Sifat Ekstrim Pembuktian Kepailitan: Nila Setitik, Rusak Susu Sebelanga

LEGAL OPINION
Question: Sekalipun hanya separuh dari jumlah hutang yang dipermasalahkan debitor, debitor ini tetap tidak dapat dipailitkan?
Brief Answer: Terkadang, perbedaan persepsi atas suatu uang yang telah diterima, dapat demikian multi-persepsi. Pada prinsipnya setiap debitor yang menolak dipailitkan, dapat menyanggah dengan dalil bahwa tidak benar telah terjadi wanperstasi, atau besar nominal hutang-piutang masih belum jelas dan masih dipersengketakan, sehingga sifat pembuktian adanya dan besaran piutang menjadi tidak lagi bersifat sederhana.
Terkadang, dari sebagian besaran hutang-piutang yang diperdebatkan antara para pihak, ada separuh piutang yang sudah jelas dan sudah pasti / fixed sifatnya. Hakim Pengadilan Niaga yang baik, tentunya tidak mempermasalahkan hutang-piutang yang masih belum jelas, tapi cukup berfokus pada apa yang sudah jelas dan sudah pasti, diantara apa yang tampak belum pasti—apakah sudah benar adanya hutang, sementara seberapa besar atau seberapa kecilnya hutang itu, tentu antara debitor dan kreditor memiliki versinya sendiri.
Namun fakta hukum yang terpenting, apakah sang debitor tetap saja gagal bayar terhadap hutang-piutang yang sudah pasti tersebut, tanpa perlu dibiaskan oleh sebagian hutang-piutang lainnya yang masih diperdebatkan—dan seringkali menjadi cara jitu bagi debitor untuk ‘mengalihkan isu’.
PEMBAHASAN:
Untuk memudahkan pemahaman, untuk itu SHIETRA & PARTNERS merujuk putusan Mahkamah Agung RI perkara kepailitan register Nomor 853 K/Pdt.Sus-Pailit/2016 tanggal 14 November 2016, antara:
- PT. BAHANNA MAHARDIKA INDONESIA; 2. PT. BAHANNA NADA CEMERLANG, sebagai Para Pemohon Kasasi dahulu Pemohon I & II; terhadap
- FLORENSIA YUNITA SIAUW, selaku Termohon Kasasi dahulu Termohon.
Pemohon I menyerahkan Cek bank tanggal 18 Mei 2012 senilai Rp4.871.653.127 kepada Termohon. Sementara Pemohon II menyerahkan Cek bank tanggal 24 Mei 2012 sebesar Rp2.819.097.475 kepada Termohon. Uang yang diberikan Pemohon I dan Pemohon II kepada Termohon, adalah untuk pembayaran pajak nama Termohon I dan Termohon II untuk disetorkan ke kas negara, namun tidak dibayarkan oleh Termohon, sehingga Termohon berkewajiban untuk mengembalikannya kepada Pemohon I dan Pemohon II—[Note SHIETRA & PARTNERS: kedua fakta hukum diatas sudah sangat jelas dan tegas sifat pembuktian adanya hutang yang bersifat sederhana.]
Dalam upaya penyelesaian kewajiban Termohon tersebut, Pemohon I dan Pemohon II memberikan kesempatan lagi kepada Termohon untuk menyelesaikan kewajiban pembayaran utangnya kepada Pemohon I dan Pemohon II sampai dengan tanggal 6 Januari 2016, berdasarkan Perjanjian Perdamaian tanggal 7 Desember 2015, yaitu 30 hari sejak ditanda-tanganinya perjanjian tersebut, akan tapi Termohon tetap tidak memenuhi kewajiban pembayaran utangnya kepada Pemohon I dan Pemohon II sebagaimana mestinya, kecuali hanya membayar sebesar Rp1.000.000.000,00  kepada Pemohon I—yang merupakan pengakuan secara tidak langsung adanya hubungan hutang-piutang.
Pemohon I dan Pemohon II kembali menagih tanggung-jawab Termohon melalui Surat tanggal 13 Mei 2016 dan tanggal 24 Mei 2016, yang memberikan kesempatan kepada Termohon untuk melakukan pembayaran sampai dengan tanggal 27 Mei 2016, akan tetapi Termohon tetap tidak memenuhinya.
Oleh karena Termohon tetap tidak melaksanakan pembayaran kepada Pemohon I dan Pemohon II sebagaimana harusnya, baik mengenai jumlah yang akan dibayarkan ataupun mengenai waktu pembayarannya, maka Termohon secara hukum memiliki utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih oleh Pemohon I dan Pemohon II.
Jumlah utang Termohon kepada Pemohon I dan Pemohon II yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih sampai dengan diajukannya permohonan pernyataan pailit ini, adalah sebesar Rp6.690.750.603,00 (jumlah nominal pada dua lembar cek yang sebelumnya diserahkan kepada Termohon), setelah dikurangi dengan pembayaran kepada Pemohon I sebesar Rp1.000.000.000,00.
Terhadap permohonan pernyataan pailit Para Pemohon, Pengadilan Niaga Jakarta Pusat kemudian menjatuhkan Putusan Nomor 26/Pdt.Sus/Pailit/2016/PN Niaga.Jkt.Pst, tanggal 28 Juli 2016, dengan pertimbangan hukum yang kerap menjadi “duri dalam daging”, serta amar sebagai berikut:
“Menurut Pemohon-Pemohon, bahwa Termohon mempunyai utang, sedangkan menurut Termohon uang yang diberikan oleh Pemohon kepada Termohon bukan uang untuk pembayaran pajak akan tetapi adalah biaya operasional atas fee untuk pekerjaan penyelesaian kasus pajak perusahaan Pemohon I dan Pemohon II;
“Dari Perjanjian Perdamaian tanggal 7 Desember 2015 yang telah disepakati oleh Pemohon dan Termohon tersebut diatas terbukti bahwa kewajiban yang harus dibayarkan oleh Termohon kepada Pemohon adalah sebesar Rp3.500.000.000,00 (tiga miliar lima ratus juta rupiah) sedangkan menurut Pemohon-Pemohon jumlah utang Termohon adalah sebesar Rp6.690.750.603,00, sehingga menurut pendapat Majelis Hakim berapa jumlah utang Termohon kepada Pemohon menjadi tidak jelas; [Note SHIETRA & PARTNERS: Bila Termohon tidak menghormati ataupun mengindahkan Perjanjian Perdamaian, untuk apa Pemohon harus menggunakan dasar besaran piutang dalam Perjanjian Perdamaian?]
MENGADILI :
Menolak permohonan Pemohon I dan Pemohon II.”
Pemohon Pailit mengajukan upaya hukum kasasi, dengan pokok keberatan, pada kedua cek tersebut jelas tertulis pesan: “Atas penyerahan cek ini bayarlah kepada Kas Negara.” Termohon di persidangan mengakui ada utang itu tapi belum bisa membayar. Terhadap hutang-piutang itu, kemudian disepakati penyelesaiannya dalam Perjanjian Perdamaian. Namun lagi-lagi Termohon mengingkari janji dalam Perjanjian Perdamaian.
Penerimaan uang oleh Termohon melalui Cek senilai Rp4.871.653.127 dan Cek sebesar Rp2.819.097.475 adalah fakta persidangan. Belum dikembalikannya seluruh dana milik Pemohon Pailit, menjadikan selisih nilai tersebut sebagai piutang yang sifat pembuktiannya amatlah sederhana.
Faktanya Termohon kemudian tidak memenuhi isi Perjanjian Perdamaian sebagaimana mestinya, kecuali hanya pembayaran sebesar Rp1.000.000.000,00 kepada Pemohon Kasasi I, yang juga merupakan fakta persidangan.
Lagipula, dalam kepailitan, mengenai jumlah utang Termohon pailit akan ditetapkan dalam rapat verifikasi utang, bukan dalam persidangan yang memeriksa permohonan. Itulah sebabnya pembuktian utang yang dianut dalam persidangan kepailitan dikatakan dengan pembuktian secara sederhana, yaitu ada atau tidak adanya utang yang sudah jatuh tempo, bukan mengenai berapa jumlah utang yang sesungguhnya.
Dimana terhadapnya, Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa keberatan tersebut tidak dapat dibenarkan oleh karena setelah meneliti secara seksama memori kasasi tanggal 3 Agustus 2016 dan kontra memori kasasi tanggal 8 Agustus 2016 dihubungkan dengan pertimbangan Judex Facti dalam hal ini Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak salah menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut:
“Bahwa ternyata berdasarkan Perjanjian Perdamaian tanggal 7 Desember 2015 antara Para Pemohon dengan Termohon telah disepakati kewajiban Termohon kepada Para Pemohon sejumlah Rp.3.500.000.000,00 (tiga miliar lima ratus juta rupiah), hal tersebut dibantah oleh Para Pemohon yang mendalilkan, bahwa hutang Termohon kepada Para Pemohon adalah sejumlah Rp6.690.750.603,00 (enam miliar enam ratus sembilan puluh juta tujuh ratus lima puluh ribu enam ratus tiga rupiah), dari fakta diatas menjadikan jumlah hutang Termohon kepada Para Pemohon menjadikan tidak jelas, apalagi antara Para Pemohon dan Termohon terdapat perdamaian, sehingga menjadi tidak sederhana pembuktian tentang hutang dalam perkara a quo sebagaimana dimaksud Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, ternyata Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 26/Pdt.Sus/Pailit/2015/PN.Niaga.Jkt.Pst, tanggal 28 Juli 2016 dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, sehingga permohonan kasasi yang diajukan oleh Para Pemohon Kasasi: TJOK ANOM PEMAYUN, selaku Direktur Utama PT. BAHANNA MAHARDIKA Indonesia dan kawan tersebut, harus ditolak;
M E N G A D I L I :
Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi I: TJOK ANOM PEMAYUN, selaku Direktur Utama PT. BAHANNA MAHARDIKA INDONESIA dan Pemohon II: TJOK ANOM PEMAYUN, selaku Direktur Utama PT. BAHANNA NADA CEMERLANG tersebut.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.