Distingsi Kapan Murni WANPRESTASI, serta Kapan Naik Derajat Menjelma PERBUATAN MELAWAN HUKUM dalam Gugat-Menggugat Perdata

Semua Perjanjian Investasi Modal Usaha (Pasti) Diperjanjikan dan Menyepekati bahwa Peminjam Modal Investasi akan Mengembalikan dan Melunasi Pinjaman Modal Usahanya

Tidak Ada Investor Pemilik Modal Usaha yang Membuat Perjanjian bahwa Penerima Modal Investasinya akan MENGGELAPKAN Modal Pinjamannya

Menggelapkan artinya Menyimpang dari Itikad Baik serta juga Menyimpangi Perjanjian dengan Itikad Buruk = PERBUATAN MELAWAN HUKUM

Question: Apakah suatu hubungan hukum keperdataan kontraktual, yang maksudnya bermula dari suatu perikatan perdata berupa perjanjian kerjasama, bisnis, jual-beli, investasi, atau apapun itu, dapat bermuara pada gugatan “perbuatan melawan hukum” (PMH) tidak lagi murni sebagai “wanprestasi”, ketika salah satu pihak yang bersepakat dalam perjanjian tersebut memiliki itikad tidak baik terhadap pihak lainnya dalam perjanjian demikian? Apa betul, ada teori ataupun pandangan akademisi dibidang hukum, yang mengatakan bahwa suatu “perbuatan melawan hukum” terjadi tanpa adanya kesepakatan ataupun perjanjian antara kedua belah pihak yang saling bersengketa ini?

The Guardian of Constitution Bukanlah Mahkamah Konstitusi RI, namun Rakyat Pemilih Kita Itu Sendiri

Jangan Bersikap seolah-olah Tidak Ada Anggota Masyarakat Kita yang Lebih Layak Dicalonkan dan menjadi Calon Anggota Legislatif maupun Kepala Daerah

Hanya Bangsa Korup yang Memilih Koruptor (Pendosa) sebagai Pemimpin Terpilih

Bahaya dan Resiko Memilih Koruptor (Pendosa) sebagai Pemimpin

Pemerintah maupun pembentuk peraturan perundang-undangan telah beritikad baik dengan mempersulit mantan narapidana tindak pidana korupsi (Tipikor) untuk mencalonkan dirinya paska / selepas menjalani hukuman pidana penjara (dengan dipotong masa hukuman dengan “bebas bersyarat” plus obral remisi, tentunya) dalam pemilihan umum (Pemilu) Kepala Daerah maupun Anggota Legisllatif baik daerah kabupaten, kota, provisi, maupun pusat. Namun Mahkamah Agung RI telah menerbitkan putusan terhadap gugatan uji materiil terkait calon Kepala Daerah eks-napi tindak pidana korupsi, dengan membolehkan sang koruptor (sekali melakukan Tipikor, maka selamanya ialah “koruptor”, bukan “eks-koruptor”, seorang pelaku extra-ordinary crime. Sama seperti Adolf Hitler, disebut sebagai diktator yang otoriter, alih-alih menyandang gelar sebagai “ex”) untuk kembali mengikuti Pemilu dan terpilih untuk menjabat sebagai Kepala Daerah, dimana untuk kali berikutnya kembali tertangkap karena aksi korupsi maupun kolusi yang sama untuk kedua kalinya—dan benar-benar pernah terjadi lebih dari satu kali peristiwa di republik bernama Indonesia ini, dimana masyarakat kita tampaknya tidak pernah mau belajar dari pengalaman dan belum benar-benar siap untuk sistem “demokrasi penuh”, mengingat masyarakat kita belum benar-benar dewasa dan “cerdas” secara politik.

Ambiguitas Makna HARTA BERSAMA alias HARTA GONO-GINI, Bersifat Separuh ataukah Renteng?

HARTA BERSAMA = KEWAJIBAN BERSAMA. Hutang Suami merupakan / menjadi Hutang Istri Juga

Perkawinan Putus karena Perceraian, KEWAJIBAN BERSAMA Tetap Mengikat Kedua Mantan Pasangan Suami Istri Atas Hutang yang Terbit Saat Perkawinan Berlangsung

Question: Sebenarnya yang disebut dengan “harta bersama” atau yang juga kita kenal dengan istilah “harta gono-gini”, itu sifatnya renteng ataukah separuh-separuh antara si suami dan si istri? Jika semisal kami atau salah satu dari kami digugat orang lain, kewajiban masing-masing suami-istri ini bagaimana perhitungannya menurut hukum di Indonesia?

Membayar dan Mencicil, Dihitung sebagai Pembayaran Pokok Hutang ataukah Bunga?

Aspek Hukum Pembayaran Separuh Hutang alias Membayar Cicilan Hutang, Mengurangi Pokok Hutang ataukah untuk Menutup Tagihan Bunga Hutang?

Question: Ketika debitor melakukan pembayaran berupa cicilan atas tunggakan hutangnya, disebut sebagai cicilan hutang karena bukan berupa pelunasan terhadap seluruh hutangnya secara seketika dan sekaligus, maka pembayarannya tersebut secara hukum adalah diperhitungkan untuk mengurangi komponen “pokok hutang” ataukah untuk membayar “bunga dari hutang”? Apa boleh juga, bila debitor mencoba mendesak kreditornya untuk menerima aset tanah miliknya alias tukar-guling aset tanah dengan sisa tunggakan hutangnya yang berupa uang?

RESIKO PROFESI Penjahat, Dibunuh dan Terbunuh oleh Korban yang Melawan atau Membela Diri

Serba Salah Posisi Korban saat Mengalami Kejahatan atau Berhadapan dengan Penjahat

Penjahat Dilukai dan Dibunuh oleh Korban yang Melawan, YOU ASKED FOR IT!

Resiko menjadi Orang Baik-Baik, Dijadikan Korban Kejahatan bahkan Dikriminalisasi ketika Membela Diri, Pilihan yang Serba Sulit dan Serba Salah

Pelaku usaha yang mengeluh letih atas usahanya kepada konsumen, merupakan pelaku usaha yang tidak profesional. Mengapa pengusaha semacam demikian, disebut sebagai pelaku usaha yang tidak profesional? Karena ia tidak mau menyadari, bahwasannya konsumennya pun selama ini harus “banting tulang” mencari nafkah agar dapat membayar produk / jasa yang dibeli olehnya dari sang pelaku usaha, juga menghadapi segala kesukaran dan kerepotan disamping resiko usahanya sendiri masing-masing. Alasan kedua, sang pelaku usaha bersikap kekanakan, seolah-olah hanya diri ia seorang yang selama ini merasakan letihnya sebuah pekerjaan.

Makna TRANSPARANSI Vs. AKUNTABILITAS Lembaga Peradilan

Putusan Hakim yang Tidak Lolos UJI MORIL, Putusan yang Tidak Akuntabel

Transparan namun Minus Akuntabilitas, PHP (Pemberi Harapan Palsu)

Apakah menurut hemat para pembaca, integritas lembaga peradilan ditentukan oleh transparansi produk peradilan berupa putusan hakim baik itu perkara pidana maupun perkara perdata? Tidak, bukan itu jawabannya. Selama ini, Lembaga Yudikatif berupa Mahkamah Agung RI maupun jajaran peradilan dibawahnya ataupun Mahkamah Konstitusi RI, telah mempublikasikan seluruh putusan pengadilan, baik yang diapresiasi publik maupun putusan-putusan yang kontroversial dan mengundang cibiran masyarakat luas. Namun, seganjil dan se-absurd apapun putusan-putusan yang sekalipun jelas-jelas mengandung “moral hazard” serta tidak sejalan dengan kampanye “patuh hukum” ataupun semangat penegakan pemberatasan korupsi, kritik demi kritik mengalir ke lembaga peradilan di bawah atap kedua Mahkamah tersebut, tetap saja mereka yang selama ini hidup di atas menara gading sehingga “berjarak dari masyarakat konstituennya”, bergeming sembari balik mencibir sinis:

SO WHAT?! Tetap saja setiap tahunnya berbagai gugatan membanjiri institusi kami untuk diputus oleh hakim-hakim kami. Ini, masih banyak putusan ‘aneh bin ajaib’ lainnya, dan akan menyusul putusan-putusan ‘aneh bin ajaib’ lainnya akan kami publikasikan, ERGA OMNES! Para rakyat ‘menggonggong’, para hakim berlalu acuh tak acuh, business as usual.

LAW IN CONCRETO Syarat Pailit & PKPU “Made in Pengadilan Niaga”

Syarat Minimum Pembuktian Adanya Kreditor Lain dalam Memohon Kepailitan / PKPU

Dikehendaki oleh Minimum Dua Kreditor, dan Kedua Tagihannya telah Jatuh Tempo serta Tidak Tertagihkan

Question: Apakah benar bahwa kini informasi keberadaan atau adanya “kreditor lain” sebagaimana dalam print-out SLIK (Sistem Layanan Informasi Keuangan) tidak lagi laku ataupun berharga di mata hakim Pengadilan Niaga ketika seorang kreditor hendak memohon pailit ataupun PKPU (Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang) terhadap debitor yang berdasarkan NIK (Nomor Induk Kependudukan) data informasi hutangnya tercantum dalam SLIK tersebut? Bukankah SLIK merupakan bukti otentik dari Otoritas Jasa Keuangan?