Pengusaha Menyalahgunakan Surat Pernyataan Pekerja

LEGAL OPINION
Question: Biasanya saat melamar kerja, calon pegawai merasa terpaksa harus mau tidak mau menuruti apa kemauan pemberi kerja, untuk tanda tangan ini dan tanda tangan itu, buat surat pernyataan ini itu yang hanya mementingkan pihak pemberi kerja, bahkan tanda tangan surat perjanjian kerja yang hanya satu rangkap dan itupun dipegang pihak pengusaha tanpa diberikan salinan apapun pada pihak pegawai. Apa bisa, pihak pengusaha lalu merugikan pihak pegawai dengan berbagai surat pernyataan yang biasa ditanda-tangani calon pegawai saat mengisi formulir lamaran kerja?
Brief Answer: Bila pihak Pengusaha sudah berniat untuk mem-putus hubungan kerja (PHK) karyawannya, maka tidak ada yang mampu menghalangi, dimana disharmoni menjadi salah satu alasan PHK dalam berbagai putusan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI).
Meski demikian, PHK dengan alasan surat pernyataan sang calon Pekerja/Buruh yang kemudian disalah-gunakan oleh pihak Pengusaha untuk mem-PHK Pekerjanya sendiri, mewajibkan pihak Pengusaha untuk memberi kompensasi pesangon (konteks Pekerja Tetap), atau memberikan kompensasi nominal Upah sampai kontrak kerja berakhir (konteks Pekerja Kontrak)—sekalipun surat pernyataan menyatakan bahwa Pekerja/Buruh yang menandatangani pernyataan tidak akan mengajukan gugatan kepada Pengusaha.
PEMBAHASAN:
Ilustrasi serupa dapat kita jumpai dalam putusan Mahkamah Agung RI sengketa PHK register Nomor 617 K/Pdt.Sus-PHI/2016 tanggal 15 September 2016, perkara antara:
- RUMAH SAKIT HUSADA Palembang, sebagai Pemohon Kasasi dahulu Tergugat; melawan
- Dr. HENDRA PURWALAKSANA, MBA, selaku Termohon Kasasi dahulu Penggugat.
Penggugat sejak tahun 2013 adalah pegawai tetap pada sebuah rumah sakit di Jakarta dengan jabatan sebagai Director Business Development. Pada akhir tahun 2014, Perkumpulan Husada selaku Tergugat meminta Penggugat untuk bergabung di Rumah Sakit Husada untuk melakukan pembaharuan dalam management Rumah Sakit Husada yang telah berusia 90 tahun, khususnya dalam bidang non medis termasuk keuangan.
Dengan iming-iming dan janji-janji akan mendapat benefit yang lebih baik dari pekerjaan sebelumnya, alhasil Penggugat menerima tawaran untuk bergabung di Rumah Sakit Husada pada awal tahun 2015 sesuai dengan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) yang ditandatangani oleh Penggugat dan Tergugat, yang berlaku sejak tanggal 2 Februari 2015 sampai dengan 31 Januari 2016 dengan jabatan sebagai Deputy Director for the Hospital (Wakil Direktur Non Medis) dengan upah sebesar Rp55.000.000,00 per bulan.
Secara tiba-tiba dan tanpa alasan, Tergugat melalui Direkturnya memberitahukan secara lisan bahwa terhitung mulai tanggal 1 Mei 2015, Penggugat diberhentikan dari jabatannya selaku Wakil Direktur Non Medis. Bahwa pada tanggal 30 April 2015, Penggugat telah menerima Surat
Dengan demikian Penggugat merujuk pada kaedah Pasal 62 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, yang mengatur:
“Apabila salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam perjanjian kerja waktu tertentu, atau berakhirnya hubungan kerja bukan karena ketentuan dalam Pasal 61 ayat (1), pihak yang mengakhiri hubungan kerja diwajibkan membayar ganti rugi kepada pihak yang diakhiri sebesar upah pekerja sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja.”
Oleh karena batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja adalah 9 bulan lagi, maka harusnya Penggugat menerima ganti rugi sebesar 9 bulan upah. Penggugat juga merasa berhak atas THR yang setara dengan upah 1 bulan dan cuti tahunan selama 21 hari kerja yang setara dengan upah 1 bulan.
Sementara itu pihak Tergugat mendalilkan, Penggugat telah keliru mendudukkan Rumah Sakit Husada sebagai Tergugat, sebab Rumah Sakit Husada bukan merupakan badan hukum, melainkan badan usaha milik Perkumpulan Husada, sehingga bukan merupakan subyek hukum yang mandiri.
Terhadap gugatan Penggugat, Pengadilan Hubungan Industrial Jakarta Pusat kemudian menjatuhkan Putusan Nomor 294/Pdt.Sus-PHI/2015/PN.Jkt.Pst. tanggal 2 Mei 2016, dengan pertimbangan hukum serta amar sebagai berikut:
“Bahwa Penggugat telah diangkat oleh Tergugat sebagai Wakil Direktur Non Medis Rumah Sakit Husada dengan Surat Keputusan Direktur Rumah Sakit Husada melalui Keputusan Direktur Rumah Sakit Husada tanggal 5 Februari 2016 (bukti P-2); Dalam Surat Keputusan Direktur Rumah Sakit Husada melalui Keputusan Direktur Rumah Sakit Husada juga ditandatangani Ketua Perkumpulan Husada;
“Menimbang, bahwa di dalam jawaban dan dupliknya Tergugat menyatakan bahwa Rumah Sakit Husada adalah badan usaha milik Perkumpulan Husada, dengan demikian Majelis Hakim berpendirian bahwa Rumah Sakit Husada dalam perkara a quo adalah subjek dalam perselisihan hubungan industrial;
“Menimbang bahwa selanjutnya mencermati bukti T-10, yang merupakan pernyataan sepihak yang ditandatangani oleh Penggugat, dengan demikian Majelis Hakim berkesimpulan bahwa pernyataan Penggugat tidak cukup untuk dijadikan alasan dalam pengakhiran hubungan kerja oleh Tergugat kepada Penggugat;
“Penggugat telah membuat surat Pernyataan tanggal 25 Februari 2015 dalam bukti T-10, menyatakan:
‘Dengan ini menyatakan, sehubungan dengan pengangkatan saya sebagai karyawan kontrak Rumah Sakit Husada selama 1 (satu) tahun, sesuai dengan surat Nomor 103/B/Dir/2015 tanggal 21 Januari 2015, saya terima dan akan menjalankan kewajiban dan tugas-tugas saya dengan sebaik-baiknya;
‘Jika dikemudian hari selama dalam masa jabatan tersebut saya menjalankan tugas tidak sesuai dengan apa yang digariskan Direktur, saya bersedia untuk diganti dan dalam hal terjadi demikian maka sava tidak akan melakukan tuntutan hukum apapun kepada Rumah Sakit.’
“Menimbang, bahwa ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur secara khusus mengenai uang ganti rugi sebagai akibat dari berakhimya hubungan kerja antara pekerja dengan pengusaha sebelum berakhimya jangka waktu yang diperjanjikan dalam perjanjian kerja waktu tertentu diantaranya adalah Pasal 61 dan Pasal 52 Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
“Menimbang, bahwa oleh karena petitum Penggugat angka 4 dikabulkan untuk sebagian maka Tergugat berkewajiban membayar ganti rugi atas sisa masa kerja kali upah Penggugat;
MENGADILI :
Dalam Pokok Perkara:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan putus hubungan kerja antara Penggugat dengan Tergugat terhitung sejak tanggal 1 Mei 2015;
3. Menghukum Tergugat untuk membayar ganti rugi kepada Penggugat berupa upah bulan Mei 2015 sampai dengan Januari 2016 sebesar Rp495.000.000,00 (empat ratus sembilan puluh lima juta);
4. Menolak gugatanPenggugat selain dan selebihnya.”
Pihak Pengusaha mengajukan upaya hukum kasasi, dimana terhadap Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat :
- Bahwa keberatan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena setelah meneliti secara saksama memori kasasi tanggal 27 Mei 2016 dan kontra memori kasasi tanggal 13 Juni 2016 dihubungkan dengan pertimbangan Judex Facti, dalam hal ini Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak salah menerapkan hukum, pertimbangan sudah tepat dan sudah benar untuk mengabulkan gugatan didasari pertimbangan sebagai berikut:
- Bahwa ternyata pengakhiran hubungan kerja oleh Tergugat dilakukan sepihak tanpa kesepakatan atau tanpa alasan hukum yang memenuhi syarat sebagaimana ketentuan Pasal 61 Unang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, oleh karenanya sesuai dengan ketentuan Pasal 62 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tergugat wajib membayar ganti rugi kepada Penggugat sebesar upah Penggugat sampai batas waktu berakhirnya perjanjian kerja;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, ternyata bahwa Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, sehingga permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi RUMAH SAKIT HUSADA tersebut harus ditolak;
M E N G A D I L I :
Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi RUMAH SAKIT HUSADA tersebut.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.