Alat Bukti (Selalu) Bersifat Netral

ARTIKEL HUKUM
Falsafah hukum pidana, ibarat pembuluh darah yang membawa aliran darah. Sedikit berfalsafah, dalam kesempatan ini penulis akan mengajak pembaca untuk memahami hakekat terminologi hukum perihal “alat bukti”—suatu pembahasan yang jarang sekali mendapat sentuhan penelaahan. Kesempatan yang langka ini tentunya perlu kita manfaatkan dengan baik.
Mungkinkah alat bukti dianggap invalid atau tidak sah? Adakah mungkin menyatakan suatu alat bukti sebagai “ilegal” atau bahkan melawan hukum? Itulah rumusan masalah yang pokok sentral artikel ini.
Alat bukti, secara falsafah, selalu bersifat netral. Ia tidak buruk, juga tidak baik. Ia tidak memihak, namun hanya “memotret” suatu keadaan secara “apa adanya”. Menyuguhkan apa yang terjadi, dan tidak menyuguhkan apa yang tidak terjadi.
Tidak ada “alat bukti rekayasa”. Yang ada ialah “dibuatnya suatu keadaan buatan secara palsu untuk dibuat seolah-olah benar kejadiannya”—alias “alat bukti bahwa telah terjadi rekayasa”. Perlu dibedakan antara kedua hal yang berbeda demikian, secara kontras. Bila para pembaca belum mampu memahami maksud penuturan penulis, maka akan dijelaskan secara lebih terperinci dibawah ini.
Sebagai contoh, sebuah animasi yang dibuat hingga menyerupai sosok manusia sungguhan, maka animasi tersebut tetap dipandang sebagai “alat bukti”, terlepas dari fakta empirik bahwa animasi tersebut adalah fiktif karena bersifat buatan (artificial) alias kartun belaka. Bukti bahwa pernah atau telah dibuat suatu animasi—terlepas apakah animasi tersebut isinya buruk ataukah baik.
Sehingga ketika suatu pihak, terutama kalangan hakim, menyatakan bahwa suatu alat bukti yang diajukan penyidik sebagai ilegal, tidak sah, atau bahwa invalid, maka kalangan tersebut patut kembali pada falfasah mendasar perihal “alat bukti”.
Alat bukti tidak mungkin bersifat jahat ataupun melanggar hukum. Bukti adalah bukti. Itulah postulat paling utama. Yang jahat atau yang baik, bukanlah alat bukti, namun apa yang “terekam” dalam alat bukti tersebut. Sebagai umpama, seorang reporter mewartakan berita perihal kerusuhan masal yang mengakibatkan korban jiwa.
Apakah sang reporter dan berita tersebut dapat kita nyatakan sebagai “negatif” atau buruk? Sang reporter bersifat netral, perihal “positif” atau “negatif”, hal tersebut tidak relevan dalam konteks “alat bukti”. Yang patut dilekati stigma buruk atau baik, ialah isi berita itu sendiri, atau isi kejadian yang “direkam” dalam alat bukti.
Maka, berangkat dari paradigma demikian, menjadi patut dipertanyakan bila terdapat kalangan hakim perkara prapredilan yang dalam amar putusannya menyatakan bahwa pihak penyidik atau penegak hukum tidak dapat menggunakan suatu “alat bukti” untuk tujuan penyidikan lanjutan terhadap seorang yang telah ditetapkan sebagai tersangka.
Kembali pada postulat utama: alat bukti adalah bukti, ia bersifat netral. Sehingga, pelarangan terhadap sesuatu yang bersifat netral, tidak pernah dikenal dalam konsep hukum manapun, baik falsafah hukum klasik maupun falsafah hukum modern.
Simak contoh berikut: seorang saksi disiksa oleh seorang penyidik, kemudian hasil keterangan yang disampaikan oleh saksi dibawah tekanan (siksaan) demikian, dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP), dimana berdasarkan BAP itulah kemudian sang saksi ditetapkan atau ditingkatkan statusnya sebagai tersangka ataupun terdakwa. Apakah BAP tersebut kemudian dapat dinyatakan sebagai tidak sah, invalid, ilegal, cacat hukum, ataupun melanggar hukum?
Para pembaca hendaknya waspada terhadap pertanyaan hukum yang tampak sederhana tersebut. Adalah absurd menyatakan bahwa alat bukti bersifat melawan hukum. Bila kita sepakati bahwa kejadian dalam contoh diatas adalah sebagai “alat bukti”, maka yang dapat kita sepakati ialah sebatas “alat bukti bahwa telah terjadi penyiksaan saat saksi dimintai keterangannya”—sehingga BAP itu sendiri menjadi bagian dari bukti bahwa penyidik telah melakukan perbuatan yang melanggar tata tertib penyidikan. Ada atau tidaknya penyiksaan saat proses penerapan hukum acara pidana, bukti tetaplah bukti: suatu rekaman kejadian empirik.
Dengan demikian, “alat bukti” tidaklah dapat dipandang secara sempit. Alat bukti bersifat “the big picture”, yang dalam contoh kasus diatas, yang menjadi alat bukti bukanlah BAP, namun keseluruhan rangkaian kejadian bagai susunan “frame” yang mengalir membentuk gambaran utuh—bukan secara sepenggal-sepenggal.
Rangkaian ketika saksi disiksa oleh penyidik untuk mendapat keterangan yang tidak semestinya, kemudian keterangan tersebut dituangkan ke dalam BAP—kedua rangkaian kejadian tersebut menjadi satu buah “alat bukti”, bukan dua atau tiga alat bukti. Sampai sejauh ini saja pun, semestinya untuk sekaliber orang awam hukum pun sudah akan mampu memahami perihal “alat bukti”.
Dengan kata lain, “alat bukti” ialah “fakta empiris” yang kemudian diangkat menjadi “fakta hukum” ketika fakta empiris tersebut mengemuka dalam suatu tindak pidana yang diselidiki ataupun disidik. Karena “alat bukti” dasariahnya merupakan “fakta empiris”, oleh karenanya alat bukti tidak mungkin dinyatakan sebagai melawan hukum ataupun buruk sifatnya.
Oleh karenanya, tidak ada alat bukti yang tidak sah, tidak ada juga alat bukti yang ilegal, invalid, melanggar hukum, ataupun alat bukti yang cacat hukum. Alat bukti adalah bukti, dan fakta empiris tidak pernah bersifat “baik” ataupun “buruk”. Bukti adalah bukti.
The big picture” tersusun atau terdiri dari “dot” dan “dot” yang menyerupai konsep “pixel” dalam suatu image gambar yang seringkali diistilahkan seperti “megapixel” per square inch, yang artinya terdapat ribuan “dot” dalam satu inci persegi.
The big picture” juga dimaknai sebagai suatu rangkaian “frame” ke “frame” selanjutnya sebagaimana pemutaran video dari “frame” satu ke “frame” berikutnya membentuk gambaran hidup yang utuh. Semisal seorang agen mata-mata yang ditempatkan pemerintah ke sebuah organisasi gelap bawah tanah, tanpa menyaksikan tayangan hingga akhir kisah, maka kita tidak akan pernah tahu, bahwa dirinya ternyata adalah seorang penegak hukum yang menyaru sebagai anggota kriminil.
Kembali pada kasus seorang saksi yang disiksa saat pembentukan BAP, bila kita menjadikan antara “BAP” dan kejadian “disiksanya” saksi pemberi keterangan dalam BAP sebagai dua alat bukti yang saling terpisah, maka hal tersebut bertentangan dengan postulat kedua dari konsepsi perihal alat bukti, yakni: tidak dimungkinkan dua alat bukti eksis, sementara antar alat bukti tersebut saling menegasikan satu sama lain. Salah satunya haruslah dinyatakan sebagai “bukan alat bukti”, atau setidaknya dinyatakan sebagai “alat bukti tentang terjadinya kepalsuan dan pelaku pemalsu”.
Oleh sebab itu, yang perlu diluruskan ialah pengertian kita mengenai persepsi dari “alat bukti” itu sendiri. Ketika kita masih berparadigma bahwa terdapat alat bukti yang “tidak sah”, ilegal, invalid, cacat hukum, terlebih melawan hukum, maka sejatinya kita masih belum mampu memahami definisi dari “alat bukti” itu sendiri, sehingga menjadi mubazir bila seseorang berdebat hukum perihal “alat bukti”, sementara definisi perihal “alat bukti” itu sendiri masih menggunakan persepsi yang salah kaprah—seakan sesuatu yang invalid bisa disebut sebagai alat bukti.
Tidak ada bukti yang tidak sah, yang ada hanyalah “bukan alat bukti” atau setidaknya “bukti telah terjadinya tindakan pemalsuan”. Diluar itu, semua bukti adalah bukti, dan bukti itu sendiri bersifat empiris, dimana sesuatu yang empiris selalu pula bersifat netral.
Setelah memahami kedua postulat mendasar perihal “alat bukti”, maka menjadi cukup menggelikan mencermati putusan praperadilan Pengadilan Negeri yang menyatakan bahwa “alat bukti” yang dihimpun dengan hukum acara pidana yang menyimpang, tidak dapat lagi digunakan sebagai “alat bukti” untuk menyidik seorang tersangka, ataupun putusan Mahkamah Konstitusi RI yang menyatakan bahwa “alat bukti” demikian tetap dapat digunakan sebagai “alat bukti” untuk menyidik sekalipun penerapan prosedur hukum acara saat menghimpunnya dinyatakan tidak sah.
Kedua putusan pengadilan tersebut, antara putusan praperadilan Pengadilan Negeri maupun putusan Mahkamah Konstitusi, sama-sama membuat blunder yang dapat ditengarai sebagai “pengalihan isu” perihal esensi atau hakekat “alat bukti”. Alat bukti selalu bersifat netral, ia tidak dapat digeser menjadi isu “baik” atau “tidak baik”. Bukti adalah bukti, yang diluar bukti maka itu adalah “bukan fakta”, alias “fakta adanya pemalsuan”.
Demikianlah kita perlu mulai membenahi kekacauan paradigma praktik hukum di Tanah Air, dengan tidak lagi mewarisi salah kaprah para sarjana hukum pendahulu kita yang menjadikan konsep perihal “alat bukti” menyerupai “bola” yang dapat digiring, ditendang ke suatu arah secara simpang-siur menyerupai bandul yang bergerak ke satu sisi ke sisi lain tanpa suatu kepastian, akibat minimnya pemahaman akan kemampuan mendefinisikan suatu perkara.
Albert Einstein sudah jauh-jauh hari berkata, untuk memecahkan suatu permasalahan, pertama-tama ialah dengan mendefinisikan masalah tersebut. Kegagalan untuk mendefinisikan suatu perkara hukum, sama artinya “debat kusir” yang tiada manfaat dan tiada tujuan yang jelas—alias, pemborosan energi serta waktu.
Einstein melanjutkan, ketika perihal definisi suatu permasalahan telah mampu dipecahkan, maka separuh dari permasalahan tersebut telah berhasil diurai. Bukankah meletihkan, membuat benang yang sudah kusut semakin kusut dengan simpang-siurnya definisi yang saling berlainan di setiap kepala orang yang meyakini dirinya tahu definisi “alat bukti” dan kemudian bicara secara panjang-lebar perihal hal tersebut?

© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.