Sebagian dari Kalangan Notaris, merupakan MAFIA TANAH—jika Tidak dapat Disebut SEMUA NOTARIS ADALAH MAFIA TANAH. Ini Penjelasannya Disertai Kasus Konkret di Lapangan

Ingatlah Baik-Baik untuk menjadi Konsumen (yang) Cerdas : AJB Bukanlah Alas Hak juga Bukanlah Tanda Bukti Kepemilikan, hanya Sertifikat BPN yang merupakan Tanda Bukti Kepemilikan Hak Atas Tanah yang SAH

Notaris PPAT Membuat & Menerbitkan AJB, sekalipun Tanpa Adanya Bukti Kepemilikan Sertifikat BPN maupun Girik, merupakan Indikasi Ciri-Ciri MAFIA TANAH

AJB Hanya Boleh Dibuat Notaris PPAT, bila Telah Ada / Eksis Sertifikat Hak Atas Tanah atas Unit Properti Dimaksud. Diluar Itu, ILEGAL

Mafioso, gengster, ataupun triad, merupakan kriminil ber-jas dan ber-dasi, sementara “kelas teri”-nya ialah preman pasar berbaju dekil. Sama halnya, “mafia tanah” pun terbagi menjadi dua kelompok pelaku, yakni “mafia tanah” yang canggih dan memiliki sindikat luas, serta “mafia tanah” berwujud ataupun bernama Notaris-PPAT yang kantornya banyak bertebaran hingga di sudut-sudut perumahan warga. Korban dari “mafia tanah” yang berwujud kalangan profesi Notaris-PPAT, sudah sangat masif dan sudah sejak lama, setidaknya bukan satu atau dua kali penulis berpotensi menjadi korban dari modus penipuan “mafia tanah” yang memanfaatkan produk hukum terbitan sang Notaris-PPAT. Ulasan ini penulis susun, khususnya memberikan pemahaman bagi masyarakat luas agar tidak terjebak oleh modus para “mafia tanah” demikian.

Lembaga Penerbit DASAR HUKUM, Tidak Wajib Dijadikan Tergugat ataupun Turut Tergugat

Lembaga Penerbit Peraturan, Tidak Perlu Turut Digugat

Question: Pihak Tergugat mendalilkan, karena surat gugatan kami ada mengutip paraturan OJK (Otoritas Jasa Keuangan), maka dinyatakan “gugatan kurang pihak” karena tidak menarik pihak OJK setidaknya sebagai pihak “Turut Tergugat”. Bagaimana ini pandangan hukumnya, apa memang bisa dibenarkan dalil bantahan semacam itu dalam praktik persidangan di Indonesia?

PENYIDIK PEMBANTU, Bukan Penyidik namun Bertingkah seperti PENYIDIK

Juper (Juru Periksa) Serasa Penyidik, Anomali Praktik Kepolisian RI yang Menyimpang dari Ketentuan Hukum Acara Pidana

Penyitaan, Penggeledahan, Penahanan, Interogasi, maupun Berita Acara Pemeriksaan yang Dibuat oleh BUKAN Penyidik, merupakan Objek PRAPERADILAN

Status “penyidik”, melekat pada suatu individu sehingga bersifat personal, mengingat “penyidik” bukanlah gelar atau jabatan semata, namun kualifikasi serta kompetensi. Itu adalah “law in abstracto” sebagaimana tertuang dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHP). Namun fakta realitanya di lapangan (law in concreto), telah ternyata berkata lain, penyidik di lingkungan Kepolisian RI (POLRI), memperlakukan dirinya bak atau selayaknya seorang Kepala Kantor, dan terjadi aksi pembiaran secara berjemaah oleh Kepala Polsek, Kepala Polres, maupun Kepala Polda, tidak terkecuali oleh Kepala POLRI itu sendiri—dan itulah fokus bahasan kita dalam kesempatan ini.

Seni Hidup : Menghadapi CELAAN yang (Sayangnya) SALAH ALAMAT

Bukan Siapa yang Dicela, namun Siapa yang Mencela

Bukanlah Soal Apa yang Dikritik, namun Siapa yang Mengkritik

Bukanlah Jeritan Sakit Korban yang Patut Dipermasalahkan, namun Perbuatan Sang Pelaku

Salah alamat selalu membuahkan “petaka”, tidak terkecuali “surat cinta” yang salah alamat. Pernahkah Anda mengalami atau melihat langsung, korban yang justru dipersalahkan dan dikritik oleh masyarakat atau bahkan oleh si pelaku yang telah merugikan, menyakiti, maupun melukai sang korban? Pernahkah Anda mengalami atau melihat sendiri, korban yang justru dituding dan dituduh “maling teriak maling”, oleh sang pelaku yang jelas-jelas dan benar-benar menzolimi sang korban? Pernahkah Anda mengalami atau melihat dengan mata-kepala Anda, sang pelaku yang justru lebih galak daripada sang korban? Pernahkah Anda mengalami atau melihatnya, korban yang harus mengemis-ngemis pertanggung-jawaban sang pelaku yang merasa “tidak takut dosa” dengan sikap tidak bertanggung-jawab? Pernahkah Anda mengalami atau melihat realita, sang pelaku selama ini rajin beribadah dan tampil berbusana agamais, bahkan menjadi pemuka agama? Pernahkah Anda mengalami atau melihat kenyataan di lapangan, “IBLIS berbulu MALAIKAT”? Negeri ini, ironisnya, tidak pernah kekurangan “IBLIS berbulu MALAIKAT”.

Jangan Pernah Beli Apartemen, Ini Alasannya

Jangan Tergoda oleh Jargon Sudah Adanya PERHIMPUNAN PENGHUNI RUMAH SUSUN

Sudah Adanya PERHIMPUNAN PENGHUNI, Bukanlah Jaminan Rumah Susun / Apartemen Tersebut Bersifat Transparan dan Akuntabel Kepengurusan dan Pengelolaannya

Kajian Sosiolegal PERHIMPUNAN PENGHUNI RUMAH SUSUN, Sekadar Mendompleng Nama “PERHIMPUNAN”

Question: Saat akan beli properti, pilihannya keluarga kami pada muaranya ialah melirik (unit) apartemen, mengingat harganya cukup terjangkau disamping pihak agen properti yang memasarkannya menyatakan bahwa apartemen ini sudah ada perhimpunan penghuninya, sudah tidak lagi dikelola oleh developer yang semula membangun (gedung) apartemen ini. Minat kami beralih menjadi benar-benar tertarik dengan keterangan yang disampaikan oleh sang broker properti. Namun entah mengapa alam bawah sadar saya merasa adanya keganjilan. Iuran pemeliharaan lingkungan bulannya ternyata sangat tinggi, sementara itu jumlah unit apartemennya ada belasan bahkan puluhan lantai pada masing-masing menara (tower), artinya bisa mencapai ribuan penghuni, maka bukankan semestinya iuran bulanan tidak sampai setinggi itu, sekalipun gedung apartemen memang butuh perawatan rutin. Itu bertentangan dengan ilmu ekonomi, semakin banyak artinya semakin dapat ditekan faktor “cost”. Bagaimana pandangan hukumnya?

Ambigu Istilah SAKSI KORBAN dalam Persidangan Perkara Pidana di Indonesia

KORBAN apakah Saksi ataukah Sekadar Pelapor dalam Hukum Acara Pidana?

Kerancuan Kategorisasi Alat Bukti dalam Hukum Acara Pidana maupun Perdata di Indonesia

Dalam hukum acara perdata, keterangan pihak-pihak yang didudukkan sebagai Tergugat dalam Surat Gugatan yang disusun oleh pihak Penggugat, bukanlah dikategorikan sebagai alat bukti—yang terdiri dari pengakuan, surat, sumpah, persangkaan, maupun saksi—namun sekadar sebatas sebagai dalil-dalil dalam Surat Jawaban. Adapun perihal alat bukti “pengakuan” dalam hukum acara perdata, masih bersifat ambigu alias berstandar-ganda. Jawaban masing-masing pihak Tergugat maupun Turut Tergugat dalam Surat Jawaban yang menguntungkan posisi hukum pihak Tergugat, dipandang sebagai “dalil”. Sementara itu, jawaban pihak Tergugat yang merugikan kepentingan hukum pihak Tergugat itu sendiri, baik disengaja maupun tidak disengaja oleh pihak Tergugat, akan dikategorikan sebagai “pengakuan” dan itu menjadi alat bukti tertinggi derajat bobotnya yang dikenal dalam Hukum Acara Perdata kita di Indonesia.

Ambiguitas SURAT ELEKTRONIK, Disejajarkan sebagai Alat Bukti SURAT ataukah Diperlakukan sebagai Alat Bukti Elektronik?

Makna ALAT BUKTI Menurut Hukum Acara Pidana maupun Perdata

Kontraproduktif Alat Bukti Berupa Dokumen / Surat Elektronik, Diperlakukan secara Diskriminatif oleh Hakim di Pengadilan Perkara Perdata

Question: Apa makna atau maksud dari “alat bukti yang sah, bernilai, dan berharga di mata hukum” sehingga memiliki kekuatan hukum mengikat bagi pihak-pihak yang saling bersengketa di pengadilan maupun pihak ketiga?