Sertifikat Tanah Ganda yang Berujung Kriminalisasi

LEGAL OPINION
Question: Mengenai sengketa luas tanah, apakah dapat dibawa ke ranah pidana?
Brief Answer: Sengketa tanah merupakan isu yang sensitif sekaligus merupakan isu “strategis” yang kompleks. Untuk menjawab hal tersebut, perlu dilihat konteksnya secara kasuistis masing-masing duduk perkara yang melatarbelakanginya. Bila penyerobotan lahan / tanah tanpa dasar hak yang dibenarkan hukum, jelas merupakan tindak pidana penyerobotan tanah.
Namun bila yang terjadi ialah cacat formil pada sertifikat kepemilikan hak atas tanah yang diterbitkan oleh instansi yang berwenang (dalam hal ini ialah Kantor Pertanahan / BPN), maka seperti dalam kasus tumpang-tindih hak atas tanah alias sertifikat ganda, atau letak tanah yang saling bersinggungan dan bertumpang-tindih antar luas fisik surat ukur antar sertifikat, maka hal tersebut sejatinya merupakan ranah hukum perdata murni.
PEMBAHASAN :
Dalam perkara pidana sebagaimana Putusan Pengadilan Negeri Sengeti register Nomor 157/Pid.B/2014/PN.Snt tanggal 22 Januari 2015, dimana pada Dakwaan Pertama Terdakwa didakwa dengan tuduhan “dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hak, menjual, menukarkan atau menjadikan sebagai tanggungan hutang, suatu hak milik atas tanah negara atau tanah partikelir ataupun sesuatu gedung, bangunan, tanaman, atau persemaian diatas tanah hak milik, yang diketahuinya bahwa orang lain mempunyai hak atau turut mempunyai hak atas benda-benda tersebut” sebagaimana diatur dan diancam pidana Pasal 385 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Duduk perkara bermula pada tahun 2009, dimana Sdr. Gunawan mengecek ke lokasi tanah miliknya yang terletak di Muaro Jambi sebagaimana Sertifikat Hak Milik (SHM) No. 80 tahun 1973, dimana tanah tersebut berbatasan dengan tanah milik Terdakwa. Sesampainya di lokasi, Sdr. Gunawan melihat tanah tersebut telah ditanami tanaman karet oleh Terdakwa.
Selanjutnya Sdr. Gunawan menanyakan kepada Terdakwa mengenai tanaman karet yang ditanam Terdakwa di lokasi tanah yang diklaim sebagai milik Sdr. Gunawan, dimana Terdakwa mengatakan bahwa Terdakwa menanam karet tersebut di lokasi tanah milik Terdakwa sendiri sesuai dengan SHM No. 130 Tahun 1999.
Sempat terjadi pertengkaran mulut sampai akhirnya tanaman karet yang ditanam Terdakwa ditebang oleh Sdr. Gunawan, kemudian Terdakwa mendirikan bangunan berupa ruko di atas sebagian tanah milik Sdr. Gunawan.
Terdakwa mendirikan bangunan berupa ruko di atas tanah yang bukan merupakan hak milik Terdakwa sebagaimana hasil pengukuran ulang yang dilakukan oleh Sdr. Zainal selaku Petugas Pengukuran dari Kantor Pertanahan Kabupaten Muaro Jambi, dengan hasil pengukuran bahwa sebagian tanah milik Sdr. Gunawan dikuasai oleh Terdakwa adalah seluas 4.025 M2 dengan dasar SHM No. 130 Tahun 1999.
Pada tahun 2005, SHM No. 130 Tahun 1999 atas nama Terdakwa, telah Terdakwa jadikan sebagai agunan kredit pinjaman pada Bank BRI.
Dalam Dakwaan Alternatif Kedua, Terdakwa dituduh telah “dengan sengaja memakai akta tersebut seolah-olah isinya sesuai dengan kebenaran, jika karena pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian”, sebagaimana diatur dan diancam pidana pasal 266 ayat (2) KUHP.
Pada tahun 2009, Sdr. Gunawan mendatangi Terdakwa di rumahnya, dan menyampaikan bahwa tanah miliknya tertanami oleh Terdakwa, lalu Terdakwa membantah dan mengatakan bahwa tanah yang Terdakwa garap dan tanami karet adalah tanah miliknya sesuai dengan batas yang tercantum dalam SHM No. 130 tahun 1999 dan menunjukkan surat tersebut kepada Sdr. Gunawan, namun Sdr. Gunawan membatah tanah yang digarap atau ditanami Terdakwa adalah termasuk tanahnya berdasarkan SHM No. 130 Tahun 1989.
Kemudian dilakukan penyelesaian melalui mediasi antara Terdakwa dan Sdr. Gunawan di Kanwil BPN Propinsi Jambi dimana Terdakwa membawa SHM Tahun 1999 yang merupakan pengganti dari SHM Tahun 1989, sementara Sdr. Gunawan membawa SHM Tahun 1989 untuk ditunjukkan ke pihak BPN dimana dari hasil pertemuan di BPN tersebut dinyatakan SHM Tahun 1999 adalah tidak benar karena berdasarkan data yang ada di BPN Muaro Jambi, gambar tanah serta luasan yang tercantum di dalam SHM Tahun 1999 tidak sesuai dengan SHM Tahun 1989, selanjutnya Terdakwa yang telah mengetahui SHM Tahun 1999 tersebut tidak benar atau tidak sesuai isinya, tetap menggunakan SHM tahun 1999 untuk menguasai tanah milik Sdr. Gunawan hingga Terdakwa mendirikan bangunan permanen diatas tanah milik Sdr. Gunawan.
SHM No. 130 Tahun 1999 yang dimiliki oleh Terdakwa merupakan sertifikat pengganti dari sertifikat dasarnya, yakni SHM Nomor 130 Tahun 1989, akan tetapi luas tanah dan gambar serta ukuran tanahnya tidak sesuai dengan SHM Tahun 1989 sehingga SHM Tahun 1999 tidak sah atau cacat hukum dan SHM Tahun 1999 yang dimiliki oleh Terdakwa adalah bekas tipe ex mengenai luas tanahnya.
Dengan Terdakwa menggunakan SHM Tahun 1999 mengakibatkan sebagian tanah milik Sdr. Gunawan dikuasai oleh Terdakwa adalah seluas 4.025 M2 sebagaimana hasil pengukuran ulang yang dilakukan oleh BPN, dengan hasil pengukuran bahwa sebagian tanah milik Sdr. Gunawan dkuasai oleh Terdakwa adalah seluas 4.025 M2.
Dalam Dakwaan Alternatif Ketiga, Terdakwa dituduh telah “dengan sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah sejati, jika karena pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian”, sebagaimana diatur dan diancam Pasal 263 Ayat (2) KUHP.
Terhadap dakwaan Jaksa Penuntut Umum, Majelis Hakim membuat pertimbangan hukum sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa di persidangan telah diperoleh fakta hukum, yaitu ... pada tahun 2002 Saksi Gunawan membeli tanah dari Sdri. Maimumah beserta ahli waris lainnya berdasarkan keterangan ahli waris tanah tersebut berasal dari orang tuanya yang bernama mardiyah dan Mastur, Saksi Gunawan membeli tanah tersebut bersama Sdr. Rusdi teman Saksi Gunawam yang bekerja di BPN Kota Jambi, kemudian tanah Sdr. Rusdi juga dibeli oleh Saksi Gunawan sehingga keseluruhan tanah tersebut adalah milik Saksi Gunawan;
“Menimbang, bahwa tanah Saksi Gunawan sudah bersertifikat dengan Nomor 80 Tahun 1973, dengan luas tanah 28.900 M2 dan sesuai dengan surat ukur dari BPN tanggal 3 Januari 1973, berdasarkan keterangan Saksi Gunawan penyerobotan tersebut terjadi pada tahun 2009 saat Saksi Gunawan pergi ke lokasi bersama adik ipar Saksi dan melihat ada tanaman karet yang masih kecil yang ditanami Terdakwa, kemudian tanaman tersebut Saksi tebangi, kemudian pada tahun 2010 tanah tersebut juga dibangun rumah atau berbentuk bangunan toko yang semi permanen oleh Terdakwa;
“Menimbang, bahwa keterangan Saksi Gunawan dibantah oleh Terdakwa, dimana Terdakwa tidak pernah melakukan penyerobotan tanah milik Saksi Gunawan, dikarenakan tanah tersebut adalah tanah milik Terdakwa sendiri yang diperoleh dari orang tua Terdakwa berdasarkan Akta Jual Beli Nomor 62 Tahun 2004, Akta Jual Beli tersebut dilakukan di hadapan Notaris dan tanah Terdakwa memang berbatasan dengan tanah Saksi Gunawan yang arah ke Tempino yang dulunya adalah milik Mastur;
“Menimbang, bahwa menurut Terdakwa, sejak tahun 1980 sampai dengan tahun 1990-an tanah tersebut sudah digarap oleh Terdakwa dan awal penggarapan ditanami pohon jati, sawit, dan dibagian belakang ditanami pohon karet, sewaktu Terdakwa menggarap tanah tersebut menurut orang tua Terdakwa tanah tersebut belum ada sertifikatnya, kemudian pada tahun 1999 Terdakwa menemani orang tuanya untuk mengajukan sertifikat atas nama Abdullah orang tua Terdakwa, sehingga terbit SHM No. 130 Tahun 1999;
“Menimbang, bahwa menurut Saksi Gunawan, sertifikat milik Terdakwa adalah sertifikat pengganti yang dibuat oleh BPN, sehingga BPN mengajukan permohonan kepada kanwil untuk meminta sertifikat induk milik Terdakwa, ternyata sertifikat pengganti No. 130 Tahun 1999 tersebut tidak sesuai dengan sertifikat asli No. 130 Tahun 1989, gambar dan luasnya berubah, sehingga dengan adanya sertifikat pengganti milik Terdakwa tersebut menurut Saksi Gunawan terjadi tumpang tindih antara tanah Saksi Gunawan dengan tanah Terdakwa;
“Menimbang, bahwa keterangan Saksi Gunawan dibantah oleh Terdakwa, dimana Terdakwa tidak mengetahui mengenai sertifikat pengganti, Terdakwa tidak pernah mengajukan permohonan sertifikat pengganti, yang Terdakwa tahu orang tua Terdakwa dan Terdakwa hanya mengajukan permohonan sertifikat sehingga terbitlah Sertifikat No. 130 Tahun 1999, pada saat Terdakwa mengajukan permohonan sertifikat tersebut, dilakukan pengukuran, dibuat gambar, ada patoknya, dan luasnya setahu Terdakwa 5 (lima) hektar lebih, Terdakwa baru 1 (satu) kali mengajukan permohonan sertifikat tanah dan mengenai isi sertifikat milik Terdakwa tidak pernah dilakukan perubahan oleh Terdakwa, menurut Saksi Ishak Djamaluddin apabila ada perubahan dalam Sertifikat Hak Milik, maka dibuatkan berita acara perubahan kemudian ditandatangani oleh Saksi Ishak Djamaluddin selaku Kepala Kantor Pertanahan Batang Hari pada waktu itu;
“Menimbang, bahwa Terdakwa hanya mempunyai 1 (satu) sertifikat yaitu SHM No. 130 Tahun 1999, dan Sertifikat No. 130 tahun 1999 yang dimiliki Terdakwa tersebut merupakan produk asli BPN berdasarkan keterangan Saksi Gunawan, Saksi Soemiarto, Saksi Tursumi Jauhari, Saksi Zainal Abidin, Saksi Ishak Djamaluddin, keterangan ahli Rivai, Ahli M. Yunus, dan keterangan Terdakwa;
“Menimbang, bahwa berdasarkan fakta hukum sebagaimana telah diuraikan di atas, baik Saksi Gunawan maupun Terdakwa sama-sama memiliki tanah yang sudah bersertifikat dan berdasarkan keterangan Saksi ... , Sertifikat No. 130 Tahun 1999 yang dimiliki Terdakwa tersebut merupakan produk asli BPN;
“Menimbang, bahwa dengan demikian ternyata tanaman karet yang ditanam oleh Terdakwa maupun bangunan rumah atau berbentuk bangunan toko semi permanen yang dibangun oleh Terdakwa, ditanam dan dibangun di atas tanah milik Terdakwa sendiri berdasarkan Sertifikat Nomor 130 tahun 1999;
“Menimbang, bahwa oleh karenanya maka perbuatan Terdakwa tersebut tidak termasuk perbuatan yang melawan hukum, sehingga unsur kedua yaitu "Dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum” harus dinyatakan tidak terpenuhi;
“Menimbang, bahwa menurut keterangan Saksi H. Tursumi, Saksi Zainal Abiding, Saksi Ishak Djamaluddin, keterangan Ahli Rivai dan Ahali M. Yunus setelah melihat foto copy Sertifikat Hak Milik Nomor 130 Tahun 1989 dengan foto copy Sertifikat Hak Milik Pengganti Nomor 130 Tahun 1999, justru Terdakwa mengalami kerugian dikarenakan tanah Terdakwa berkurang hampir 2 (dua) hektar;
“Menimbang, bahwa Terdakwa tidak mengetahui apabila Sertifikat Hak Milik Terdakwa tersebut adalah sertifikat pengganti dan luas tanahnya yang berbeda, serta Terdakwa tidak mengetahui di dalam Sertifikat Hak Milik tahun 1999 ada coretan atau hapusan;
“Menimbang, bahwa menurut Ahli M. Yusuf apabila isi dari sertifikat pengganti baik luas, gambar, dan skalanya tidak sama dengan sertifikat aslinya, maka hal tersebut dapat dikatakan cacat hukum/cacat administrasi;
“Menimbang, bahwa berdasarkan keterangan Terdakwa dan keterangan Saksi Soesmiarto selaku Supervisor Administrasi Kredit di  Bank BRI Cabang Muaro Bulian Sertifikat Milik Terdakwa Nomor 130 tahun 1999 tersebut sekarang berada di BRI Cabang Muaro Bulian sebagai agunan pinjaman Terdakwa sejak bulan 2005 sampai dengan sekarang;
“Menimbang, bahwa ternyata saksi-saksi dan Ahli tidak pernah melihat asli Sertifikat Hak Milik Nomor 130 Tahun 1999, tetapi hanya melihat foto copynya saja sejak di penyidikan sampai di persidangan, yang mana sertifikat asli baru diajukan setelah pemeriksaan Terdakwa dan diperlihatkan kepada Terdakwa, sehingga keterangan saksi-saksi dan Ahli terhadap sertifikat tersebut menjadi kabur, karena seharusnya untuk mengetahui keabsahan suatu akta in casu sertifikat maka akta/sertifikat asli-lah yang harus diajukan bukan hanya foto copynya saja, apalagi ternyata terhadap Sertifikat Hak Milik Nomor 130 tahun 1999 tidak pernah dilakukan uji Laboratorium Forensik untuk menguji apakah asli atau palsu atau hanya cacat formal saja;
“Menimbang, bahwa terlepas dari sertifikat asli yang tidak diajukan sejak penyidikan sampai pemeriksaan saksi-saksi dan Ahli di persidangan, akan tetapi berdasarkan uraian pertimbangan di atas, telah terbukti apabila Sertifikat Nomor 130 tahun 1999 yang dipakai oleh Terdakwa sebagai dasar hukum untuk menguasai tanah yang ditanami karet dan mendirikan bangunan, serta sebagai agunan di BRI Cabang Muara Bulian adalah produk asli BPN (Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Batang Hari);
“Menimbang, bahwa dengan demikian maka unsur “dengan sengaja memakai akta tersebut seolah-olah isinya sesuai dengan kebenarannya” harus dinyatakan tidak terbukti;
“Menimbang, bahwa dengan demikian, maka unsur “dengan sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah asli” harus dinyatakan tidak terpenuhi;
“Menimbang, bahwa berdasarkan uraian pertimbangan di atas, ternyata semua pasal yang didakwakan oleh Penuntut Umum tidak terbukti, maka Terdakwa harus dinyatakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan dalam dakwaan alternatif pertama, alternatif kedua, dan alternatif ketiga sehingga Terdakwa haruslah dibebaskan dari dakwaan dalam dakwaan alternatif pertama, alternatif kedua, dan alternatif ketiga tersebut;
Tiba pada amar putusannya, Majelis Hakim memutuskan:
“MENGADILI :
1. Menyatakan Terdakwa Raden Edi Kusuma Jaya tersebut diatas, tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan dalam dakwaan alternatif pertama, alternatif kedua, dan alternatif ketiga;
2. Membebaskan Terdakwa oleh karena itu dari semua dakwaan Penuntut Umum;
3. Memulihkan hak-hak Terdakwa dalam kemampuan, kedudukan, dan harkat serta martabatnya;”
Hendaknya Lembaga Eksekutif yang bernama BPN (Badan Pertanahan Nasional) menyadari, banyaknya sengketa perdata hingga kriminalisasi terjadi bersumber dari “bibit” mal-administrasi dan mal-praktik aparatur Kantor Pertanahan. Sampai kapankah korban-korban terus bertumpahan sementara para aparatur Kantor Pertanahan sibuk memikirkan pungutan liar demi pungutan liar.
Mengapa SHIETRA & PARTNERS dapat berkesimpulan bahwa kasus kriminalisasi sebagaimana diuraikan diatas merupakan akibat dari korupnya pejabat BPN setempat? Perlu para pembaca ketahui, salah satu syarat pengajuan permohonan balik-nama hak atas tanah ketika terjadi jual-beli tanah, pembeli diwajibkan mengisi dan menandatangani formulir yang menyatakan dirinya “menguasai secara fisik” objek tanah yang akan dibalik-nama. Fakta hukumnya, Terdakwa selama ini yang telah menggarap objek tanah sejak tahun 1980. Artinya, BPN telah mengabulkan permohonan balik-nama tanah oleh pihak ketiga, tanpa mengindahkan prosedur yang dibuat oleh BPN itu sendiri.
Tampaknya BPN sengaja membuat segudang prodesur, yang hanya akan menjadi dalil untuk melakukan berbagai pungutan liar terhadap pemohon hak atas tanah. Buat apa prosedur dibuat hanya untuk dilanggar sendiri oleh pejabat BPN? Mengapa juga BPN merendahkan harkat martabatnya dengan mau didikte mereka yang bersedia memberikan pungutan liar atau “uang sogok” demikian?
Indonesia telah merdeka sekian lama. Pejabat tertinggi di BPN pun silih berganti. Begitupula presiden silih berganti. Namun mental para pejabat BPN tidak bedanya kolonial yang selalu memungut upeti dari warga negaranya.
Hendaknya kita ingat bersama, bahwa “papan” merupakan salah satu kebutuhan pokok disamping “sandang” dan “pangan”.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.