Tragedi Hukum BPJS, Menyelamatkan atau Menyandera?

ARTIKEL HUKUM
Sang maestro, Jeremy Betham, sudah sejak lama mengingatkan kalangan jurist, bahwasannya hukum yang dibentuk tanpa manfaat, bahkan merusak manfaat yang selama ini telah ada, atau menutup hal lain yang lebih bermanfaat, adalah sebuah tragedi.
Tampaknya, itulah yang akan kembali dikumandangkan oleh Bentham, menyikapi putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 101/PUU-XIV/2016 tanggap 23 mei 2017 perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, yang diajukan oleh Adnan Purichta Ichsan selaku Bupati Kabupaten Gowa dan Anzar Zainal Bate selaku Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Gowa.
Pemohon bertindak untuk dan atas nama Pemerintah Kabupaten Gowa yang merupakan Badan Hukum Publik, menilai telah dirugikan oleh keberlakuan Undang-Undang No. 24 Tahun 2011, karena mengakibatkan diabaikannya penanganan dibidang sosial dan kesehatan serta pelaksanaan kewajiban pengembangan sistem jaminan sosial yang menjadi urusan wajib Pemerintah Daerah dalam rangka pemenuhan hak dan pelayanan dasar terhadap warga / penduduk wilayah setempat, melalui pemberian pelayanan kesehatan gratis oleh pemerintah daerah (Pemda) sebagai salah satu wujud implementasi asas otonomi daerah.
Selama ini, Pemda Kabupaten Gowa telah menyelenggarakan program pelayanan kesehatan gratis sejak tahun 2009 yang ketentuannya diatur berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Gowa No. 4 Tahun 2009 tentang Pelayanan Kesehatan Gratis.
Pembebanan kewajiban membayar iuran bagi warga Kabupaten Gowa, sebagaimana diatur norma Pasal 19 Ayat (3) UU BPJS, menurut pandangan Pemohon merupakan pengaturan yang menutup ruang bagi Pemohon untuk melaksanakan asas otonomi daerah demi kebaikan warga masyarakat Kabupaten Gowa.
Pemberian jaminan layanan kesehatan gratis yang telah dilaksanakan oleh Pemohon, merupakan bentuk pelayanan yang tidak membebani penduduk Kabupaten Gowa dengan kewajiban pembayaran iuran. Dengan Perda tersebut, Pemda Gowa memfasilitasi pelayanan kesehatan penduduk Kabupaten Gowa tanpa dipungut pembayaran.
Sehingga, pemberlakuan Pasal 4 huruf (g), Pasal 14, dan Pasal 16 Ayat (1) UU BPJS telah mengabaikan prinsip demokratis, pemerataan, keadilan, kekhususan serta potensi dan keanekaragaman daerah dalam rangka penyelenggaraan Sistem Jaminan Sosial Nasional yang justru dilaksanakan berlawanan terhadap aspirasi, karakteristik, dan kebutuhan penduduk Daerah Kabupaten Gowa. Adapun pasal-pasal yang bermasalah tersebut, ialah:
Pasal 4 Butir (g) UU BPJS:
“BPJS menyelenggarakan sistem jaminan sosial nasional berdasarkan prinsip: g. Kepesertaan bersifat wajib.”
Dalam penjelasan resmi Pasal 4 Butir (g) UU BPJS dijelaskan, bahwa yang dimaksud dengan “prinsip kepesertaan bersifat wajib” adalah prinsip yang mengharuskan seluruh penduduk menjadi Peserta Jaminan Sosial.
Pasal 14 UU BPJS:
“Setiap orang termasuk orang asing yang bekerja paling singkat 6 (enam) bulan di Indonesia, wajib menjadi peserta program jaminan sosial.”
Pasal 16 Ayat (1) UU BPJS:
“Setiap orang, selain Pemberi Kerja, Pekerja, dan penerima Bantuan Iuran, yang memenuhi persyaratan kepesertaan dalam Program Jaminan Sosial wajib mendaftarkan dirinya dan anggota keluarganya sebagai Peserta kepada BPJS, sesuai dengan Program Jaminan Sosial yang diikuti.”
Sejak UU BPJS diberlakukan, Pemohon selaku Pemda tidak lagi dapat menjalankan Program Pelayanan Kesehatan gratis di daerah Gowa sesuai kebutuhan, aspirasi penduduk Gowa, serta kesanggupan Pemda Gowa untuk memberi pelayanan secara optimal tanpa dipungut biaya—namun kebaikan dan kesanggupan Pemda justru diamputasi UU BPJS.
Satu hal yang paling penting disampaikan oleh Pemda Gowa, dipasungnya Pemda memberi pelayanan kesehatan gratis tanpa iuran, mengakibatkan kurang terjaminan efisiensi dan efektivitas penggunaan keuangan daerah untuk penyelenggaraan jaminan sosial dibidang pelayanan kesehatan di daerah karena tidak adanya kewenangan kontrol dari Pemohon dimana semuanya hanya diselenggarakan secara monopolistik oleh BPJS sehingga menjelma sebentuk praktik diktatoriat (pemaksaan kebijakan yang kontradiktif terhadap aspirasi rakyat dan itikad baik Pemda setempat dalam rangka otonomi dan pertanggungjawaban pengelolaan APBD).
UU BPJS mengamputasi itikad baik Pemda, karena kewenangan Pemda Gowa untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dibidang kesehatan, tidak dapat dijalankan sebagaimana mestinya karena penyelenggaraan jaminan sosial, diselenggarakan hanya oleh BPJS sehingga memasung kebebasan rakyat untuk memilih dan juga memasung itikad baik Pemda untuk melayani warganya secara optimal.
Pemohon menilai, kewenangan monopolistik BPJS merupakan sebentuk tindakan represif Pemerintah Pusat yang sama sekali tidak menganggap penting aspirasi rakyat maupun Pemda setempat, sebagaimana tertuang dalam Pasal 6 Ayat (1) Peraturan Presiden No. 111 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden No. 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan yang berbunyi:
Kepesertaan Jaminan Kesehatan bersifat wajib dan berlaku untuk seluruh penduduk Indonesia.”
Pemohon beragumentasi, filosofi pemaknaan terhadap Jaminan Kesehatan Nasional yang diselenggarakan BPJS, semangatnya ialah menolong para penduduk RI, namun ketika pemenuhan sebuah hak tersebut oleh negara kemudian diberlakukan lewat sebentuk pemaksaan yang mewajibkan, maka sama artinya dengan memasung suara warga masyarakat untuk memilih. Hak tidaklah dapat melawan kepentingan dan kehendak dari mereka yang diberikan / memegang hak tersebut.
Sebagaimana diuraikan pula oleh Pemohon, tidaklah dapat dipaksakan bahwa seluruh penduduk wajib hukumnya menjadi peserta jaminan sosial, dimana hal tersebut secara kontradiktif justru menjadi pembebanan terhadap seluruh penduduk Indonesia, lebih khususnya ialah setiap orang, karena yang dinamakan peserta jaminan sosial artinya wajib untuk mengeluarkan iuran sebagai tanda aktif keanggotaan—Seakan, dengan tidak tunduk dan memilih untuk mengikuti kepesertaan pada penyelenggara jaminan kesehatan non-BPSJ, adalah kehendak yang menyerupai desertir terhadap negara.
Adalah merupakan bentuk perhatian Pemda Gowa untuk menanggung beban biaya mengenai jaminan kesehatan di daerahnya—sehingga adalah tiada manfaatnya untuk memasung itikad baik Pemohon selaku Pemda setempat, demi kebaikan yang lebih besar bagi para warga Gowa yang justru dibebani oleh berbagai pungutan iuran BPJS, baik pungutan bagi kepesertaan umum maupun tenaga kerja yang dipungut jauh lebih tinggi mengingat BPJS menerapkan prinsip persentase dari Upah yang ditanggung oleh Pemberi Kerja dan Pekerja.
UU BPJS justru seakan mengadu-domba antara warga Kabupaten Gowa terhadap Pemda Gowa, yang semula dijamin kesehatan secara gratis, kini dibebani iuran maupun pemotongan Upah Pekerja sejak BPJS diberlakukan secara mewajib-wajibkan. Hal tersebut justru melahirkan perspektif buruk warga setempat terhadap Pemda yang menyanggupi pelayanan lebih baik dari BPJS.
UU BPJS bahkan mengancam pula pengenaan sanksi bagi pelanggaran atas norma mewajibkan dalam kepesertaan BPJS. Berikut salah satu kutipan argumentasi Pemohon:
Bahwa partisipasi masyarakat untuk menjadi anggota atau tidak ialah suatu kebebasan dari haknya untuk menentukan pilihan. Hal ini dalam posisi negara sebagai organisasi tertinggi, tidak dapat memaksakan kehendaknya melalui sebuah peraturan perundang-undangan semata. Apa yang dilakukan oleh Kabupaten Gowa dalam memberikan pelayanan kesehatan secara gratis tentunya memiliki maksud dan tujuan tertentu yang memang hal tersebut diharapkan dapat menjawab kondisi di daerahnya.”
“Bahwa sistem monopolistik yang dianut oleh UU BPJS jelas-jelas merugikan hak/kewenangan Pemohon yang sudah membangun sistem dan menjalankan program pelayanan kesehatan gratis berdasarkan karakteristik dan kekhususan sesuai kebutuhan dan aspirasi warga negara Indonesia yang ada di daerah.”
Pasal 9 Peraturan Pemerintah No. 86 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif Kepada Pemberi Kerja Selain Penyelenggaran Negara dan Setiap Orang Dalam Penyelenggaraan Jaminan Sosial, terdapat materi muatan norma yang mengatur sanksi terhadap pelayanan publik yang menyangkut tidak dapat diurusnya perizinan seperti izin Mendirikan Bangunan (IMB), Surat Izin Mengemudi (SIM), sertifikat tanah, paspor, dan Surat Tanda Kendaraan Bermotor (STNK). Hal tersebut demikian vital terhadap kebutuhan masyarakat, dengan demikian menurut Pemohon materi normatif tersebut tentunya tidak sesuai bila dikaitkan dengan filosofi adanya pelayanan gratis terhadap masyarakat yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.
Disamping membebani warga dengan iuran, maupun pemotongan Upah Pekerja, ternyata pelaksanaan program BPJS lebih banyak menghabiskan alokasi anggaran daerah meski kebijakan program BPJS secara substansi memiliki tujuan yang sama, yakni memberikan pelayanan kesehatan terhadap masyarakat, khususnya masyarakat Kabupaten Gowa—dengan kata lain, program BPJS justru memiskinkan rakyat karena menghisap dana ABPD demikian besar, yang secara kontradiktif Pemda mampu memberi pelayanan kesehatan secara gratis dengan alokasi anggaran APBD yang tidak sebesar alokasi anggaran yang diminta BPJS. Akibat berantainya, semakin kecil margin alokasi anggaran APBD bagi program-program lainnya yang dapat disusun Pemda Kabupaten Gowa.
Mahkamah Konstitusi (MK RI) akan dinilai melakukan judicial corruption jika melanggar kaedah yang terbit dari putusan MK RI sebelumnya, dimana Pemohon mengutip putusan MK RI No. 007/PUU-III/2005 yang menyebutkan:
“Bahwa pengembangan sisem jaminan sosial adalah bagian dari pelaksanaan fungsi pelayanan sosial negara yang kewenangan untuk menyelenggarakannya berada di tangan pemegang kekuasaan pemerintahan negara,  dimana kewajiban pelaksanaan sistem jaminan sosial tersebut, sesuai dengan Pasal 18 ayat (5) UUD RI 1945 sebagaimana dijabarkan lebih lanjut dalam UU Pemda khususnya Pasal 22 huruf h, bukan hanya menjadi kewenangan Pemerintah Pusat tetapi dapat juga menjadi kewenangan Pemerintah Daerah, maka UU SJSN tidak boleh menutup peluang Pemerintah Daerah untuk ikut juga mengembangkan sistem jaminan sosial.”
“Oleh karena itu, Pasal 5 ayat (1) UU SJSN harus ditafsirkan bahwa ketentuan tersebut adalah dimaksudkan untuk pembentukan badan penyelenggara tingkat nasional yang berada di pusat, sedangkan untuk pembentukan badan penyelenggara jaminan sosial tingkat daerah dapat dibentuk dengan peraturan daerah dengan memenuhi ketentuan tentang sistem jaminan sosial nasional sebagaimana diatur dalam UU SJSN.”
Pasal 34 Ayat (3) UUD RI 1945 menyatakan: “Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum.” Namun UU BPJS justru memiliki sifat yang bertentangan dengan kaedah UUD RI 1945, mengingat UU BPJS membebankan sebentuk kewajiban terhadap seluruh penduduk / setiap orang untuk tunduk tanpa dapat memilih, untuk mengikuti program jaminan sosial tetapi dengan adanya pembebanan iuran yang harus dibayarkan.
Konstitusi NKRI mengamanatkan, negara mengembangkan sistem jaminan sosial—dimana Pemohon hanya dapat memaknainya sebagai program pelayanan kesehatan oleh negara secara gratis. Namun menjadi tidak sejalan dengan konstitusi, ketika setiap rakyat (tanpa kecuali) dibebankan iuran yang bersifat wajib, dimana apabila tidak membayar iuran, maka yang bersangkutan tidak akan mendapatkan fasilitas pelayanan kesehatan maupun pelayanan publik—pemaksaan secara terselubung.
Keganjilan paling utama timbul, selama ini Pemkab Gowa mampu memberi pelayanan secara optimal secara cuma-cuma bagi warganya, namun ketika BPJS diberlakukan secara memaksa, rakyat ditarik iuran, Upah Pekerja dipotong, serta APBD justru terkuras lebih besar lagi, sehingga menjadi pertanyaan utama, dana BPJS dari iuran peserta, Upah Buruh, serta alokasi APBD yang terhisap sangat besar, namun secara substansi tidak berbeda dengan pelayanan kesehatan cuma-cuma dari Pemda Gowa sebelum berlakunya BPJS, maka kemana semua dana-dana iuran peserta, potongan Upah, dana APBD yang terhisap lebih besar tersebut mengalir? Bukankah BPJS merupakan bentuk lain perampokan negara terhadap warga negaranya sendiri?
Bila Pemda Gowa menyanggupi memberi pelayanan kesehatan secara tanpa iuran, mengapa kemudian warga / penduduk Gowa justru kemudian dibebani iuran / pemotongan Upah sejak UU BPJS diberlakukan? Disamping itu frasa “wajib” akan diikuti dengan “sanksi” bila warga tidak mendaftar sebagai peserta dan membayar iuran.
Dengan dikembalikannya pada sistem semula seperti sebelum UU BPJS diberlakukan di Kabupaten Gowa, maka seluruh penduduk Kabupaten Gowa tidak akan terbebani lagi dengan kewajiban membayar iuran, sekaligus beban anggaran Pemda menjadi dapat dialokasikan untuk program pembangunan lainnya dengan tetap memberi pelayanan kesehatan secara gratis. Maka menjadi tidak beralasan bila permohonan uji materiil Pemda Gowa tidak dikabulkan.
Dalam pokok permohonannya, Pemda Gowa selaku Pemohon, meminta agar MK RI menyatakan UU BPJS bertentangan dengan UUD RI 1945 dan dinyatakan tidak berlaku, sepanjang tidak dimaknai: kewajiban menjadi peserta program jaminan sosial bagi setiap orang, wajib mendaftarkan dirinya dan anggota keluarganya kepada BPJS sepanjang belum mendapatkan jaminan pelayanan kesehatan gratis yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah kabupaten/kota di tempat tinggalnya.
Sungguh mulia apa yang diperjuangkan Pemda Gowa terhadap aspirasi bagi kepentingan para warganya. Namun, seakan antiklimaks, terhadap permohonan Pemohon, meski dilandasi itikad baik sang Bupati dan Ketua DPRD Kabupaten Gowa, secara sumir Mahkamah Konstitusi RI menjatuhkan amar putusan:
MENGADILl :
Menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya.”
Note SHIETRA & PARTNERS :
Warga masyarakat yang bukan merupakan profesor hukum, doktor hukum, maupun guru besar hukum sebagaimana kesembilan orang Hakim Konstitusi, pastilah akan terketuk hatinya oleh niat baik Pemda Kabupaten Gowa yang hendak melayani warganya secara seutuhnya dan sepenuh hati.
Namun, mungkin dikarenakan saking jeniusnya kesembilan pakar hukum yang kebetulan duduk di bangku Hakim Konstitusi RI, atau mungkin karena menganggap “sebelah mata” karena putusan para Hakim MK RI tidak membawa pengaruh terhadap diri sang hakim pemutus—kecuali judicial review perihal UU Anti Korupsi yang berpotensi menjerat sang hakim sebagaimana frasa “dapat” dalam UU Tipikor diamputasi oleh MK RI dengan hakim konstitusi yang sama dengan perkara ini—maka putusan dijatuhkan tanpa sebentuk empati apapun terhadap warga Kabupaten Gowa.
Sebagaimana para Hakim MK RI yang tidak pernah mengenyam pengalaman pahit sebagai seorang Pekerja, lantas seenaknya menjatuhkan putusan tanpa pertimbangan yang menggunakan akal sehat dan nurani, sehingga sejatinya telah menistakan para Pemohon berbagai perkara permohonan Uji Materiil yang dihadapkan ke lembaga MK RI—sebagaimana pengalaman pribadi penulis yang pernah mengajukan Uji Materiil terkait UU Ketenagakerjaan sebagaimana pengalaman pribadi penulis sebagai seorang Pekerja yang belum pernah dirasakan oleh para Hakim MK RI yang terhormat—yang lebih tepat kita sebut: duduk diatas menara gading yang angkuh dan congkak.
Namun satu hal yang menarik karena diungkap oleh Pemohon, yakni bahwasannya BPJS adalah produk pembodohan massal terhadap publik oleh Pemerintah Pusat, dimana masing-masing Pemda sebetulnya mampu menyelenggarakan program jaminan kesehatan secara tanpa pungutan iuran apapun (terutama DKI Jakarta mengingat serapan anggaran demikian rendah), dimana program BPSJ justru membebani iuran bagi pesertanya, disamping memotong Upah para Pekerja, dimana kesemua pembebanan dan kewajiban iuran kepesertaan adalah serupa dengan bentuk-bentuk penjajahan / pemerasan oleh negara terhadap rakyatnya karena memasung hak rakyat untuk memilih bagaimana anggaran Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) digunakan secara optimal.
Inilah salah satu warisan terbesar Kepala Negara Republik Indonesia selain “skandal” tax amnesty yang menafikan kejujuran Pekerja atas Upah yang dipotong Pajak Penghasilan justru memberi keistimewaan bagi para pengusaha / korporasi raksasa “pengemplang” pajak.
© SHIETRA & PARTNERS Copyright.