(DROP DOWN MENU)

Manusia Dilahirkan Berpasang-Pasangan, Kata Siapa? Manusia selalu Berkata, Tuhan hanya Ada Satu, artinya Tuhan Men-JOMBLO

SENI PIKIR & TULIS

Apakah Hidup Selibat dan Membujang, adalah Dosa? Menikmati Kesendirian, Bukanlah Dosa. Banyak Karya-Karya Besar Kini Dinikmati Banyak Orang dan Generasi Penerus, Lahir dari Mereka yang Mendedikasikan Hidupnya untuk Berkarya alih-alih Berkeluarga

Pilih Mana, Bujangan yang Membujang ataukah Perumah-Tangga yang Menikah? Apapun Itu, masing-masing Harus Siap dengan Konsekuensi Dibaliknya, selalu Ada Harga yang Dibayarkan untuk Setiap Pilihan Hidup

Disclaimer : Membaca artikel ini hingga tuntas, mungkin dapat memicu Anda untuk turut memilih menjadi salah seorang pelaku hidup secara selibat yang melajang seumur hidup, setampan atau secantik apapun rupa Anda saat kini, atau mungkin juga akan menyesali pilihan hidup Anda sebelumnya yang memilih untuk menikah. Membaca artikel ini hingga tuntas, resiko ada di tangan Anda sendiri, memilih melanjutkan atau menyudahi pembacaan artikel ini sampai di sini saja.

Bosan melajang atau terjebak pada keadaan keluarga yang mendesak untuk menikah, kemudian memutuskan untuk menikah. Setelah menikah, rindu melajang atau bahkan terjadi perceraian secara gugat-menggugat, dipusingkan pula masalah harta gono-gini belum lagi perihal hak asuh terhadap anak. Bukankah itu terdengar seperti “konyol”? Boleh percaya (namun) boleh juga tidak, ciri umum orang-orang yang tergolong jenius, ialah men-“jomblo”.

Meski demikian, menjadi jenius terkadang tidak berjalan linear dengan nasib peruntungan, karir, maupun finansial. Setidaknya, para jenius tidak dipusingkan terlebih direpotkan oleh masalah asmara. Menjadi jenius merupakan satu hal, sementara peruntungan adalah lain hal lainnya. Selebriti yang “kurang berotak”, semata karena faktor peruntungan, dapat jauh lebih sukses dari segi finansial daripada seorang jenius tulen. Banyak juga kita temui nama-nama tokoh besar dunia yang terlampau maju pemikirannya ketimbang zamannya (para futuristis), sehingga kerap disalah-artikan dan tersisih dari pengakuan dunia yang “datang terlambat” karena sang tokoh sudah terlanjur wafat lama sebelumnya tanpa penghargaan apapun—bahkan sebagian diantaranya di-“cap” sebagai “tidak waras”.

Salah satu jenius tulen yang men-“jomblo” sampai tua dan tutup usia, namun sempat mencetak berbagai penemuan yang membawa kemajuan peradaban modern umat manusia saat kini, malangnya kurang beruntung karena namanya “tenggelam” dan hasil riset selalu disalip oleh para inventor lainnya yang kini jauh lebih dikenal namanya sebagai penemu besar dunia, ketimbang Nikola Tesla, sang jenius yang “terlupakan” ini pernah berkata, “I do not think you can name many great inventions that have been made by married men”, atau seperti “Be alone, that is the secret of invention; be alone, that is when ideas are born.” Semua orang, akan meninggal seorang diri, membawa Karmanya sendiri, tanpa membawa harta maupun sanak-keluarga. Dalam perspektif itulah, melajang dan menikah, menjadi tidak lagi relevan.

Disebutkan bahwa manusia dilahirkan “berpasang-pasangan”. Pertanyaannya, apakah itu berarti, para manusia yang memilih untuk berlatih dalam disiplin diri bhikkhu monastik, melanggar kodrat mereka sebagai manusia untuk “berpasang-pasangan” bahkan dapat dimaknai sebagai upaya untuk melawan dan menentang kuasa Tuhan? Jangankan menikah, melakukan hubungan seksuil dengan sesama ataupun lawan jenis pun para bhikkhu monastik berpantang diri, yang artinya praktik latihan menempa batin dengan cara mengendalikan diri serta melepaskan diri dari kemelekatan terhadap kesenangan duniawi, sehingga menjadi aneh bila jalan kesucian yang penuh perjuangan dan pengorbanan diri, terkesan justru patut dicela dan tidak diberi apresiasi, sekalipun faktanya tidak semua manusia sanggup menjalani hidup secara selibat.

Bila memang hidup “berpasang-pasangan” merupakan kehendak dan kuasa Tuhan, maka Sang Buddha dan para bhikkhu sanggha telah menjadi bukti betapa kekuasaan Tuhan tidak absolut terhadap “kehendak bebas” umat manusia untuk memilih dan menentukan jalan hidup serta nasibnya sendiri. Disebutkan pula, tujuan dibalik menikah ialah agar memiliki keturunan, dimana keturunan kita tersebut yang akan merawat kita ketika kita kelak pensiun dan menjadi tua. Faktanya, fenomena tren modern dewasa ini para anak muda perumah-tangga baru akan memilih untuk membangun keluarganya sendiri hidup terpisah dari orangtua mereka yang telah melahirkan mereka. Anak, bukanlah babysitter, mereka memiliki kehidupannya sendiri serta tanggung jawab atas hidupnya sendiri.

Spekukasi para spekulan tersebut yang seolah hendak menebak-nebak isi pikiran dan kehendak Tuhan demikian, tidak memuakan adanya serta tidak lulus “uji moril”, terutama ketika tidak mampu menjelaskan betapa manusia dapat terlahir dengan “genom” (kode genetik) yang tidak sempurna alias terkandung cacat terutama pada kromoson X dan Y sebagai penentu gender dalam janin yang akan “deterministik” terhadap tumbuh-kembang sang anak. Manusia dewasa, adalah produk janin dalam kandungan. Suka atau tidak suka, bahkan seorang kriminal pun adalah “dilahirkan” adanya (born to be a criminal), terdapat kode genetik yang bertanggung-jawab atas perangai kriminil seorang kriminal.

Bukti penelitian telah menunjukkan, manusia dilahirkan dengan “template” sebagai janin seorang wanita atau bergender perempuan, barulah ketika janin sedikit membesar dalam beberapa minggu usianya dalam kandungan, ia terdiferensiasi menjadi pria ataukah tetap sebagai wanita. Penelitian tidak pernah membenarkan dogma yang menyatakan bahwa “template” umat manusia ialah “dilahirkan dari tulang rusuk pria”, karena fakta empirik membuktikan sebaliknya—bersikukuh memungkiri hasil penelitian sains dan iptek, sama artinya Anda hendak mengulang kesalahan sejarah seperti bersikukuhnya bahwa “Matahari berotasi dan berevolusi mengelilingi Bumi” maupun “Bumi berbentuk datar”.

Bias jender, akibat tubuh pria yang maskulin, namun bila membawa serta hanya satu kromosom induk yakni kromosom wanita, maka sang pria bisa jadi sangat feminim atau setidaknya orientasi seksuilnya pun kewanita-wanitaan. Hal yang sama berlaku sebaliknya, tubuh feminim namun membawa serta kromosom pria, jadilah “wanita namun pria”, macho. Bukan salah bunda mengandung, “Tuhan yang menciptakan mereka seperti itu apa adanya”, tutur seorang ibu yang memiliki tiga orang anak transgender yang diliput oleh sebuah media massa pada salah satu daerah di Indonesia.

Begitupula terhadap fenomena jumlah wanita yang lebih masif ketimbang populasi pria, disamping fenomena poligami, yang bahkan praktik poligami super dahsyat dilukiskan terjadi di alam surgawi yakni berbanding 1 banding 72 (setidaknya bukan versi surga dalam Agama Buddha), ataupun terhadap mereka yang “mati muda” sehingga belum sempat mencicipi pelaminan (serta akibatnya calon pasangannya menjadi “joblo” sampai tua), disamping keganjilan berupa : betapa Tuhan digambarkan sebagai “kurang kerjaan” menjodohkan jutaan hewan melata dengan hewan melata lainnya, hewan memamah biak yang satu dengan hewan memamah biak lainnya, kodok jantan dengan kodok betina, nyamuk jantan dengan nyamuk betina, yang jumlahnya sudah tidak terhitung lagi dan terjadi setiap harinya secara masif dari sejak Bumi ini terbentuk dan tersandera untuk mengatur semua hal tersebut setiap harinya entah sampai kapan, mungkin kiamat adalah saat dimana Tuhan merasa bosan dan jemu.

Hanya terdapat satu buah penafsiran paling valid atas pendapat “manusia dilahirkan berpasangan”, yakni monogami sampai mati dan hingga ajal memisahkan pun tetap hanya pernah memiliki satu orang pasangan hidup (semisal bila sang suami / istri meninggal terlebih dahulu, maka sisa hidup pasangannya harus selibat, oleh sebab mengambil wanita lain sebagai istri / suami baru, akibatnya akan ada pria / wanita lain yang “tidak kebaikan jatah” pasangan hidup), tidak diperkenankan kembali menikah. Karenanya, seorang pria yang menikahi lebih dari satu orang wanita, apapun alasannya, sama artinya mengkorupsi “jatah” bagi pria lainnya. Begitupula praktik perceraian, menjadi “haram” hukumnya karena melanggar kehendak dan rencana Tuhan yang telah “memasang-masangkan” sang suami-istri dalam tali pernikahan bahkan sebelum sang bayi dilahirkan.

Inilah yang ada dibenak mereka yang hidup melajang hingga dewasa atau mungkin juga hingga lanjut usia : Sungguh mengherankan ketika melihat seorang pria “banting tulang” dalam arti harfiah demi mengejar seorang wanita “cantik”, dengan segala pengorbanan, sementara itu kecantikannya akan luntur seiring berjalannya waktu sampai sang wanita memasuki usia 40 tahun-an (bahkan tidak jarang sebelum memasuki usia 30-an). Apakah layak semua upaya “banting tulang” demi mengejar sang wanita yang kini tidak lagi tampak “langsing dan cantik memikat”?

Sama halnya, kaum wanita menjadi penggemar seorang pria “tampan”, namun ketampanan tersebut sirna saat menginjak usia 40 tahun-an, tubuh yang menggumpal dan tidak lagi “imut”, serta dengan cepatnya tergantikan oleh pria-pria muda yang lebih tampan lainnya. Ketika kita menyadari semua ini, tiada lagi pria ataupun wanita muda yang “angkuh sok jual mahal” maupun yang “tergila-gila”, terlebih “banting tulang” dalam arti harfiah. Kita sering mendengar pendapat seperti berikut, “Dulu saya menyukai ia, namun... sekarang sudah tidak.” Betapa seringnya, kita pun memiliki komentar serupa. Sekarang kita mengidolakan “yang lain”, yang lebih muda, dan yang masih “segar”. Dipermainkan oleh panca indera, kemelekatan membuat kita “jungkir balik” dalam arti harfiah.

Pernah terdapat sekuel sinema berjudul “Captain America”, yang tampaknya cukup relevan kita ulas secara singkat. Sang tokoh utama, Captain Amerika, pada sekuel film pertama digambarkan memiliki seorang kekasih berupa seorang wanita muda belia yang cantik dan rupawan nan semampai. Namun sang Captain Amerika pada akhir sekuel pertama dikisahkan terjebak dalam lautan es yang membekukan. Pada sekuel kedua, digambarkan bahwa sang Captain Amerika ditemukan dan kembali hidup dari tidur panjangnya yang menyerupai hibernasi beruang kutub. Kini, berselang puluhan tahun kemudian, sang gadis cantik telah menjelma nenek-nenek, dan mereka pun tidak lagi sebagai sepasang kekasih. Sang Captain Amerika masih muda dan segar, tentu tidak lagi tertarik pada seorang nenek-nenek yang telah rapuh dan lanjut usia. Sang Captai America lebih menyukai yang “masih belia”. Terdengar karikaturis, namun itulah fakta sosial kemasyarakatan kita sepanjang sejarah peradaban umat manusia.

Dhorothea dalam ulasannya berjudul “5 Manfaat Sehat Hidup Melajang” sebagaimana dilansir oleh “Kompas .com”, merinci bahwa sebagai seorang lajang, mereka dipandang sebagai “manusia gagal”. Celaan oleh masyarakat pun dialamatkan ke orang yang tak punya pasangan, “dihakimi”. Di negara-negara barat hal itu sudah berubah, masyarakat tidak lagi men-stigma mereka yang membuat pilihan untuk hidup sendiri. Setidaknya, masyarakat mulai menyadari bahwa itu adalah pilihan hidup pribadi bersangkutan. Menjadi lajang memberikan kesempatan untuk memikirkan diri dan membangun masa depan dengan cara terbaik yang dapat mereka eksplorasi, dimana terkadang dunia mereka tidak sesempit “rumah tangga”. Siapapun berhak untuk berfokus pada diri sendiri, tujuan dan hal-hal yang membuat hidup lebih bermakna dalam sebuah kerangka kebebasan.

Dewasa ini, ilmu pengetahuan menemukan terdapat beragam manfaat hidup melajang. Riset pun membuktikan beberapa kepribadian ternyata tak cocok berada dalam sebuah hubungan, karenanya kita tidak perlu memaksakan diri untuk berkeluarga. Riset dari New Zealand di 2015 menemukan orang yang cenderung menghindari konflik dan konfrontasi justru lebih bahagia ketika melajang. Berikut ini lima manfaat nyata hidup melajang:

1. Punya sahabat dekat, yang notabene lawan jenis. Ketika punya pacar atau pasangan hidup, rata-rata seseorang tidak punya sahabat yang benar-benar dekat. Mereka kembali mendatangi teman baik ketika putus atau cerai. Riset pun membuktikan para lajang memiliki hubungan lebih baik dengan keluarga, teman, dan tetangga.

2. Lebih bugar. Studi menemukan 73 persen orang Inggris yang gagal memenuhi rekomendasi olahraga 150 menit per minggu adalah mereka yang menikah. Cerai atau pernah menikah dan lajang adalah mereka yang cenderung tetap fit. Sebuah studi dari 2013 menemukan pengantin baru yang bahagia cenderung mengalami kenaikan berat badan dalam empat tahun setelah mengucapkan janji pernikahan. Fenomena demikian, dapat kita jumpai dikehidupan kita sehari-hari.

3. Lebih puas di kantor, terutama bagi yang hendak membangun karir atau usaha impian. Ketika lajang, kita bebas menghabiskan waktu untuk membangun karir dan eksplorasi diri tanpa merasa bersalah. Jika bekerja membuat Anda bahagia, itu bagus. Riset bahkan menemukan lajang lebih menikmati pekerjaan karena mereka cenderung lebih menghargai pekerjaan dan kemungkinan yang tidak terbatas untuk mereka jelajahi.

4. Dapat menabung. Saat telah berkeluarga, banyak uang keluar untuk hal-hal tidak terduga. Sebagai contoh, tiba-tiba harus pergi naik pesawat ke kota lain untuk mengunjungi mertua yang sakit, membayar biaya makan malam, membeli hadiah untuk pasangan, berada dalam sebuah hubungan bisa jadi lebih berbiaya tinggi ketimbang hidup seorang diri. Studi pun menemukan orang lajang cenderung punya utang lebih sedikit. Yang tidak kalah penting, secara sosiologis, mereka yang lajang lebih bebas dari kerentanan melakukan tindak pidana korupsi.

5. Tidur lebih nyenyak. Dengan tidur seorang diri di ranjang atau dimana pun ia sukai, seorang lajang bisa tidur nyenyak karena tidak harus menghadapi masalah terkait kebiasaan tidur sang pasangan yang mengorok, memperebutkan selimut, ketidak-cocokan temperatur udara, dering ponsel, atau terganggu karena pasangan masih menonton televisi di kamar. Dengan kualitas serta intensitas durasi tidur yang nyenyak, keesokan harinya suasana hati lebih prima. Alhasil, dampaknya pun positif ke segala bidang. Yang terlebih penting, tidak pusing persoalan perselingkuhan seperti adegan di sinetron ataupun seperti “Kapan anak kita lahir, meski sudah sekian tahun lamanya kita menikah?

Kini, mari kita simak seorang tokoh yang pada bagian awal sempat kita singgung, merujuk artikel berjudul “Nikola Tesla dan Mengapa Banyak Ilmuwan Melajang Seumur Hidup?”, dikutip dari https:// tirto .id /nikola-tesla-dan-mengapa-banyak-ilmuwan-melajang-seumur-hidup-cpgE, penulis: Windu Jusuf, untuk itu kita buka dengan wajangan berikut ini : “Apa pun yang terjadi menikahlah. Jika kamu menikahi perempuan yang baik maka hidupmu akan bahagia, tapi jika kamu menikahi perempuan brengsek, setidaknya kau akan jadi filsuf”. “Dan saya,” seloroh seseorang seraya memplesetkan, “tak perlu pasangan brengsek untuk jadi filsuf.” Petikan aslinya lebih metaforis.

Bisakah kita, menjadi seorang pemikir, intelektual, atau filsuf, tanpa perlu “pasangan brengsek”? Sejarah menjawab bahwa itu mungkin saja terjadi, dengan nada optimis. Khazanah intelektual Barat punya daftar panjang pemikir dan ilmuwan yang jadi bujangan seumur hidup. Di abad ke-20 ada seseorang yang paling menonjol, yaitu Nikola Tesla, yang meninggal pada 7 Januari 1943, tepat hari ini 77 tahun lalu. Orang Amerika kelahiran Kroasia ini dikenang berkat penemuan mekanisme alternating current (AC) sebagai pembangkit listrik tenaga motor penggerak dinamo dalam bidang kelistrikan dan prediksi jeniusnya tentang dunia nirkabel—jauh melampui visioner orang se-zaman dengannya.

Kini orang-orang bahkan melihat namanya ada di mana-mana: sebagai Satuan Internasional (SI) dari intensitas magnet dan merek dagang perusahaan mobil elektrik. Melirik abad-abad sebelumnya, deretan ilmuwan lajang dapat kita temukan mulai dari Leonardo da Vinci, Copernicus, Newton, Hume, Descartes, Leibniz, Voltaire, Spinoza, Pascal, dan Immanuel Kant. Sains, etika, pengetahuan modern—dari empirisisme, rasionalisme, hukum gravitasi, prinsip negara hukum, hingga listrik dan komputer—sebagian berasal dari buah pikiran orang-orang yang memilih jalan pedang untuk terus seorang diri sepanjang hayat. Kita, sebagai generasi penerus, berhutang budi kepada sumbangsih mereka dan atas pengorbanan mereka.

Newton (1643-1727) meninggal dalam keadaan perjaka, tak pernah pacaran, apalagi menikah. Musuh ilmu pengetahuan bukanlah iman, melainkan (godaan untuk) berumah tangga. Menikah, melahirkan anak, lalu membina keluarga bisa menurunkan produktivitas olah pikir—sesuatu yang sejatinya masih relevan untuk zaman kita. Sebagai kepala keluarga, sang ayah lebih sibuk mencari nafkah daripada mengeksplorasi bakat dan keterampilan terpendamnya. Sebagai seorang ibu, mengurus anak dan ruman-tangga sudah cukup menguras waktu.

Bagi para pemikir perempuan sebelum abad ke-20, situasinya berbeda: sulit untuk memilih lajang di tengah masyarakat yang memahami berumah tangga dan kerja domestik sebagai takdir semua perempuan. Lewat dari umur 30, seorang wanita yang masih melajang akan dikenakan “stigma”, berbeda dengan kalangan pria yang semakin menua dipandang semakin “matang”. Namun pada tahun 2006, penelitian National Science Foundation menemukan, 66 persen ilmuwan perempuan di Amerika cenderung memilih melajang. Science Mag mencatat pada 2006 Satoshi Kanazawa, psikolog dari Universitas Canterbury, Selandia Baru, menganalisis 280 biografi matematikawan, fisikawan, ahli kimia, dan biolog—mayoritas laki-laki.

Dari 280 ilmuwan itu, yang paling sedikit mengalami penurunan produktivitas berkarya pada usia akhir 50-an adalah yang tidak menikah. Pada kelompok yang sama, penurunan produktivitas juga lebih lambat. Adapun ilmuwan yang menikah semakin sedikit meneliti dan menulis pada usia 50-an, dengan penurunan volume publikasi yang sangat drastis. “Produktivitas ilmuwan laki-laki cenderung menurun setelah menikah,” ujar Kanazawa.

Sebagian pemikir yang tidak terkungkung dalam tradisi monastik, memilih membujang dengan beragam latar-belakang alasan yang bersifat personal. Trauma yang hebat, juga kegamangan menjalani hidup bersama orang lain, kadang menjadi penyebabnya. Melihat kehidupan orangtuanya, juga dapat membuat seorang anak menjadi trauma untuk menikah. Contoh yang paling legendaris adalah Søren Kierkegaard. Pada 1840, filsuf Denmark itu sudah tunangan dengan Regina Olsen. Namun, karena tak yakin mampu menjadi suami yang baik, Kierkegaard memutuskan pertunangannya. Sang gadis pun menikah dengan pria lain.

Dengan kesadaran penuh, Kierkegaard memutuskan jadi ‘Imam Besar Generasi Menolak Move On’ sampai mati. Tiga tahun setelah pertunangannya kandas, Kierkegaard menulis bak orang linglung: “Jika kau kawin, kau akan menyesal; kau tidak kawin, juga menyesal ... kau mempercayai seorang gadis, kau akan menyesal; kau tidak percaya, juga akan menyesal ... kau gantung diri, kau menyesal; tidak gantung diri juga menyesal ... kau gantung diri atau tidak gantung diri, kau akan menyesali keduanya. Inilah, tuan-tuan, puncak dari segala kearifan praktis.” (Either/Or, 1843). Hidup, memang penuh ambivalensi yang ambigu.

Lain cerita dengan Nikola Tesla. Dia tidak menikah—dan mati sebagai perjaka—lantaran benci perempuan. Tesla sempat berujar “Kujunjung perempuan tinggi-tinggi … Aku bersimpuh di hadapan mereka, dan layaknya tiap pemuja sejati, aku merasa diriku tak layak di hadapan obyek yang kupuja.” Namun, puja-puji Tesla diungkapkan sebelum perempuan Amerika Serikat mendapatkan hak pilih secara nasional pada 1920. Setelahnya, pandangan Tesla tentang perempuan mirip-mirip orang yang percaya bahwa kiamat sudah dekat karena perempuan menyerupai laki-laki dan sebaliknya.

Ketika diwawancarai koran lokal Galveston Daily pada 1924, ia mengatakan: “Dunia ini sudah mengalami banyak tragedi, namun menurutku tragedi terbesar adalah kondisi ekonomi saat ini dimana perempuan bersaing melawan laki-laki, dan pada banyak kasus benar-benar merampas kedudukan laki-laki dalam pekerjaan dan industri.” Tak semua bujang-pemikir misoginis seperti Tesla, yang konon pemalu dan memilih mengumpani rombongan merpati di luar kamarnya ketimbang bersosialisasi dengan manusia.

Berikut beberapa kutipan kalimat yang sempat disampaikan oleh Nikola Tesla, yang kini diabadaikan dalam sejarah:

- “If you want to find the secrets of the universe, think in terms of energy, frequency and vibration.” (Jika kau ingin menemukan rahasia di balik semesta, berpikirlah dalam terminologi energi, frekuensi, dan getaran.)

- “I don't care that they stole my idea, i care that they don't have any of their own.” (Saya tidak peduli mereka mencuri ide saya, tapi saya peduli bahwa mereka tidak memiliki ide mereka sendiri.)

- “The scientists of today think deeply instead of clearly. One must be sane to think clearly, but one can think deeply and be quite insane.” (Saat ini, saintis lebih berpikir secara mendalam daripada berpikir secara jernih. Seseorang harus waras untuk dapat berpikir secara jernih. Namun seseorang dapat saja berpikir secara mendalam dan cukup tidak waras.)

- “Of all things, I liked books best.” (Dari semua hal, saya paling menyukai buku.)

- “Let the future tell the truth, and evaluate each one according to his work and accomplishments. The present is theirs; the future, for which i have really worked, is mine.” (Biarlah masa depan mengatakan yang sebenarnya, dan mengevaluasi masing-masing sesuai dengan pekerjaan dan prestasi. Saat ini adalah milik mereka; di masa depan, untuk apa yang sudah saya kerjakan dengan sungguh-sungguh, adalah milik saya.)

- Our virtues and our failings are inseparable, like force and matter. When they separate, man is no more.”

- “Jika seluruh kebencian di hatimu bisa diubah menjadi aliran listrik, maka dia akan menerangi seluruh dunia.”

- “Setiap orang, hendaknya menganggap kalau diri mereka adalah pemberian / hadiah tak ternilai dari seseorang, yang mereka cintai lebih dari apa pun, sebagai suatu seni yang begitu indah, keindahan yang tak dapat dideskripsikan dan misteri di balik konsep manusia.”

- “Semua yang ditertawakan, disalahkan, diserang dan disepelekan di masa lalu adalah hal-hal yang luar biasa. Semua itu dilakukan untuk menghadirkan berbagai hal yang lebih kuat dan lebih berjaya dari sebuah perjuangan.”

- “Manusia selalu menginginkan suatu sensasi yang baru acara terus-menerus, tetapi segera acuh padanya. Keajaiban hari kemarin merupakan suatu hal yang biasa terjadi hari ini.”

- “Penemuan merupakan output terpenting dari otak kreatif setiap manusia. Tujuan utamanya, yakni menguasai misteri pikiran atas material dunia secara utuh dan pemanfaatan sifat manusia untuk kebutuhan manusia.”

Pada berbagai media sosial, viral tajuk “Pria Pilih Pacari Boneka, Alasannya karena Tak Suka Mengeluh terlebih Minta Uang”. Dikabarkan, seorang pria di hongkong lebih memilih pacaran dengan boneka silikon. Xie Tianrong namanya, mencetak sejarah dengan menikahi “sebuah” boneka sekx. Mari kita telusuri asal mula fenomena kontemporer demikian, yang membuat kalangan wanita dewasa ini mendapatkan saingan baru, dan fenomena serupa pun kita temui kabarnya pada seorang binaragawan di Amerika Serikat yang juga menikahi seorang boneka sekx, ketimbang wanita sesungguhnya.

Seorang pria di Hong Kong menjadi pusat sorotan publik lantaran berpacaran dengan boneka silikon. Ia bahkan mengaku senang pacaran dengan boneka tersebut lantaran tak pernah mendengar keluhan atau meminta yang macam-macam. Mengutip dari Oddity Central, pria bernama Xie Tianrong tersebut sudah berpacaran dengan boneka yang dibeli olehnya dari sebuah toko, boneka mana diberi nama “Mochi”, selama hampir dua tahun. Meski hanya merupakan boneka silikon yang realistik, bukan orang asli, Xie justru mengaku bahagia.

Bersama Mochi, ia bahkan kerap kali mengunggah foto kebersamaan di media sosial. Tentu publik memberikan tanggapan yang beragam, meski reaksinya tidak semuanya positif meski juga banyak yang menaruh simpatik. Hanya saja, Xie mengaku tak mau ambil pusing mengenai penilaian orang-orang. Mengenai pertemuan pertama Xie dengan boneka silikon realistik, dimulai pada 10 tahun lalu. Itu terjadi ketika lewat toko peralatan sekx di Causeway Bay, Hong Kong. Tertarik membeli, namun disayangkan, buatnya terlalu mahal, yakni mencapai 10 ribu dolar atau setara dengan Rp140 juta dengan kurs 28 Januari 2021.

Namun, suatu hari pada 2019 silam, pria yang kini berusia 34 tahun tersebut kembali melewati toko boneka tersebut. Kali ini, harganya lebih murah dan terlihat lebih menyerupai manusia asli yang sesungguhnya. Dari sanalah ia memesan online, kemudian berpacaran hingga kini. Baginya, keseharian dengan Mochi sangatlah membahagiakan. Mulanya dahulu kala, mantan pacar yang merupakan manusia asli, hanya gemar meminta-minta barang saja, juga lebih senang memerhatikan ponsel kala sedang pacaran. Berbeda dengan Mochi yang tak pernah meminta apapun. Meski disebut memang Mochi tak bisa berbicara, Xie merasa dirinya mendapat perhatian yang lebih besar dari boneka silikon tersebut ketimbang para mantannya.

Walau sejatinya Mochi merupakan boneka sekx, Xie mengaku tak pernah sekalipun berusaha menciumnya, apalagi melakukan tindakan yang lebih jauh lagi. Dia menghargai kebersamaannya dan takut rasa sukanya bisa merusak boneka tersebut. Agar kondisi Mochi tetap sempurna, Xie mengelap kulitnya dengan kain perca dan memberi bedak kulitnya tiap malam. Dia mendandani Mochi dengan bermacam busana cantik yang feminim.

Ia cukup terbuka mengenai hubungan spesial dengan boneka tersebut, bahkan sampai viral dan diketahui teman kantornya. Ia kerap diminta agar segera mencari istri yang bisa masak dan merawatnya. Hanya saja bagi Xie, hal tersebut bisa didapatkan dari tempat lain, sementara tidak dengan cintanya kepada Mochi. Terlepas dari kebahagiaannya bersama Mochi, Xie bukan tanpa penyesalan. Satu hal yang disesalkan olehnya yakni ia kian bertambah tua, sementara Mochi akan tetap muda. Ia takut nanti keduanya tidak akan cocok lagi. Namun, untuk saat ini dia merasa bahagia.

Sebagai penutup, seorang tokoh pernah menyebutkan, menikah atau tidak adalah pilihan masing-masing individu. Kebahagiaan dan kenyamanan diri kita yang rasakan, bukan dari penilaian orang lain. Tambahan dari penulis, menikah bukanlah akhir dari segalanya, justru permulaan dari segalanya, mulai dari tuntutan untuk “cepat mempunyai anak” hingga “kapan mempunyai cucu”, lengkap dengan segala problematiknya, masih pula harus merawat cucu ketika telah memasuki usia pensiun.

Bagi yang hendak hidup secara lebih bersahaja, beruntunglah melajang saat kini tidak lagi dianggap sebagai hal yang tabu sepenuhnya. Yang jelas, pasangan hidup bukanlah ibarat pakaian, yang dapat dicopot dan digantikan ketika merasa “bosan”. Pernikahan, karenanya, lebih merupakan sebuah komitmen atau ikatan. Jangan menikah bila tidak ingin terikat, dan jika menikah artinya harus konsekuen terhadap ikatan tersebut. Menikah bukan sekadar melepas lajang, namun juga melepas sebagian besar kebebasan hidup diri kita dengan tidak lagi dapat hidup dengan pola maupun kebiasaan hidup dikala masih melajang.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.