Pekerja Pelanggar Peraturan Perusahaan yang Kena Pemutusan Hubungan Kerja, Tetap Berhak Pesangon

LEGAL OPINION
Question: Jika pekerja di-PHK dengan alasan melanggar peraturan perusahaan, apakah pekerja dapat tetap menuntut pesangon akibat diputus hubungan kerjanya oleh perusahaan? Bagaimana praktik di PHI? Apakah pekerja tersebut dibenarkan untuk menuntut upah proses?
Brief Answer: Berdasarkan praktik Pengadilan Hubungan Industrial (PHI), pemutusan hubungan kerja (PHK) dengan alasan buruh/pekerja telah melanggar Peraturan Perusahaan, tetap mewajibkan pihak pemberi kerja untuk memberi kompensasi sejumlah hak normatif buruh yang timbul akibat pemutusan kerja seperti pesangon, dsb.
Memang terdengar absurb, namun setidaknya bila Majelis Hakim PHI berkeyakinan bahwa kesalahan yang dilakukan buruh/pekerja bersangkutan bertentangan dengan kepatutan, PHI hanya akan mengabulkan 1 (satu) kali ketentuan pesangon, meski buruh/pekerja meminta 2 (dua) kali ketentuan pesangon.
Hal ini menjadi antisipasi dari Lembaga Yudikatif atas praktik pengusaha yang membuat berbagai Peraturan Perusahaan yang merugikan buruh/pekerjanya, sehingga sekalipun sang buruh / pekerja dinyatakan pengusaha telah melanggar Peraturan Perusahaan, buruh / pekerja tetap memiliki daya untuk menuntut pesangon.
Mengenai “upah proses” alias “upah selama skorsing oleh perusahaan”, bila buruh / pekerja pelanggar peraturan perusahaan itu sendiri memang tidak memiliki niat untuk kembali bekerja (dibuktikan oleh petitum dalam gugatan yang meminta agar diputus hubungan kerja) serta tidak berupaya untuk kembali masuk kerja, maka hakim tidak akan mengabulkan “upah proses”.
PEMBAHASAN:
Dalam putusan PHI Jakarta sengketa hubungan industrial register perkara Nomor tanggal 169/Pdt.Sus-PHI/2015/PN.JKT.PST tanggal 3 Februari 2016. antara:
- NAZRI, S.E., selaku Penggugat; melawan
- PT. MENARA PENINSULA, selaku Tergugat.
Penggugat adalah pegawai yang telah bekerja pada Tergugat yang bergerak dibidang usaha Jasa Perhotelan, dimana Penggugat mulai bekerja terhitung sejak tahun 2004 (11 tahun), dengan jabatan Purchasing Manager. Dalam pertimbangan hukumnya, Majelis Hakim menyebutkan:
“Menimbang,... dapat disimpulkan bahwa yang menjadi pokok perselisihan dalam perkara ini ialah : bahwa Penggugat menolak tindakan pemutusan hubungan kerja yang dilakukan oleh Tergugat terhadap Penggugat secara sepihak;
“Menimbang, bahwa namun disatu pihak hal tersebut dibantah oleh Tergugat yang menyatakan bahwa tindakan Tergugat yang melakukan pemutusan hubungan kerja kepada Penggugat dikarenakan Penggugat telah menolak perintah dari Tergugat yaitu mutasi dari lantai 1 ke lantai 4 dan Penggugat sudah mendapat Surat Peringatan Ketiga dan Terakhir. Dengan demikian perselisihan ini termasuk Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 4 Undang-undang Nomor 02 Tahun 2004;
“Menimbang, bahwa Tergugat mendalilkan Penggugat telah dengan sengaja berkali-kali menolak instruksi sah yang diperintahkan oleh atasan sebagaimana yang diatur dalam Lampiran C angka 17 Peraturan Perusahaan PT. Menara Peninsula Periode 2013-2015;
“Menimbang, bahwa tindakan Penggugat yang menyatakan menolak pemberian surat Peringatan dari manager HRD karena alasan satu level adalah menunjukkan tindakan Penggugat yang arogan dan tidak mau diatur. Bahwa Manager HRD adalah orang yang berwenang karena jabatannya secara ex officio adalah oranag yang berhak dan pantas untuk menerbitkan Surat Peringatan dengan penolakkan Penggugat terhadap Surat Peringatan adalah menunjukkan bukti bahwa Penggugat cenderung arogan dan memiliki pendapat yang tidak masuk akal dan tidak wajar;
“Menimbang, bahwa setelah diberikan Surat Peringatan kedua, ketiga dan terakhir Penggugat masih saja melakukan pelanggaran yaitu tidak melakukan tanggung jawab dan pekerjaan sebagai Purchasing Manager dari tanggal 1 Nopember 2014 dengan cara tidak menempati tempat kerjanya yang ditentukan oleh Managemen Hotel sehingga semua pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya harus dilakukan oleh Financial Controller sebagai atasan langsung dan pekerja tidak hadir selama 1 sampai 2 hari berturut-turut tanpa surat keterangan dokter yang sah atau pemberitahuan sebelumnya dengan cara tidak datang untuk bekerja pada tanggal 17 Nopember 2014 dengan alasan malas;
“Menimbang, bahwa Tergugat telah memberikan kesempatan kepada Penggugat untuk merubah dirinya sendiri akan tetapi sampai dengan diterbitkannya Surat Peringatan Terakhir, Penggugat tidak mau merubah dirinya malah berbuat sewenang wenang dan berlaku tidak sopan dan hormat kepada atasan serta menentang pekerjaan yang diberikan oleh Tergugat;
“Menimbang, bahwa perbuatan yang dilakukan oleh Penggugat sebagai Purchasing Manager yang akan sangat berpengaruh terhadap kelancaran sistem pemesanan barang dan ketersediaan barang disetiap Departemen tempat Tergugat. Maka menjadi sangat penting apabila Penggugat memberikan contoh yang buruk bagi bawahannya dan memperbaiki pelanggaran dan kesalahan fatal yang dilakukan oleh Penggugat, oleh karena banyaknya pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh Penggugat makaters tidak dapat ditoleransi lagi oleh Tergugat;
“Menimbang, bahwa kemudian Tergugat mengeluarkan Surat Keputusan Pemutusan Hubungan Kerja Nomor : MPH/EO/019/XII/2014 tanggal 18 Desember 2015 dikarenakan Penggugat telah melakukan pelanggaran;
“Menimbang, bahwa untuk menjawab apakah tindakan Tergugat yang telah melakukan Pemutusan Hubungan Kerja terhadap Penggugat sah menurut hukum maka Majelis Hakim akan memeriksa berdasarkan bukti-bukti yang diajukan oleh para pihak dimuka persidangan dibawah ini;
“Menimbang, bahwa dari bukti T-7 berupa Surat Peringatan yang diterbitkan oleh Tergugat tanggal 18 Nopember 2014, diperoleh fakta bahwa Penggugat telah mendapat Surat Peringatan Terakhir (setelah mendapat dua surat peringatan sebelumnya) dengan pelanggaran karena tidak datang untuk bekerja pada tanggal 17 Nopember 2014 dengan alasan malas, tidak melakukan tanggung jawab dan pekerjaannya sebagai Purchasing Manager dan tanggal 1 Nopember 2014 dengan tidak menempati tempat kerjanya yang telah ditentukan dan ditetapkan oleh Management Hotel sehingga semua pekerjaan yang menjadi tanggungjawabnya harus dilakukan oleh Financial Controller sebagai atasan langsung;
“Menimbang, bahwa dari bukti T-9 berupa Surat Keputusan Pemutusan Hubungan Kerja Nomor : MPH/EO/019/XII/2014 tanggal 18 Desember 2015, diperoleh fakta bahwa Tergugat memutuskan untuk melakukan Pemutusan Hubungan Kerja terhadap Penggugat terhitung sejak tanggal 19 Desember 2014 dikarenakan telah melakukan pelanggaran Pasal 59 ayat (1) Peraturan Perusahaan PT. Menara Peninsula Periode 2013-2015 dan telah mendapat Skorsing sejak tanggal 20 Nopember 2014 dengan kategori pelanggaran besar;
“Menimbang, bahwa berdasarkan bukti-bukti tersebut diatas Majelis Hakim akan memberikan pertimbangan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa ketentuan mengenai Pemutusan Hubungan Kerja karena pekerja/ buruh telah mendapat surat peringatan telah diatur dalam Pasal 161 ayat (1) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 yang menyatakan ”Dalam hal pekerja/ buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja, setelah kepada pekerja/buruh yang bersangkutan diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut”;
“Menimbang, bahwa berdasarkan Pasal 161 ayat (1) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 dan bukti-bukti yang diajukan oleh para pihak tersebut diatas maka Majelis Hakim akan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
• Bahwa berdasarkan Pasal 161 ayat (1) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 dinyatakan secara jelas dan tegas bahwa pengusaha hanya dapat melakukan tindakan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh setelah pengusaha memberikan surat peringatan pertama, kedua dan ketiga (terakhir) kepada pekerja/buruh yang bersangkutan secara berturut-turut;
• Bahwa dari bukti T-2, bukti T-4, bukti T-5 dan bukti T-7 Penggugat sudah mendapat surat peringatan pertama, kedua, ketiga dan terakhir yang oleh karena berdasarkan Pasal 161 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 Tergugat dapat melakukan tindakan pemutusan hubungan kerja kepada Penggugat;
• Bahwa oleh karena itu keinginan Tergugat selaku Pengusaha yang ingin melakukan pemutusan hubungan kerja kepada Penggugat selaku Pekerja diatas sudah tepat dan benar;
“Menimbang, bahwa oleh karena berdasarkan Pasal 161 ayat (1) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 Tergugat dapat melakukan tindakan pemutusan hubungan kerja kepada Penggugat;
“Menimbang, bahwa apakah Penggugat berhak atas uang kompensasi atas Pemutusan Hubungan Kerja tersebut, sesuai dengan Pasal 156 ayat (1) UU No. 13 tahun 2003 yang menyatakan bahwa “dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima” dengan demikian Majelis Hakim berpendapat bahwa Penggugat berhak atas kompensasi uang pesangon atas berakhirnya hubungan kerja antara Penggugat dengan Tergugat dan menghukum Tergugat untuk membayar uang kompensasi tersebut;
“Menimbang, bahwa berdasarkan Pasal 97 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 menyebutkan bahwa “Dalam putusan Pengadilan Hubungan Industrial ditetapkan kewajiban yang harus dilakukan dan/atau hak yang harus diterima oleh para pihak atau salah satu pihak atas setiap penyelesaian perselisihan hubungan industrial”;
“Menimbang, bahwa berdasarkan semua pertimbangan dan bukti-bukti yang telah diuraikan diatas, maka Majelis Hakim adalah adil dan patut apabila Penggugat mendapat uang kompensasi sebagai akibat dari tindakan Pemutusan Hubungan Kerja yang dilakukan oleh Tergugat terhadap Penggugat dengan perincian sebagai berikut:
• Uang pesangon : 9 x 1 x Rp. 7.688.979 = Rp. 69.200.811,-
• Uang Penghargaan Masa Kerja: 4 x Rp. 7.688.979 = Rp. 30.755.916,-
• Uang Penggantian Hak : 15 % x Rp. 99.956.727 = Rp. 14.993.509,-
• Uang Service bulan Nopember 2014 = Rp. 2.652.000,- +
Total keseluruhan = Rp. 117.602.236,-
“Menimbang, bahwa terhadap petitum Penggugat angka 3 (tiga) yang menyatakan bahwa menghukum Tergugat untuk membayar secara tunai kompensasi PHK kepada Penggugat sebesar 2 (dua) kali PMTK yaitu sebesar Rp. 304.828.874,- menurut Majelis Hakim oleh karena Penggugat telah melakukan kesalahan maka berdasarkan ketentuan Pasal 161 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 uang kompensasi yang menjadi hak Penggugat adalah sebesar Rp. 117.602.236,- oleh karenanya tuntutan Penggugat tersebut tidak beralasan hukum oleh karena harus dinyatakan ditolak;
“Menimbang, bahwa terhadap petitum Penggugat angka 4 (empat) yang menyatakan menghukum Tergugat untuk memberikan Surat Pengalaman Kerja secara baik dan benar kepada Penggugat menurut Majelis Hakim bahwa Surat Pengalaman Kerja merupakan hak Pekerja yang telah bekerja di suatu perusahaan oleh karena tidak ada alasan bagi Perusahaan tidak memberikan Surat Pengalaman Bekerja apabila pekerja tersebut telah tidak bekerja lagi di tempat perusahaan guna sebagai bekal untuk mencari pekerjaan ditempat lain berdasarkan hal tersebut diatas maka tuntutan Penggugat tersebut adalah beralasan hukum oleh karena harus dinyatakan dikabulkan;
“Menimbang, bahwa dengan demikian Majelis Hakim berkesimpulan bahwa gugatan Penggugat harus dinyatakan dikabulkan untuk sebagian;
M E N G A D I L I :
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan Penggugat telah melakukan kesalahan dan telah mendapatkan surat Peringatan I, II, III dan Terakhir;
3. Menyatakan putus hubungan kerja antara Penggugat dengan Tergugat sejak dibacakan putusan ini;
4. Menghukum Tergugat untuk membayar uang kompensasi sebagai akibat tindakan Pemutusan Hubungan Kerja yang dilakukan oleh Tergugat terhadap Penggugat secara tunai dan sekaligus sebesar Rp. 117.602.236,- (seratus tujuh belas juta enam ratus dua ribu dua ratus tiga puluh enam rupiah);
5. Memerintahkan Tergugat untuk memberikan Surat Pengalaman Kerja kepada Penggugat sesuai dengan masa kerja Penggugat di tempat kerja Tergugat dengan baik;
6. Menolak gugatan Penggugat untuk selain dan selebihnya.”
Sementara itu dalam perkara terpisah, putusan PHI Jakarta sengketa hubungan industrial register perkara Nomor 266/Pdt.Sus-PHI/2015/PN.JKT.PST tanggal 10 Maret 2016, antara:
- LIM KOK TJIONG, selaku Penggugat; melawan
- PT. PULAU SEROJA JAYA, sebagai Tergugat.
Penggugat pada Tergugat terhitung sejak tahun 2010 dengan jabatan terakhir sebagai Operation Manager. Menurut Tergugat, hubungan kerja Penggugat berdasarkan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) untuk masa kerja 12 bulan. Berdasarkan Perjanjian Kerja tertanggal 14 Juni 2010 yang ditandatangani oleh Penggugat dan Tergugat diperoleh fakta bahwa Penggugat mulai bekerja pada Tergugat sebagai karyawan kontrak untuk jangka waktu selama 12 (dua belas) bulan terhitung sejak tanggal 1 Juli 2010.
Meski perjanjian kerja tidak tercantum tanggal masa berakhir kontrak, namun Majelis Hakim berpendapat bahwa dengan jangka waktu PKWT selama 12 (dua belas) bulan maka masa kontrak kerja Penggugat berakhir tanggal 30 Juni 2011.
Akan tetapi dikarenakan disatu sisi Penggugat secara nyata-nyata tetap bekerja pada Tergugat setelah tanggal 30 Juni 2011, di sisi lain juga tidak terdapat bukti adanya perpanjangan dari PKWT antara Penggugat dan Tergugat, maka Majelis Hakim berpendapat bahwa Penggugat bekerja sebagai karyawati tetap pada Tergugat adalah terhitung sejak berakhirnya PKWT antara Penggugat dan Tergugat, yaitu terhitung sejak tanggal 1 Juli 2011. Selanjutnya Majelis Hakim membuat pertimbangan hukum sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa oleh karena hubungan kerja antara Penggugat dengan Tergugat bersifat tetap maka untuk melakukan pemutusan hubungan kerja kepada Penggugat harus tetap mengacu pada ketentuan yang berlaku i.c Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan jo Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial jo Peraturan Perusahaan yang berlaku;
“Menimbang, bahwa setelah Majelis Hakim mencermati perselisihan antara Penggugat dengan Tergugat, diketahui bahwa perselisihan tersebut merupakan perselisihan pemutusan hubungan kerja yang berawal dari adanya pemutusan hubungan kerja yang dilakukan oleh Tergugat kepada Penggugat yang menurut Penggugat PHK tersebut adalah tidak sesuai dengan prosedur sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 161 ayat (1), jo pasal 151 jo Pasal 155 ayat (1) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 namun demikian Penggugat tidak berkeberatan diputus hubungan kerjanya karena memang hubungan kerja antara Penggugat dengan Tergugat sudah tidak harmonis lagi dan tidak dimungkinkan lagi;
“Menimbang, bahwa menurut Tergugat pemutusan hubungan kerja terhadap Penggugat dilakukan karena dari laporan investigasi Penggguat telah terbukti menyalahgunakan jabatan dan kewenangannya untuk mendapatkan keuntungan secara pribadi dengan melakukan penyimpangan terhadap penggunaan keuangan perusahaan terkait dengan biaya operasional perusahaan sehingga merugikan Tergugat yang dikategorikan sebagai pelanggaran berat dengan mendapat kompensasi atas PHK tersebut berupa uang penggantian hak;
“Menimbang, bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 61 ayat (1) Peraturan Perusahaan Tergugat yang berlaku tanggal 22 Mei 2015 (vide bukti T-2B) menyebutkan:
‘Pelanggaran yang dikenakan sanksi PHK dengan alasan mendesak dan dilaksanakan sesuai peraturan yang berlaku: 1. Melakukan penipuan, pencurian dan penggelapan barang dan atau uang milik pekerja atau pengusaha di lingkungan Perusahaan.’
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas, Majelis Hakim berpendapat tindakan Penggugat yang telah menyalahgunakan kewenangannya dalam menyalurkan dana koordinasi merupakan tindakan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 61 ayat (1) Peraturan Perusahaan dengan sanksi berupa Pemutusan Hubungan Kerja;
“Menimbang, bahwa dikarenakan Penggugat terbukti telah melakukan pelanggaran terhadap ketentuan Peraturan Perusahaan dengan sanksi PHK;
“Menimbang, bahwa dikarenakan PHK yang dilakukan Tergugat terhadap Penggugat dikarenakan Penggugat telah melanggar Peraturan Perusahaan, maka atas pemutusan hubungan kerjanya, berdasarkan pasal 161 ayat (3) Undang-Undang No.13 Tahun 2003 Penggugat berhak atas kompensasi yang wajib dibayar oleh Tergugat yang terdiri dari uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4) Undang-Undang No.13 Tahun 2003, sehingga petitum Penggugat angka (4) harus dikabulkan untuk sebagian;
“Menimbang, bahwa dikarenakan Terggugat terbukti telah melakukan skorsing kepada Penggugat selama 1 (satu) bulan terhitung mulai tanggal 21 November 2014 (vide bukti T/PR-4), maka menurut Majelis Hakim Penggugat berhak atas upah skorsing tersebut sebesar Rp. 27.000.000,- (dua puluh tujuh juta rupiah);
“Menimbang, bahwa sekalipun secara yuridis normatif Tergugat berkewajiban membayar upah Penggugat selama proses pemutusan hubungan kerja Penggugat dari bulan Januari 2015 sampai adanya putusan yang berkekuatan hukum tetap, namun demikian sebagaimana ketentuan Pasal 155 ayat (2) Undang-Undang No.13 Tahun 2003, sebelum perselisihan pemutusan hubungan kerja dinyatakan putus oleh pengadilan hubungan industrial, kedua belah pihak wajib melaksanakan hak dan kewajibannya. Oleh karenanya dengan mengingat Penggugat juga tidak berkeinginan untuk melanjutkan hubungan kerjanya dengan Tergugat dan juga tidak melakukan kewajibannya sebagai pekerja selama proses pemutusan hubungan kerja sejak Januari 2015 sampai dengan sekarang, maka sesuai ketentuan Pasal 93 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, yang menyatakan : “upah tidak dibayar apabila pekerja/buruh tidak melakukan pekerjaan”, menurut Majelis Hakim secara adil dan patut Penggugat tidak berhak atas upah selama proses PHK sehingga tuntutan Penggugat angka (6) haruslah ditolak;
“M E N G A D I L I
DALAM KONVENSI
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan “PUTUS” hubungan kerja antara Penggugat dengan Tergugat terhitung sejak putusan ini diucapkan;
3. Menghukum Tergugat untuk membayar kompensasi atas pemutusan hubungan kerja terhadap Penggugat tersebut berupa uang pesangon (1 x 6 x Rp. 27.000.000;-), uang penghargaan masa kerja (2 x Rp. 27.000.000;-), uang penggantian hak, dan kekurangan upah bulan November 2014 serta upah skorsing bulan Desember 2014 yang seluruhnya sebesar Rp. 282.400.000,-(Dua ratus delapan puluh dua juta empat ratus ribu rupiah);”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.