Kiat Menciptakan Komitmen dalam Kontrak

LEGAL OPINION
Question: Mudah membuat kontrak, dan mudah juga kemudian kontrak itu dilanggar dan tidak diacuhkan. Apa memang ada tips, untuk membuat sebuah kontrak dihormati kedua belah pihak yang saling tanda-tangan dalam kontrak itu?
Brief Answer: Kebanyakan kasus, yang diikatkan dalam perjanjian model demikian bukanlah sebentuk komitmen real, namun perikatan formalitas belaka, bukan mengikatkan diri secara moril. Perikatan moril berupa komitmen, bukanlah ditentukan dari ditanda-tanganinya sebuah surat perjanjian ataupun jabat-tangan, namun ada sebentuk ikatan mental dan moril “tak tampak”, yang menyentuh aspek psikologis para pihak yang saling bersepakat.
Simak kiat berikut yang selama ini terbukti efektif: Sekalipun posisi dan kedudukan Anda lebih kuat, dan sekalipun daya tawar pihak rekan usaha lebih lemah, untuk memastikan kelangsungan hubungan kerja-sama berlangsung dengan dilandasi itikad baik serta berkesinambungan (berkelanjutan), maka pastikan untuk selalu membuka dan memberi “ruang bernafas untuk bernegosiasi” dalam penyusunan maupun pembahasan sebuah surat perjanjian, agar pihak rekan usaha tidak merasa terlecehkan (secara implisit maupun secara alam bawah sadar), sehingga masing-masing pihak akan merasa memiliki terhadap berbagai perikatan yang dikandung dalam perjanjian tersebut.
PEMBAHASAN:
Yang disebut dengan “membuka ruang negosiasi”, bukanlah dimaknai seperti ketika kita mendatangi sebuah toko ritel, lalu bersikukuh meminta harga yang berbeda dari harga yang telah tercantum dalam rak displai barang-barang yang ditawarkan dalam toko ritel / gerai minimarket tersebut.
Ketika sebuah draf surat perjanjian tersusun dari seratus pasal dan ayat, namun tidak satupun terbuka peluang untuk dinegosiasikan dan dirundingkan, maka apa yang tersisa dari frasa “bersepakat” selain daripada gimmick serta “kecentilan” para legal drafter belaka. Bahkan toko ritel tersebut membuka ruang kebebasan untuk memilih bagi para konsumennya, apakah hendak keluar dari toko tanpa membeli, atau membeli dengan uang kartal ataukah dengan uang elektronik.
Menutup ruang diskusi dan negosiasi, maka tidaklah dapat kita sebut sebagai kesepakatan murni, namun kesepakatan yang dipaksakan, dimana salah satu pihak menjadi dominan, dan pihak lainnya hanya sebatas “tunduk” semata. Ada relasi subordinat disini, itupun bila Anda mau membuka mata dan telinga kita secara jujur. Ingatlah, bahwa kontrak yang timpang, selalu diwarnai oleh itikad ketidakjujuran: tidak jujur dengan berasumsi bahwa para pihak saling seimbang secara relevan.
Dalam berbagai kasus, dari ribuan perkara yang telah SHIETRA & PARTNERS kaji, ketimpangan demikian dapat dimaknai oleh Majelis Hakim pemutus sengketa sebagai sebuah “cacat kehendak” sehingga unsur subjektif “syarat sah perjanjian” menjadi rentan dinilai sebagai tidak terpenuhi, dengan ancaman “dapat dibatalkan” oleh pihak yang lebih lemah daya tawarnya.
Arogansi kekuasaan dapat tampak dalam sebuah substansi pasal-pasal dalam sebuah perjanjian, bukan hanya tampak dalam mimik wajah ataupun tutur-tutur kata dalam melakukan tawar-menawar atau perundingan bisnis. Ketika seluruh substansi pasal adalah format baku yang dipaksakan berlakunya kepada pihak lain yang mengikatkan diri, secara tidak langsung perasaan melecehkan dan terlecehkan demikian tidak lagi dapat kita hindari. Untuk menjadi legal drafter yang baik, dirinya harus pernah atau setidaknya belajar menjadi pihak yang lemah dalam posisi daya tawar ketika bernegosiasi kesepakatan. Pepatah menyebutkan, untuk mampu merasa berkecukupan dalam hidup, kita harus belajar untuk merasa prihatin.
Berangkat dari berbagai kesenjangan dan ketimpangan demikian, pemerintah selaku regulator telah banyak membuat pengaturan perihal substansi dan bobot sebuah perjanjian, agar tidak selalu “berat sebelah”, terutama dalam interaksi antara penyedia barang/jasa terhadap para konsumennya. Tidak lain untuk “mengerem” keganasan pihak yang berada dalam posisi dominan.
Melangkah lebih jauh lagi, mengingat fakta dari tren terkini, kalangan hakim di pengadilan yang memeriksa sebuah perkara gugatan wanprestasi (contractual liabilities), kian bersikap kritis—bahkan terkesan antipati—terhadap sebuah perjanjian yang tidak seimbang (equal) memposisikan para pihak yang saling mengikatkan diri.
Dalam konstruksi demikian, sejatinya tidak pernah terjadi titik keseimbangan (equilibrium), namun yang terjadi ialah sebentuk praktik “penghisapan” yang satu terhadap yang lainnya dengan mengatas-namakan “perjanjian”, maka berbagai kalangan hakim dalam berbagai putusannya mulai merasa terpanggil untuk memberi bantuan hukum dengan mengangkat harkat dan martabat pihak yang lemah kedudukannya dalam sebuah perjanjian.
Dengan kata lain, kalangan hakim pemeriksa dan pemutus, dalam berbagai yurisprudensi dan preseden yang ada, diberi kewenangan untuk mengintervensi dan mengkoreksi ketimpangan dalam sebuah perjanjian. Legal drafter yang baik, tidak akan “menguliti” pihak seberang yang saling mengikatkan diri dalam perjanjian, namun menjadi seorang “contract maker” yang akan membuat para pihak merasa diberi ruang untuk bersuara serta bernafas, disamping menjaga harkat dan martabat masing-masing pihak, sehingga hubungan kontraktual ini menjadi sarat akan “nilai” dan saling penuh hormat.
Apa yang terjadi, ketika seseorang dikurung dalam sebuah ruang tanpa ventilasi untuk bernafas dan bergerak? Secara naluriah, dirinya akan terpanggil untuk mencari celah untuk membebaskan diri dari kungkungan “penjara” tersebut, dimana “penjara” merupakan eufemisme / simbolisme dari “perjanjian yang mencekik leher”. Sisakan ruang untuk bernafas dan bergerak, itulah esensinya.
Sebuah kata, memiliki kekuatan—yakni apa yang disebut sebagai kekuatan sematik / sematis. The power of semantic. Tren salah kaprah yang menjangkiti banyak sarjana hukum lokal maupun sarjana hukum asing ialah, sebuah surat perjanjian yang dibuat demikian tebal, disusun dengan kata-kata mutitafsir dan membingunkan, dimana satu pasal tersusun dari kalimat majemuk terdari dari dua kalimat (induk kalimat dan anak kalimat), bahkan kerap dijumpai sebuah pasal tersusun lebih dari lima kalimat (bahkan tidak lagi menjadi jelas mana yang menjadi induk kalimat, dan mana yang menjadi anak kalimat)—sehingga hanya pembuat draf perjanjian itu sendiri yang paling mampu memahami surat perjanjian yang dibuatnya, atau bahkan si pembuatnya itu sendiri sejatinya tidak paham terhadap apa yang ditulisnya sendiri. Kesemua itu tidak lain hanya berfungsi sebagai alat untuk “melecehkan” pihak yang lebih lemah daya tawarnya, disampai ajang “pamer” alias “unjuk kuasa”.
Kekuatan semantik, dapat tercipta tidak harus dengan susunan kata yang panjang dan majemuk. Pasal yang terdiri dari lebih dari dua kalimat, secara psikologis sudah tidak lagi efektif menyampaikan pesan komunikatif, karena terlampau banyak anak kalimat yang berpotensi membuat rancu esensi dan pokok pikiran sebuah pasal ataupun ayat. Simak berbagai slogan produk-produk komersiel, tidak ada yang tersusun melebihi tujuh kata. Merek-merek terkenal bahkan hanya terdiri dari tiga susunan frasa—namun kekuatannya sungguh luar biasa. Just do it! Kita tidak selalu membutuhkan ekor kalimat yang memang tidak diperlukan—suatu pemborosan kata yang tidak dapat ditolerir oleh kalangan sastrawan manapun.
Kata-kata yang tersusun secara “hemat” sekalipun, selama dirangkai secara apik dan lewat sentuhan “seni”, mampu menghasilkan pesan yang membangkitkan rangsangan kesadaran dalam neuron otak pembacanya, untuk berkesadaran membuktikan komitmen dalam suatu perikatan kontraktual yang bersifat “komunikatif”. Tidaklah heran bila kemudian disebutkan bahwa, unsur sebuah surat perjanjian, selalu terdiri dari tiga elemen: unsur yuridis, unsur bisnis, dan unsur seni.
Kurangnya sentuhan tangan-tangan “seni” dalam sebuah surat perjanjian, mengakibatkan surat perjanjian tersebut tidak lebih dari sekadar “formalitas” yang sangat berbahaya dan penuh ancaman serta pelecehan disaat bersamaan bagi pihak seberang yang saling mengikatkan diri. Kesan otoriter dalam sebuah kontrak, tidak dapat dihindari.
Seorang legal drafter maupun legal reviewer yang “peka” dan memiliki jiwa “seni”, akan dengan mudah menyadari potensi bahaya tersebut ketika mengamati sebuah surat perjanjian yang seakan hanya “menampari” kedua pipi dari wajah rekan usahanya yang saling menanda-tangani surat perjanjian diatas materai.
Jangan heran bila kemudian muncul pesaing baru, para rekan usaha yang semula tampak “loyal”, kemudian akan “hijrah” dan pergi tanpa jejak untuk bersepakat dengan pihak lain yang lebih terbuka serta mau membuka ruang diskusi disamping akomodatif. Harga yang murah, bukan lagi menjadi segalanya ditengah persaingan usaha yang kian kompetitif ini.
Take it, or leave it. Paradigma tersebut seakan telah menjadi slogan baku kalangan pelaku usaha kuat secara posisi ekonomi maupun politis, namun kecenderungan kontemporer telah membuktikan bahaya dibalik ambisi pemberlakuan otorisasi demikian. Untuk bersepakat, yang kuat perlu belajar untuk (setidaknya sedikit saja) mencoba merendahkan diri. Mereka yang duduk diatas singgasana tahta, tidak pernah bersepakat dengan rakyat jelata—demi menjaga citra, katanya. Paradigma klasik demikian ternyata terus terbawa hingga era niaga modern ini.
Membentuk komitmen, tidak dapat tercipta secara sendirinya ketika sebuah surat perjanjian ditanda-tangani para pihak. Perjanjian yang sejatinya hanya melecehkan salah satu pihak, adalah naif bila kita mengharap lahirnya komitmen dalam benak pihak yang terlecehkan—yang dapat juga kita sebut sebagai pihak yang terculasi secara kontraktual (menjadi satire dengan terminologi “kebebasan berkontrak” itu sendiri).
Mereka yang merasa ditundukkan, bagai kalah dalam peperangan, atau ketika suatu pihak merasa sebagai bangsa terjajah oleh otoriter, yang terbit dalam ranah alam bawah sadarnya ialah: perasaan tidak nyaman, terlecehkan, bahkan sakit hati. Kesepakatan yang sehat dilandasi oleh perasaan “suka sama suka”.
Ketika salah satu pihak mulai merasakan “ill feel” bahkan sejak perjanjian ditanda-tangani, bagaikan “bom waktu”, sungguh mengerikan. Legal drafter yang baik, bersikap akomodatif, sehingga segala potensi resiko mampu dimitigasi dimana asas preventif diberlakukan secara efektif dan tepat guna. Akomodatif artinya, mampu membuka telinga dan menyimak. Selentilan dapat pula kita sebutkan: sekalipun nantinya tetap saja kita memakai draf kontrak versi kita sendiri, namun setidaknya kita telah meluangkan waktu untuk mendengar pendapat dan suara calon rekan bisnis kita dengan wajah simpatik.
Pepatah mengatakan, untuk membuat kawan bermain tetap gemar bermain bersama kita, maka kita perlu sesekali membuat kawan bermain kita tersebut menang terhadap kita saat bermain. Prinsip serupa dapat diberlakukan saat mengikat diri dalam sebuah hubungan kontraktual—kita perlu belajar untuk sengaja merendahkan posisi dominan.
Tidak harus sebuah perjanjian equal sepenuhnya dalam artian sesungguhnya. Tidak ada yang ideal dalam dunia nyata sebagaimana dunia teoritis, dan itu perlu kita akui tanpa lagi dapat dipungkiri. Namun, setidaknya substansi sebuah perjanjian tidak timpang dalam derajat yang tidak lagi dapat ditolerir, atau adanya kesenjangan posisi dominan yang dipertipis jaraknya.
Ibarat membangun loyalitas kalangan pekerja, kunci utamanya membentuk budaya lingkungan kerja, dimana para karyawan akan merasa memiliki terhadap kelangsungan hidup perusahaan. Mereka bukan lagi bekerja berdasarkan tugas ataupun rasa keterpaksaan, namun karena keinginan / dorongan pribadi terdalam mereka sendiri untuk membangun dan turut menghidupi perusahaan yang bahkan dapat dijadikan identitas diri sang pekerja.
Terkadang, hambatan paling utama dalam proses penyusunan sebuah kontrak, ialah “ego” pihak yang kuat terhadap pihak yang lebih lemah. Sayang bila posisi dominan ini tidak dimanfaatkan, demikian mereka berasumsi dan berpikiran pendenk.
Pola berpikir pendek demikian kerap dijumpai dalam perjanjian yang disusun kalangan berlatar-belakang sarjana hukum—suatu fenomena yang mengejutkan. Sebaliknya, para awam hukum yang ketika membuat sebuah perjanjian sederhana tanpa didampingi kalangan sarjana hukum, tampak keseimbangan posisi para pihak tanpa instrumentalis istilah hukum yang membingungkan apapun.
Menjadi patut kita pertanyakan, apakah mungkin, kalangan sarjana hukum-lah, yang telah membuat praktik hubungan kontraktual dalam realitanya, justru menjelma keruh. Terbukti, dari berbagai kontrak-kontrak yang kini banyak disusun oleh sarjana hukum, berujung pada sengketa gugatan perdata di pengadilan, akibat minimnya komitmen oleh pihak lain dalam perikatan kontraktual tersebut.
Kembali pada postulat pertama: sebuah perjanjian yang baik, perlu sentuhan seni, disamping sentuhan yuridis. Itulah yang tampaknya kurang dipahami secara sepenuhnya oleh banyak kalangan legal drafter di Tanah Air, terlebih tipikal kontrak asing yang “tebal” namun “minim makna”—bahkan, buku manual penggunaan komputer kalah tebalnya dengan kontrak-kontrak “made in asing” tersebut.
Simak ilustrasi berikut: seorang pengusaha menawarkan ruang diskusi bagi calon rekanannya untuk menegosiasikan isi draf surat perjanjian. Ketika aspirasinya ditampung bahkan diakomodasi dalam kontrak, sang pengusaha kemudian dapat menyampaikan saat menanda-tangani kontrak tersebut: “keinginan Anda sudah ditampung dalam kontrak ini, kita harapkan bersama kita saling berkomitmen terhadap isi kontrak yang kita bentuk secara bersama-sama ini.”
Masih adakah alasan bagi rekan bisnisnya untuk ingkar janji? Tidak ada yang dapat dipastikan dalam dunia usaha. Itu betul, namun setidaknya, resiko telah diminimalisir secara optimal. Ingatlah selalu, kata-kata memiliki kekuatan tersembunyi dibaliknya. Lengah terhadap penggunaan kata, kontra-produktif yang akan kita dapatkan.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.