sebagai berikut:
MENGADILI :
- Menerima permintaan banding dari Terdakwa tersebut;
- Menguatkan Putusan Sela Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 39/Pid.B/TPK/2012/PN.JKT.PST. tanggal 31 Juli 2012 yang dimintakan banding tersebut;
- Menguatkan putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 39/Pid.B/TPK/2012/PN.JKT.PST. tanggal 27 September 2012 yang dimintakan banding tersebut;
- Menetapkan agar Terdakwa tetap ditahan.”
Terdakwa mengajukan upaya hukum kasasi, dengan salah satu pokok keberatan bahwa Pengadilan Tipikor dinilai keliru dalam menerapkan hukum, oleh karena dakwaan Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi mengenai Pasal 13 Undang-Undang Tipikor, sudah Daluwarsa masa penuntutannya.
Dalam dakwaan Ketiga dan Keempat, Terdakwa didakwa karena diduga melakukan sesuatu perbuatan yaitu secara bersama-sama dengan Nunun Nurbaeti, atau menganjurkan Nunun Nurbaeti memberi hadiah atau janji, kepada Anggota Komisi IX DPR RI periode 2004-2009. Ketentuan Umum KUHP mengatur mengenai daluwarsa (hilangnya hak untuk melakukan penuntutan) sebagaimana diatur dalam Pasal 78 ayat (1) butir ke-2 KUHP, yang memiliki ketentuan:
“Kewenangan menuntut pidana hapus karena daluwarsa: Mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana denda, pidana kurungan, atau pidana penjara paling lama tiga tahun, (yakni kadaluarsa) sesudah enam tahun.”
Oleh karena Undang-Undang Tipikor tidak terdapat ketentuan yang secara khusus mengatur mengenai Daluwarsa, maka ketentuan dalam Pasal 78 Ayat (1) butir ke-2 KUHP tersebut secara mutatis mutandis berlaku terhadap Undang-Undang Tipikor, demikian dalil Terdakwa.
Pasal 13 Undang-Undang Tipikor memiliki ancaman hukuman paling lama 3 (tiga) tahun, maka penerapan Pasal 13 Undang-Undang Tipikor untuk perkara pemberian TC kepada Anggota Komisi IX DPR RI yang terjadi pada bulan Juni 2004, telah daluwarsa pada Juni 2010 yang lalu, oleh karena itu kewenangan penuntutan untuk perkara pemberian TC kepada Anggota Komisi IX DPR RI dengan menggunakan Pasal 13 Undang-Undang Tipikor, telah hapus sejak bulan Juni 2010.
Mengingat Pasal 13 Undang Undang Tipikor tersebut sudah tidak dapat dilakukan penuntutan, maka dengan sendirinya dakwaan atas Pasal 13 Undang-Undang Tipikor tersebut menjadi daluwarsa, sehingga Penuntut Umum tidak memiliki dasar hukum untuk mendakwa Terdakwa melakukan tindak pidana Pasal 13 Undang-Undang Tipikor dalam perkara pemberian TC kepada Anggota Komisi IX DPR RI yang terjadi pada bulan Juni 2004.
Karena Jaksa Penuntut telah mendakwa dengan berdasarkan pada ketentuan yang telah daluwarsa, maka dakwaan Jaksa Penuntut terhadap Terdakwa harus dinyatakan batal demi hukum, atau setidak-tidaknya tidak dapat diterima. Terdakwa kemudian mengutip pendapat hukum dari salah seorang diantara Majelis Hakim Tipikor, yakni Hakim Anggota II yang memberikan pendapat berbeda saat menjatuhkan Putusan Sela, dengan uraian:
“Menimbang, bahwa hak menuntut hukuman gugur atau (tidak dapat dijalankan lagi karena lewat waktunya) vide Pasal 78 KUHPidana;
“Selanjutnya dalam ayat (2) e diatur sesudah lewat 6 (enam) tahun bagi kejahatan yang terancam hukuman, denda, kurungan atau penjara yang tidak lebih dari 3 (tiga) tahun;
“Bahwa oleh karena Pasal 13 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi memiliki ancaman paling lama 3 (tiga) tahun, maka tempus delictinya dakwaan a quo terjadi pada bulan Juni 2004, sehingga telah daluwarsa pada bulan Juni 2010;
“Menimbang, …. menurut Hakim Anggota II pendapat yang demikian adalah tidak beralasan karena daluwarsa bukanlah Lembaga Penghentian Penuntutan yang diadakan / dibentuk belakangan, tetapi adalah merupakan ketentuan yang telah diatur dalam Buku I Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia yang harus dilaksanakan dan dipatuhi serta dijadikan pedoman oleh seluruh Aparat Penegak Hukum tidak terkecuali Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK);
“Menimbang, menurut Hakim Anggota II, memang KPK mempunyai hukum acara tersendiri / Lex Specialis akan tetapi untuk daluwarsa tidak termasuk hukum acara tindak pidana dimana yang berlaku adalah hukum acara (hukum formil) pidana umum dalam hal ini yang berlaku adalah sebagaimana yang telah diatur pada Pasal 78 KUHPidana;
“Demikian juga tentang tempo gugurnya penuntutan dihitung mulai keesokan harinya sesudah perbuatan dilakukan sebagaimana diatur dalam Pasal 79 KUHPidana dan pengecualiannya tidak termasuk Tindak Pidana Korupsi, maka mulai tempo / waktu gugurnya hak menuntut dalam perkara a quo adalah tanggal 9 Juni 2004 dan berakhir pada tanggal 10 Juni 2010.”
Menurut Terdakwa, dakwaan Pasal 13 UU Tipikor terhadap Terdakwa telah kadaluwarsa, oleh karena itu seharusnya Pengadilan Tipikor menyatakan dakwaan Penuntut Umum “tidak dapat diterima”, dan membebaskan Terdakwa dari segala tuntutan hukum, karena juga ketidak-sesuaian antara pasal yang dikenakan kepada Para Penerima TC dengan pasal yang dikenakan kepada Terdakwa dan terhadap Nunun Nurbaeti yang dituduh memberikan Traveller Cheque.
Dimana terhadap keberatan-keberatan Terdakwa, Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
Mengenai alasan ke-1:
“Bahwa alasan kasasi tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena judex facti tidak salah menerapkan hukum yaitu penetapan Terdakwa sebagai tersangka adalah wewenang Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi yang diatur dalam Pasal 45, 46, 47, dan 49 Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 berdasarkan alat-alat bukti yang sah sebagaimana diatur dalam Pasal 184 (1) huruf a, c dan d KUHAP, alasan mana tidak tunduk pada pemeriksaan tingkat kasasi;
Mengenai alasan-alasan ke-2, ke-3, ke-4 dan ke-6:
“Bahwa alasan-alasan kasasi tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena judex facti tidak salah menerapkan hukum terkait dengan pembuktian unsur ‘memberikan sesuatu’ dengan metode kettingbewijs sesuai dengan Pasal 185 ayat (4) KUHAP karena pertimbangan judex facti atas fakta (putusan Pengadilan Negeri hal. 136–139) yang menghubungkan dengan Pasal 185 ayat (4) KUHAP (putusan Pengadilan Negeri hal. 143) menggunakan metode analisis silogisme berdasarkan keterangan saksi yang berdiri sendiri tentang suatu kejadian atau keadaan terhadap perkara a quo yang dikenal dengan kettingbewijs (kesaksian berantai).
“Judex facti (Pengadilan Tinggi) mengambil-alih pertimbangan judex facti (Pengadilan Negeri), berdasarkan keterangan saksi Nunun Nurbaeti, dinyatakan bahwa sebelum proses pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, Terdakwa pernah meminta kepada saksi Nunun Nurbaeti untuk memperkenalkan Terdakwa kepada Anggota DPR RI yang saksi Nunun Nurbaeti kenal, dan saksi Nunun Nurbaeti bersedia untuk memperkenalkan dan mempertemukan Terdakwa dengan Anggota DPR RI Endin AJ Soefihara, Paskah Suzeta, Hamka Yandhu, di rumah saksi Nunun Nurbaeti di Cipete, akan tetapi saksi Nunun Nurbaeti tidak ikut dalam pertemuan tersebut.
“Bahwa pertimbangan judex facti dengan menghubungkan locus delicti dan tempus delicti serta waktu dan tempat kejadian yang dialami oleh para saksi dengan terpilihnya Terdakwa sebagai DGSBI dengan pemberian Travellers Cheque ternyata telah menggambarkan ada hubungan kausal antara perbuatan Terdakwa dengan penerimaan Travellers Cheque oleh Anggota DPR RI masing-masing : saksi Dudhie Makmun Murod dari Fraksi PDIP, saksi Endin AJ. Soefihara dari Fraksi PPP, saksi Udju Djuhaeri bersama saksi Darsup Yusuf, R. Sulistiyadi, dan Suyitno dari Fraksi TNI / Polri, dan saksi Hamka Yandhu Y.R dari Fraksi Golkar di Komisi IX DPR RI menerima Travellers Chegue BII masing-masing senilai Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta Rupiah), dan setelah adanya pemberian Travellers Cheque BII lalu pada malam harinya dilakukan voting pemilihan Calon Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia. Terdakwa terpilih dengan suara mayoritas, oleh karena itu perbuatan Terdakwa bekerja bersama-sama dengan saksi-saksi dengan sadar dan erat memberikan Travellers Cheque kepada beberapa orang Anggota DPR RI yang telah dipidana dan telah memperoleh kekuatan tetap, maka judex facti berpendapat unsur ‘memberi sesuatu’ telah terpenuhi dalam perbuatan Terdakwa;
Mengenai alasan ke-5:
“Bahwa alasan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena judex facti tidak salah menerapkan hukum dengan pertimbangan sesuai United Nations Convention Againts Corruption 2003 Article 29 : Each state party shall, where appropriate, estabilish under its domestic law a long statute of limitations period in which to commence proceedings for any offence estabilished in accordance with this convention and estabilished a longger statute of limitations period or provide for the suspension of the statute of limitations where the elleged offender has evaded the administration of justice.
“Bahwa berdasarkan Undang-Undang No. 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Againts Corruption 2003, maka dengan mengingat tindak pidana Korupsi telah digolongkan sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) ketentuan Pasal 78 ayat (1) butir ke-2 KUHPidana dapat disimpangi (judge made law);
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan diatas, lagi pula ternyata, putusan judex facti dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi tersebut harus ditolak;
M E N G A D I L I :
Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi / Terdakwa : MIRANDA SWARAY GOELTOM tersebut.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.