Lubang Hukum Konsep Birokrasi Pelaksana Tugas & Pelaksana Harian, Konteks Pelayanan Masyarakat oleh Aparatur Sipil Negara

article
Selaku masyarakat, yang menghadapi proses monopolistik aparatur negara, acapkali masyarakat selaku sipil pembayar pajak didudukkan secara politis sebagai “pihak yang membutuhkan” dan birokrat sebagai “pihak yang dibutuhkan” sehingga tidak heran bila kalangan birokrat sok jual kuasa bahkan menjual mahal dan menyalahgunakan kekuasaan dalam jabatan yang dipegangnya (baca: jabatan yang diamanatkan padanya).
Bandingkan dengan konsep di USA, birokrat memiliki jiwa sebagai “civil servant”, bukan konsep “pegawai negeri” seperti konsep yang dianut Indonesia. Kami pegawai “negara”, bukan pegawai masyarakat, yang digaji oleh negara bukan oleh rakyat, demikian mindset keliru yang kemudian timbul. Tidak mengherankan bila antara PNS dan masyarakat begitu berjarak, bahkan masyarakat menjadi objek perahan pungutan liar demi pungutan liar.
Terlebih aneh bila aparatur negara mengeluh direpotkan oleh masyarakat yang seharusnya ia layani. Jika mengeluh gaji kecil, dan merasa cemburu atas keberhasilan para pengusaha yang mereka pungli ketika hendak mengajukan perizinan, mengapa tidak dirinya sendiri saja yang mencoba mengambil resiko merugi dengan menjadi seorang pengusaha?
Para birokrat ini berpikir bahwa mereka digaji oleh “negara yang direpresentasi oleh atasan mereka” sehingga mereka merasa berkewajiban menjilat-jilat atasannya—bukan digaji oleh para pembayar pajak. Memang janggal, masyarakat selaku pembayar pajak yang menggaji para PNS itu tidak memiliki kewenangan mem-PHK oknum-oknum PNS yang berkinerja buruk bahkan menyalahgunakan wewenangnya. Jika publik diberi wewenang memecat PNS, pastilah pelayanan publik oleh para birokrat akan menyerupai pelayanan pegawai pada instansi swasta. Selama ini para PNS berpikiran, yang hanya bisa memecat mereka hanyalah atasannya, bukan warga, dan toh atasannya telah ia setor upeti tiap bulan maka pastilah posisinya aman seburuk apapun kinerjanya.
Tapi bukan itu yang kini akan kita bahas.
Penulis acapkali bersentuhan dengan kalangan aparatur negara, di kementerian manapun, dengan instansi manapun, bahkan hingga tingkat kelurahan. Apa yang kemudian terjadi? Ambil contoh Kantor Pertanahan atau yang lebih dikenal masyarakat sebagai BPN, salah satu instansi monopolistik kebutuhan pokok hajat hidup orang banyak (“papan”, disamping sandang dan pangan) yang dikenal paling korup dan paling amburadul perihal manajemen kejujuran dan kebersihan hati.
Seringkali terjadi, pelayanan demikian lamban dan tidak terukur. Mengapa? Dengan mudahnya mereka menggunakan alasan “Kepala kantor sedang di luar, tidak di kantor, sedang menghadiri acara di luar, tidak jelas kapan kembalinya, dsb, dsb, ...”
Prinsip tata kelola pemerintahan yang baik, tidak boleh terjadi seorang yang berwenang menerbitkan surat keputusan absen pada jam kerja, dan sekalipun itu absen hanya satu jam pun dari jam kerja kantor pemerintah, ia wajib menunjuk seorang Pelaksana Harian untuk menggantikan posisi dan kewenangannya selama ia berhalangan meski barang satu atau dua jam di kantor untuk menghindari tertunda atau terhambatnya pelayanan terhadap masyarakat sebagai bagian dari pelayanan publik. Publik adalah bos, bukan publik yang menghamba pada birokrat, inilah falsafah utama negara hukum.
Namun, mengapa konsep dasar tata kelola pemerintahan tersebut tidak jua kunjung dilaksanakan? Karena mindeset yang masih terpola dari para pegawai negeri sipil (PNS) ini masih mengadopsi cara pikir konservatif orthodoks jaman Orde Baru, yakni “masyarakat yang membutuhkan penguasa, bukan pemegang kekuasaan yang membutuhkan masyarakat sipil”. Orde Baru sudah lama tumbang, namun warisan mental korup masih diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Setiap instansi dibawah kementerian mengatur secara tersendiri kapan dan bagaimana serta tata cara dan ketentuan diangkatnya seorang Pelaksana Harian (Plh) dan seorang Pelaksana Tugas (Plt). Mengenai “Plt”, tidak terdapat masalah besar, sebab pastilah dengan cepat pemerintah di tingkat pusat akan segera mengganti sementara pejabat struktural yang berhalangan tetap dengan pejabat lain. Sebagai contoh, ketika Gubernur DKI Jakarta Jokowi terpilih dalam pemilu sebagai Presiden RI, maka wakil gubernur diangkat dan dilantik dengan surat keputusan sebagai “Plt” Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota.
Bagaimana dengan “Plh”, justru disitulah masalah yang kerap terjadi dikeluhkan masyarakat akibat masih tidak tegasnya peraturan perundang-undangan yang ada dibidang hukum tata usaha negara.
Semula, diharapkan problema kekusutan administrasi pemerintahan ini dapat diberikan solusi dan terobosan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan, namun tampaknya masyarakat masih harus menemui kendala pelayanan publik serupa dikemudian hari.
Pasal 6 UU Administrasi pemerintahan:
(1) Pejabat Pemerintahan memiliki hak untuk menggunakan Kewenangan dalam mengambil Keputusan dan/atau Tindakan.
(2) Hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: (g.) menunjuk pelaksana harian atau pelaksana tugas untuk melaksanakan tugas apabila pejabat definitif berhalangan;
Pasal 14 UU administrasi pemerintahan:
(1) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan memperoleh Mandat apabila:
a. ditugaskan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan di atasnya; dan
b. merupakan pelaksanaan tugas rutin.
(2) Pejabat yang melaksanakan tugas rutin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri atas:
a. pelaksana harian yang melaksanakan tugas rutin dari pejabat definitif yang berhalangan sementara; dan
b. pelaksana tugas yang melaksanakan tugas rutin dari pejabat definitif yang berhalangan tetap.
Pasal 34 UU administrasi pemerintahan:
(1) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang berwenang menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan terdiri atas:
a. Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam wilayah hukum tempat penyelenggaraan pemerintahan terjadi; atau
b. Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam wilayah hukum tempat seorang individu atau sebuah organisasi berbadan hukum melakukan aktivitasnya.
(2) Apabila Pejabat Pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berhalangan menjalankan tugasnya, maka Atasan Pejabat yang bersangkutan dapat menunjuk Pejabat Pemerintahan yang memenuhi persyaratan untuk bertindak sebagai pelaksana harian atau pelaksana tugas.
(3) Pelaksana harian atau pelaksana tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melaksanakan tugas serta menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan rutin yang menjadi Wewenang jabatannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (Penjelasan Resmi: “Yang dimaksud dengan “Keputusan dan/atau Tindakan rutin” adalah kegiatan atau hal yang menjadi tugas pokoknya.”)
Sebagaimana dapat kita lihat, celah hukum yang masih terbuka lebar, ialah sebuah pertanyaan sederhana: mengapa pejabat pengemban monopoli pembuat keputusan seperti kepala kantor berhalangan hadir, baik sekedar satu atau dua jam bahkan satu hari penuh, benarkah itu menjadi suatu bentuk penelantaran terhadap warga masyarakat yang membutuhkan pelayanan secara akuntabel dan terukur serta bertanggung-jawab?
Kembali kepada prinsip tata kelola pemerintahan yang baik: negara lewat representasi aparaturnya, tidak dibenarkan untuk absen melayani masyarakat dan wajib tetap hadir bagi warga masyarakat yang wajib dilayaninya.
Oleh karena itu, berangkat dari prinsip dasar tata kelola pemerintahan yang baik, suatu pejabat negara tidak boleh absen biar barang satu atau dua jam tanpa sebelumnya memberikan pelimpahan kewenangan ad hoc / temporer / sementara terhadap pejabat struktural lainnya sehingga tiada terjadi “bottle neck” pelayanan terhadap masyarakat.
Dengan demikian, seorang pejabat negara sekelas kepala kantor, lurah, camat, tidak dapat lari dan absen dari tugasnya dengan mudah dan tanpa terkontrol.
Tampaknya niat legislator dan lembaga eksekutif dalam membentuk hukum administasi negara yang utuh dan tegas masih harus menunggu generasi baru berikutnya yang lebih progresif dan tegas dalam terobosan.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.