P3K Pekerja / Buruh yang Terkena PHK

LEGAL OPINION
Question: Saya baru saja mendapat ancaman pemecatan. Apa yang harus saya lakukan bila seandainya saya benar-benar dipecat untuk langkah mitigasi agar hak-hak saya tidak terpotong?
Brief Answer: Bila Anda adalah pekerja tetap, maka Anda harus tetap berusaha masuk kerja seperti sedia kala meskipun telah dinyatakan diputus hubungan kerja (PHK) secara sepihak oleh pihak pengusaha, dan sedapat mungkin mendokumentasikan penolakan pengusaha untuk menerima Anda tetap bekerja sampai PHK terhadap Anda disahkan oleh lembaga penyelesaian hubungan industrial.
Namun antisipasi serta langkah mitigasi ini tidak berlaku bagi pekerja kontrak—meski jenis pekerjaannya bersifat tetap atau telah bekerja lebih dari tiga tahun tanpa terputus; sebab Pasal 155 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang dikaitkan dengan Pasal 151 UU Ketenagakerjaan, hanya memberi hak Upah Proses / Upah Skoorsing bagi buruh/pekerja tetap, bukan pekerja kontrak (meski nantinya hakim pada pengadilan menyatakan status Anda adalah pekerja tetap).
Penulis telah berupaya menggugat kekosongan hukum ini ke hadapan Mahkamah Konstitusi RI, namun karena sifat pragmatis serta abainya lembaga pemegang monopoli konstitusi ini menyatakan permohonan penulis “tidak dapat diterima” dengan alasan sumir: penulis bukan seorang pekerja. Praktis, tiada perlindungan hukum pada saat terjadi masa-masa kritis saat PHK terjadi.
PEMBAHASAN:
Ilustrasi berikut dapat memberi gambaran utuh, lewat putusan sengketa register Nomor 456 K/Pdt.Sus-PHI/2016 tanggal 26 Juli 2016, perkara antara:
- M. DAUD HARAHAP, sebagai Pemohon Kasasi dahulu Penggugat; melawan
- PT SUPERINTENDING COMPANY OF INDONESIA (Persero), selaku Termohon Kasasi, semula Tergugat.
Terhadap gugatan Penggugat, Pengadilan Hubungan Industrial kemudian menjatuhkan putusan, yaitu putusan Nomor 229/Pdt.Sus-PHI/2015/PN.Jkt.Pst. tanggal 4 Februari 2016, dengan pertimbangan hukum serta amar sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa dalam perkara a quo tidak terdapat bukti-bukti yang menyatakan bahwa Tergugat telah menerbitkan surat skorsing menuju Pemutusan Hubungan Kerja terhadap Penggugat, maka berdasarkan ketentuan Pasal 96 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, Majelis tidak memiliki Landasan Hukum untuk dapat mengabulkan tuntutan provisi Penggugat berupa upah selama proses sejak bulan Januari 2015 dengan suatu putusan sela, sehingga tuntutan provisi Penggugat tersebut harus ditolak;
MENGADILI :
Dalam Pokok Perkara:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan “Putus” hubungan kerja antara Penggugat dengan Tergugat sejak putusan ini diucapkan;
3. Menghukum Tergugat untuk membayar kepada Penggugat uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, uang penggantian hak dan nilai Tebus THT dan JHT Premi Tahunan yang jumlah keseluruhannya sebesar Rp230.700.129,00;
4. Menolak gugatan Penggugat selain dan selebihnya.”
Penggugat mengajukan upaya hukum kasasi, dengan dalil bahwa seharusnya Judex Facti seharusnya mempertimbangkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 37/PUU-IX/2011 juncto Pasal 155 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, yang berbunyi:
“Selama putusan lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial belum ditetapkan, baik pengusaha maupun pekerja harus tetap melaksanakan segala kewajibannya.”
Begitupula pengaturan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1981 Pasal (8), yang mengatur:
“Pengusaha wajib untuk membayar upah kepada buruh yang bersedia melakukan pekerjaan yang telah dijanjikan, akan tetapi pengusaha tidak mempekerjakan baik karena kesalahan sendiri, maupun halangan yang dialami oleh pengusaha yang seharusnya dapat di hindari.”
Menjadi ironis ketika kita merujuk pada ketentuan Pasal 61 Ayat (1) UU Ketenagakerjaan yang menyatakan: “Perjanjian kerja berakhir apabila:
b. berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja; [Note SHIETRA & PARTNERS: Ketentuan ini berlaku bagi Pekerja Kontrak/PKWT.]
c. adanya putusan pengadilan dan/atau putusan atau penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.” [Note SHIETRA & PARTNERS: Ketentuan Butir C ini berlaku bagi pekerja tetap.]
Pasal 155 Ayat (2) UU Ketenagakerjaan merupakan tindak lanjut norma Pasal 155 Ayat (1) UU Ketenagakerjaan:
“Pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (3) batal demi hukum.”
Yang bila dikaitkan terhadap Pasal 151 UU Ketenagakerjaan:
(1) Pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah, dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja.
(2) Dalam hal segala upaya telah dilakukan, tetapi pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindari, maka maksud pemutusan hubungan kerja wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh apabila pekerja/buruh yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh.
(3) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) benar-benar tidak menghasilkan persetujuan, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja/buruh setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Pasal 155 dan Pasal 151 UU Ketenagakerjaan (skoorsing) hanya berlaku dalam konteks Pekerja Tetap (PKWTT), bukan Pekerja Kontrak (PKWT) sebagaimana dinyatakan secara tegas oleh Pasal 61 Ayat (1) UU Ketenagakerjaan menyatakan: “Perjanjian kerja berakhir apabila: b. berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja.”—oleh sebab itu SHIETRA & PARTNERS menyatakan bahwa UU Ketenagakerjaan terjadi kekosongan hukum (rechts vacuum) yang dibiarkan oleh Mahkamah Konstitusi RI, sehingga rawan disalahgunakan oleh pihak pengusaha. Menjadi aneh bila Pekerja Kontrak yang di-PHK dengan alasan “habis maka kerja kontrak” meminta Surat Skoorsing.
Penggugat mengklaim dirinya siap melakukan tugas dan pekerjaannya selama belum mendapatkan putusan dari Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, sehingga Penggugat keberatan ketika Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) tidak memerintahkan Tergugat untuk menjalankan kewajibannya yaitu membayar upah Penggugat selama belum mendapatkan putusan dari PHI, padahal Pemohon Kasasi siap untuk tetap bekerja namun oleh Termohon Kasasi dilarang untuk melakukan pekerjaannya.
Atas dalil Penggugat dalam kasasinya, Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa keberatan-keberatan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena setelah meneliti secara saksama Memori Kasasi tanggal 2 Maret 2016 dan Jawaban Memori Kasasi tanggal 28 Maret 2016 dihubungkan dengan pertimbangan putusan Judex Facti, dalam hal ini Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat ternyata Judex Facti telah benar menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut:
- Bahwa Pemohon Kasasi sebagai inspektor, akibat dari tindakannya yang telah membuat laporan surveyor fiktif dalam pemeriksaan terhadap kontainer atas nama CV. Viana Nabila pada tanggal 7 Februari 2014 dan Bea Cukai menyatakan barangnya tidak sesuai dengan dokumen yaitu berupa rotan asalan yang dilarang untuk diekspor sesuai dengan Peraturan Menteri Perdagangan RI Nomor 35 Tahun 2011, dan oleh Bea Cukai dipertanyakan mengenai mekanisme internal Termohon Kasasi dalam penerbitan Laporan Surveyor. Hal ini merusak nama baik Termohon Kasasi dimata pelanggan maupun Pemerintah;
- Bahwa tindakan yang dilakukan oleh Pemohon Kasasi merupakan pelanggaran disiplin kerja yang merupakan pelanggaran terhadap disiplin pegawai yang berlaku di internal Termohon Kasasi sesuai ketentuan Pasal 14 ayat (1) Keputusan Direksi Nomor 8/KD/2013 yang berlaku di perusahaan Termohon Kasasi maka terhadap Pemohon Kasasi dapat dikenakan sanksi Pemutusan Hubungan Kerja;
- Bahwa dalam proses PHK antara Pemohon Kasasi dengan Termohon Kasasi tidak alat bukti yang menguatkan bahwa Pemohon/Pekerja tetap melaksanakan kewajibannya untuk bekerja, oleh karenanya berlaku ketentuan Pasal 93 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,
- Bahwa oleh karena itu Pemohon Kasasi di PHK dengan kompensasi berupa uang pesangon 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), Uang Penghargaan Masa Kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), Uang Penggantian Hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan nilai tebus THT dan JHT premi tahunan;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, ternyata bahwa Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, sehingga permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi M. DAUD HARAHAP tersebut harus ditolak;
M E N G A D I L I
Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: M. DAUD HARAHAP tersebut.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.