Urgensi Audit Sosial dan Survey Lingkungan Pra Kontrak

LEGAL OPINION
Question: Sebagai kontraktor yang telah teken perjanjian pembangunan pabrik, namun ditengah jalan pihak pemberi kerja memutus perjanjian begitu saja, dengan alasan pembangunan tidak selesai tepat pada waktunya. Tidak kami pungkiri, namun proses pembangunan tidak bisa berlangsung sebagaimana mestinya, karena faktor eksternal adanya penolakan dari warga setempat.
Apa bisa, kami keberatan atas pemutusan kontrak sepihak demikian, dan mengklaim adanya penipuan atau cacat tersembunyi, dimana kami baru tahu jika ternyata ada penolakan dari warga setempat saat proses pembangunan dimulai?
Brief Answer: Idealnya dilakukan audit sosial dan lingkungan sebelum menyepakati untuk mengikatkan diri dalam perjanjian pembangunan, untuk mengetahui realita aktual sebenarnya, apakah dimungkinkan proses pembangunan dilangsungkan atau adakah potensi resiko dikemudian hari. Aspek hukum bisnis yang baik, tidak bertopang diatas landasan rapuh bernama “asumsi”.
Tanpa audit berupa riset lingkungan dan survei sosial, dipastikan resiko penolakan warga akan berpeluang terjadi, yang besar kemungkinan akan mengakibatkan kerugian akibat proses pembangunan terkendala atau bahkan terhenti sama sekali.
Terlebih bila klausul dala kontrak berbunyi “pemutusan kontrak”, alih-alih “pembatalan kontrak”, ketika pihak kedua menyatakan pihak pertama telah wanprestasi dalam ketepatan waktu pengerjaan, maka seluruh biaya, waktu, serta tenaga yang telah dikerahkan, akan hangus menguap dalam arti yang sesungguhnya.
Adagium hukum klasik berikut tampaknya tetap relevan: preventif selalu lebih efisien dan lebih efektif ketimbang kuratif. Kuratif selalu mahal harganya, bila tidak menyediakan “payung” sebelum “hujan”. Amat jarang, kalangan pengusaha di Tanah Air menggunakan jasa konsultan hukum untuk memandu kegiatan bisnis. Ketika sudah terjadi sengketa dan “keruh”, bahkan profesi lawyer sekali pun tidak akan banyak menawarkan solusi yang ideal.
PEMBAHASAN:
Menang jadi arang, kalah jadi abu. Sebagai cerminan, terdapat peristiwa konkret sebagaimana SHIETRA & PARTNERS dapat merujuk putusan Mahkamah Agung RI sengketa kontraktual register Nomor 180 PK/Pdt/2016 tanggal 26 Juli 2016, perkara antara:
- PT. LESTARI INDAH RAYA PERSADA, sebagai Pemohon Peninjauan Kembali dahulu Penggugat; melawan
1. PEMERINTAH KABUPATEN BOGOR cq. BUPATI BOGOR; 2. PERUSAHAAN DAERAH (PD) PASAR TOHAGA KABUPATEN BOGOR, selaku Para Termohon Peninjauan Kembali dahulu Tergugat I dan II.
Penggugat merupakan perseroan yang bergerak dibidang kontraktor pembangunan. Adapun relasi Penggugat dengan Tergugat, berdasarkan Perjanjian Kerjasama antara Pemerintah Kabupaten Bogor dengan PT. Lestari lndah Raya Persada tentang Pembangunan dan Pengelolaan Pasar dan sub Terminal Parung beserta Fasilitas Penunjangnya, yang disepakati tanggal 9 Oktober 2002, dengan para pihak: Pemerintah Kabupaten Bogor cq. Bupati Bogor (Tergugat I) selaku pihak Pertama dan PT. Lestari lndah Raya Persada (Penggugat) selaku Pihak Kedua.
Tergugat I lalu menerbitkan Surat Keputusan Bupati Bogor tentang pengesahan Site Plan Rencana Pembangunan Pasar Parung atas nama Penggugat. Sebagai tindak-lanjut, pada bulan Januari 2003 sampai dengan Maret 2003 Penggugat melaksanakan pekerjaan berupa persiapan penampungan sementara dan pemasangan papan proyek, namun pekerjaan mendapat penolakan dan penentangan dan Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (“APPSI“), Forum Komunikasi Pedagang Pasar Parung (“FKP3”) berupa demontrasi yang berlanjut dengan huru-hara dan pengrusakan.
Terhadap kejadian tersebut, Tergugat I tidak melakukan upaya / tindakan apapun untuk mencegah atau menghentikan huru-hara yang seharusnya menjadi kewajiban Tergugat I berdasarkan ketentuan Pasal 11 Ayat (1) Perjanjian:
“Pihak Pertama berkewajiban: Membantu kelancaran proses perizinan yang diperlukan Pihak Kedua, sehubungan dengan rencana persiapan pembangunan Pasar dan Sub Terminal Parung beserta fasilitas penunjangnya.”
Sehubungan dengan tidak adanya upaya apapun dan Tergugat I untuk menyelesaikan permasalah penentangan dan APPSI dan FKP3, maka antara bulan April 2003 sampai dengan Juni 2003, Penggugat berinisiatif untuk melaksanakan musyawarah dengan Pengurus FKP3 sampai akhirnya pada bulan Juli 2003, terjadi musyawarah antara Penggugat dengan Koperasi Pengusaha dan Pedagang Pasar Parung (KP4).
Dalam proses realisasi Perjanjian, Penggugat telah mengurus dan membayar seluruh biaya pekerjaan non fisik berupa:
- Pengurusan Hak Guna Bangunan (HGB) atas Hak Pengelolaan (HPL);
- Site Plan;
- Ijin Mendirikan Bangunan (IMB);
- Pembuatan Sertifikat Hak atas Tanah yang terletak di Desa Waru, Kecamatan Parung, Kabupaten Bogor;
- Pembongkaran;
- Sosialisasi pembangunan pasar dan sub Terminal;
- Jasa Konsultan:
- Biaya kantor dan pemasaran.
Sebagai wujud keseriusan, telah dilakukan persiapan pekerjaan pelaksanaan perjanjian, dimana Penggugat telah mengajukan dan memperoleh Hak Guna Bangunan diatas sebidang tanah Hak Pengelolaan (HPL) sedengan luas 48.525 m². Namun demikian, akibat dan peristiwa huru-hara, proyek pembangunan mengalami keterlambatan dalam memulai pekerjaan pembangunan dan oleh karena itu pada tanggal 27 Desember 2004, dilaksanakan penandatangan Addendum ke-1 Perjanjian kerjasama antara Penggugat dengan Tergugat.
Penggugat juga telah mencari lahan guna persiapan pembangunan penampungan sementara, dengan menyewa lahan di Perumahan Metro Parung. Atas persetujuan Tergugat I dan Dinas terkait, Penggugat mengurus pengesahan site plan dan izin untuk pemindahan lokasi penampungan.
Atas pemindahan lokasi penampungan sementara tersebut, ternyata ada pihak pihak yang tidak setuju atas pembangunan Pasar Parung dan mengajukan beberapa tuntutan. Selanjutnya diadakanlah musyawarah antara Penggugat dengan pihak pihak yang tidak setuju terhadap pembangunan pasar.
Pada bulan Mei 2005, Penggugat dengan biaya sendiri telah memulai pembangunan penampungan sementara Pasar dan Sub Terminal Parung, akan tetapi terjadi lagi penolakan dan beberapa pedagang Pasar Parung atas rencana pemindahan / relokasi pedagang ke penampungan sementara, dengan alasan lokasi penampungan sementara dianggap tidak startegis dan berada jauh dan lokasi pasar yang akan dibangun.
Tanggal 17 Juli 2005, kembali terjadi huru-hara di lokasi penampungan sementara yang ditimbulkan oleh beberapa pedagang yang menolak relokasi, melakukan pengerusakan terhadap tempat penampungan sementara yang pada saat itu telah selesai 50%.
Terhadap huru hara tersebut, Tergugat tidak melakukan tindakan atau upaya apapun untuk mengamankan lokasi atau setidaknya berupaya menghentikan huru-hara yang seharusnya menjadi kewajiban Tergugat I berdasarkan ketentuan di Perjanjian.
Sehubungan dengan tidak adanya upaya Tergugat I untuk menyelesaikan huru-hara, maka Penggugat meminta Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Bogor untuk memfasilitasi musyawarah antara Penggugat dengan para pedagang, yang hasilnya adalah dibentuk Tim Perwakilan Pedagang (TIM 15) yang akan menjembatani komunikasi antara pedagang dengan Penggugat.
Bulan September 2005 sampai dengan Januari 2006, dilakukan musyawarah antara TIM 15 untuk membahas konsep Pembangunan Pasar Parung. TIM 15 meminta pemindahan lokasi penampungan sementara ke Jalan Tulang Kuning Parung dan sebagian ke lahan Pasar Lama. Hasil musyawarah tersebut dilaporkan kepada Tergugat I, dimana pada tanggal 16 Februari 2006, Tergugat I menerbitkan Surat Keputusan Bupati Bogor Nomor tentang Penghapusan Bangunan Pasar Parung Milik Pemerintah Kabupaten Bogor terletak di Desa Waru, Kecamatan Parung.
Pelaksanaan penghapusan / pembongkaran bangunan pasar Parung, dilakukan oleh Penggugat dengan biaya yang ditanggung sendiri oleh Penggugat; Adapun biaya pembongkaran yang dikeluarkan oleh Penggugat adalah sebesar Rp450.000.000,00.
Tanggal 17 Februari 2006 terjadi kesepakatan antara Penggugat dengan para pedagang (TIM 15, KP4, FKP3, APPSI) yang dituangkan dalam Perjanjian Kerjasama yang dibukukan dan didaftarkan oleh Notaris. Dimana seluruh biaya proses pertemuan sampai pembuatan perjanjian di notaris, ditanggung oleh Panggugat.
Sebagai pelaksanaan dan kesepakatan tersebut pada bulan Februari 2006 sampai dengan JuIi 2006, Penggugat melakukan persiapan penampungan sementara di lokasi baru. Persiapan penampungan sementara yang dikerjakan oleh Penggugat meliputi:
- Penampungan kios los pedagang dan pedagang kaki lima (PKL) hingga penyerahan bangunan fisik penampungan sementara ke Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Perindag) Kabupaten Bogor;
- Pengurusan penerbitan pengesahan Zoning Dinas Perindag melalui Kepala Unit Pasar / Disperindag dan,
- Melakukan sosialisas Penetapan Zoning Komoditi yang telah ditetapkan oleh Dinas Perindag.
Tanggal 27 Nopember 2006, Tergugat I menerbitkan Surat Keputusan Bupati Bogor tentang Pengesahan Revisi Site Plan Pembangunan Pasar Parung atas nama Penggugat. Setelah revisi Site Plan disahkan oleh Tergugat I, Penggugat mulai melaksanakan pekerjaan pembangunan pasar.
Sehubungan dengan adanya huru-hara dan penolakan dan pedagang yang terjadi pada Maret 2003 dan Juli 2005, yang mana Tergugat I tidak melakukan upaya pengamanan, mengakibatkan pembangunan pasar Parung dan Sub Terminal tidak bisa dilaksanakan sesuai dengan jadwal semula, oleh karenanya pada tanggal 12 Maret 2007 dibuat dan ditandatangani Addendum ke-2 Perjanjian Kerjasama antara Penggugat dengan Tergugat I.
Pada saat Penggugat melanjutkan pembangunan, sekitar akhir tahun 2008 Indonesia mengalami dampak krisis giobal yang berimbas pada resesi ekonomi lokal, dimana banyak pelaku usaha kolaps. Atas peristiwa yang terjadi di luar kemampuan Penggugat, ternyata berimbas pula terhadap proses pembangunan proyek pasar dan sub terminal Parung.
Ketika proses pembangunan pasar dan sub terminal Parung sedang dilaksanakan oleh Penggugat, Tergugat ! mengirimkan Surat Teguran pada tanggal 8 April 2009, yang pada pokoknya menyatakan Penggugat belum menyelesaikan pembangunan sedang waktu pelaksanaan telah habis.
Penggugat mengirimkan surat klarifikasi pada tanggal 19 April 2039, namun tidak memperoleh tanggapan dan Tergugat I. Namun kemudian Tergugat I justru mengirim Surat Teguran II tanggal 28 April 2009 yang pada pokoknya menyatakan Penggugat belum menyelesaikan pembangunan sedang waktu pelaksanaan telah habis.
Penggugat mengirimkan Surat Klarifikasi pada tanggal 29 April 2009. Namun lagi-lagi tidak memperoleh tanggapan dan Tergugat I, yang justru direspon Tergugat I dengan mengirim Surat Teguran III Tanggal 18 Mei 2009, yang pada pokoknya menyatakan Penggugat belum menyelesaikan pembangunan sedang waktu pelaksanaan telah habis.
Penggugat mengirimkan surat penjelasan pada tanggal 19 Mei 2009, yang pada pokoknya menguraikan bahwa terhambatnya pelaksanaan pembangunan proyek, terjadi bukan karena kelalaian Penggugat namun karena peristiwa peristiwa yang terjadi di luar kemampuan Penggugat (force majeur).
Berlanjut pada tanggal 8 Juni 2009, Tergugat mengirimkan kepada Penggugat surat “Penghentian Pekerjaan Pembangunan”, yang pada pokoknya memerintahkan kepada Penggugat untuk menghentikan pekerjaan pembangunan pasar dan sub terminal Parung.
Tanggal 29 Juni 2009, Tergugat I mengirimkan kepada Penggugat, surat “Pemutusan Penjanjian Kerjasama”, yang pada pokoknya memutuskan perjanjian kerjasama pembangunan dan pengelolaan pasar Parung dan sub terminal Parung secara sepihak.
Tanggal 29 Juni 2009, diadakan opname bensama terhadap proyek pembangunan pasar dan sub terminal yang dilakukan oleh Dinas Tata Bangunan dan Pemukiman Kabupaten Bogor dan pihak Penggugat, yang mana hasilnya dilaporkan oleh Kepala Dinas Tata Bangunan dan Pemukiman kepada Tergugat I.
Tanggal 23 Juli 2009, Tergugat II mengirimkan surat yang pada pokoknya meminta Penggugat untuk menurunkan / melepas baliho a/n PT. LIRP dan menghentikan kegiatan pemasaran / penjualan ruko / kios di proyek. Tanggal 9 September 2009, Tergugat I menerbitkan Surat Perintah yang menunjuk PD. Pasar Tohaga (Tergugat II) untuk meIanjutkan proyek pembangunan pasar Parung.
Tanggal 2 Oktober 2009, Tergugat II melakukan pekerjaan pembangunan Pasar Parung diatas lahan Hak Guna Bangunan milik PT. Lestari lndah Raya Persada (Penggugat). Terhadap pemutusan Perjanjian secara sepihak tersebut, pada tanggal 6 Nopember 2009 Penggugat mengirimkan surat Somasi kepada Tergugat I.
Dalam melaksanakan pembangunan dan pendanaan proyek, Penggugat juga memakai jasa rekanan (pihak ketiga) dan pinjaman dan pihak ketiga. Biaya biaya yang sudah dikeluarkan oleh Penggugat dalam mengerjakan proyek, sebagai pelaksanaan dan Perjanjian, berupa pengeluaran untuk pekerjaan fisik Rp49.386.000.040,00, serta pengeluaran untuk pekerjaan non fisik Rp18.150.251.730,00.
Tergugat I yang telah melakukan pemutusan Perjanjian secara sepihak dan tindakan Tergugat II yang telah masuk ke lokasi pembangunan Pasar dan mengerjakan pembangunan pasar Parung diatas lahan Hak Guna Bangunan milik Penggugat, harus dikualifikasikan sebagal perbuatan melawan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1365 KUHPerdata yang berbunyi:
“Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut.”
Kerugian materiil yang diderita oleh Penggugat adalah sebesar biaya yang dikeluarkan untuk pekerjaan fisik dan non fisik, ditambah hutang yang harus dibayar kepada pihak ketiga, mencapai senilai Rp101.308511.163,00. Sebagai bantahan, dalam sanggahannya pihak Tergugat menyebutkan bahwa, tuntutan ganti rugi yang dimintakan oleh Penggugat, menurut Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Nomor 2123 K/Pdt/1996 tanggal 29 Juni 1999, ada tidaknya tuntutan ganti rugi (materiel dan imaterial) dalam wanprestasi, haruslah didasarkan pada perjanjian yang ada. Padahal kenyataannya dalam Perjanjian Kerjasama maupun addendum Perjanjian kerjasama yang dibuat, tidak disebutkan atau diperjanjikan secara khusus mengenai kewajiban Tergugat untuk membayar ganti rugi (materiel maupun imateriel).
Dengan demikian berarti gugatan Penggugat yang tidak menjelaskan atau menunjuk suatu perjanjian / perikatan yang pernah dibuat dan ditanda-tangani oleh Penggugat dan Tergugat I, yang secara khusus memperjanjikan adanya kewajiban Tergugat untuk membayar kerugian materiel & imateriel sebagaimana yang dimintakan oleh Penggugat dalam posita maupun petitum gugatannya, mengakibatkan gugatan menjadi tidak jelas alias kabur (obscuur libel).
Terhadap gugatan sang kontraktor, Pengadilan Negeri Cibinong kemudian menjatuhkan Putusan Nomor 42/PDT.G/2012/PN.CBN. tanggal 15 Oktober 2012, dengan amar sebagai berikut:
MENGADILI :
Dalam Pokok Perkara
- Menolak gugatan Penggugat untuk seluruhnya.”
Dalam tingkat banding, yang menjadi amar Putusan Pengadilan Tinggi Bandung Nomor 89/PDT/2013/PT.BDG. tanggal 9 April 2013, sebagai berikut:
MENGADILI :
- Menerima permohonan banding dari Pembanding semula Penggugat;
- Menguatkan putusan Pengadilan Negeri Cibinong tanggal 15 Oktober 2012 Nomor 42/Pdt.G/2012/PN.Cbn. yang dimohonkan banding tersebut.”
Sang kontraktor mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali, dengan mengajukan alat bukti baru berupa surat laporan Badan Pemeriksa Keuangan (Novum BPK) berupa “Hasil Pemeriksaan Atas Kepatuhan atas Temuan Pemeriksaan Pembangunan Pasar dan Sub Terminal Parung Tahun 2009” yang dikeluarkan oleh BPK Perwakilan Provinsi Jawa Barat pada tahun 2009.
Novum BPK tersebut dinilai merupakan bukti surat baru yang bersifat menentukan, terkait adanya pernyataan BPK Perwakilan Provinsi Jawa Barat didalam laporannya, antara lain:
“Perjanjian Kerjasama yang dibuat oleh masing-masing pihak secara signifikan kurang menguntungkan PT. LIRP, terutama klausa Pasal 2 yang merupakan dasar, maksud dan tujuan dari perjanjian kerjasama, yaitu memberikan rasa aman dan memiliki kepastian hukum serta para pihak memperoleh sebesar-besarnya manfaat melalui keuntungan yang seimbang dan wajar;
“Perjanjian Kerjasama yang dibuat kurang seimbang antara hak, tugas, tanggung jawab para pihak yang secara signifikan memberatkan Investor dalam hal ini PT. LIRP;
“Kurangnya pengawasan dan pengendalian yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Bogor serta kurangnya dukungan, tindakan yang cepat dan tegas dan Pemerintah Kabupaten Bogor untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi PT. LIRP sesuai dengan maksud, tujuan dari perjanjian kerjasama dimaksud.”
Tergugat I dinilai oleh Penggugat telah secara melawan hukum dengan sengaja tidak memberitahukan kepada Pemohon PK tentang situasi dan kondisi di Pasar Parung yang sebenarnya, khususnya tentang belum adanya kesepakatan dan persetujuan dan para pedagang di Pasar Parung untuk dipindahkan di penampungan sementara, selama dilakukan pembangunan terhadap Pasar Parung. Tindakan Tergugat I tersebut harus dikualifikasikan sebagai penipuan (bedrog) yang mengakibatkan kerugian pada pihak Penggugat.
Para Tergugat juga dinilai telah melakukan penyalahgunaan keadaan, yaitu pada akhir tahun 2008 ketika Indonesia mengalami dampak krisis global. Adanya perubahan kebijakan dibidang moneter yang merupakan keadaan kahar (force majeure) mengakibatkan kenaikan harga material dan pihak perbankan yang memberikan fasilitas kredit untuk pembangunan, menahan / menunda pencairan kredit sehingga pelaksanaan pembangunan menjadi terlambat.
Keadaan kahar yang terjadi diluar kemampuan Penggugat, justru digunakan oleh Tergugat I untuk memutus Perjanjian secara sepihak dan kemudian Tergugat II atas perintah Termohon PK I, mengambil alih proyek pembangunan Pasar Parung. Dengan demikian Para Tergugat telah dengan sengaja menyalah-gunakan keadaan (misbruik van omstandig heiden).
Dengan adanya “cacat pada kehendak” pada Perjanjian Kerjasama antara Pemerintah Kabupaten Bogor dengan PT Lestari Indah Raya Persada, maka Perjanjian tersebut menjadi “batal” demi hukum, sehingga keadaan para pihak dalam perjanjian tersebut harus dikembalikan pada keadaan semula, dalam hal ini yakni seluruh biaya yang telah dikeluarkan oleh Penggugat  untuk melaksanakan pembangunan harus dikembalikan seluruhnya oleh Terggugat I.
Tergugat I melanggar saran dari BPK RI untuk tidak memberikan perintah untuk menduduki dan mengambil-alih proyek sebelum ada perjanjian penyelesaian pembayaran. Surat Perintah dari Tergugat I yang melanggar hukum demikian, dijadikan sebagai dasar oleh Tergugat II untuk menduduki dan mengambil-alih proyek serta melanjutkan pembangunan proyek pasar, Sub Terminal Parung, beserta fasilitas pendukungnya.
Dengan demikian perbuatan Tergugat I yang tidak melaksanakan rekomendasi dari BPK RI, haruslah dikualifikasikan sebagai perbuatan melawan hukum karena merupakan pelanggaran terhadap kewajiban Tergugat I selaku pejabat negara.
Di dalam Perjanjian Kerjasama tidak ada kewajiban dari Penggugat untuk menyelesaikan segala permasalahan berkaitan dengan penolakan dari para pedagang pasar Parung. Penyelesaian atas permasalahan tersebut sepenuhnya menjadi tanggung-jawab Tergugat I selaku otoritas Pemda. Oleh karenanya, selama penolakan dari para pedagang pasar masih ada, maka Tergugat I harus dinyatakan belum / tidak melaksanakan kewajibannya secara bertimbal-balik.
Bahwa oleh karena kelalaian / kesalahan Tergugat I yang tidak melaksanakan kewajibannya sehingga menyebabkan Penggugat terlambat melaksanakan kewajibannya, dan oleh karenanya Penggugat tidak dapat dinyatakan telah ingkar janji.
Dimana terhadapnya, Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan peninjauan kembali tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa alasan-alasan tersebut tidak dapat dibenarkan, dengan pertimbangan sebagai berikut:
“Bahwa bukti baru PK-1 berupa hasil pemeriksaan atas kepatuhan dan bukti PK-2 berupa surat dari Badan Pemeriksa Keuangan Perwakilan Provinsi Jawa Barat tanggal 12 Oktober 2014 Nomor ... tidak bersifat menentukan sebagaimana yang dimaksud Pasal 67 huruf b Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, karena kesimpulan dari hasil pemeriksaan tersebut hanya berupa saran yang ditujukan kepada Bupati Bogor;
“Bahwa dalam putusan Judex Juris juga tidak terdapat kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata;
“Bahwa perbuatan Tergugat I memutuskan perjanjian kerjasama pembangunan dan pengelolaan Pasar Parung dan Sub Terminal Parung telah sesuai dengan ketentuan Pasal 26 angka (3) Perjanjian Kerja Sama tanggal 9 Oktober 2002 (bukti P-3/TI.3) yang berbunyi: ‘Apabila setelah diberikan teguran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pihak kedua tetap tidak dapat melaksanakan kewajibannya, maka pihak pertama dapat mengeluarkan surat penghentian pelaksanaan pembangunan yang dilaksanakan oleh pihak kedua dan memutuskan hubungan kerjasama secara sepihak, tanpa diberikan biaya pengganti dan bangunan pasar, sub terminal beserta fasilitas penunjangnya beralih menjadi milik pihak pertama,’ dengan demikian perbuatan Tergugat I bukan merupakan perbuatan melawan hukum; [Note SHIETRA & PARTNERS: Itulah salah satu bentuk konkret bahaya dibalik klausula ‘pemutusan’, alih-alih ‘pembatalan’, karena yang paling dirugikan ialah pihak yang telah secara nyata melakukan prestasi namun kemudian diputus ditengah jalan prosesnya tanpa mengembalikan kondisi maupun kerugian pihak bersangkutan ke kondisi semula.]
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan diatas, maka permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh Pemohon Peninjauan Kembali PT. LESTARI INDAH RAYA PERSADA tersebut harus ditolak;
M E N G A D I L I :
Menolak permohonan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali PT. LESTARI INDAH RAYA PERSADA tersebut.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.