(DROP DOWN MENU)

Cara Alih / Over Kredit yang Baik dan Benar

LEGAL OPINION

Pengadilan Tidak Semestinya Memutihkan Proses yang Keliru dan Dijadikan Sarana untuk Membenarkan yang Ilegal

Warga yang Patuh Hukum Diberi Reward, sementara yang Tidak Patuh (Semestinya) Diberikan Punishment

Question: Sebenarnya bagaimana, alih kredit (over kredit) yang benar, ada seseorang sebagai “debitor baru” yang main lunasi hutang debitor kepada bank secara begitu saja, atau ada proses tertentu yang harus ditempuh secara hukum?

Brief Answer: Menurut Undang-Undang tentang Hak Tanggungan yang berlaku di Indonesia, debitor diperkenankan untuk menjual agunan objek kredit kepada pembeli, dengan sepengetahuan serta atas dasar seizin pihak kreditor pemegang jaminan Hak Tanggungan. Itulah proses paling utama dari “over kredit”, mengingat sifat utama dari Hak Tanggungan sebagai jaminan kebendaan ialah melekat pada objeknya, bukan pada “subjek hukum” nama pemiliknya, dan juga sekalipun pemiliknya (nama pada “data yuridis” sertifikat tanah) telah beralih (asas droit de suite).

Bilamana langkah atau tahapan paling utama dan paling pertama demikian ialah tidak terjadi secara sempurna, maka langkah atau tahapan berikutnya menjadi invalid, alias tidak sahih (cacat hukum). Ciri utama berhasil ditempuhnya langkah pertama ini, ialah sertifikat hak atas tanah objek kredit beralih menjadi atas nama atau dibalik-namakan ke atas nama pihak “debitor baru” selaku pembeli objek tanah/ rumah dari “debitor semula”—sekalipun objek tanah masih dibebani Hak Tanggungan, dimana hal itu dimungkinkan menurut Undang-Undang Hak Tanggungan dan tidak menghapus Hak Tanggungan yang menjadi jaminan pelunasan hutang pihak kreditor pemegang Sertifikat Hak Tanggungan.

JIka konstruksi yang terjadi ialah seketika itu juga suatu pihak membayari hutang kredit pihak debitor, kepada pihak lembaga keuangan, maka itu bukanlah “over kredit”, namun sekadar “menalangi” hutang sehingga konstruksinya bisa berupa hibah uang, pemberian, atau semacam hutang-piutang antara sang debitor dan pihak yang “menalangi” (serta bukan urusan pihak kreditor, mengingat kredit sekadar memotong saldo cicilan pada rekening penampungan atas nama pihak debitor), bukan jual-beli—mengingat jual-beli hak atas tanah hanya dapat dilakukan lewat Akta Jual Beli yang dibuat di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah.

Konsekuensi yuridis bilamana sertifikat hak atas tanah objek kredit masih atas nama debitor, maka pihak yang “menalangi” hutang kredit debitor hingga lunas, bukanlah selaku pemilik hak atas tanah objek kredit, namun tetap secara hukum merupakan milik sang debitor—dimana selebihnya menjadi sengketa atau urusan internal pribadi antara pihak debitor dan pihak yang “menalangi” semata, entah menjelma hutang-piutang atau sebagainya, tidak lagi tersangkut-paut dengan pihak kreditor penyedia fasilitas kredit yang telah dilunasi cicilannya.

PEMBAHASAN:

Terdapat sebuah ilustrasi konkret peliknya “benang kusut” yang dapat terjadi bilamana proses hukum terjadi tidak sebagaimana mestinya, hal mana dapat SHIETRA & PARTNERS cerminkan lewat putusan Pengadilan Negeri Ungaran sengketa “over kredit” register Nomor 22/Pdt.G/2016/PN.Unr tanggal 23 Agustus 2016, perkara antara:

- SARDI, sebagai Penggugat; melawan

- BAMBANG SUGIARTO, sebagai Tergugat I; dan

- BANK BTN, selaku Tergugat II.

Adapun dalil dari pihak Penggugat, Tergugat I telah memperoleh fasilitas kredit Pinjaman Angsuran kepemilikan rumah (KPR) dari Tergugat II dengan jaminan kredit Sertifikat Hak Milik atas nama pihak Tergugat I. Sebelum Tergugat I melunasi hingga tuntas kredit Pinjaman Angsuran Kepemilikan Rumah kepada Tergugat II, ternyata Tergugat I pada tanggal 17 Juli 2008 telah menjual kepada Penggugat dengan harga Rp. 24.000.000.

Berhubung Tergugat I belum melunasi kredit Pinjaman Angsuran Kepemilikan Rumah kepada Tergugat II dan Tergugat I sudah “menjual” atau “mengalihkan kreditnya” kepada Penggugat, sehingga yang melakukan pelunasan untuk sisa kreditnya adalah Penggugat (klaim-klaim Penggugat dalam surat gugatannya). Karena Penggugat yang telah melunasi kekurangan sisa angsuran kredit yang menjadi kewajiban Tergugat I, kepada Tergugat II, sebagaimana bukti pelunasan tertanggal 3 Maret 2016, maka Penggugat bermaksud hendak mengambil sertifikat dan dokumen atas tanah objek kredit kepada Tergugat II, akan tetapi Tergugat II tidak bersedia memberikannya dengan alasan karena tanah dan bangunan rumah tersebut masih tertulis atas nama Tergugat I, dan Tergugat II menyatakan agar pada saat pengambilan dokumennya Tergugat I dapat dihadirkan.

Atas saran Tergugat II, Penggugat telah berusaha semaksimal mungkin untuk mencari alamat Tergugat I akan tetapi sampai sekarang ini gugatan Ini diajukan ke Pengadilan Negeri, belum juga berhasil mengetahui keberadaan dan Tergugat I. Walaupun secara fisik tanah dan bangunan rumah objek kredit yang  telah Penggugat kuasai sejak tanggal 17 Juli 2008 sampai dengan sekarang dan selama Penggugat kuasai, ternyata juga tidak ada pihak - pihak lain yang berkeberatan, akan tetapi dari segi hukumnya Penggugat merasa belum menguasainya sepenuhnya sehingga Penggugat merasa dirugikan karena tanah dan bangunan rumah yang berdiri diatasnya tersebut belum menjadi milik Penggugat.

Persidangan berlangsung tanpa pernah hadirnya pihak Tergugat I maupun Tergugat II. Adapun fakta hukum yang terungkap di persidangan, klaim kepemilikan Penggugat ialah berdasarkan Surat Kesepakatan antara Tergugat I (Bambang Sugiarto) dengan Penggugat (Sardi) tertanggal 17 Juli 2008, alias jual-beli secara “dibawah tangan” tanpa Akta Jual-Beli PPAT, yang mana jelas-jelas sudah melanggar ketentuan hukum materiil perihal peralihan hak atas tanah.

Menjadi tidak mengherankan, telah pula ternyata pada waktu Penggugat membayar angsuran, sertifikat tanah objek kredit masih atas nama Tergugat I. Bahkan, menurut keterangan pihak saksi yang dihadirkan sendiri oleh pihak Penggugat, Penggugat atau Tergugat tidak melaporkan “over kredit” tersebut kepada Bank BTN (Tergugat II). Adalah wajar bila pihak bank menolak memberikan sertifikat hak atas tanah objek agunan kepada pihak-pihak yang bukan tercantum sebagai nama pemilik pada “data yuridis” sertifikat hak atas tanah, semata agar tidak terjadi tindak pidana “penggelapan”—sehingga jelas-jelas merugikan pihak bank bilamana pihak Penggugat dan Tergugat I melakukan proses jual-beli secara sekehendak hati tanpa mengikuti prosedur hukum yang berlaku, terlebih tanpa sepengetahuan pihak bank.

Karena pihak Bank tidak mengetahui bahwa ada terjadi “jual-beli” “dibawah tangan” demikian, yang berhak mengambil sertifikat harus dari pihak yang akad kredit, yakniTergugat I. Baik Penggugat maupun Tergugat I, tidak pernah datang ke Bank untuk melaporkan “over kredit” (dibawah tangan) demikian. Penggugat setiap bulannya mengangsur cicilan kredit, dimana pada waktu Penggugat membayar cicilan masih atas nama Tergugat I, pembayaran demikian melalui rekening atas nama Tergugat I.

Dimana terhadapnya, Majelis Hakim membuat pertimbangan serta amar putusan “kabul secara verstek” sebagai berikut:

“Menimbang, ... hukum namun ternyata Tergugat I dan Tergugat II tidak datang menghadap dipersidangan serta tidak menyuruh orang lain untuk mewakilinya atau untuk menjadi Kuasanya tanpa alasan yang sah, sebagaimana ketentuan Pasal 125 ayat (1) HIR, sehingga Tergugat I dan Tergugat II dianggap tidak pernah menggunakan haknya untuk membantah dalil-dalil Penggugat dalam Gugatannya untuk kemudian perkara ini dilanjutkan dan diperiksa tanpa hadirnya Tergugat I dan Tergugat II;

“Menimbang, bahwa oleh karena ketidak-hadiran Tergugat I dan Tergugat II telah dilakukan pemanggilan secara patut dan sah, dan Tergugat I dan Tergugat II tidak mempergunakan hak jawab dan pembuktiannya dalam perkara ini, maka harus dipandang alasan-alasan yang telah dikemukakan Penggugat dalam perkara ini benar adanya;

M E N G A D I L I :

1. Menyatakan Tergugat yang telah dipanggil secara sah dan patut menurut hukum namun tidak hadir menghadap di depan persidangan;

2. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya secara VERSTEK;

3. Menyatakan sah jual beli / alih kredit pemilikan rumah atas tanah dan bangunan rumah yang tercatat dalam Sertifikat Hak Milik No. 449/Desa Gedanganak Kecamatan Ungaran Timur Kabupaten Semarang yang sudah dilakukan oleh Tergugat I dan Penggugat;

4. Menyatakan bahwa pelunasan kredit yang dilakukan Penggugat untuk angsuran kredit kepemilikan rumah atas nama Tergugat I kepada Tergugat II adalah sah dan berkekuatan hukum; [Note SHIETRA & PARTNERS : Bagaimana mungkin, jual-beli secara “dibawah tangan” yang jelas-jelas melanggar ketentuan serta prosedur hukum peralihan hak atas tanah yang berlaku, dari yang semula “ilegal” menjelma “legal” dan “sahih” oleh pengadilan yang seolah-olah menjadi age atau sarana untuk “cuci pelanggaran”?]

5. Menyatakan bahwa Penggugat adalah sebagai pemilik yang sah atas sebidang tanah dikenal dengan Sertifikat Hak Milik No. 449/Desa Gedanganak Kecamatan Ungaran Kabupaten Semarang, dengan batas-batasnya : ...;

6. Menghukum Tergugat II untuk menyerahkan sertifikat tanah dan dokumen yang berkaitan atas tanah dan bangunan rumah dikenal dengan Sertifikat Hak Milik No. 449/Desa Gedanganak Kecamatan Ungaran Timur Kabupaten Semarang untuk peralihan hak dan balik nama menjadi atas nama Penggugat.”

Catatan Penutup SHIETRA & PARTNERS:

Proses “over kredit” dalam contoh kasus di atas, menjadi terputar-balik dan rawan disalah-gunakan bila menjadi preseden pada lembaga peradilan di Tanah Air. Seseorang, dapat saja berbuat jahat dengan menyalah-gunakan kekuatan ekonominya, melunasi hutang-hutang seorang debitor yang telah akan dapat melunasi hutangnya beberapa bulan mendatang, namun seketika “dilunasi” oleh pihak ketiga yang mengklaim sebagai pemilik sah objek kredit (modus).

Modus kejahatan selalu memanfaatkan celah-celah hukum yang justru seakan dibenarkan secara tidak pada tempatnya oleh lembaga peradilan selaku penegak hukum, alih-alih “pencuci pelanggaan hukum”. Sebagai warganegara yang baik, seyogianya kita patuh terhadap “koridor hukum” dengan menjalankan prosedur hukum sebagaimana mestinya. Bilamana pihak Tergugat I hadir di persidangan dalam ilustrasi kasus di atas, maka bisa jadi akan lain cerita dan hasil putusannya, dimana jual-beli adalah “invalid” karena cacat hukum dari segi prosesnya sejak semula, sehingga status Penggugat ialah hanya sekadar “menalangi” cicilan, bukan sebagai pembeli ataupun pemilik objek kredit.

Apakah amar putusan pada ilustrasi konkret kasus di atas, menjadi epilog sebuah problematika hukum? Tidak, justru itu menjadi titik balik prolog masalah hukum baru yang sebenarnya lebih pelik dan lebih kompleks, mengingat sekalipun pihak Penggugat telah berhasil mendapat dan mengantungi sertifikat hak atas tanah objek kredit, tetap saja dapat SHIETRA & PARTNERS pastikan yang bersangkutan tidak dapat dilayani di Kantor Pertanahan. Mengapa? Itulah resiko atau bahaya dibalik proses hukum yang berjalan tidak sebagaimana mestinya.

Bagi Anda yang memandang bahwa putusan pengadilan merupakan bagian dari “warkah tanah” serta alas hak untuk peralihan hak atas tanah dari nama pemilik semula kepada nama pemilik baru, maka silahkan Anda benturkan terhadap realita yuridis berikut, maka Anda akan mendapatkan jawaban bahwa terhadap sertifikat hak atas tanah, tidak dapat dibalik-namakan dari atas nama pihak Tergugat I ke atas nama pihak Penggugat, sekalipun sertifikat hak atas tanah maupun putusan telah diperoleh dan dikantungi oleh pihak Penggugat.

Untuk itu SHIETRA & PARTNERS perlu mengutip norma hukum bentukan Mahkamah Agung Republik Indonesia sebagaimana tertuang dalam Surat Edaran Nomor 10 Tahun 2020, tertanggal 18 Desember 2020, tentang “Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2020 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan”, yang ditujukan kepada seluruh pengadilan di Indonesia, dengan dengan norma hukum yang eksplisit sebagai berikut:

RUMUSAN HUKUM

RAPAT PLENO KAMAR MAHKAMAH AGUNG

TAHUN 2020

B. RUMUSAN HUKUM KARMAR PERDATA.

1. Gugatan Kurang Pihak dalam Perkara Tanah:

d. Kriteria Badan Pertanahan Nasional (BPN) harus ditarik sebagai pihak dalam hal terdapat sertifikat ganda atas sebagian atau keseluruhan dari luas tanah objek sengketa, antara lain:

1.) Jika ada petitum yang meminta pengadilan menjatuhkan putusan mengenai perbuatan hukum tertentu atas sertifikat, maka BPN harus ditarik sebagai pihak; atau

2.) JIka dalam petitum tidak ada tuntutan mengenai perbuatan hukum tertentu atas sertifikat yang diterbitkan oleh BPN, maka BPN tidak perlu ditarik sebagai pihak.

4. Penggunaan Pinjam Nama (Nominee Arrangement).

Pemilik sebidang tanah adalah pihak yang namanya tercantum dalam sertifikat, meskipun tanah tersebut dibeli menggunakan uang / harta / aset milik WNA / pihak lain.

Dalam contoh kasus di atas, jual-beli secara “dibawah tangan” merupakan salah satu sinyalemen “perjanjian boneka”, “perjanjian pinjam nama”, alias “perjanjian nominee”. Berhubung Kantor Pertanahan tidak akan dapat memproses permohonan “balik-nama” terhadap objek sertifikat hak atas tanah yang masih atas nama Tergugat I, maka secara hukum objek tanah bersangkutan masih dimiliki oleh Tergugat I sebagai satu-satunya pemilik yang sah untuk menguasai, menempati, ataupun untuk kembali menjual atau bahkan menjadikannya objek agunan kepada lembaga keuangan lainnya.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.