SENI SOSIAL
IQ memang Bukan Segalanya, namun Segalanya
Membutuhkan IQ
IQ Bukanlah Sumber Kejahatan, justru Kekurangan IQ
yang Selama Ini menjadi Sumber Kejahatan
Question: Apa maksudnya, ketika Bapak Hery Shietra menyatakan bahwa untuk bisa memiliki EQ, maka IQ-nya harus memadai. Apakah memang terdapat korelasi yang linear antara IQ (kecerdasan intelektual) dan EQ (kecerdasan emosional)?
Brief Answer: Singkatnya, kurangnya IQ mengakibatnya seseorang
disebut sebagai “dungu”, lawan kata dari “cerdas”. Semua orang bijaksana adalah
orang-orang yang tergolong atau diakui sebagai “cerdas”; tiada orang bijak yang
“dungu”. Penjelasannya sesederhana pertanyaan berikut : Pernahkah Anda
mendapati orang-orang yang “dungu”, namun memiliki tingkat EQ yang memadai atau
bahkan tinggi? Ibarat jembatan, harus sejajar, dan kehidupan dalam diri
seseorang individu ibarat jembatan yang menghubungkan antara puncak pilar IQ
dan puncak pilar EQ seseorang. Sehingga, adalah sukar dipahami bilamana
terdapat klaim adanya seseorang yang memiliki EQ yang tinggi namun disaat
bersamaan memiliki IQ yang rendah, sehingga jembatan diantara keduanya menjadi
timpang sebelah.
Terdapat sejumlah kerepotan alias “beban”
tersendiri ketika kita berhadapan atau harus menghadapi orang-orang yang
bertipe atau tergolong “dungu”, dan silahkan relevansikan dengan EQ, antara
lain: 1.) tanpa takut selalu menunggu datangnya “menyesal selalu datang
terlambat”; 2.) irasional; 3.) “separuh kata” tidak cukup ketika memberi mereka
instruksi, bahkan “sepenuh kata” pun belum juga mencukupi bagi mereka; 4.)
memandang yang benar sebagai keliru, dan yang baik sebagai yang tidak baik.
PEMBAHASAN:
Dalam pengalaman pribadi
penulis berhadapan dengan demikian banyaknya tipikal manusia pada masyarakat di
Indonesia pada khususnya, yang paling merepotkan serta yang paling menyukarkan
ialah sifat watak dengan pola berikut : tidak merasa takut akan akibatnya, dan
tidak punya kemampuan (atau mungkin tidak mau) memprediksi ujung atau muara
dari suatu sikap atau perbuatan mereka, mereka sungguh adalah “spekulan” tulen
yang dapat merepotkan siapapun yang berurusan dengannya.
Pembawaan (“template” mental) mereka selalu (seolah)
menunggu-nunggu datangnya “menyesal dikemudian hari”, tidak jarang menantang
meski sudah diberi peringatan, tanpa mau melihat situasi maupun kondisi yang
ada—dan ketika sudah benar-benar terjadi kejadian yang (semestinya) dapat
diprediksi dan meski sejatinya dapat dihindari untuk sampai terjadi, barulah
mereka mengaku sebagai “menyesal”, itu pun sifatnya “kapok sambal” dalam artian
esok harinya akan melakukan perbuatan serupa seolah tidak jera-jera.
Orang-orang cerdas, kontras dengan para “dungu”, selalu mampu melihat adanya bahaya
dibalik sesuatu, dan berupaya sedemikian rupa menghindari itu sampai terjadi
atau setidaknya memitigasi dan meminimalisir dampaknya, karenanya satu teguran
kecil sudah akan membuat mereka terpanggil untuk evaluasi diri. Para “dungu”
pun selalu saja jatuh pada lubang yang sama, berulang-kali tanpa kenal jera.
Tengoklah para residivis,
ataupun orang-orang yang meski sudah diancam bahwa perbuatan mereka memiiki
konsekuensi, tetap saja mereka bersikap arogan “pasang badan”, seolah-olah
tidak gentar dan tidak takut. Namun ketika sudah benar-benar terjadi
kejadiannya, barulah mereka mengaku “menyesal” dan menyatakan “kapok”,
“ampun”—meski fakta realitanya selama ini, jarang sekali mereka benar-benar
menyesali perbuatan ataupun terjadinya kejadian yang mampu diprediksi akan
terjadi cukup dengan logika sederhana dan akal sehat perihal
konsekuensi-konsekuensi yang hanya membutuhkan kecerdasan rata-rata orang pada
umumnya. Para “dungu”, lebih kerap memakai “akal sakit milik orang sakit”.
Para “dungu” tersebut, benar-benar
seolah menunggu hingga tiba saatnya “menyesal namun untuk putar haluan pun
sudah tidak lagi memungkinkan”, “nasi sudah menjadi bubur”, bahkan hingga
mereka sudah di “ujung tanduk” sekalipun, mereka masih saja bersikukuh pada
kebiasaan ataupun perilaku dan delusi pribadi milik mereka sendiri, “business as usual”. Tengok para pasien
kanker stadium akhir, akibat mengonsumsi produk bakaran tembakau, sekalipun
sudah divonis akan meninggal dalam waktu dekat oleh dokter, tetap saja mereka
masih asyik mencandu, dan akan mati dibunuh oleh candu tersebut.
Mereka tidak memilih untuk
berhenti dan menghentikan diri dari candu, maka candu tersebut yang kemudian
menghentikan hidup yang bersangkutan. Setelah tiba di alam baka karena “bunuh
diri” (akibat candu “cari penyakit sendiri”), menyesal pun sudah terlambat juga
percuma, dan waktu tidak dapat diputar ulang, sementara “bubur telah menjelma
basi”. Konon, menurut sebuah reportase oleh seorang jurnalis di Amerika Serikat
yang anaknya terjerumus canduk obat-obatan terlarang, para pecandu tersebut meski
hidupnya mengenaskan karena menjadi berantakan setelah terjerumus, telah
ternyata menyatakan tidak menyesal menjadi seorang pecandu, semata karena otak
para “dungu” memang mudah sekali dibajak dan dibodohi oleh orang lain maupun
oleh zat adiktif candu.
Kerepotan kedua menghadapi
manusia “dungu”, ialah pola watak mereka yang khas berupa sifat “irasional”,
mereka sekadar mengikuti dan memuaskan dorongan hati dan “otak reptil” mereka,
menjadi seorang “hewanis” alih-alih “humanis”, ketimbang mempraktikkan kemampuan
unik seorang manusia bernama olah pikir dan berkontemplasi, semata karena
bagian otak lainnya di kepala mereka kurang berkembang dengan baik dan sempurna
adanya, sehingga mereka memiliki suatu corak yang juga khas, yakni “kerap
menyelesaikan segala sesuatu dengan kekerasan fisik”—maklum, otot tidak
memiliki otak dan sebaliknya, otak tidak memiliki otot.
Sifat irasional, dapat kita
jumpai dengan masif di jalan umum. Sebagai seorang pejalan kaki, penulis kerap
menemui fakta di ruas jalan manapun di perkotaan ini di Indonesia, yakni ketika
penulis berjalan kaki di jalan umum, pengemudi kendaraan roda dua ataupun roda
empat dari arah belakang dengan keras mengklakson diri penulis, seolah jalan
tersebut adalah miliknya seorang dan pejalan kaki menjadi kasta rendah untuk
diperlakukan secara manusiawi terlebih dihormati—lihat, jangankan “power tends to corrupt”, manusia “Made in Indonesia” yang mengendari
kendaraan bermotor saja kerap “tends to
corrupt” semata karena memiliki bumper untuk menyakiti manusia lainnya
(mentalitas suka mem-bully secara
fisik). Bahkan juga, cobalah perhatikan, orang yang berjalan kaki bersama satu
orang rekannya, juga kerap bersikap “tends
to corrupt” ketika mendapati seorang pejalan kaki lainnya yang hanya
seorang diri, semata karena “menang jumlah”.
Namun, tidak sampai berjarak
seratus meter di depan setelah melewati penulis, sang pengendara “mendadak
sabar” dan “mendadak alim” dengan melambatkan laju kendaraannya hingga
berhenti, ketika menjumpai kendaraan lain yang dalam kondisi parkir di badan
jalan, sehingga hanya menyisakan satu lajur dari arah berlawanan, dan mereka
baru kembali melajukan kendaraannya setelah pengendara dari arah lajur
berlawanan telah lewat dan jalan di lajur seberang telah kosong. Perhatikan, penulis
notabene merupakan sesama warga dan sesama manusia, merupakan makhluk hidup, telah
ternyata para pengedara tersebut secara “heartless”,
tanpa hati nurani, mengklaksoni penulis yang menjadi terkejut dan panik juga
trauma akan ditabrak (karena memang benar-benar pernah dan tidak jarang
pengendara menabrak penulis di trotoar, tidak terkecuali pengendara yang melaju
secara melawan arah).
Namun demikian, ketika mereka,
para pengendara yang sama dengan yang telah mengklaksoni penulis, menjumpai
kendaraan lain yang dalam kondisi diam terparkir di badan jalan, sehingga hanya
menyisakan satu lajur dari arah berlawanan, para pengendara yang tidak
manusiawi terhadap sesama manusia tersebut ternyata dapat “mendadak toleran dan
kompromistik” terhadap kendaraan bermotor yang notabene BENDA MATI! Sampai kapan pun kita tidak akan
berhasil menemukan “logika” dibalik kegilaan watak dan mentalitas bangsa
semacam demikian, karena memang kegilaan dan irasionalitas tidak bersandar pada
logika maupun rasio, akan tetapi semata bergerak berdsarkan impuls yang
didorong oleh “akal sakit milik orang sakit”.
Telah ternyata, di mata
manusia-manusia irasional tersebut, manusia lainnya terutama pejalan kaki adalah
tidak lebih berharga untuk dihormati ketimbang perlakuan mereka terhadap
kendaraan bermotor (benda mati) yang dalam kondisi terparkir di badan jalan
sekalipun menghambat ataupun menghalangi laju kendaraan yang dikemudikan oleh sang
“manusia irasional”. Kejadian dengan pola yang sedikit berbeda berikut ini pun
tidak jarang penulis alami sebagai pejalan kaki. Pada jalan umum dengan dua
lajur yang sempit, satu lajur dari arah berlawanan terdapat kendaraan roda
empat dalam kondisi terparkir sehingga hanya menyisakan satu lajur, lajur mana
menjadi lintasan jalan penulis yang berjalan di bahu jalan pada lajur kiri.
Namun secara mendadak dan
mengejutkan, dari arah belakang seorang pengendara kendaraan bermotor roda
empat mengklaksoni penulis (makhluk hidup), seolah penulis tidak berhak
menggunakan jalan umum tersebut dan seakan tidak boleh menghalangi laju
kendaraannya—alih-alih mengklaksoni mobil lain (benda mati) yang diparkir di
badan jalan pada lajur sebaliknya di seberang. Hingga saat kini, penulis masih
belum mampu menemukan “logika berpikir” dibalik perilaku irasional orang-orang
yang mengaku berpendidikan namun minim rasio demikian, selain “logika
irasional” milik mereka sendiri.
Jika mereka masih memiliki rasio barang sedikit,
semestinya mereka mengklaksoni dan menabrakkan kendaraan yang mereka kendarai
kepada kendaraan lain (benda mati) yang diparkir di badan jalan, alih-alih
mengklaksoni dan menabrak pejalan kaki yang notabene seorang manusia dan
makhluk hidup! Mereka, lebih sayang
dan lebih hormat kepada benda mati, ketimbang kepada sesama manusia yang
merupakan makhluk hidup yang dapat terluka secara fisik maupun traumatik secara
psikis.
Memang, penulis akui tidak semua warga di ibukota di Indonesia ini yang
berperilaku irasional demikian, juga tanpa bermaksud untuk menggenalisir, namun
sedikit banyaknya juga penulis akui menciptakan efek traumatik tersendiri bagi
benak pribadi penulis akibat kerapnya mengalami kejadian serupa oleh perilaku
para pengendara kita di jalan umum maupun di jalan raya.
Lalu perihal pengemudi yang
melajukan kendaraan secara melawan arus—terutama pengendara kendaraan roda dua,
tidak terkecuali pengendara sepeda maupun sesama pejalan kaki lainnya)—menurut
Anda, siapakah yang semestinya mengalah, yang berjalan sesuai haknya di sebelah
kiri, ataukah mereka yang berjalan secara melawan arus? Faktanya, 100% kejadian
melawan arus yang penulis alami dan kerap hadapi, selalu saja secara arogannya
pihak yang melawan arus selain tanpa rasa malu telah merampas hak penulis atas
jalan sebelah kiri, mereka masih juga membuat penulis harus berpotensi
mengalami kecelakaan terhantam kendaraan bermotor dari arah belakang—sementara
itu mereka bersikukuh tidak mau mengalah sekalipun bersalah, dan sekalipun
mereka mengetahui betul bahwa di belakang kepala penulis tidak terdapat mata
ataupun semacam “spion” untuk mengetahui kondisi lalu-lintas di belakang ketika
penulis dipaksa harus mengalah dengan bergeser ke badan jalan untuk melewati
sang pelawan arus yang bila penulis memilih untuk berdiam di tempat maka
diancam akan ditabrak oleh “kuda besi” yang mereka terjang. Anda mungkin tidak akan
percaya, bahwa penulis dalam lebih dari satu kejadian pernah hampir terkena
tabrak kendaraan bermotor roda dua di atas JEMBATAN PENYEBERANGAN ORANG! Persoalan merampas hak orang lain,
bangsa ini nomor wahid, dan tampaknya mereka memang berbangga diri menyandang
gelar demikian, kebanggaan irasional milik orang irasional tentunya.
Mereka tidak memiliki
sentivitas, terlebih rasa bersalah ataupun rasa malu telah merampas hak juga
memberi potensi celaka kepada warga lain yang tidak bersalah. Mereka bahkan benar-benar
lebih memilih menabrak kaki penulis (benda hidup yang bisa sakit dan terluka)
ketimbang menabrak kendaraan yang parkir liar di pinggir jalan, sehingga
penulis mengalami memar hebat dan cedera kaki, itu pun sang penabrak masih juga
memaki penulis alih-alih merasa bersalah ataupun memaki sang pengendara yang
memarkir kendaraannya secara liar di pinggir jalan sehingga pejalan kaki sama
sekali tidak memiliki akses ruas jalan untuk berjalan.
Sungguh kondisi infrastruktur
yang tidak manusiawi di Kota Jakarta ini masih juga diperkeruh oleh perilaku
pengendara pengguna jalan yang juga tidak kalah tidak manusiawinya. Idealnya,
pengendara kendaraan bermotor bersikap manusiawi dan “friendly”, sehingga kendala infrastruktur tidak lagi menjadi
persoalan berarti bagi kalangan pejalan kaki. Konon, wajah atau kondisi
lalu-lintas suatu bangsa, merupakan miniatur budaya suatu bangsa, untuk kita
nilai sebagai kultur yang sehat ataukah sebaliknya, kultur irasional yang lebih
banyak memainkan peran mentalitas bangsa bersangkutan.
Menghadapi manusia “dungu”,
kita harus merepotkan diri setiap kali berinteraksi atau memberikan mereka
instruksi, secara panjang-lebar, bahkan harus diulang berulang-ulang dan
berkali-kali tanpa jaminan paham sepenuhnya. Mereka tidak paham mengenai apa
itu “makna implisit” dan “makna eksplisit”, baik dalam bahasa lisan maupun
bahasa tertulis. Daya tangkap dan daya paham maupun daya cerna mereka cenderung
dangkal dan sempit. Soal kemampuan dalam menimbang dan mempertimbangkan, mereka
tidak dapat diandalkan, amat memprihatinkan—karenanya, bila Anda tidak sedang
mujur, Anda akan mendapati hakim yang “dungu” menyidangkan dan memutus perkara
yang Anda ajukan ke pengadilan untuk diputus.
Terkadang, praktik hukum di
pengadilan bukan soal undang-undang, bukan juga soal apa yang menjadi aturan
hukumnya, namun peran vital bobot sang hakim yang memeriksa dan memutus. Tavern
pernah berkata, “Berikan saya hakim yang
baik, maka hukum yang buruk pun tidak lagi menjadi kendala.” Baik saja
tidak cukup, karena bijaksana merupakan perpaduan antara kebaikan moralitas
disertai dengan kecerdasan. Terdapat sebuah peribahasa Belanda yang sangat
penulis sukai, menyebutkan secara tepat sasaran untuk mewakili apa yang penulis
maksudkan sebagai “separuh kata sudah cukup” : “Een goed verstaander heeft maar een half woord nodig.” Artinya, orang
yang pandai memahami, (cukup) membutuhkan separuh perkataan. Jika
masih belum jelas, tahu berbuat apa yang diharapkan dari dia.
Pengampunan dosa ataupun
penghapusan dosa, penebusan dosa, atau istilah sejenis lainnya, adalah “too good to be true”. Namun, seberapa banyak
diantara masyarakat kita yang justru menjadi pemeluk “Agama DOSA”
tersebut—disebut demikian, semata karena “Agama DOSA” lebih menekankan promosi
penghapusan dosa alih-alih jalan kesucian. Orang cerdas paham betul, maka
kalimat berikut : Hanya seorang pendosa, yang membutuhkan iming-iming
“korup” penuh kecurangan semacam penghapusan dosa, pengampunan dosa, maupun
penebusan dosa.
Seorang pendosa, hendak
berceramah perihal hidup suci, luhur, bersih, baik, agung, serta mulia, ibarat
orang buta hendak menuntut orang buta lainnya. Si “dungu” tidak paham makna
“Agama Ksatria”, yakni agama bagi mereka yang berjiwa ksatria dengan tidak lari
dari kesalahan perbuatan mereka, dan memilih untuk bertanggung-jawab dalam
kesempatan pertama. Suciwan manakah, yang membutuhkan pengampunan dosa? Untung
bagi pelaku kejahatan, rugi bagi pihak korban. Penulis menyebut kalangan yang
anti terhadap “Agama Ksatria” maupun “Agama Suci”, dengan menjadi pemeluk
“Agama DOSA”, sebagai para “dungu” lahir dan batin. Kini Anda paham, orang
“dungu” adalah berbahaya adanya.
Sang Buddha pernah membuat sindiran, bahwa si “dungu”
berpikir dirinya adalah beruntung karena dapat menyakiti, melukai, ataupun
merugikan makhluk hidup ataupun manusia lainnya. Semata, karena si “dungu”
memang terlampau “dungu” untuk memahami bahwa penjahat yang paling tidak
beruntung adalah penjahat yang selalu berhasil melancarkan niat jahatnya; dan berlaku
prinsip sebaliknya, penjahat yang paling mujur ialah penjahat yang selalu gagal
ketika mencoba melancarkan niat buruknya kepada orang lain.
Sang Buddha pun pernah menyatakan, apa yang dianggap atau
dipandang sebagai kesenangan oleh para manusia “dungu”, sejatinya merupakan
derita di mata seorang Buddha. Bagaimana mungkin, kenikmatan surgawi memakai
perspektif kenikmatan duniawi semacam bersetubuh dengan puluhan bidadari
berbusana “tembus pandang”? Lebih masuk akal bila kenikmatan surgawi
dicerminkan lewat kenikmatan meditatif yang hening. Namun tetap saja, si dungu
mengejar-ngejar dan mengimpikan “kenikmatan duniawi di alam surgawi” (???) dan
berpikir caranya ialah dengan melakukan radikalisme dan ekstremisme.
Sama halnya, di mata
orang-orang “dungu”, apa yang mereka sebut sebagai kemujuran atau keberuntungan
maupun keuntungan, di mata seorang Buddha merupakan kemunduran dan
jeratan penuh petaka dibaliknya. Mereka, mengutip kata-kata Sang Buddha,
tidak mampu melihat bahaya dibaliknya. Dibalik setiap kesenangan
inderawi, ada harga dan selalu ada resiko yang harus kita bayarkan, yakni
kemelekatan dan dibuat bersusah-payah untuk mengejarnya, juga bersedih ketika harus
berpisah atau terpisahkan dengannya. Banyak yang terjerat candu tembakau,
alkohol, maupun obat-obatan terlarang, mereka harus membayar mahal “harga”-nya
berupa terjerumus, melekat, dan harus kehilangan banyak hal, salah satunya
sifat-sifat baik dalam diri mereka dan menjadi lemah kesadarannya.
Karenanya, orang-orang cerdas
memilih praktik meditatif, yakni praktik latihan untuk melepas, alih-alih menggenggam
erat, mencengkeram, hingga merampas—yang menurut orang “dungu” adalah sebentuk “kerugian”
dan “siksaan”. Hanya orang “dungu”, yang bangga menimbun dirinya dengan berbagai
Karma Buruk, untuk mereka petik sendiri buah pahitnya di masa mendatang,
sementara itu harta-harta hasil kejahatan mereka tidak turut terbawa mati setelah
ajal menjelang.
Itulah sebabnya, mengapa orang-orang
“dungu” demikian merepotkan, dan sebaiknya kita hindari semampu kita. Seperti
pesan Sang Buddha, “Jika kita
tidak menemukan teman yang sepadan (dalam kebajikan dan kebijaksanaan) dengan kita,
maka berjalanlah dan teruskan perjalanan cukup seorang diri.” Tetap
saja, si “dungu” akan berpikir bahwa EQ artinya “banyak teman”. Sungguh, dunia
ini tidak pernah kekurangan orang-orang “dungu” yang hanya menambah beban bagi dunia.
Maka, agar tidak menjadi “beban bagi dunia”, jadilah orang “cerdas”, sebagai salah
satu fondasi dasar dalam membangun pilar kebijaksanaan. Bijak, artinya “cerdas
+ baik”.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR
dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi
Hery Shietra selaku Penulis.