Putusan Pengadilan yang Spekulatif

LEGAL OPINION
Question: Yang disebut, putusan pengadilan yang tidak mencerminkan asas hukum tepat guna, itu seperti apa?
Brief Answer: Putusan yang adil, salah satu parameter atau indikatornya ialah “bebas dari anasir spekulatif”. Sementara yang disebut dengan spekulatif, ialah sifat yang tidak berdiri pada sebuah kebenaran ataupun kenyataan, namun pada sebuah asumsi spekulatif belaka, yang sama sekali tidak dapat dibenarkan secara falsafah tugas dan peran seorang hakim pemutus: menghadirkan solusi dan menghasilkan putusan yang bermanfaat bagi para pihak. Bijaksana, bukan bijaksini.
Lebih jauh lagi, khusus bagi hakim Mahkamah Konstitusi, sang hakim perlu melihat substansi permohonan uji materiil, bukan melihat sosok siapa yang mengajukan, namun urgensi serta manfaat dibalik rumusan permohonan yang berkaitan dengan kemaslahatan hidup orang banyak (erga omnes)—sehingga sang hakim tidak boleh menggunakan “kacamata” dirinya sendiri, seleranya sendiri, ataupun atribut diri sang hakim itu sendiri ketika memutus (semisal agama sang hakim), yang bisa jadi kepentingan Pemohon adalah berbeda dalam koridor keyakinan akan suatu agama.
Dalam hal ini, Hakim Agung pada Mahkamah Agung RI lebih dapat diberikan apresiasi ketimbang praktik di Mahkamah Konstitusi RI, mengingat Hakim Agung ketika memutus perkara judicial review, tidak melihat siapa sosok yang mengajukan permohonan uji materiil, tidak juga mencampur-adukkan anasir non hukum pada putusannya, namun semata meninjau bobot substansi permohonan. Inilah kelebihan uji materiil di Mahkamah Agung RI, yang banyak tidak diketahui oleh masyarakat.
PEMBAHASAN:
Salah satu cerminan putusan yang mengandung anasir spekulatif, dapat dijumpai pada putusan Mahkamah Konstitusi RI perkara permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1974 tentang Perkawinan (judicial review) register Nomor 30-74/PUU-XII/2014 tanggal 15 Januari 2015, yang diajukan oleh Yayasan Kesehatan Perempuan, Organisasi Seriak Cerlang Nusantara, Yayasan Pemantau Hak Anak, serta Koalisi Perempuan Indonesia.
Adapun yang menjadi Objek Permohonan, ialah kaedah norma Pasal 7 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan: “Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.”
Bila merujuk pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, usia anak ialah mereka yang masih dibawah umur 18 tahun. Dengan kata lain, ketentuan hukum diatas membenarkan praktik perkawinan anak, dalam hal ini perkawinan anak wanita. Pemerintah bukannya mencegah, justru melegalkan perkawinan anak yang dinilai menyumbang tingginya angka kematian ibu dan anak usia perkawinan dini. Undang-Undang Perlindungan Anak diterbitkan tahun 2002, sementara Undang-Undang Perkawinan terbit tahun 1974, sehingga menjadi layak bila secara otomatis harus ditafsirkan usia batas minimum wanita ialah 18 tahun untuk dapat melangsungkan pernikahan sebagai ‘jaring pengaman sosial’.
Ternyata bukan hanya Para Pemohon yang mempunyai perhatian serupa, dimana terhadapnya Mahkamah Konstitusi RI membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa Pihak Terkait Women Research Indonesia telah memberikan memberikan keterangan lisan dan mengajukan keterangan tertulis yang pada pokoknya berpendirian sama dengan para Pemohon dan mengajukan alat bukti bertanda PT-1 sampai dengan PT-5;
“Bahwa Pihak Terkait Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia telah memberikan keterangan lisan dan mengajukan keterangan tertulis yang pada pokoknya berpendirian sama dengan para Pemohon dan mengajukan alat bukti bertanda PT-1 sampai dengan PT-18;
“Bahwa Pihak Terkait Kalyanamitra telah memberikan keterangan lisan dan mengajukan keterangan tertulis yang pada pokoknya berpendirian sama dengan para Pemohon dan mengajukan alat bukti bertanda PT-1 sampai dengan PT-10;
“Bahwa Pihak Terkait Perhimpunan Rahima telah memberikan keterangan lisan dan mengajukan keterangan tertulis yang pada pokoknya berpendirian sama dengan para Pemohon dan mengajukan alat bukti bertanda PT-1 sampai dengan PT-16;
“Bahwa Pihak Terkait Aliansi Remaja Independent telah memberikan keterangan lisan dan mengajukan keterangan tertulis yang pada pokoknya berpendirian sama dengan para Pemohon dan mengajukan alat bukti bertanda PT-1 sampai dengan PT-16;
“Bahwa Mahkamah juga telah mendengar keterangan dari Parisada Hindu Dharma Indonesia, Konferensi Waligereja Indonesia, Pimpinan Pusat Muhamadiyah, Pengurus Besar Nadhatul Ulama, Perwakilan Umat Buddha Indonesia, Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia, Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia, telah memberikan keterangan lisan dan mengajukan keterangan tertulis;
“Bahwa Majelis Ulama Indonesia telah memberikan keterangan lisan dan mengajukan keterangan tertulis dan mengajukan satu orang ahli untuk mendukung keterangannya tersebut;
Pendapat Mahkamah
“Bahwa perkawinan adalah hak setiap orang yang harus dijamin dan dilindungi oleh negara karena perkawinan merupakan hak yang bersifat asasi dan naluriah kemanusiaan yang melekat pada diri setiap orang dan sesuatu yang kodrati. [Note Penulis: Apakah dengan demikian memilih untuk hidup selibat seperti para Bhikkhu, melanggar kodrat sebagai manusia? Apakah Sang Buddha dengan demikian dinilai melanggar perintah Tuhan? Sungguh pernyataan yang melecehkan dan menistakan agama Buddha.]
“Dalam perspektif agama, seperti Islam, perkawinan merupakan salah satu anjuran bagi siapapun yang sudah dewasa dan punya kemampuan untuk berkeluarga supaya menikah untuk menenangkan hati, jiwa, dan raga, serta untuk melanjutkan keturunan dalam membentuk keluarga yang bahagia;—[Note Penulis: Jika demikian, mengapa fakta global menunjukkan fakta sebaliknya secara masif dan makro maupun mikro?]
“Dalam Al Qur’an surat Ar Rum: 21, Allah Subhanahuwata’ala berfirman: ‘dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadaanya, dan dijadikan-Nya di antara kamu rasa kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” [Note Penulis: inilah salah satu pembenar, bahwa tiada emansipasi wanita, karena kaum hawa hanya diciptakan sebagai pelayan atau subordinat dari kaum adam.]
Ajaran Islam mendorong umatnya, khususnya kaum mudanya, untuk segera melakukan pernikahan sebagaimana Hadists Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wasallam yang diceritakan oleh Abdullah Bin Mas’ud Radiallahu ‘anhu, bahwa: ‘Wahai para pemuda, barang siapa diantara kalian telah mampu maka segeralah menikah, karena hal itu lebih membuat mata tertunduk dan lebih menjaga kemaluan. Barang siapa belum mampu, berpuasalah karena ia bisa menahan nafsu.’ (Hadist riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim);
Ajaran agama Hindu (berdasarkan sumber dari Dirjen Bimas Hindu dan Buddha, 2001:34) memberikan aturan tambahan dimana dalam Manava Dharmasastra IX.89—90 dikatakan bahwa walaupun seorang gadis telah mencapai usia layak untuk kawin, akan lebih baik tinggal bersama orang-tuanya hingga akhir hayatnya tidak memperoleh calon suami yang memiliki sifat yang baik atau orang-tuanya harus menunggu tiga tahun setelah putrinya mencapai umur yang layak untuk kawin. Dari Sloka tersebut, disimpulkan umur yang layak adalah 18 tahun sehingga orang tua baru bisa mengawinkan anaknya setelah berumur 21 tahun;
“Mahkamah telah memberikan pertimbangan hukum di Paragraf [3.15.2] dalam Perkara Nomor 12/PUU-V/2007 tentang permohonan pengujian UU Perkawinan, bertanggal 3 Oktober 2007, yang meskipun putusan tersebut terkait dengan ketentuan tentang perkawinan poligami, namun dalam Pendirian Mahkamah yang mendasarkan pula pada ajaran Islam, dinyatakan bahwa tujuan perkawinan adalah, ‘... untuk mendapatkan ketenangan hati (sakinah). Seorang laki-laki dan seorang perempuan yang hidup dalam perkawinan akan mendapatkan ketenangan. Sebelumnya seorang laki-laki atau seorang perempuan dalam keadaan sendiri mengalami gejolak asmara yang tidak tersalurkan, karena itu mereka tidak memperoleh ketenangan.’; [Note Penulis: bukankah ada wujud kasih sayang lain yang sifatnya lebih halus daripada sekadar birahi sek-sual yang kasar serta bersifat nasfu badaniah? Cinta kasih anak terhadap orang tua, cinta kasih anak terhadap saudara, cinta kasih anak terhadap hewan peliharaan, dan cinta kasih anak terhadap keterampilan dan hobi, dsb. Rasa cinta ini perlu disalurkan dan diarahkan. Masalahnya, kerap anak dibawah umur belum mampu ‘menerjemahkan’ perasaannya sendiri, sehingga untuk itulah kita tidak boleh terburu-buru mendorong sang anak untuk segera menikah.]
“Penjelasan Umum angka 4 huruf d UU Perkawinan menyatakan, ‘Undang-Undang ini menganut prinsip, bahwa calon suami-istri itu harus telah masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar supaya dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat. Untuk itu harus dicegah adanya perkawinan antara calon suami-istri yang masih dibawah umur. Di samping itu, perkawinan mempunyai hubungan dengan masalah kependudukan. Ternyatalah bahwa batas umur yang lebih rendah bagi seorang wanita untuk kawin, mengakibatkan laju kelahiran yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan batas umur yang lebih tinggi. Berhubung dengan itu, maka Undang-Undang ini menentukan batas umur untuk kawin baik bagi pria maupun bagi wanita, ialah 19 (sembilan belas) tahun bagi pria dan 16 (enam belas) tahun bagi wanita.’
“Bahwa beberapa agama yang berlaku di Indonesia maupun dari berbagai latar belakang budaya di Nusantara ini mempunyai pengaturan yang berbeda dalam masalah usia perkawinan. Salah satu contohnya, agama Islam tidaklah mengatur mengenai usia minimum perkawinan akan tetapi yang lazim adalah dikenal sudah aqil baligh, berakal sehat, mampu membedakan yang baik dan yang buruk, sehingga dapat memberikan persetujuannya untuk menikah sebagaimana ditentukan dalam Pasal 16 Kompilasi Hukum Islam;
“Perkawinan tidaklah semata-mata urusan duniawi. Dalam ajaran Islam, perkawinan merupakan salah satu perintah Allah Subhanahuwata’ala karena merupakan ikatan yang sangat kuat dan sakral dan tidak dapat dianalogikan dengan hal-hal yang bersifat material. Beberapa asas dalam perkawinan adalah kesukarelaan, persetujuan kedua belah pihak, kemitraan suami-istri, untuk selama-lamanya, dan personalitas pasangan. [Note Penulis: memaksakan persepsi sang hakim terhadap masyarakat umum yang belum tentu beragama sama dengan sang hakim, sama artinya menistakan agama Buddhist yang mengenal konsep selibat, seakan umat Buddhist adalah umat yang ‘merugi’.]
“Dari asas perkawinan tersebut tidaklah dikenal umur minimal demi untuk mencegah kemudharatan yang lebih besar, apalagi perkembangan dewasa ini, bagi manusia pada zaman sekarang, dimana kemungkinan kemudharatan tersebut jauh lebih cepat merebak karena dipengaruhi oleh berbagai macam keadaan seperti makanan, lingkungan, pergaulan, teknologi, keterbukaan informasi, dan lain sebagaimnya, sehingga mempercepat laju dorongan birahi. Dorongan birahi itu semestinya dapat disalurkan melalui perkawinan yang sah sebagaimana ajaran agama sehingga tidak melahirkan anak diluar perkawinan;
“Sebagaimana telah diuraikan baik oleh para saksi maupun ahli serta Pihak Terkait dalam persidangan, bahwa perkawinan anak memang rentan dan berpotensi menghadapi beragam permasalahan mulai dari kesehatan fisik khususnya kesehatan reproduksi, kesehatan mental, hambatan psikologis dan sosial, dan yang tak kalah pentingnya adalah berpotensi mengalami kesulitan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan hidup yang layak yang kesemuanya dapat berujung pada perceraian dan penelantaran anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut serta menambah beban ekonomi bagi keluarga yang ditinggalkan atau yang ikut menanggung kebutuhan dan keberlangsungan hidup anggota keluarga yang mengalami perceraian tersebut. ... UUD RI 1945 tidak mengatur secara jelas perihal batasan usia seseorang disebut sebagai anak [Note Penulis: Pernyataan yang sangat bodoh.]. Hal ini juga sama dengan pendapat dari perspektif hukum Islam yang dikemukakan oleh Ahli yang diajukan oleh para Pemohon, yaitu Prof. Muhammad Quraish Shihab yang menyatakan: ‘... Kitab Suci Al Quran, demikian juga Sunnah Nabi, tidak menetapkan usia tertentu. Ini sejalan dengan hikmah Ilahi yang tidak mencantumkan rincian sesuatu dalam Kitab Suci menyangkut hal-hal yang dapat mengalami perubahan.’
“... Bahkan, tidak ada jaminan yang dapat memastikan bahwa dengan ditingkatkannya batas usia kawin untuk wanita dari 16 (enam belas) tahun, akan semakin mengurangi angka perceraian, menanggulangi permasalahan kesehatan, maupun meminimalisir permasalahan sosial lainnya. ... , yang menurut Mahkamah, beragam masalah tersebut merupakan masalah konkrit yang terjadi tidak murni disebabkan dari aspek usia semata; [Note Penulis: MK RI seakan terkesan memungkiri segala fakta ilmiah yang dihadirkan Para Pemohon. Inilah yang penulis sebut sebagai: menjadikan putusan sebagai ajang spekulatif. Roscou Pound menyebutkan, law as a tool of social engineering, artinya: hukum sebagai alat rekayasa sosial. Untuk itulah aturan hukum harus dibuat untuk tidak kian menggeser norma sosial kemasyarakatan yang perlu distabilkan. Konsekuensinya, menurut pendapat penulis, norma hukum tersebut perlu dievaluasi dalam setiap rentan periode tertentu.]
KONKLUSI
“Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan diatas, Mahkamah berkesimpulan: Pokok permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum;
AMAR PUTUSAN
“Menyatakan menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya.”
Mahkamah Konstitusi tidak dapat dibenarkan menggunakan ayat-ayat dalam Kitab Suci salah satu agama untuk diberlakukan sebagai kaedah yang berlaku bagi umum. Para Hakim Konstitusi perlu mengingat, bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan majemuk serta Negara Berdasarkan Hukum (rechtsstaat), bukan Negara Berdasarkan Agama yang dapat sangat intoleran terhadap kaum minoritas.
Bila yang dijadikan sebagai patokan ialah agama, maka tiada agama yang ajarannya saling mendukung satu sama lain. Perihal umur yang layak untuk menikah, Islam menyatakan “segeralah menikah”, sementara Hindu menetapkan usia gadis yang telah mencapai 18 atau 21 tahun.
Itu baru perihal usia perkawinan, belum kita berbicara perihal hukum pidana ataupun hukum-hukum perdata lainnya, pastilah tidak akan pernah saling konkuren, justru saling menegasikan satu sama lain. Ketika hanya salah satu norma agama yang diangkat sebagai norma hukum, yang terjadi ialah aksi intoleransi sebagaimana dapat dijumpai dalam Perda-Perda Syariah ataupun Qanun.
Hukum harus murni dan netral, ia tidak boleh disusupi anasir non hukum, demikian urai Hans Kelsen dalam konsepnya yang termasyur, “the pure theory of law”. Mahkamah Konstitusi bahkan tidak menyinggung perihal teori atau asas-asas hukum umum, namun menjadikan norma agama sang hakim sebagai dasar untuk memutus, menjadikan Mahkamah Konstitusi menjelma Mahkamah Syariat. Hal demikian sangatlah berbahaya dan mengancam kemajemukan bangsa.
Jika kita berbicara faktor non hukum, seperti anasir agama, maka “tidak akan pernah nyambung”. Contoh, dalam Buddhisme, seseorang ditentukan masuk surga ataupun neraka, bukan ditentukan oleh apakah orang tersebut percaya hukum karma atau tidaknya, percaya atau tidak percaya pada Sang Buddha, tapi ditentukan oleh perbuatannya sendiri: ia mewarisi perbuatannya sendiri, ia terlahir dari perbuatannya sendiri, ia berkerabat dengan perbuatannya sendiri, dan ia menjadi penerus dari perbuatannya sendiri. Berbeda dengan agama samawi, dimana seseorang sekalipun banyak berbuat baik semasa hidupnya, tetap akan masuk neraka jika ia tidak mengakui dan menyembah Tuhan.
Anak orang kaya, tentulah mampu memenuhi kebutuhan nafkah dan badaniah pasangannya. Maka apakah artinya dapat dibenarkan praktik pernikahan dibawah umur? Dalam Buddhisme, pernikahan tidak semata urusan pasangan yang menikah, terlebih secara dangkal dimaknai sebagai kepentingan pria dan wanita yang menikah. Namun sangat terkait erat dengan kondisi keselamatan hidup sang anak hasil dari pernikahan dini, apakah akan dapat tumbuh sehat secara fisik dan mendapat bimbingan moril ketika tumbuh dewasa dari para kedua orang-tuanya—inilah yang paling dititik-tekankan. Anak usia 18 tahun sekalipun, belum tentu telah memiliki waktu untuk belajar perihal parenting, karena usia tersebut masih dalam usia wajib belajar di sekolah dan perguruan tinggi.
Pernah terjadi, pasangan usia muda, menikah dan kemudian melahirkan seorang anak, namun sang anak setiap harinya justru mendapati sang ayah sedang ayah asyik dan sibuk bermain video game. Pasangan suami-istri dari kaum Buddhisme, tidak perlu khawatir terhadap putusan MK RI tersebut diatas, karena ajaran Sang Buddha sudah sangat jelas. Biarlah para Hakim MK RI tersebut yang bertanggung-jawab secara moril di akherat, terhadap kehancuran generasi muda dari pernikahan dini. Perihal agama sang hakim tidak mengenal usia batas minimum seseorang untuk menikah, hal tersebut bukanlah faktor yuridis, namun domain masing-masing tempat ibadah, sehingga sama sekali tidak mencerminkan sikap seorang Hakim Konstitusi.
Justru karena parlemen tidak juga merasa mendesak untuk merevisi UU Perkawinan yang sudah hampir berusia separuh abad, uji materiil dipandang sebagai jalan terakhir satu-satunya. Namun, apa daya, MK RI melempar kembali tanggung-jawab tersebut kepada itikad pihak Parlemen, yang hingga dua tahun sejak putusan MK RI tersebut diatas, terbukti belum juga merevisi undang-undang terkait usia perkawinan.
Majelis Hakim MK RI, dalam salah satu pertimbangan hukumnya menyebutkan, bahwa pokok permohonan yang diajukan oleh Para Pemohon (melihat dari demikian banyaknya jumlah Pemohon dan Para Pihak Terkait yang mendukung permohonan), adalah ‘tidak dapat diterima’, karena hal itu dinilai sebagai domain parlemen pembentuk undang-undang (open legal policy). Hal tersebut justru menjadi ambigu, karena memang secara hakekatnya setiap putusan MK RI yang mengabulkan permohonan selama ini, sifatnya justru ‘mau tidak mau’ membentur kewenangan DPR dan Pemerintah untuk menyusun dan merevisi suatu undang-undang.
Sama halnya seperti ketika MK RI menyatakan dalam pertimbangan hukumnya, bahwa usia batas minimum umur pasangan yang hendak melangsungkan pernikahan, sifatnya mengikuti perkembangan zaman, sehingga tidak dapat diputuskan oleh MK RI. Tampak kontras, MK RI pun membuat putusan dalam perkara lain, bahwa seorang terpidana masih boleh mencalonkan dirinya sebagai calon Kepala Daerah, yang mana belum tentu akan sesuai aspirasi rakyat beberapa tahun kemudian karena gejolak politik demikian cepat berubah dan bagai bandul yang terus bergerak—sehingga MK RI disaat bersamaan justru menyandera para anggota parlemen dalam menyusun deregulasi terkait Pemilihan Kepala Daerah. Sebagai contoh, Basuki Tjahaja Poernama yang diancam pidana 5 tahun, sekali waktu sang “Ahok” bebas dari Lembaga Pemasyarakatan beberapa tahun kedepannya, dirinya tidak dapat lagi mencalonkan diri dalam Pilkada.
Hasrat dan nafsu perlu disalurkan pada medium yang tepat, bukan justru dicarikan jalan instan berupa “dikawinkan” agar mampu melepas “birahi kehewanan” demikian. Dalam Buddhisme, untuk meredakan gejolak fisik dan batin, dapat melalui kegiatan Meditasi dan kegiatan perbuatan baik seperti menolong dan melepaskan makhluk hidup seperti hewan yang diterancam disembelih. Sang Buddha bersabda, hubungan badaniah antar manusia menyerupai hubungan intim para hewan, sehingga menjadi sangat hina bagi mereka yang menjalani kehidupan suci.
Itulah sebabnya, berbicara agama, setiap kaum pemeluk agama dapat saling berperang bahkan saling membunuh satu sama lain hanya karena berbeda keyakinan. Anasir agama, tidak boleh masuk ataupun menyusup dalam regulasi maupun dalam putusan seorang hakim.
Anda pastilah tersinggung oleh berbagai ulasan penulis, sebagaimana penulis tersinggung oleh pernyataan sang Hakim Konstitusi yang memutus berdasarkan “selera” dan agama pribadi sang hakim. Hal ini sekadar untuk memberi ilustrasi, betapa anasir non hukum, terutama anasir agama, tidak boleh menyusup kedalam elemen hukum terlebih peradilan. Kita majemuk, dan kita boleh berbeda. Anda punya hak untuk tidak percaya pada agama penulis, sebagaimana penulis punya hak untuk tidak percaya pada keyakinan Anda. Pemaksaan satu persepsi yang akan membawa konflik dan perpecahan, bukan kemajemukan / kebhinekaan. Itulah yang kerapkali perlu kita renungkan.
© SHIETRA & PARTNERS Copyright.