Kontraproduktif Hukum yang Humanis

ARTIKEL HUKUM
Timbul wacana agar lembaga pemasyarakatan (Lapas) dapat dikelola dan di-outsource kepada pihak swasta sebagai penyelenggara, dimana pemerintah yang akan mendanai pembangunan serta biaya operasional Lapas yang dibina dan dikelola oleh pihak swasta. Ide tersebut kemudian mengundang polemik yang hebat.
Ide untuk dikelola swasta, sejatinya bukanlah sebuah gagasan baru. Banyak diantara instansi pemerintah, yang menggunakan tenaga outsourcing. Sebagai contoh, puluhan pegawai lembaga sekaliber Mahkamah Konstitusi RI adalah para pegawai kontrak PKWT meski telah bekerja selama belasan tahun pada lembaga tersebut. Kini, untuk proyek pembangunan, pemerintah pun membuka keran kemungkinan penjajakan kerjasama berskema public private partnership—alias pembangunan infrastruktur dibiayai dan dikerjakan bersama antara APBN/D dengan keuangan serta manajemen investor swasta. Bila Anda menilai skema kerjasama tersebut bukanlah dosa, mengapa untuk konsep kerjasama pembangunan dan pengelolaan Lapas dipersepsikan sebagai dosa besar?
Adalah fakta sosiologis, kapasitas berbagai Lapas di Indonesia telah memasuki tahap over kapasitas (overcapacity) yang sebenarnya sejak dahulu sudah merupakan hal lazim kita dengar. Yang menjadi pertanyaan besar, mengapa gagasan swastanisasi Lapas kemudian mengundang cibiran masyarakat dan para pengamat hukum?
Yang keliru adalah kuantitas Lapas yang minim, ataukah kualitas masyarakat Indonesia sehingga terjerat oleh berbagai perilaku tindak kriminil? Yang keliru ialah kuantitas Lapas yang minim, ataukah hukum yang mengatur kebijakan kriminalisasi terhadap para pelaku kejahatan? Apakah juga artinya adalah keliru mempidana dan menjatuhkan pelaku kejahatan asusila, obat-obatan terlarang, perampokan, pencurian, pembuat uang palsu, penjual makanan berformalin, penjual vaksin palsu, pelaku pencemaran nama baik, pelaku pemerasan, pejabat korup, anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang berkolusi, dan perilaku buruk lainnya agar tidak dipidana penjara dengan alasan overcapacity ?
Keadaan yang memprihatinkan di Lapas akibat over kapasitas penghuninya, adalah wujud kegagalan fungsi sosial kemasyarakatan itu sendiri, mulai dari gagalnya fungsi tatanan edukasi dalam keluarga, tatanan pendidikan di bangku sekolah formil, tatanan spiritual agama, tatanan politik dan sosial. Mengapa kemudian otoritas negara yang membawahi berbagai Lapas di Indonesia yang dipersalahkan, bahkan menuding kebijakan kriminalisasi hukum sebagai biang keladi? Apakah tatanan hukum selalu menjadi ‘kambing-hitam’ dari gagalnya sendi-sendi dalam tananan sosial masyarakat itu sendiri ?
Justru kita dapat berkata, hendahnya vonis hukuman yang dijatuhkan hakim perkara pidana di Pengadilan Negeri maupun di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, sebagai salah satu faktor kontributif rendahnya efek pembuat jera (deterrent effect) para calon pelaku kejahatan lainnya.
Contoh konkret, pidana pemakaian tanah tanpa izin, diancam pidana penjara. Timbul dua komentar yang saling berseberangan: Pendapat pertama, putusan hakim dan undang-undang yang mengatur kriminaliasi pemakaian tanah tanpa izin dikritik karena rendahnya ancaman vonis hukuman sehingga tidak membuat efek jera. Pendapat kedua, kriminalisasi melanggar Hak Asasi Manusia, sehingga saat tulisan ini penulis susun, undang-undang tersebut diuji materiil agar dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi RI.
Kini, mari kita tinjau secara objektif dan lebih terbuka atas wacana swastanisasi Lapas. Secara falsafah, adalah tidak adil bila privatisasi berbagai badan usaha milik negara/daerah dibolehkan, sementara pengelolaan dan kepemilikan Lapas ditabukan dari privatisasi. Terkadang, pengelolaan oleh swasta lebih profesional ketimbang ketika ditangani oleh PNS / Aparatur Sipil Negara.
Apakah juga artinya para narapidana mendesak untuk diberi obral remisi? Kita lihat dan tak dapat memungkiri, bagaimana para mantan narapidana pelaku ter*risme yang telah menjalani masa hukuman dan mendapat remisi hari besar negara maupun hari raya keagamaan, ketika dibebaskan, ternyata kembali ditangkap pihak berwajib akibat kembali mengulangi tindak pidana ter*risme. Pelaku residivis nark*tika pun menunjukkan gelagat dan gejala serupa. Inikah yang kita harapkan?
Tidak ada yang salah dengan hukum yang mengancam sanksi pidana bagi warga negara yang hendak berbuat jahat, agar takut dan mengurungkan niat jahatnya. Juga tidak ada yang keliru ketika hakim menjatuhkan vonis hukuman penjara bagi sang pelaku yang terbukti melanggar hukum.
Fakta over kapasitas Lapas, perlu kita sikapi dan melihatnya dalam sudut pandang secara lebih meluas dan multi-faset. Alasan fakta sosial telah over kapasitasnya penghuni Lapas, tidak dapat diartikan bahwa para penjahat kini dilegitimasi untuk bebas melakukan kejahatan di tengah masyarakat tanpa resiko dipidana penjara—dengan mengatasnamakan alasan kehabisan stok ‘lapak’ di penjara.
Atau, tidak juga dapat menjadi legitimasi agar hakim bersikap separuh hati ketika menjatuhkan vonis sanksi hukuman penjara, dari yang semestinya dihukum 20 tahun penjara sesuai proporsi derajat kejahatan sang terdakwa, maka di-‘korting’ cukup 2 tahun saja, agar narapidana lain dapat ‘menikmati’ tempat yang lebih lega dalam lapaknya di balik jeruji sel. Atau, karena masih banyak narapidana mengantre mendapat jatah sel, maka penghuni yang ada kemudian diberikan obral remisi dan grasi, diskon besar-besaran.
Kita perlu melihat gagasan pemerintah menswastanisasi Lapas sebagai suatu bentuk itikad baik dan perhatian pemerintah, bukan memakai jalan pintas untuk membebaskan para narapidana dengan alasan overkapasitas atau dikarenakan narapidana baru tidak mendapat jatah sel. Berbagai pengelolaan layanan publik yang dilimpahkan seluruhanya atau sebagian kepada pihak swasta, dapat menjadi terobosan untuk pelayanan yang lebih profesional serta lebih efektif. Bahkan untuk kebutuhan hajat hidup orang banyak, seperti suplai air bersih jaringan PDAM, sejak dahulu telah diswastanisasi oleh Pemda kepada pihak investor asing, dimana PDAM merasa tidak sanggup memberi pelayanan jaringan distribusi air bersih kepada para warga di pemukiman padat penduduk.
Justru dalam falsafah ilmu penal, penjara menjadi menakutkan karena kondisi yang tidak manusiawi akibat over kapasitas, memang sudah seperti itu semestinya—kalimat yang tentunya akan mengejutkan para pembaca. Jika penjara adalah tempat yang manusiawi, orang-orang jahat dengan senang hati keluar-masuk penjara, tiada lagi gentar menghadapi persidangan dan dakwaan, bahkan memasang badan agar ditangkap dan dipenjara.
Sebagaimana telah kita dengar, dan menjadi rahasia umum, bagaimana para gembong pengedar obat-obatan terlarang, justru menjalankan aktivitas transaksi obat-obatan terlarang tersebut dari dalam selnya yang luas dan mewah di Lapas, lengkap dengan segala fasilitas layaknya hotel bintang tiga.
Disaat bersamaan masyarakat pengamat dan komentator yang hanya pandai mengkritik, tidak bersikap adil, karena menolak hukuman mati para pelaku pengedar nark*tika, dengan alasan melanggar Hak Asasi Manusia, yang disaat bersamaan menjadi salah satu biang keladi penuh sesaknya berbagai Lapas Khusus Nark*tika di Tanah Air.
Mengkritik dan melarang adalah sah, sepanjang para komentator siap memberi solusi alternatif. Kebijakan penal berupa kriminalisasi tetap dibutuhkan masyarakat demi terciptanya tatanan tertib sosial (public order). Tanpa ancaman hukuman dan ditegaskan oleh pengadilan lewat vonis penjara yang dijatuhkan hakim, maka sama artinya memberi angin segar bagi para pelaku kriminil untuk merasa bebas berbuat jahat karena ruang geraknya menjadi demikian luas.
Law as a tool of social engineering, demikian Roscoe Pound mengumandangkan sejak dahulu kala. Lapas yang menyerupai villa musim panas di pantai yang sejuk dan lega, dengan makanan lezat bergizi, adalah Lapas yang manusiawi. Bahkan seorang tunawisma akan memilih untuk melakukan tindak kriminil hanya demi dijebloskan ke penjara—suatu fakta nyata di salah satu Lapas pada salah satu Negara Bagian Amerika Serikat.
Untuk menyewa rumah tinggal di berbagai perkotaan di tanah air, dibutuhkan biaya yang besar akibat harga tanah yang melonjak drastis di-‘goreng’ oleh para tengkulak tanah dan kalangan partikelir tuan tanah. Bila Lapas menyerupai villa musim panas, tentu menghemat biaya sewa rumah tinggal bagi para narapidana.
Ketika menjadi narapidana bukan lagi hal yang menakutkan, apa lagi yang tersisa dari fungsi hukum sebagai lembaga pengancam dan memberi derita bagi para pelanggarnya selain sekadar “macan ompong”? Bila kita bersikap fair, Lapas yang manusiawi disaat bersamaan akan tidak adil kepada para korban kejahatan, juga tidak tepat guna bagi para calon korban yang berpotensi besar untuk menjadi korban tindak kriminil oleh pelaku residivis yang tidak lagi gentar oleh citra manusiawi Lapas.
Justru, kita sebagai masyarakat dan kalangan profesional hukum, perlu membuat citra yang mengerikan sebuah Lapas. Semakin mengerikan dan menakutkan, semakin efektif. Salah satu negara bagian di Amerika Serikat pernah membuat sebuah Lapas yang benar-benar tidak manusiawi bagi penjahat kelas “sadistik”, dimana para penghuninya benar-benar tersiksa dan hidup mati hidup pun enggan. Mengundang banyak kritik dari dalam negeri. Namun, mungkin karena itulah tingkat kriminalitas sadisme di Amerika Serikat jauh lebih rendah ketimbang tingkat kriminalitas di Tanah Air.
Dipenjara, siapa takut? Apakah Anda ingin, anak atau anggota keluarga Anda menjadi korban potensial, akibat tiada lagi hal yang menakutkan bila pelaku kejahatan dijebloskan ke penjara? Atau, para pelaku kejahatan tersebut cepat-cepat dibebaskan oleh Negara, sehingga kembali bergentayangan mencari korban baru sebagai residivis?
Itukah yang benar-benar kita inginkan? Kebijakan menambah jumlah dan kapasitas fisik Lapas, adalah langkah yang patut diapresiasi. Baik dengan cara pembangunan dan pengelolaan oleh Pegawai Negeri Sipil, ataupun didelegasikan kewenangannya kepada pihak swasta dibawah supervisi pemerintah (dalam hal ini Kementerian Hukum dan HAM), adalah sebuah langkah hukum yang patut kita dukung dan apresiasi.
Penjahat tetap perlu dijebloskan ke penjara. Alasan over kapasitas Lapas tidak dapat menjadi alasan untuk membebaskan seorang penjahat. Hukum pidana harus tetap menampilkan wajah menakutkan dan tidak humanis bagi para pelaku kejahatan, demi tampilnya hukum yang humanis bagi warga masyarakat yang selalu berpotensi menjadi calon korban kejahatan. Hukum tidak dapat bersikap humanis, secara bersamaan baik terhadap pelaku kejahatan maupun terhadap korban / calon potensial korban kejahatan.
Kita harus berjiwa besar untuk secara terbuka memilih salah satunya. Toh, pelaku kejahatan tidak pernah memikirkan apakah perbuatannya selama ini telah humanis kepada para korbannya.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.