SENI PIKIR & TULIS
Swasembada bukan Jaminan Tiada Kartel yang Menguasai
Pasar dan Mendikte Rakyat. Pemerintah seolah Tidak Berdaya di Hadapan Swasta
Korporasi
Akuntabilitas dan Transparansi Berbisnis Tidak Pernah
Menyengsarakan Rakyat Sekalipun Belum Swasembada
Dahulu kala, disebutkan (mitos yang selalu didengung-dengungkan dan diagung-agungkankan oleh pemerintah lewat propagandanya yang penuh narasi yang “naif”), bahwa nasib kedaulatan dan ketahanan sebuah negara ditentukan oleh telah swasembada atau belumnya bangsa tersebut, baik dari segi pangan, alutsista (alat utama sistem persenjataan), ekonomi, manufaktur, bahan baku, teknologi, mata uang, dan lain sebagainya. Lagu klasik tersebut terlihat amat jelas sebagai utopis, terbukti saat kini negeri kita telah swasembada dari berbagai aspek bidang dan usaha, namun tetap saja rakyat kita seolah masih “terjajah” baik dari segi pangan, ekonomi, papan, hingga budaya.
Negeri dengan corak berpikir
liberal cenderung mengandalkan pasar bebas untuk hidup dan beraktivitas roda
ekonomi warga maupun pemerintahannya, sementara itu negara-negara yang
cenderung menutup diri seperti negeri dengan ideologi komun!stik menganggap
swasembada sebagai pilar ekonomi kerakyatan dan pemerintahan. Apapun itu,
keduanya merupakan dua kutub ekstrem yang tidak bersifat moderat, karenanya
cenderung spekulatif. Ada pula negara dengan corak “standar ganda”, salah
satunya ialah RRC (Republik Rakyat China) dimana pada satu sisi menerapkan
sistem ekonomi sos!alisme terhadap rakyatnya sendiri namun pada sisi lain kebijakan
ekonomi luar negerinya sangat amat liberal, ataupun seperti Singapura yang
terkesan ketat dan penuh pengawasan terhadap sistem keuangan domestik dan
penegakan hukumnya yang tegas namun disaat bersamaan amat sangat toleran dan
kompromistik terhadap dana-dana “kotor” yang masuk ke negeri mereka dimana
bahkan menerapkan kebijakan non-repatriasi.
Tengok saja betapa kini
republik kita yang semula dikenal sebagai paru-paru dunia karena menjadi
penghasil oksigen dan penghisap emisi karbon global, hutan dan rawa telah
berubah dalam hitungan tahun menjelma kebun sawit yang tersebar merata di
berbagai pulau besar di Nusantara, dimana para petani pun telah “banting setir”
menjadi pemilik kebun ataupun buruh petik tandan buah segar sawit yang menjadi
sumber bahan baku “CPO” (crude palm oil,
minyak sawit mentah, yang terkadang ‘diplesetkan’ menjadi crule palm oil sebab ditengarai merusak ekosistem akibat
deforestasi hutan dan bakau), namun meski negeri kita surplus produksi sawit
segar, sempat terjadi pada awal tahun saat ulasan ini disusun, kelangkaan
minyak goreng, kelangkaan mana terjadi secara merata dan memiliki dampak
psikologis kerakyatan, dimana bahkan pemerintah selaku regulator yang bermaksud
baik hendak menetapkan “HET” (harga eceran tertinggi) minyak goreng, tidak
berdaya di tangan para bandar dan tengkulak maupun produsen yang selalu
berorientasi profit mengingat harga pasaran minyak sawit di dunia internasional
selalu terdongkrak jauh lebih tinggi ketimbang harga pasar lokal domestik dalam
negeri.
Bagi para pengusaha yang
berorientasi profit tersebut, “potential
loss” merupakan “kerugian”. Sekalipun secara “break event point” harga CPO adalah sekian sebagai harga balik
modalnya, namun bila harga CPO pada pasar ekonomi global ialah dua kali lipat
dari itu sebagai harga yang diperdagangkan pada bursa komoditas global, maka
ketika pemerintah menetapkan HET sedikit di atas harga modal para produsen,
karenanya bagi para produsen tersebut kebijakan pemerintah dalam penetapan HET dicatat
dalam pembukuan keuangan mereka sebagai sebentuk “kerugian usaha”.
Menyerahkan harga jual kepada
mekanisme pasar, sama artinya pemerintah menyerah dan memberikan karpet merah
kepada para produsen sawit untuk menjual produknya secara berjemaah (secara
psikologis, sekalipun tanpa membuat persekongkolan antar produsen, para
produsen akan cenderung menetapkan harga jual mendekati atau setidaknya selisih
tipis dari harga pasar global, mengingat CPO telah menjelma komoditas yang
diperjual-belikan di tingkat global) dengan harga yang tinggi agar tidak “merugi”.
Ketika pemerintah selaku otoritas dan regulator menyerah dan tunduk pada
pragmatisme, maka bagaimana rakyat yang lemah dan jelata menghadapi diktatoriat
para produsen CPO?
Pemerintah pun menuding, ada “mafia
minyak goreng” yang bermain dan memancing di air keruh dibaliknya. Memang, di
negeri ini seolah diberi ruang untuk tumbuh subur para mafia, mulai dari mafia
tanah, mafia karantina bagi pengunjung dari luar negeri dikala wabah pandemik,
mafia pupuk bersubsidi, mafia bawang merah, mafia beras, dimana-mana mafia
bercokol dan menguasai sendi kehidupan masyarakat, namun kita tidak boleh
melupakan bahwa kejahatan ada bukan hanya karena adanya niat, namun juga adanya
kesempatan—kesempatan mana tentunya dibuka lebar atau dibiarkan oleh minimnya
aturan hukum maupun tataran penegakannya. Lihatlah betapa para preman selama
ini berkeliaran di negeri ini, dan menjadi penguasa jalanan secara de facto, bak dipelihara oleh negara. Negara
seolah tidak pernah benar-benar hadir di tengah masyarakat, karenanya mafia masuk
dan bermain semata karena ada ruang bermain bagi mereka yang dibiarkan tidak
terkendali.
Pemerintah pun telah menerapkan
kebijakan “affirmative action” berupa
kewajiban bagi para produsen minyak sawit untuk mengalokasikan sekian puluh
persen dari kapasitas produksi minyak sawit mereka untuk dipasarkan dan
diedarkan di pasar lokal dalam negeri, agar tidak terjadi kelangkaan yang
berujung wacana tidak berkesudahan yang menguras energi disamping terkendalinya
harga bahan-bahan kebutuhan pokok—mengingat minyak goreng merupakan salah satu
faktor esensial yang bila terjadi kenaikan harga minyak goreng maka akan
berdampak pada peningkatan inflasi disamping terdongkraknya berbagai bahan
kebutuhan pokok lainnya. itulah sebabnya, minyak sawit kerap disebut sebagai
“minyak kuning”, bersanding dengan daya tawar minyak bumi (si “minyak hitam”)
yang juga menjadi isu strategis suatu negara.
Sejatinya, ketika kita telah
secara politis menerapkan pola ekonomi berbasis “pasar bebas”—diakui maupun
tidak diakuinya oleh pemerintah incumbent
di Indonesia—maka polemik mengenai swasembada tidak lagi relevan adanya,
mengingat perdagangan menjadi lintas batas (borderless),
dimana bursa komoditi diperdagangkan dalam tingkat kawasan dan tingkat global,
bukan lagi domestik lokal semata. Naiknya suatu komoditas di suatu negara lain,
dapat turut berdampak ke pasar lokal di Indonesia, yang mana sebagai contoh
fenomenalnya ialah isu kenaikan harga kedelai yang selalu dikeluhkan para
produsen tahu dan tempe di Tanah Air dari tahun ke tahun, sekalipun dari segi
keanekaragaman hayati dan kesuburan tanah kita telah swasembada sejak era kerajaan-kerajaan
di Bumi Pertiwi.
Mengingat perdagangan telah
berlangsung dalam tingkat global tanpa lagi sekat negara menjadi hambatan,
tidak mengherankna bila Indonesia yang dikategorikan sebagai negara produsen
CPO nomor satu terbesar di dunia, pasar lokalnya seolah-olah sama sekali
memperlihatkan gejala swasembada minyak goreng. Swasembada produsen tidak sejalan
terhadap tingkat ketahanan rakyat di tingkat pasar. Anomali demikian, (justru)
adalah lumrah adanya di mata para pelaku ekonomi “pasar bebas” (istilah
diplomatisnya, “pasar regional dan global” sebagai antinomi “pasar lokal dan
domestik”), dimana swasembada produksi tidak berbanding lurus secara relevan
terhadap swasembada pasarnya, dimana juga yang menikmatinya justru ialah segelintir
korporasi-produsen serta negara pengimpor sebagai “end users”-nya. Kini, pemerintah menyerah dan “angkat tangan”,
dengan dihapusnya “HET” untuk harga minyak goreng kemasan, dan membiarkannya
di-“goreng” memasuki mekanisme harga pasar tanpa lagi intervensi pemerintah
yang notebene menjadi ciri khas gaya berekonomi “liberal!sme”.
Begitu pula terhadap swasembada
produksi kendaraan bermotor roda dua maupun roda empat. Sebagaimana kita
ketahui, produsen kendaraan asal Jepang mendirikan pabriknya di Indonesia, yang
kini tercatat sebagai negara produsen yang mengekspor kendaraan-kendaraan
produksinya di Indonesia ke negara-negara kawasan dan global. Namun, apakah itu
berbanding lurus dengan kian kompetitifnya harga jual kendaraan bermotor
tersebut di pasar domistik dalam negeri kita? Fakta telah menunjukkan
sebaliknya, dimana beberapa tahun lampau Komisi Pengawas Persaingan Usaha
(KPPU) telah pernah menghukum Honda dan Yahama karena melakukan praktik kartel
harga terhadap harga jual motor “skutik” di pasaran Indonesia yang dikenal baik
memiliki watak “konsumen yang irasional” di mata para produsen asal Jepang
tersebut. Kita pun telah pernah mendengar isu-isu seputar kartel harga tiket
pesawat, sekalipun Indonesia memiliki maskapai penerbangan sendiri dibawah
bendera BUMN (Badan Usaha Milik Negara).
Negeri kita pun telah
swasembada dalam industri ayam ternak dari hulu hinggi hilir, yang (hanya saja)
dikuasai oleh segelintir korporasi swasta. Namun juga, KPPU tercatat telah
pernah menghukum para produsen ayam ternak, karena melakukan praktik kartel
harga dengan menekan tingkat produksi ayam ternak potong dengan cara
memusnahkan anak-anak ayam sehingga terjadi kelangkaan ayam potong di pasaran,
terjadi kepanikan masyarakat selaku konsumen di pasar, mengkibatkan harga
terdongkrak tinggi, yang mana kesemua itu ternyata sebelumnya telah mampu
dikalkulasi dan diprediksi oleh para produsen ayam ternak yang saling
bersekongkol untuk memainkan dan “meng-goreng” harga ayam potong di tingkat
pasar—kenaikan harga ayam potong yang “by
design” oleh para produsen ayam potong.
Itu baru komoditas minyak
goreng, ayam, dan komoditas sejenisnya, belum lagi kita berbicara perihal mafia
yang menguasai jaringan pupuk bersubsidi, maupun praktik kartel harga
komoditas-komoditas lainnya (tidak tertutup kemungkinan, dimana bisa jadi produsen
semen, produsen air minum kemasan, tarif jalan tol, maupun bahan-bahan kebutuhan
pokok lainnya selama ini pun diwarnai praktik kartel harga / tarif). Kita tidak
berbicara praktik oligopoli maupun monopoli usaha, namun kartel harga yang mana
terjadi persekongkolan para produsen. Ketika memang telah terdapat swasembada,
namun dikuasai oleh segelintir maupun beragam produsen yang tergabung dalam
suatu asosiasi, maka itu pun berpotensi jatuh dalam kondisi yang bertendensi kartelisasi
harga, alias persaingan usaha yang tidak sehat—persaingan usaha yang “semu”,
mengingat antara persaingan dan persekongkolan tidak dapat berjalan beriringan.
Kejadian sederhana namun nyata di
keseharian berikut, memberikan penulis pemahaman secara lebih mendalam,
bahwasannya praktik kartelisasi harga terjadi hingga pada tataran pedagan
tradisional di “akar rumput” bernama pasar tradisional sekalipun. Terdapat seorang
pedagang bawang merah di pasar tradisional dekat kediaman penulis, yang pasokan
bawang merah dagangannya diperoleh dengan mengambil langsung ke petani di
daerah, sehingga mampu menekan harga jual di tingkat konsumen. Namun, jika
penulis hendak membeli dari pedagang yang bersangkutan, penulis dan sang
pedagang harus secara sembunyi-sembunyi bertransaksi di luar lingkungan pasar,
mengingat adanya tekanan politis-sosiologis dari para pedagang bawang merah
lainnya di pasar ini. Rasanya sudah seperti transaksi jual-beli barang gelap
ilegal, meskipun yang penulis beli dan yang dijual olehnya ialah komoditas
bawang merah yang legal.
Pengalaman sederhana di
keseharian demikian, sejatinya membuka mata kita, bahwa praktik kartelisasi
sangat dekat dengan kehidupan kita sehari-hari. Kompetisi tidak terbentuk,
sekalipun pilihan pedagang yang menjualnya beragam untuk kita kunjungi dan
beli. Semisal, antar pelaku usaha rumah makan bakmie, bisa saja saling
bersekongkol menentukan harga jual terendah bakmie per porsinya, sehingga masyarakat
di komunitas pemukiman tersebut tidak dapat menemukan rumah makan bakmie yang
lebih rendah harganya. Ketidakwajaran demikian penulis jumpai sendiri dalam
realita keseharian di lingkungan pemukiman penulis, mengingat antar pedagang
seolah telah membuat kesepakatan harga terendah, meski secara kalkulasi bahan
baku bakmie yang mereka gunakan tidaklah mencapai separuh harga jualnya, dan
antar pedagang tersebut menerapkan harga jual yang hanya terpaut selisih sedikit.
Praktik kartelisasi harga di tingkat
produsen, di tingkat distributor, di tingkat pedagang pesar, hingga di tingkat
pedagang pengecer maupun reseller,
kental mewarnai setiap aspek sendi kehidupan masyarakat. Di tengah kesemua itu,
tetap ada segelintir kecil pedagang yang masih berhati nurani, berniaga secara
etis sesuai etika bisnis, dan memiliki jiwa sosial dengan tidak menerapkan
harga jual yang kelewat tinggi, sehingga seluruh lapisan masyarakat dapat
menjangkau harga barang-barang kebutuhan pokok yang dijual olehnya, dengan
tidak ikut masuk ke dalam lingkaran praktik kartel antar komunitas pedagang
setempat.
Itulah ladang menanam
kebajikan, dimana kita bekerja dan berdagang mencari nafkah, namun disaat
bersamaan menanam benih-benih Karma Baik, dimulai dengan tidak menjadikan masyarakat
selaku konsumen kita sebagai “sapi perahan”, saling menghargai, saling
menghormati, serta saling menghidupi satu sama lainnya secara bertimbal-balik
(resiprositas / resiprokal), sebuah prinsip “simbiosis mutualisme”. Pedagang-pedagang
yang “melawan arus mainstream” itulah
yang perlu kita jaga dan lestarikan, agar tidak semakin langka adanya serta
agar tidak punah.
Kita pun, selaku konsumen,
hendaknya tidak menekan pedagang yang telah berjiwa sosial demikian dengan tuntutan
ataupun permintaan yang berlebihan, mengingat mereka selama ini telah menekan
margin keuntungan dengan menetapkan harga jual yang terjangkau sejatinya sudah
sangat tergolong berjiwa sosial. Kita justru perlu memberikan sesuatu pemberian
bagi mereka sebagai penghargaan, bukan justru meminta secara berlebihan dan
mematikan sang pelaku usaha yang masih menerapkan etika berbisnis.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR
dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi
Hery Shietra selaku Penulis.