Alibi Sempurna Mem-PKWT Buruh

LEGAL OPINION
Question: Bila alasannya, bergantung pada ada atau tidaknya pesanan dari pelanggan atau konsumen, maka seluruh pegawai bisa diikat PKWT (Pekerja Kontrak Waktu Tertentu), sama artinya seluruh produsen, distributor, bahkan hingga retailer bisa mempekerjakan pegawai mereka dengan PKWT.
Bukankah akan laku atau tidaknya, semua itu adalah bagian dari resiko bisnis? Jika memang nantinya pesanan mengalami surut yang mengancam keberlangsungan usaha, kan ada mekanisme efisiensi pegawai. Jadi apa betul alasan semacam itu, bergantung pada pesanan sehingga boleh PKWT-kan pegawai?
Apalagi perusahaan sudah lama berdiri, bukan perusahaan dadakan yang dibentuk hanya musiman saja. Artinya, ada atau tidak ada pesanan, kan artinya produksi tetap berjalan, baru kemudian dijual.
Semester ini bila tidak laku, kan masih ada potensi semester depan siapa tahu laku. Makanya ada yang namanya gudang dan stock-opname. Rasanya mengada-ngada, bila alasannya produksi bergantung pada pesanan. Kan, harusnya ada produk dulu, baru bisa ditawarkan, dijual, dilempar ke pasar, dan dipesan orang.
Kalau begitu caranya, ya setiap perusahaan berkilah saja, bahwa semua tergantung ada atau tidaknya pembeli dan pelanggan, jadi semua pegawai bisa dibuat sistem kontrak. Memang ada, perusahaan yang tidak bergantung pada “ada atau tidaknya pembeli”? Bukankah semua usaha sifatnya adalah menjual barang atau jasa ke konsumen?
Kalau mau disalahkan, mengapa tidak disalahkan mereka yang duduk di divisi marketing, atau bisa jadi harga jual yang terlampau tinggi ditetapkan oleh pimpinan perusahaan sehingga tidak terserap pasar.
Brief Answer: Seperti itulah fakta realitanya yang terjadi dalam praktik peradilan, bahkan Mahkamah Agung memiliki paradigma demikian selaku institusi tertinggi lembaga peradilan di Tanah Air. Sepanjang menggunakan dalil “tergantung pada ada atau tidaknya order dari buyer”, maka menjadi alasan sempurna untuk mempekerjakan Pekerja dengan jenis sifat PKWT alias Perjanjian Kerja Waktu Tertentu.
Secara falsafah, yang disebut dengan pekerjaan bertipe “musiman”, sebetulnya hanya berlaku dalam konteks perusahaan skala kecil rumahan (home industry), karena sifatnya yang baru eksis ketika memasuki musim tertentu yang sudah pasti akan bubar ketika mamasuki musim lain.
Contoh, pabrik pengolah kapas, hanya aktif sepanjang masa petik kebun kapas, musim sekolah, musim Pemilukada, dan jenis-jenis musiman spesifik lainnya. Sifatnya temporer, bukan permanen. Sehingga bila perusahaan tetap eksis sepanjang tahun, sama sekali tidak dapat disebut sebagai perusahaan yang bergerak dibidang “musiman”.
Bisa jadi jenis produk benar bersifat musiman, semisal produk “payung”. Namun, ternyata penjualan produk payung tidak benar-benar bersifat musiman, karena tetap dibeli pengguna jalan untuk menghalau terik paparan sinar matahari. Alhasil, dijumpai berbagai produsen produk payung yang tetap beroperasi sepanjang tahun.
Namun falsafah demikian kini telah bergeser, dimana berbagai industri besar yang beroperasi sepanjang tahun, dibenarkan untuk memakai alasan “ada atau tiadanya pesanan dari pembeli / pelanggan” untuk mengikat para tenagakerjanya dengan PKWT—yang dalam persepsi SHIETRA & PARTNERS, merupakan sebuah “alibi sempurna” yang dibenarkan untuk menyelundupkan hukum secara legal.
PEMBAHASAN:
Fakta realita yang rawan disalahgunakan demikian dapat SHIETRA & PARTNERS rujuk pada sebagaimana putusan Mahkamah Agung RI sengketa PHK register Nomor 77 K/Pdt.Sus-PHI/2014 tanggal 28 Mei 2014, perkara antara:
- PT. KAHATEX, sebagai Pemohon Kasasi dahulu Tergugat; melawan
- 7 (tujuh) orang Pekerja, selaku para Termohon Kasasi dahulu para Penggugat.
Para Penggugat adalah karyawan PT. Kahatex pada bagian gudang dan angkutan. Permasalahan mulai timbul, ketika para Penggugat tidak boleh bekerja karena adanya pemutusan hubungan kerja (PHK) oleh Tergugat dengan alasan karena telah habis masa kerja dalam kontrak.
PT. Kahatex adalah Perusahaan yang memproduksi Tekstil dengan sifat kerja yang tetap dan terus-menerus. Terhadap gugatan sang Pekerja, Pengadilan Hubungan Industrial Bandung kemudian menjatuhkan putusan Nomor 62/G/2013/PHI/PN.Bdg., tanggal 27 September 2013, dengan amar sebagai berikut:
MENGADILI :
DALAM POKOK PERKARA
- Mengabulkan gugatan para Penggugat untuk sebagian;
- Menyatakan, Sdr. Saif Kamal, Sdr. Amek Setiaji dan Sdr. Awan Gunawan menjadi pekerja tetap PT. KAHATEX sejak putusan ini diucapkan;
- Memerintahkan pekerja Sdr. Saif Kamal, Sdr. Amek Setiaji dan Sdr. Awan Gunawan melapor diri pada Perusahaan dan Tergugat wajib memanggil pekerja tersebut bekerja kembali pada Pekerjaan dan Jabatan semula dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari setelah putusan berkekuatan hukum tetap;
- Menyatakan Perjanjian Kerja waktu tertentu Sdr. Edi Kurniawan, Sdr. Apriyandi, Sdr. Irpan Priyana dan Sdr. Enjang Komaludin sah menurut hukum;
- Menyatakan para Penggugat Sdr. Edi Kurniawan, Sdr. Apriyandi, Sdr. Irpan Priana, dan Sdr. Enjang Komaludin Putus Hubungan Kerja karena berakhirnya perjanjian kerja waktu tertentu;
- Menolak gugatan Penggugat untuk selain dan selebihnya.”
Pengusaha mengajukan upaya hukum kasasi, dengan argumentasi bahwa pekerjaan para Penggugat adalah sebagai kenek bongkar muat di gudang PT. KAHATEX yang pekerjaannya adalah menaikkan dan menurunkan barang-barang yang diperlukan untuk proses produksi ataupun hasil produksi, dengan menggunakan forklift sehingga dengan demikian pekerjaan para Penggugat tersebut dapat dikategorikan sebagai pekerjaan penunjang dan bersifat tidak tetap atau pekerjaan itu dibutuhkan karena adanya suatu kondisi tertentu, dan tidak ada hubungannya dengan proses produksi yaitu menghasilkan benang atau kain.
Dimana terhadap keberatan-keberatan sang Pengusaha, Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat :
“Bahwa keberatan tersebut dapat dibenarkan, oleh karena setelah meneliti secara saksama memori kasasi tanggal 11 Oktober 2013 dan kontra memori kasasi tanggal 13 November 2013 dihubungkan dengan pertimbangan judex facti, dalam hal ini Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Bandung telah salah menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut:
“Bahwa hubungan kerja antara Pemohon Kasasi dan Termohon Kasasi berdasarkan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) adalah sah, sesuai ketentuan Pasal 59 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003, Termohon Kasasi di PHK, oleh Pemohon Kasasi karena PKWT telah berakhir demi hukum sebagaimana diatur Pasal 61 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003;
“Bahwa pekerjaan yang dilakukan oleh Termohon Kasasi adalah bongkar, muat yang sifatnya tidak tentu tergantung adanya penerimaan atau pengiriman barang karena berdasarkan order, baik dari perusahaan atau buyer karena itu hubungan kerja melalui Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT);
“Bahwa keberatan-keberatan dan alasan Pemohon Kasasi dapat dibenarkan karena Judex Facti Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Bandung telah keliru dan salah dalam putusannya serta penerapan dan pertimbangan hukumnya, karena itu Permohonan Kasasi dari Pemohon Kasasi dapat dipertimbangkan untuk dikabulkan;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, Mahkamah Agung berpendapat, terdapat cukup alasan untuk mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: PT. KAHTEX tersebut dan membatalkan Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Bandung Nomor 62/G/2013/PHI/PN.Bdg., tanggal 27 September 2013 selanjutnya Mahkamah Agung akan mengadili sendiri dengan amar sebagaimana yang akan disebutkan di bawah ini;
M E N G A D I L I :
“Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: PT. KAHATEX tersebut;
“Membatalkan Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Bandung Nomor 62/G/2013/PHI/PN.Bdg., tanggal 27 September 2013;
MENGADILI SENDIRI :
Menolak gugatan Penggugat seluruhnya.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.