Salah Kaprah “CATATAN” dalam Buku Pertanahan oleh Pejabat Kantor Pertanahan yang Diartikan Identik dengan “BLOKIR”

LEGAL OPINION
Salah Kaprah “CATATAN” oleh Pejabat Kantor Pertanahan yang Diartikan Identik dengan “BLOKIR”
PERMASALAHAN: Tanpa pandang bulu, bila terdapat gugatan, entah itu gugatan dari pihak ketiga maupun dari debitor pemberi hak tanggungan, ataupun dari penjamin pemberi agunan yang dijaminkan pada kreditor, bila kreditor pemegang hak tanggungan digugat oleh debitor/penjamin tersebut, otomatis kantor pertanahan mencatatnya dalam buku tanah maupun Surat Keterangan Pendaftaran Tanah (SKPT) sebagai “Terblokir” yang berkonsekuensi logis menjadi surutnya pemenang lelang.
PERTANYAAN: Mengapa “catatan” selalu diimplementasi sebagai “blokir”? Bagaimana dengan jaminan kepastian hukum bagi pemenang hak tanggungan bila debitor menyahgunakan hukum dengan mengajukan gugatan tanpa hak dan tanpa dasar kepada kreditor yang diberinya jaminan kebendaan lewat Akta Pembebanan Hak Tanggungan (APHT) dan Sertifikat Hak Tanggungan (SHT) yang memiiki irah-irah?
PEMBAHASAN:
Pasal 126 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah (PMNA 3 tahun 1997):
(1) Pihak yang berkepentingan dapat minta dicatat dalam buku tanah bahwa suatu hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun akan dijadikan obyek gugatan di Pengadilan dengan menyampaikan salinan surat gugatan yang bersangkutan.
(2) Catatan tersebut hapus dengan sendirinya dalam waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung dari tanggal pencatatan atau apabila pihak yang minta pencatatan telah mencabut permintaannya sebelum waktu tersebut berakhir.
(3) Apabila hakim yang memeriksa perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memerintahkan status quo atas hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang bersangkutan, maka perintah tersebut dicatat dalam buku tanah.
(4) Catatan mengenai perintah status quo tersebut pada ayat (3) hapus dengan sendirinya dalam waktu 30 (tiga puluh) hari kecuali apabila diikuti dengan putusan sita jaminan yang salinan resmi dan berita acara eksekusinya disampaikan kepada Kepala Kantor Pertanahan.
Pada praktiknya, Kantor Pertanahan seringkali tetap memblokir buku tanah meski telah melewati masa tempo 30 hari, tanpa putusan sela maupun putusan final dari hakim. Bila sita jaminan saja tidak mungkinkan membebani hak tanggungan menurut hukum acara perdata, lantas berdasarkan apakah Kantor Pertanahan menyatakan status tanah dalam SKPT sebagai “terblokir”?
PMNA 3 tahun 1997 menggeneralisir tanpa menimbang kondisi spesifik seperti kreditor pemegang hak tanggungan yang acapkali menemui kondisi dimana ketika debitor/penjamin pemberi agunan yang diikat hak tanggungan, kemudian terjadi kredit macet dan kreditor hendak mengeksekusi hak tanggungan, debitor/penjamin justru melakukan gugatan yang tujuannya hanya untuk menunda/membatalkan lelang/membuat status tanah dinyatakan terblokir sehingga tiada calon peminat lelang.
Mengingat untuk suatu putusan pengadilan hingga berkekuatan hukum tetap, mulai dari pengadilan negeri hingga Mahkamah Agung, dibutuhkan waktu bertahun-tahun, dimana itupun debitor/penjamin masih dapat menggugat ulang berkali-kali sebagaimana kerap terjadi dalam paktik, maka apa kepastian bagi kreditor pemegang hak tanggungan bila blokir harus menunggu putusan tersebut final?
Dalam hukum acara perdata, blokir tanah hanya dapat terjadi sepanjang: 1.) ada putusan sela/provisionil; atau 2.) ada sita jaminan ataupun putusan akhir yang telah tetap. Namun terhadap hak tanggungan tak dapat diletakkan sita jaminan. Seringkali blokir dilakukan Kantor Pertanahan tanpa adanya putusan sela ataupun putusan apapun dari pengadilan. Hal demikian menyalahi kaidah hukum acara perdata akibatnya maraknya praktik kolusi dan korupsi di tubuh aparatur kantor pertanahan itu sendiri sebagaimana kerap SHIETRA & PARTNERS jumpai ketika bersinggungan dengan lembaga pemegang monopoli kebijakan pertanahan tersebut.
Terhadap objek hak atas tanah tersebut, telah diikat sempurna oleh sertifikat hak tanggungan yang memiliki irah-irah “DEMI KEADILAN DAN KETUNAN YANG MAHA ESA” dimana fungsinya sama seperti putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap, sehingga adalah ganjil bila hanya karena gugatan tidak berdasar dari debitor, status tanah dinyatakan “terblokir”. Hal demikian menjadi kontradiktif dengan fungsi hak tanggungan yang merupakan jaminan kebendaan ketika debitor cidera janji, sehingga semestinya atas objek tanah tidak dapat dengan semudah itu dinyatakan terblokir hanya karena debitor wanprestasi menyalahgunakan hukum dengan menggugat kreditor yang hendak mengeksekusi.
Yang kemudian terjadi, dan jamak ditemui di lapangan, debitor terus menggugat kreditor agar lelang menjadi batal karena tanah menjadi berstatus “terblokir” berkat gugatan tidak berdasar debitor yang mana sudah dapat dipastikan gugatan tersebut akan dinyatakan “tidak diterima” atau “ditolak” oleh hakim di pengadilan.
Bahwa ketentuan diatas belum memerhatikan kondisi kreditor pemegang hak tanggungan yang dapat menemui kondisi dilematis ketika debitor beritikad tidak baik, selain wanprestasi kredit macet, juga selalu gencar melancarkan gugatan tidak berdasar kepada kreditor ketika hendak mengeksekusi agunan, dan gugatan kembali dilancarkan setiap kali lelang eksekusi hendak dilangsungkan.
Pada dasarnya hanya putusan provisionil atau putusan sela dari hakim yang dapat membuat pernyataan: “Atas Objek Tanah …, kepada … diperintahkan agar tidak mengalihkan hak kepemilikan kepada pihak manapun.” Sehingga bila tanpa putusan final maupun putusan sela dari hakim, maka adalah tidak sepatutnya Kantor Pertanahan menghalangi hak kreditor pemagang hak tanggungan.
Bila tuntutan provisionil yang dikabulkan, maka untuk melaksanakan putusan sela tersebut perlu persetujuan kepada Ketua Pengadilan Tinggi (Surat Edaran Mahkamah Agung Surat Edaran Nomor 16 Tahun 1969), maka terlebih bila debitor yang memblokir tanah. Uniknya, Kantor Pertanahan atau BPN seolah lebih berpihak kepada debitor tersebut yang mangajukan gugatan, dimana sekalipun tanpa hakim mengabulkan putusan sela, tetap saja Kantor Pertanahan memblokir agunan dengan menistakan Sertifikat Hak Tanggungan (SHT) yang mereka terbitkan sendiri. Tindakan kantor pertanahan yang memblokir agunan, tanpa putusan sela, atau bahkan mungkin putusan sela ditolak oleh hakim, adalah menyalahi kaidah hukum acara.
Penyalahgunaan hukum terjadi karena celah hukum yang diberikan oleh BPN/Kantor Pertanahan, dimana Kantor Pertanahan tanpa meninjau permohonan blokir dari debitor, langsung saja mengabulkan, bahkan menetapkan blokir tanpa batas waktu hanya karena debitor menggugat kreditor pemegang hak tanggungan. Bahkan debitor demikian diberikan “angin surga” berupa langsung dikabulkannya blokir meski hakim belum/tidak mengabulkan permohonan sela.
Sepatutnya BPN/Kantor Pertanahan menimbang, bahwa bila sita jaminan saja mustahil dibebankan pada agunan yang diikat sempurna hak tanggungan, maka permohonan / pencatatan blokir akibat permohonan atau gugatan debitor adalah juga mustahil dilakukan, namun pada nyatanya BPN/Kantor Pertanahan selalu berpihak pada debitor dan memblokir Buku Tanah Agunan.
Yang menjadi pertanyaan kami, mengapa ketentuan mengenai “catatan” sebagaimana dimaksud dalam PP 24 tahun 1997 dan PMNA 3 tahun 1997 selalu ditafsirkan sebagai “Pemblokiran”? apakah yang menjadi juklak / juknis pelaksana yang menyatakan bahwa “catatan” tersebut harus bertuliskan “terblokir” dalam buku tanah maupun SKPT? Senyatanya hal tersebut merugikan kreditor pemegang hak tanggungan, oleh sebab Pejabat Lelang wajib membacakan isi SKPT “objek lelang terblokir” yang tentunya akan membuat sinisme dari peserta lelang. Sementara bila yang dimaksud dengan catatan tersebut diatas adalah berupa pencatatan: “Terdapat gugatan perdata oleh debitor/penjamin atas objek tanah yang telah diikat sempurna hak tanggungan”, tentunyalah tidak akan menyurutkan minat peserta lelang.
Pasal 10 Ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (UU HT): “Pemberian Hak Tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu, yang dituangkan di dalam dan merupakan bagian tak terpisahkan dari perjanjian utang-piutang yang bersangkutan atau perjanjian lainnya yang menimbulkan utang tersebut.” ß Maka adalah tidak sepatutnya janji yang diikat jaminan kebendaan dapat dihambat oleh gugatan debitor sebagai bentuk itikad buruk dari debitor/penjamin.
Pasal 11 Ayat (2) UU HT: “Dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan dapat dicantumkan janji-janji, antara lain: e.) janji bahwa pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri obyek Hak Tanggungan apabila debitor cidera janji; j.) janji bahwa pemberi Hak Tanggungan akan mengosongkan obyek Hak Tanggungan pada waktu eksekusi Hak Tanggungan;”
Pasal 14 UU HT:
(1). Sebagai tanda bukti adanya Hak Tanggungan, Kantor Pertanahan menerbitkan sertifikat Hak Tanggungan sesuai dengan peraturan per- undang-undangan yang berlaku.
(2). Sertifikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat irah-irah dengan kata-kata "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA".
(3). Sertifikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan berlaku sebagai pengganti grosse acte Hypotheek sepanjang mengenai hak atas tanah.
Pasal 20 UU HT:
(1). Apabila debitor cidera janji, maka berdasarkan:
a. hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual obyek Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, atau
b. titel eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), obyek Hak Tanggungan dijual melalui pelelangan umum menurut tata cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan untuk pelunasan piutang pemegang Hak Tanggungan dengan hak mendahulu dari pada kreditor-kreditor lainnya.
(5). Sampai saat pengumuman untuk lelang dikeluarkan, penjualan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dihindarkan dengan pelunasan utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan itu beserta biaya-biaya eksekusi yang telah dikeluarkan. ß Artinya, gugatan debitor/penjamin pemberi hak tanggungan tidak mempunyai hak untuk memblokir agunan yang telah ia berikan sebagai jaminan kebendaan bila terjadi wanprestasi/kredit macet.

Pasal 30 Ayat (1)  PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH (PP 24 Tahun 1997): “Atas dasar alat bukti dan berita acara pengesahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (3) hak atas bidang tanah:
d. yang data fisik dan atau data yuridisnya disengketakan dan diajukan gugatan ke Pengadilan tetapi tidak ada perintah dari Pengadilan untuk status quo dan tidak ada putusan penyitaan dari Pengadilan, dilakukan pembukuannya dalam buku tanah dengan catatan mengenai adanya sengketa tersebut serta hal-hal yang disengketakan; ß Catatan dalam PP 24 Tahun 1997 tersebut tidak mengartikan sebagai blokir!
e. yang data fisik atau data yuridisnya disengketakan dan diajukan ke Pengadilan serta ada perintah untuk status quo atau putusan penyitaan dari Pengadilan, dibukukan dalam buku tanah dengan mengosongkan nama pemegang haknya dan hal-hal lain yang disengketakan serta mencatat di dalamnya adanya sita atau perintah status quo tersebut.
Bukti bahwa PP 24 tahun 1997 tidak mengakomodasi pemegang hak tanggungan, dapat dilihat kontradiktifnya UU HT dengan Pasal 31 Ayat (2) PP 24 Tahun 1997: “Jika di dalam buku tanah terdapat catatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) huruf b yang menyangkut data yuridis, atau catatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) huruf c, d, dan e yang menyangkut data fisik maupun data yuridis penerbitan sertifikat ditangguhkan sampai catatan yang bersangkutan dihapus.” ß Maka menjadi terang dan jelas, PP 24 Tahun 1997 tidak berlaku untuk kasus kreditor pemegang jaminan kebendaan (in casu bukan peraturan pelaksana UU HT).
Secara realistis Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 106/PMK.06/2013 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93/PMK.06/2010 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang (PMK 106 Tahun 2013), dalam Pasal 13 Ayat (1) mengatur: “Dalam hal terdapat gugatan terhadap objek lelang hak tanggungan dari pihak lain selain debitor/tereksekusi, suami atau istri debitor/tereksekusi yang terkait kepemilikan, pelaksanaan lelang dilakukan berdasarkan titel eksekutorial dari Sertifikat Hak Tanggungan yang memerlukan fiat eksekusi.”
Lebih lanjut dalam Pasal 24 PMK 106 Tahun 2013: “Lelang yang akan dilaksanakan hanya dapat dibatalkan dengan permintaan Penjual atau penetapan provisional atau putusan dari lembaga peradilan.”
Yang mengejutkan, salah kaprah oleh Pejabat Kantor Pertanahan maupun Badan Pertanahan Nasional dalam menafsirkan PP 24 tahun 1997 telah berlangsung hampir 20 tahun, tanpa pihak manapun yang mencoba mempertanyakan hal tersebut. Keganjilan ini seolah dilazimkan, yang padahal dampaknya secara makro mematikan perbankan nasional dengan tingginya NPL perbankan akibat mekanisme pertanahan yang kurang efisien dan tidak efektif. Semoga tulisan singkat ini dapat membuka mata para penyusun kebijakan pertanahan di negeri ini, agar mengedepankan akal sehat, karena hukum adalah untuk kehidupan, bukan kehidupan untuk hukum yang mati dan hanya tertulis di atas kertas yang buta.


Note akhir: Padahal, sudah terang dan jelas diatur dalam Pasal 167 Ayat (1) PERATURAN MENTERI NEGARA AGRARIA/KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG KETENTUAN PELAKSANAAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH: “Dalam pendaftaran hak untuk pertama kali pencatatan mengenai kekuranglengkapan atau masih disengketakannya data fisik dan atau data yuridis sesuai ketentuan dalam Pasal 30 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 dilakukan dalam halaman 3 buku tanah dengan kalimat sebagai berikut:
a. jika data fisik dan atau data yuridis belum lengkap: “Pembukuan hak ini dilakukan dengan catatan data fisik/yuridis berupa ………………………. belum lengkap”,
b. jika data fisik dan atau data yuridisnya disengketakan, tetapi tidak diajukan gugatan ke pengadilan: “Pembukuan hak ini dilakukan dengan catatan ada keberatan dari …. Mengenai ………………….. dan kepadanya sudah diberitahukan agar mengajukan gugatan ke pengadilan dalam waktu ……. hari dengan surat nomor …….. tanggal ……….“
c. jika data fisik dan atau data yuridis disengketakan di pengadilan tetapi tidak ada status quo dan tidak ada perintah sita: “Pembukuan hak ini dilakukan dengan catatan ada gugatan di Pengadilan …………… mengenai data fisik dan atau data yuridisnya dengan register perkara nomor ……… tanggal …………”
d. jika data fisik dan atau data yuridis disengketakan di pengadilan dan ada perintah status quo atau putusan penyitaan : “Pembukuan hak ini dilakukan dengan catatan bahwa ada gugatan di Pengadilan …… mengenai data dan atau data yuridisnya dengan register perkara nomor …………. tanggal …………….. dan telah diletakkan sita jaminan berdasarkan putusan pengadilan …………….. Nomor ……….. Tanggal ……. jo Berita Acara Sita Jaminan Nomor ………………. Tanggal ……. / diperintahkan status quo oleh Pengadilan dengan surat Hakim ……………. nomor ……… tanggal…………..”, dan nama pemegang haknya tidak di-cantumkan dalam buku tanah.
Ayat (2): Catatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani pejabat yang menandatangani buku tanah yang bersangkutan.


Faktanya, atas setiap gugatan yang dialamatkan kepada kantor pertanahan sebagai turut tergugat, seketika kantor pertanahan akan membuat status hak atas tanah dalam buku tanah “TERBLOKIR” meski tidak ada putusan sela, juga tiada putusan sita jaminan (meski dalam hukum acara perdata, sita jaminan diatas hak tanggungan adalah mustahil). Jelas hal ini merupakan malpraktik serta wujud nyata ketidak-profesionalan petugas kantor pertanahan itu sendiri.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.