Menggugat Hak Komisi Penjualan

LEGAL OPINION
Question: Sebagai staf marketing yang menjual dan mempromosikan produk yang dijual perusahaan, gaji pokok saya sangat kecil. Saya selama ini mengandalkan komisi hasil penjualan atas setiap produk yang berhasil saya tawarkan dan jual pada konsumen. Tapi setelah ditunggu-tunggu selama sekian lama, komisi saya tak kunjung dibayar. Dengan itikad baik, saya terus bekerja, dengan harapan pada nantinya seluruh komisi saya akan diberikan. Ternyata harapan saya tidak terealisasi. Apa bisa, nantinya saat pihak perusahaan bermasalah dengan saya, barulah saat itu nantinya secara kumulatif saya gugat hak-hak komisi saya?
Brief Answer: Komisi penjualan bukan termasuk komponen Upah berdasarkan Undang-Undang, namun Undang-Undang Ketenagakerjaan disaat bersamaan membuka ruang ‘kebebasan berkontrak’ perikatan perdata antara Pemberi Kerja dengan Pekerja untuk menyepakati hubungan industrial, yang komponennya dapat diatur dan disepakati oleh para pihak, salah satunya ialah perihal komisi penjualan.
Sehingga bila kesepakatan dalam Perjanjian Kerja tersebut kemudian dilanggar pihak Pengusaha, Pekerja/Buruh dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) dalam kategori ‘perselisihan hak’, ataupun ‘perselisihan hak yang disertai dengan sengketa PHK’—bila gugatan Pekerja bermula dari diputus hubungan kerjanya oleh pihak Pengusaha dikumulasikan dengan sengketa tidak pernah terbayarnya hak normatif lain dalam satu register perkara.
Adapun yang perlu disadari oleh pihak Pengusaha, tidak membayar upah bonus/komisi penjualan yang merupakan pelanggaran terhadap perjanjian dengan pekerja, menerbitkan hak bagi Pekerja untuk mengajukan PHK disertai kompensasi 2 (dua) kali pesangon ketentuan normal.
PEMBAHASAN:
Ilustrasi konkret yang dapat SHIETRA & PARTNERS rujuk secara relevan, yakni putusan Mahkamah Agung RI sengketa ‘perselisihan hak yang disertai dengan sengketa PHK’ register Nomor 638 K/Pdt.Sus-PHI/2016 tanggal 23 Agustus 2016, perkara antara:
- REPELITA MANALU, sebagai Pemohon Kasasi dahulu Penggugat; melawan
- PT. SRI INDAH LABETAMA, selaku Termohon Kasasi dahulu Tergugat.
Upaya perundingan Tripartit melalui mediator Suku Dinas Tenaga Kerja Jakarta Utara, yang kemudian mengeluarkan anjuran tertulis, menganjurkan:
1. Perusahaan PT. Sri Indah Labetama yang beralamat di Jalan Bisma I Nomor 22 A, Sunter Agung, Jakarta Utara agar memanggil pekerja Sdri. Repelita Manalu yang beralamat Perumahan Taman Modern, Jalan Bougenville 2 Blok B3 Nomor 9, Ujung Menteng, Cakung, Jakarta Timur untuk bekerja kembali sebagaimana biasanya;
2. Perusahaan PT Sri Indah Labetama agar membayar komisi penjualan Sdri. Repelita Manalu sebesar Rp5.265.279,00;
3. Sdri. Repelita Manalu agar dapat menerima point 1 dan 2 tersebut di atas.”
Yang menjadi tanggapan Penggugat atas anjuran Mediator Disnaker, menolak anjuran. Penggugat adalah Pekerja di tempat Tergugat sejak tahun 2003 dengan jabatan sebagai Sales dengan system Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). Sementara Tergugat adalah perusahaan yang bergerak di bidang percetakan label woven dan print label.
Penggugat dalam melakukan pekerjaanya telah mencapai target omzet pada bulan Januari, Februari, Mei, Juni, Oktober dan November 2014, yaitu:
- Januari 2014 sebesar : Rp 131.392.325 x 2% = Rp2.627.846,00
- Februari 2014 sebesar: Rp 210.204.400x4% = Rp8.408.176,00
- Mei 2014 sebesar : Rp 134.445.051 x 2% = Rp2.688.901,00
- Juni 2014 sebesar : Rp 112.749.316 x 2% = Rp2.254.986,00
- Oktober 2014 sebesar: Rp 104.683.493 x 2% = Rp2.093.669,00
- November 2014 sebesar: Rp 107.034.629 x 2% = Rp2.140.692,00
Total = Rp20.214.270,00
Penggugat mengajukan permintaan pencairan komisi berdasarkan target penjualan Tahun 2104. Penggugat sebagai karyawan yang bekerja di tempat Tergugat, tidak pernah menerima haknya yaitu berupa bonus/komisi dari hasil pencapaian target omzet penjualan pada tahun 2014.
Tergugat tidak menanggapi dan tidak mau membayar bonus / komisi selama Tahun 2014 dengan alasan Penggugat tidak menandatangani Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dengan Tergugat.
Kemudian diadakan perundingan Bipartit, dimana Tergugat hanya bersedia membayar komisi bulan Januari dan Februari 2014 sebesar Rp5.000.000,00 sedangkan untuk bulan Mei, Juni, Oktober dan November 2014, Tergugat menolak untuk membayar dengan alasan Penggugat tidak memenuhi target omzet karena dianggap overdue. Penggugat menolak hasil perundingan Bipartit, dengan alasan:
a. Penggugat tidak pernah menerima atau melihat peraturan overdue;
b. Pembayaran sesuai dengan peraturan yang dibuat Tergugat dengan pihak costumer / pelanggan selama 3 (tiga) bulan lamanya dihitung dari tanggal tukar faktur / kontra bon, bukan dihitung dari surat jalan yang dibuat Tergugat kepada costumer / pelanggan. Apabila dihitung dari surat jalan yang dibuat Tergugat kepada costumer / pelanggan, maka yang dirugikan adalah karyawan / sales / marketing dalam hal ini Penggugat;
Dengan tidak adanya kesepakatan antara Penggugat dan Tergugat, maka Penggugat memohon agar dapat diproses sesuai dengan tuntutan pertanggal 20 April 2015, yaitu permohonan pemutusan hubungan kerja dengan dasar Pasal 169 ayat (1) huruf a dan d Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003. Penggugat tidak juga terdaftar/memiliki jamsostek dari Tahun 2003 sampai dengan Maret 2014.
Per 20 April 2015, Penggugat sudah tidak dapat absen lagi dengan system elektronik karena data sudah dihapus. Begitu juga dengan data costumer atau penjualan di computer sudah diblokir dengan alasan Penggugat bukan karyawan Tergugat lagi.
Praktis, sejak bulan April 2015, Penggugat sudah tidak menerima gaji/upah dari Tergugat, tetapi Penggugat tetap masuk dan beraktivitas seperti biasa, dengan harapan dapat menuntut Upah Proses pada pengadilan.
Tanggal 6 Juni 2015, ibu Direktur Keuangan (istri pemilik perusahaan) datang ke kantor cabang Jakarta dan bertemu dengan Penggugat, dan melarang Penggugat untuk masuk kerja lagi dengan alasan Penggugat bukan pekerja/karyawan Tergugat lagi dan dia marah serta menghina Penggugat karena melaporkan permasalahan ini ke Disnaker dan Pengadilan.
Kejadian tersebut disaksikan oleh rekan-rekan kantor dan kepala cabang, sehingga merendahkan martabat. Tanggal  8 Juni 2015, Penggugat datang ke kantor dan tidak diperbolehkan masuk oleh kepala cabang.
PKWT antara Tergugat dengan Penggugat demi hukum menjadi Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT). Penggugat telah bekerja di perusahaan Tergugat sejak tahun 2003 dengan jabatan sebagai Sales dengan sistem PKWT, yang setiap tahunnya PKWT diperbaharui.
PKWT hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, dan pekerjaan yang bersifat tetap tidak boleh diadakan PKWT hal tersebut sebagaimana ketentuan Pasal 59 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang mengatur:
(1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu:
a. Pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;
b. Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun;
c. Pekerjaan yang bersifat musiman; atau
d. Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan;
(2) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap.”
Yang dimaksud dengan pekerjaan yang bersifat tetap dalam ayat ini adalah pekerjaan yang sifatnya terus menerus, tidak terputus-putus, tidak dibatasi waktu dan merupakan bagian dari suatu proses produksi dalam satu perusahaan atau pekerjaan yang bukan musiman.
Pekerjaan yang bukan musiman adalah pekerjaan yang tidak tergantung cuaca atau suatu kondisi tertentu. Apabila pekerjaan itu merupakan pekerjaan yang terus-menerus, tidak terputus-putus, tidak dibatasi waktu, dan merupakan bagian dari suatu proses produksi, tetapi tergantung cuaca atau pekerjaan itu dibutuhkan karena adanya suatu kondisi tertentu maka pekerjaan tersebut merupakan pekerjaan musiman yang tidak termasuk pekerjaan tetap sehingga dapat menjadi objek PKWT.
Pekerjaan yang dilakukan oleh Penggugat selama ini sifatnya terus- menerus, tidak terputus-putus, serta tidak dibatasi waktu dalam satu perusahaan atau pekerjaan yang bukan musiman, sehingga pekerjaan yang dikerjakan oleh Penggugat bersifat tetap, oleh karena itu PKWT yang diadakan oleh Tergugat dengan Penggugat telah melanggar ketentuan Pasal 59 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan.
PKWT antara Penggugat dengan Tergugat yang dibuat sejak Tahun 2003 dan telah di perpanjang sampai 11 kali. Adapun kaedah norma Pasal 169 ayat (1) huruf a dan d Undang Undang Ketenagakerjaan, mengatur:
(1) Pekerja/buruh dapat mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam hal pengusaha melakukan perbuatan sebagai berikut:
a. Menganiaya, menghina secara kasar atau mengancam pekerja/buruh;
b. Membujuk dan/atau menyuruh pekerja/buruh untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perUndang-undangan;
c. Tidak membayar upah tepat pada waktu yang telah ditentukan selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih;
d. Tidak melakukan kewajiban yang telah dijanjikan kepada pekerja/buruh;
e. Memerintahkan pekerja/buruh untuk melaksanakan pekerjaan di luar yang diperjanjikan; atau
f. Memberikan pekerjaan yang membahayakan jiwa, keselamatan, kesehatan, dan kesusilaan pekerja/buruh sedangkan pekerjaan tersebut tidak dicantumkan pada perjanjian kerja.”
Konstruksi hukum yang dibentuk Penggugat menarik, karena sang Pekerja-lah yang kemudian mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja (PHK) kepada Tergugat pertanggal 20 April 2015, adapun alasan Permohonan PHK yang Penggugat ajukan karena Tergugat tidak melakukan kewajibannya yang telah dijanjikannya kepada Penggugat, yaitu membayarkan bonus/komisi kepada Penggugat di bulan Januari, Februari, Mei, Juni, Oktober dan November 2014, padahal Penggugat telah melakukan kewajibannya/pekerjaannya serta telah mencapai target omzet.
Atas tindakan Tergugat tersebut, maka tidak ada lagi harmonisasi dalam lingkungan kerja antara Penggugat dan Tergugat, karena telah menghina, atau mengancam Penggugat serta menahan hak-hak yang seharusnya didapatkan oleh Penggugat, sehingga sangatlah beralasan jika Penggugat mengajukan PHK ke PHI.
Penggugat mendalilkan pula, Tergugat wajib membayarkan gaji/upah (Upah Proses) yang biasa diterima oleh Penggugat sampai pemutusan hubungan kerja berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde).
Penggugat dalam melakukan pekerjaannya telah mencapai target omzet, akan tetapi Tergugat tidak melakukan kewajibannya yaitu membayarkan komisi yang seharusnya diterima oleh Penggugat, dan karena Penggugat-lah yang mengajukan gugatan PHK, maka berdasarkan ketentuan Pasal 169 ayat (2) Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyatakan:
“Pemutusan hubungan kerja dengan alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pekerja/buruh berhak mendapat uang pesangon 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).”
Terhadap gugatan Penggugat, Pengadilan Hubungan Industrial Jakarta Pusat kemudian menjatuhkan Putusan Nomor 180/Pdt.Sus-PHI/2015/PN.Jkt.Pst., tanggal 11 Januari 2016, dengan amar sebagai berikut:
MENGADILI :
DALAM POKOK PERKARA:
- Menolak gugatan Penggugat untuk seluruhnya.”
Sang Pekerja mengajukan upaya hukum kasasi, dimana terhadapnya Mahkamah Agung RI membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat :
“bahwa keberatan tersebut dapat dibenarkan, oleh karena setelah meneliti secara saksama memori kasasi tanggal 10 Februari 2016 dihubungkan dengan pertimbangan judex facti, dalam hal ini Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, ternyata Judex Facti telah salah menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut:
1. Bahwa Judex Facti tidak menerapkan ketentuan Pasal 169 ayat (1) huruf d Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 karena dalam posita gugatan Penggugat mendalilkan Tergugat tidak melakukan kewajiban yang telah diperjanjikan, bukan mendalilkan berdasarkan ketentuan Pasal 169 ayat (1) huruf c Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003, sebagaimana pertimbangan hukum Judex Facti;
2. Bahwa terbukti Tergugat berdasarkan penilaian hasil pembuktian tidak melaksanakan kewajiban membayar komisi penjualan bulan Januari 2014, Februari 2014, Oktober 2014 dan November 2014, oleh karenanya Tergugat harus dihukum membayar komisi penjualan sebagaimana diperjanjikan sejumlah:
- Bulan Januari 2014 sejumlah Rp2.627.846,00
- Bulan Februari 2014 sejumlah Rp8.408.176,00
- Bulan Oktober 2014 sejumlah Rp2.093.669,00
- Bulan November 2014 sejumlah Rp2.140.692,00
Jumlah Rp15.270.383,00;
3. Bahwa oleh karena terbukti melanggar ketentuan Pasal 169 ayat (1) huruf d Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 maka hak-hak Penggugat akibat putusnya hubungan kerja sebagai berikut: Uang Pesangon 2 x ketentuan Pasal 156 ayat (2), Uang Penghargaan Masa Kerja, dan Uang Penggantian Hak sebagaimana diatur dalam Pasal 156 ayat (2) dan (4) yaitu sejumlah:
a. Uang Pesangon: 2 x 9 x Rp2.700.000,00 = Rp48.600.000,00
b. Uang Penghargaan Masa Kerja: 5 x Rp2.700.000,00 = Rp13.500.000,00
c. Uang Penggantian Hak: 15% x Rp62.100.000,00 = = Rp 9.315.000,00
Jumlah Rp71.415.000,00 (tujuh puluh satu juta empat ratus lima belas ribu rupiah);
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, Mahkamah Agung berpendapat, terdapat cukup alasan untuk mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: REPELITA MANALU tersebut dan membatalkan Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 180/Pdt.Sus-PHI/2015/PN.Jkt.Pst. tanggal 11 Januari 2016 selanjutnya Mahkamah Agung akan mengadili sendiri dengan amar sebagaimana yang akan disebutkan di bawah ini;
M E N G A D I L I :
- Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: REPELITA MANALU tersebut;
- Membatalkan Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 180/Pdt.Sus-PHI/2015/PN.Jkt.Pst. tanggal 11 Januari 2016;
MENGADILI SENDIRI:
DALAM POKOK PERKARA :
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebahagian;
2. Menghukum Tergugat untuk membayar Komisi Penjualan kepada Penggugat untuk bulan Januari 2014, Februari 2014, Oktober 2014 dan November 2014 yang seluruhnya berjumlah Rp15.270.383,00 (lima belas juta dua ratus tujuh puluh ribu tiga ratus delapan puluh tiga rupiah);
3. Menghukum Tergugat untuk membayar kepada Penggugat Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja dan Uang Penggantian Hak sejumlah Rp71.415.000,00 (tujuh puluh satu juta empat ratus lima belas ribu rupiah);
4. Menolak gugatan Penggugat selain dan selebihnya.”
Meski Penggugat dalam gugatannya meminta pula diberikan Upah Proses, namun Mahkamah Agung tidak mengabulkan Upah Proses, sebab PKWT yang sekalipun demi hukum beralih menjadi PKWTT, PKWT yang sebelum terjadinya sengketa PHK belum pernah dibatalkan oleh Pekerja ke pengadilan, maka masa kerja dalam kontrak diasumsikan benar adanya, sehingga berdasar ketentuan Pasal 61 UU Ketenagakerjaan: hubungan industrial berakhir pada saat berakhirnya jangka waktu kontrak kerja—sehingga PKWT tidak mengenal istilah Upah Skoorsing—dan praktik preseden di Mahkamah Agung RI demikian telah dibiarkan (baca: dibenarkan secara implisit) oleh Mahkamah Konstitusi RI.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.