Dokter Visum ataukah Hakim yang Menentukan Berat-Ringannya Luka Korban Tindak Pidana?

Laporan Visum yang Ideal, Tidak Mencantumkan Kriteria Berat-Ringannya Luka yang Diderita oleh Korban Pelapor

Disparitas Persepsi Kalangan Profesi Kedokteran Vs. Profesi Hukum

Banyak sekali pertanyaan dalam praktik, perihal berat-ringannya luka yang diderita oleh korban. Mulai dari isu hukum bahwa apakah kriteria “luka berat”, hanya berlaku untuk luka fisik? Bagaimana jika luka yang bersifat psikis, semisal trauma, membuat korban tidak lagi dapat beraktiivitas normal secara wajar seperti sedia kala seperti bekerja ataupun belajar secara hampir permanen (dunia psikiater mengenalnya dengan istilah “trauma berat” sehingga diresepkan obat penenang), apakah dapat dikategorikan sebagai “luka berat”? Namun dalam kesempatan ini penulis akan mengajak para pembaca mendalami isu hukum perihal kriteria berat-ringannya luka yang diderita korban dari segi fisik alias lahiriah. Luka fisik pun, terbagi menjadi dua golongan, yakni luka fisik bagian luar, dan luka fisik bagian dalam tubuh yang sukar diobservasi ataupun direkam potret secara kasat-mata (semisal pendarahan otak ataupun patah tulang). Untuk melakukan observasi adanya luka dalam, proses visum oleh dokter yang memiliki kewenangan melakukan visum, menjadi penting sifatnya.

Gugatan Perceraian Tidak Mengenal NEBIS IN IDEM, Sekalipun Alasan Menggugat Cerai-nya Sama

Ditolaknya Gugatan Cerai, Bukanlah Akhir dari Segalanya, GUGAT ULANG meski Memakai Alasan Gugat-Cerai yang Sama

Berdamai dengan Suami / Istri dalam Gugatan Cerai, Pilih Cabut Gugatan ataukah Buat Akta Perdamaian?

Question: Gugatan cerai yang saya ajukan ke pengadilan terhadap pasangan hidup rumah-tangga saya, kini sudah melewati tahap jawab-menjawab dari pihak tergugat yang hendak saya ceraikan. Ada kemungkinan kami akan kembali rujuk. Pertanyaannya, apa sebaiknya saya cabut gugatan cerai saya ini, atau kami buat saja Akta Damai, bila pasangan hidup saya tersebut bersepakat untuk saling ber-damai? Sebenarnya saya ingin kembali rujuk dengan beliau, namun jika gugatan saya cabut saat kini, saya takut tidak dapat kembali menggugat cerai ulang dikemudian hari bila yang bersangkutan kembali dengan kebiasaannya lamanya.

Apakah Ahli, menjadi Monopoli Kalangan Profesi Dosen?

AHLI Wajib Membawa Surat Tugas ke Persidangan? AHLI yang mana Dulu, Akademisi ataukah Praktisi?

Contoh ATURAN TIDAK TERTULIS yang Menjelma DURI DALAM DAGING

Question: Pengacara saya menuntut yang aneh-aneh saja. Setelah susah-payah mencari dan mendapatkan kesediaan seorang tokoh (praktisi profesional) yang tidak sedikit sewa tarif jasanya, bahkan butuh waktu pendekatan untuk membujuknya agar mau hadir di pengadilan sebagai Ahli, sehingga dapat didengar keterangannya agar menjadi terang-benderang sengketa hukum yang sedang saya hadapi, namun mendadak pengacara yang jadi kuasa hukum saya meminta agar Ahli tersebut memberikan “surat tugas”, dengan alasan sebagai persyaratan untuk bisa hadir di persidangan sebagai Ahli.

Apakah memang betul, ada aturan semacam itu? Ahli yang saya undang tersebut tidak memiliki gelar pendidikan formil, akan tetapi merupakan seorang expert yang telah diakui luas sebagai pakar dibidangnya, akan tetapi tidak merangkap sebagai dosen juga bukan seorang Aparatur Sipil Negara, sehingga mau meminta “surat tugas” dari mana, dari Tuhan? Bukankah itu sama artinya atau mereka mau berkata, yang bisa menjadi Ahli di persidangan, merupakan monopolisir kalangan profesi dosen maupun pejabat di pemerintahan?

Senantiasa Dihantui Ketidakpuasan dan Tidak akan Pernah dapat Terpuaskan, itulah Dukkha

Hidup adalah Dukkha, karena Tidak Pernah Ada Kepuasan Permanen

Semakin Besar Keserakahan, Semakin Besar Pula Ketidakpuasan. Lawan Kata dari Keserakahan ialah, Keterpuasan-Hati

Orang yang hebat, adalah mereka yang mampu mengendalikan indera, perbuatan maupun pikiran mereka sendiri, dengan berkata “cukup” (enough)—artinya, ia mampu melepas obsesi maupun dorongan keinginan dalam diri yang bersangkutan, mampu mengendalikan diri sendiri (self-control), memiliki “kepuasan hati”, serta berparadigma “yang ini sudah cukup lumayan”. Anda benar-benar yakin, apa yang selama ini Anda obsesikan, jika kelak Anda mampu meraihnya, Anda akan sungguh-sungguh terpuaskan, secara permanen? Faktanya, kecenderungan atau sifat alamiah seorang manusia ialah, kurang menghargai apa yang telah mereka miliki, tidak terkecuali terhadap apa yang kelak akan menjadi milik mereka (setelah mereka memerolehnya).

Klausula Baku Lembaga Keuangan, Ilegal bila Timpang Berlebihan dan Berat Sebelah

Peraturan OJK Tahun 2022 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan

Question : Sering sekali dijumpai klausul baku dalam dokumen yang harus ditandatangani nasabah suatu lembaga keuangan, seperti tercantum “syarat dan ketentuan dapat berubah sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan terlebih dahulu”. Jadi, pihak bank maupun lembaga keuangan non-bank bisa seenaknya membuat aturan main secara sepihak, dimana konsumen harus tunduk begitu saja tanpa daya tawar. Atau, semisal ada berbagai pernyataan sepihak dan yang aneh lainnya, yang pada pokoknya pihak lembaga keuangan “mau menang sendiri”. Nah, sebetulnya ada tidak sih, aturan main dari otoritas pemerintah atas praktik demikian?