Kendalikan Pandemik Wabah dengan Menerapkan Protokol KETAKUTAN, TAKUT DOSA BILA TERTULAR & MENULARI ORANG LAIN

ARTIKEL HUKUM

Ketika Imbauan Protokol Kesehatan sudah Tidak Lagi Efektif Menggetarkan Hati Rakyat yang Sekeras Batu, Kesombongan atas Kesehatannya yang Merasa Kebal Wabah sehingga Menyepelekan dan Meremehkan Kesehatan / Keselamatan Orang Lain

Kebal Wabah Belum Tentu KEBAL DOSA, Jangan Menantang Wabah jika Tidak Ingin Menantang DOSA

Ditengah kian merebak dan meluasnya pandemik global dan domestik akibat wabah virus menular antar manusia, ada saja sebagian diantara masyarakat kita yang secara meremehkan telah menyepelekan ancaman wabah, dengan sindiran penuh sinisme kurang simpatik terhadap para korban maupun para calon korban wabah, sebagai “protokol KETAKUTAN”—yakni ketakutan harus jaga jarak, hindari kerumunan, mencuci tangan, mengenakan masker penutup hidung dan mulut (jika perlu “face shield”). Realita di tengah masyarakat kita, “protokol kesehatan” kian dilecehkan.

Indonesia dari Dulu sudah Hidup Berdampingan dengan Wabah Virus Corona, TIDAK PERNAH LOCKDOWN, ANTI LOCKDOWN

ARTIKEL HUKUM

Pemerintah Indonesia Memaksa Rakyatnya Hidup Berdampingan dengan Mesin Pembunuh bernama WABAH Menular Mematikan antar Manusia, cara Berdamai yang Dipaksakan

Kebijakan YANG PENTING BUKAN LOCKDOWN, Satu Orang Warga Meninggal karena Wabah, adalah Tragedi. Satu Juta Warga Tewas akibat Tertular Pandemik, adalah STATISTIK

Tidak ada orang yang cukup waras untuk bersedia hidup berdampingan dengan mesin pembunuh berantai yang tidak kenal kompromi semacam wabah menular mematikan antar manusia, terlebih pemimpin negara yang masih cukup perduli atas keselamatan rakyatnya. Kita tidak pernah tahu, kapan sang virus penyebab pandemik akan bermutasi menjadi monster yang lebih mematikan dan lebih ganas disamping lebih menular dikemudian hari bila peperangan melawan wabah dibiarkan berlarut-larut tanpa “sepenuh hati”, namun senantiasa “separuh hati” akibat embel-embel tedeng aling-aling “ekonomi rakyat” terancam kolaps.

Aksi Pembodohan Massal oleh Negara, Rakyat Dididik, Dipandang, dan Diperlakukan seperti Keledai Bodoh

ARTIKEL HUKUM

Alih-alih Mengemban Amanat Konstitusi untuk Mencerdaskan Bangsa, Negara Indonesia lewat Pemerintah yang Berkuasa justru Membodohi Rakyatnya Sendiri Dikala Situasi Bangsa dalam Kondisi Urgen akibat Pandemik Wabah Menular antar Manusia

Negarawan Dadakan, Negeri Lelucon, Rakyat Dijadikan Kelinci Percobaan. Negeri ini Terlampau Besar untuk Dicoba-Coba Pemimpin yang Kerdil dan Hanya Buang-Buang Waktu untuk Ucapan Seremonial

Mungkin, satu-satunya penduduk di Indonesia yang merasa sedikit atau banyaknya merasa masih bisa bersyukur ditengah-tengah kondisi pandemik akibat wabah virus menular antar manusia yang sedang melanda dunia tidak terkecuali di Indonesia, disamping para produsen, pedagang besar, dan pengecer alat pelindung diri, obat, suplemen, dan produk-produk kesehatan, serta para raksasa korporasi pemilik marketplace, ialah sang Menteri Pertanahan, Prabowo Subianto. Bagaikan cuaca mendung dan berhujan, menguntungkan para pedagang payung, sekalipun merugikan para pegadang produk-produk es-krim.

4 Karakter Ragam Wajah Pembentukan dan Penerapan Hukum, bagaimanakah Pola dan Watak Hukum di Indonesia?

ARTIKEL HUKUM

Norma Hukum (Seharusnya) Bersifat Tegas, alih-alih Permisif

Hukum Negara yang Ideal, Efektif serta Efisien, Hukum yang Tepat Guna dan Implementatif

Faktor apakah, yang membuat hukum di Indonesia seakan buruk reputasi serta efektivitasnya dalam hal penegakan hukum maupun penindakannya, baik terhadap rakyat sipil maupun terhadap para penyelenggara negara? Terpuruk, itulah status yang dilekatkan pada norma hukum yang ada di republik ini oleh masyarakat kita. Terlebih dikala keadaan atau situasi darurat seperti pandemik akibat infiltrasi gempuran wabah yang diakibatkan virus menular antar manusia, dimana penindakan yang separuh hati atau yang tidak tegas, dapat dipastikan akan tidak berfaedah, bahkan kontraproduktif.

Debitor KPR, Berhak Meminta Diperlihatkan Asli Sertifikat Tanah dan Rumah yang Dibeli olehnya

LEGAL OPINION

Lembaga Keuangan yang Menutup-nutupi Informasi dan Tidak Transparan terhadap Debitornya terkait Sertifikat Tanah Objek Kredit Pemilikan Rumah, adalah Perbuatan Melawan Hukum, Bukan Wanprestasi Menyerahkan Sertifikat Tanah saat Pelunasan KPR

Debitor yang Lugu dan Bodoh, akan cenderung Dieksploitasi dan Diperdaya oleh Perbankan yang Tidak Transparan perihal Dokumen Sertifikat Hak Atas Tanah Objek Fasilitas KPR

Question: Setelah membeli rumah lewat fasilitas KPR (Kredit Pembelian / Pemilikan Rumah) pada salah satu bank di Indonesia, dan setelah beberapa bulan cicilan kredit berjalan, pihak bank selalu berkelit setiap kali saya selaku pembeli sekaligus sebagai nasabah debitor hendak meminta agar diperlihatkan sertifikat asli tanah dari rumah yang saya beli, untuk melihat apakah betul sudah dibalik-namakan ke atas nama saya selaku pembeli atau belum, serta untuk setidaknya meminta salinan dari sertifikat tanah milik saya tersebut yang telah saya beli. Wajar saya saya meminta untuk melihat asli sertifikat dan meminta salinannya, karena saya adalah pembeli sekaligus menjadi pemilik barunya. Ini ada apa sebetulnya, apakah permainan perbankan di Indonesia memang seperti itu, dan langkah hukum apa yang sebaiknya saya ambil?

Perbedaan antara COMMON SENSE dan COMMON PRACTICE

ARTIKEL HUKUM

KENYATAAN Vs. AKAL SEHAT, Akal Sehat Milik Orang Sehat Vs. Akal Sakit Milik Orang Sakit

Seorang Manusia yang Rasional Hidup ditengah Bangsa yang Irasional, seolah menjadi Minoritas dan seakan Melawan Arus akibat Menjaga Akal Sehat

Disebut sebagai mayoritas yang kerap dipersinggungkan dengan apa yang disebut minoritas, adalah terlampau dangkal bila konteksnya ialah perihal keyakinan, suku, ras, ataupun warna kulit dan gender. Alangkah lebih produktif bila kita menjadikan isu perihal “akal sehat” sebagai sentral diskusi perihal Mayoritas Vs. Minoritas, seperti apakah penduduk dunia dan di bangsa kita sendiri, orang-orang ber-akal sehat menjadi kaum mayoritas ataukah justru sebaliknya, merupakan para minoritas yang bisa jadi bergerak melawan arus “mainstream”? Di tengah zaman “edan”, menjadi “eling” artinya harus siap mendapati diri melawan arus zaman yang begitu derasnya menentang kita.

Resiko Hukum Membeli Tanah Girik, Bisa Untung namun Berpotensi Pula Buntung

LEGAL OPINION

Beli Tanah Girik, serupa Beli Kucing dalam Karung, Spekulasi Penuh Resiko Tanpa Kepastian Hukum

Question: Ada yang menawarkan tanah girik kepada keluarga kami. Si penjual membawa kelengkapan dokumen yang cukup meyakinkan, seperti adanya surat keterangan riwayat tanah dan surat ukur dari pihak kepala desa sebagai alat bukti kepemilikan mereka. Memangnya ada resiko, bila tetap kami beli, secara hukum, sekalipun sudah ada surat keterangan dari kepala desa?

Is it That Hard, to be an Adult? Sesukar Itukah, menjadi seorang Manusia Dewasa?

HERY SHIETRA, Is it That Hard, to be an Adult? Sesukar Itukah, menjadi seorang Manusia Dewasa?

 Is it that hard,

To be able to live prosperously without deceiving others?

When you think, deceptive activities as the only path to achieve prosperity of life,

That means you are indeed a stupid person.

Orang Indonesia Tidak Takut Berbuat dosa, Seram dan Mengerikan, sebuah Cerminan Kultur Arogansi

ARTIKEL HUKUM

Narsistik Cerminan Sifat Egoistik

Narsis + Egois + Arogan + Tidak Malu dan Tidak Takut Berbuat Dosa (Menyakiti, Melukai, atau Merugikan Korban) = T-Rex (“Manusia Dinosaurus”, Bertumbuh Manusia namun Berotak Kadal-Limbik)

Sungguh bukanlah sebuah tantangan ringan hidup sebagai bagian dari anggota masyarakat di Indonesia yang dikenal “agamais” namun kerap menyepelekan dan meremehkan hak-hak orang lain atas kesehatan dan keselamatan hidupnya, tanpa rasa bersalah merampas hak-hak warga lain atas ketenangan dan ketenteraman hidup maupun properti miliknya, lebih galak yang bersalah ketika ditegur (ya sudah, biarkan saja pelakunya kian dalam menggali lubang kuburnya sendiri, orang dungu yang bangga menimbun karma Buruk), membalas air susu dan budi baik dengan air tuba, kerap menyelesaikan segala sesuatu serta memaksakan kehendak dengan cara-cara kekerasan fisik, anti kritik, miskin kejujuran terlebih intergritas, sukar diberi kepercayaan, suka ingkar janji, tidak bertanggung-jawab, dimana ketika negeri ini dilanda pandemik akibat wabah menular mematikan, kondisi warga yang patuh terhadap hukum maupun patuh terhadap “protokol kesehatan (cegah dan atasi wabah)” jauh lebih memprihatinkan akibat kian kontrasnya keegosian (sifat egois) mayoritas wajah penduduk di Indonesia.

Kebodohan Seyogianya Bukan untuk Dipertontonkan secara Vulgar serta Bukanlah Tontotan yang Cerdas

ARTIKEL HUKUM

Beriman, namun Justru Memfitnah Tuhan yang Disembah oleh Mereka Sendiri sebagai Kambing Hitam yang Bertanggung Jawab atas Segala Suka Duka Umat Manusia

Bila Aurat Ditutupi Rapat-Rapat, Lantas mengapa Kebodohan Berpikir dan Bertutur-Kata justru Diumbar dan Dipertontonkan Tanpa Malu?

Pada suatu hari Jum’at tengah hari, dari suatu tempat ibadah yang mengumandangkan ceramah seorang pemuka agama lewat pengeras suara yang bahkan masuk menyeruak hingga ke dalam toilet kediaman rumah penulis, sehingga lebih banyak yang “masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri”, bahkan ayat-ayat kitab agamanya diumbar bak selebaran iklan yang diobral sehingga bertebaran di jalan sehingga hanya berakhir masuk mengisi “tong sampah” ibarat sampah-sampah daun berguguran yang berserakan kesana dan kemari tanpa nilai dan tanpa harga, sang pengkhotbah menceritakan sebuah kisah sebagai berikut untuk “mengispirasi” dan “mencerahkan” para umat pemirsanya yang dapat penulis bayangkan hanya “manggut-manggut” bagai tidak memiliki otak pemberian sekaligus sebagai anugerah terbesar dari Tuhan untuk berpikir dan mengkritisi “kebenaran”—otak mana telah digadaikan demi iman yang “membuta” serta “tebal”.