(DROP DOWN MENU)

4 Hal yang Paling Merepotkan ketika Menghadapi Orang Dungu

SENI SOSIAL

IQ memang Bukan Segalanya, namun Segalanya Membutuhkan IQ

IQ Bukanlah Sumber Kejahatan, justru Kekurangan IQ yang Selama Ini menjadi Sumber Kejahatan

Question: Apa maksudnya, ketika Bapak Hery Shietra menyatakan bahwa untuk bisa memiliki EQ, maka IQ-nya harus memadai. Apakah memang terdapat korelasi yang linear antara IQ (kecerdasan intelektual) dan EQ (kecerdasan emosional)?

Brief Answer: Singkatnya, kurangnya IQ mengakibatnya seseorang disebut sebagai “dungu”, lawan kata dari “cerdas”. Semua orang bijaksana adalah orang-orang yang tergolong atau diakui sebagai “cerdas”; tiada orang bijak yang “dungu”. Penjelasannya sesederhana pertanyaan berikut : Pernahkah Anda mendapati orang-orang yang “dungu”, namun memiliki tingkat EQ yang memadai atau bahkan tinggi? Ibarat jembatan, harus sejajar, dan kehidupan dalam diri seseorang individu ibarat jembatan yang menghubungkan antara puncak pilar IQ dan puncak pilar EQ seseorang. Sehingga, adalah sukar dipahami bilamana terdapat klaim adanya seseorang yang memiliki EQ yang tinggi namun disaat bersamaan memiliki IQ yang rendah, sehingga jembatan diantara keduanya menjadi timpang sebelah.

Terdapat sejumlah kerepotan alias “beban” tersendiri ketika kita berhadapan atau harus menghadapi orang-orang yang bertipe atau tergolong “dungu”, dan silahkan relevansikan dengan EQ, antara lain: 1.) tanpa takut selalu menunggu datangnya “menyesal selalu datang terlambat”; 2.) irasional; 3.) “separuh kata” tidak cukup ketika memberi mereka instruksi, bahkan “sepenuh kata” pun belum juga mencukupi bagi mereka; 4.) memandang yang benar sebagai keliru, dan yang baik sebagai yang tidak baik.

PEMBAHASAN:

Dalam pengalaman pribadi penulis berhadapan dengan demikian banyaknya tipikal manusia pada masyarakat di Indonesia pada khususnya, yang paling merepotkan serta yang paling menyukarkan ialah sifat watak dengan pola berikut : tidak merasa takut akan akibatnya, dan tidak punya kemampuan (atau mungkin tidak mau) memprediksi ujung atau muara dari suatu sikap atau perbuatan mereka, mereka sungguh adalah “spekulan” tulen yang dapat merepotkan siapapun yang berurusan dengannya.

Pembawaan (“template” mental) mereka selalu (seolah) menunggu-nunggu datangnya “menyesal dikemudian hari”, tidak jarang menantang meski sudah diberi peringatan, tanpa mau melihat situasi maupun kondisi yang ada—dan ketika sudah benar-benar terjadi kejadian yang (semestinya) dapat diprediksi dan meski sejatinya dapat dihindari untuk sampai terjadi, barulah mereka mengaku sebagai “menyesal”, itu pun sifatnya “kapok sambal” dalam artian esok harinya akan melakukan perbuatan serupa seolah tidak jera-jera. Orang-orang cerdas, kontras dengan para “dungu”, selalu mampu melihat adanya bahaya dibalik sesuatu, dan berupaya sedemikian rupa menghindari itu sampai terjadi atau setidaknya memitigasi dan meminimalisir dampaknya, karenanya satu teguran kecil sudah akan membuat mereka terpanggil untuk evaluasi diri. Para “dungu” pun selalu saja jatuh pada lubang yang sama, berulang-kali tanpa kenal jera.

Tengoklah para residivis, ataupun orang-orang yang meski sudah diancam bahwa perbuatan mereka memiiki konsekuensi, tetap saja mereka bersikap arogan “pasang badan”, seolah-olah tidak gentar dan tidak takut. Namun ketika sudah benar-benar terjadi kejadiannya, barulah mereka mengaku “menyesal” dan menyatakan “kapok”, “ampun”—meski fakta realitanya selama ini, jarang sekali mereka benar-benar menyesali perbuatan ataupun terjadinya kejadian yang mampu diprediksi akan terjadi cukup dengan logika sederhana dan akal sehat perihal konsekuensi-konsekuensi yang hanya membutuhkan kecerdasan rata-rata orang pada umumnya. Para “dungu”, lebih kerap memakai “akal sakit milik orang sakit”.

Para “dungu” tersebut, benar-benar seolah menunggu hingga tiba saatnya “menyesal namun untuk putar haluan pun sudah tidak lagi memungkinkan”, “nasi sudah menjadi bubur”, bahkan hingga mereka sudah di “ujung tanduk” sekalipun, mereka masih saja bersikukuh pada kebiasaan ataupun perilaku dan delusi pribadi milik mereka sendiri, “business as usual”. Tengok para pasien kanker stadium akhir, akibat mengonsumsi produk bakaran tembakau, sekalipun sudah divonis akan meninggal dalam waktu dekat oleh dokter, tetap saja mereka masih asyik mencandu, dan akan mati dibunuh oleh candu tersebut.

Mereka tidak memilih untuk berhenti dan menghentikan diri dari candu, maka candu tersebut yang kemudian menghentikan hidup yang bersangkutan. Setelah tiba di alam baka karena “bunuh diri” (akibat candu “cari penyakit sendiri”), menyesal pun sudah terlambat juga percuma, dan waktu tidak dapat diputar ulang, sementara “bubur telah menjelma basi”. Konon, menurut sebuah reportase oleh seorang jurnalis di Amerika Serikat yang anaknya terjerumus canduk obat-obatan terlarang, para pecandu tersebut meski hidupnya mengenaskan karena menjadi berantakan setelah terjerumus, telah ternyata menyatakan tidak menyesal menjadi seorang pecandu, semata karena otak para “dungu” memang mudah sekali dibajak dan dibodohi oleh orang lain maupun oleh zat adiktif candu.

Kerepotan kedua menghadapi manusia “dungu”, ialah pola watak mereka yang khas berupa sifat “irasional”, mereka sekadar mengikuti dan memuaskan dorongan hati dan “otak reptil” mereka, menjadi seorang “hewanis” alih-alih “humanis”, ketimbang mempraktikkan kemampuan unik seorang manusia bernama olah pikir dan berkontemplasi, semata karena bagian otak lainnya di kepala mereka kurang berkembang dengan baik dan sempurna adanya, sehingga mereka memiliki suatu corak yang juga khas, yakni “kerap menyelesaikan segala sesuatu dengan kekerasan fisik”—maklum, otot tidak memiliki otak dan sebaliknya, otak tidak memiliki otot.

Sifat irasional, dapat kita jumpai dengan masif di jalan umum. Sebagai seorang pejalan kaki, penulis kerap menemui fakta di ruas jalan manapun di perkotaan ini di Indonesia, yakni ketika penulis berjalan kaki di jalan umum, pengemudi kendaraan roda dua ataupun roda empat dari arah belakang dengan keras mengklakson diri penulis, seolah jalan tersebut adalah miliknya seorang dan pejalan kaki menjadi kasta rendah untuk diperlakukan secara manusiawi terlebih dihormati—lihat, jangankan “power tends to corrupt”, manusia “Made in Indonesia” yang mengendari kendaraan bermotor saja kerap “tends to corrupt” semata karena memiliki bumper untuk menyakiti manusia lainnya (mentalitas suka mem-bully secara fisik). Bahkan juga, cobalah perhatikan, orang yang berjalan kaki bersama satu orang rekannya, juga kerap bersikap “tends to corrupt” ketika mendapati seorang pejalan kaki lainnya yang hanya seorang diri, semata karena “menang jumlah”.

Namun, tidak sampai berjarak seratus meter di depan setelah melewati penulis, sang pengendara “mendadak sabar” dan “mendadak alim” dengan melambatkan laju kendaraannya hingga berhenti, ketika menjumpai kendaraan lain yang dalam kondisi parkir di badan jalan, sehingga hanya menyisakan satu lajur dari arah berlawanan, dan mereka baru kembali melajukan kendaraannya setelah pengendara dari arah lajur berlawanan telah lewat dan jalan di lajur seberang telah kosong. Perhatikan, penulis notabene merupakan sesama warga dan sesama manusia, merupakan makhluk hidup, telah ternyata para pengedara tersebut secara “heartless”, tanpa hati nurani, mengklaksoni penulis yang menjadi terkejut dan panik juga trauma akan ditabrak (karena memang benar-benar pernah dan tidak jarang pengendara menabrak penulis di trotoar, tidak terkecuali pengendara yang melaju secara melawan arah).

Namun demikian, ketika mereka, para pengendara yang sama dengan yang telah mengklaksoni penulis, menjumpai kendaraan lain yang dalam kondisi diam terparkir di badan jalan, sehingga hanya menyisakan satu lajur dari arah berlawanan, para pengendara yang tidak manusiawi terhadap sesama manusia tersebut ternyata dapat “mendadak toleran dan kompromistik” terhadap kendaraan bermotor yang notabene BENDA MATI! Sampai kapan pun kita tidak akan berhasil menemukan “logika” dibalik kegilaan watak dan mentalitas bangsa semacam demikian, karena memang kegilaan dan irasionalitas tidak bersandar pada logika maupun rasio, akan tetapi semata bergerak berdsarkan impuls yang didorong oleh “akal sakit milik orang sakit”.

Telah ternyata, di mata manusia-manusia irasional tersebut, manusia lainnya terutama pejalan kaki adalah tidak lebih berharga untuk dihormati ketimbang perlakuan mereka terhadap kendaraan bermotor (benda mati) yang dalam kondisi terparkir di badan jalan sekalipun menghambat ataupun menghalangi laju kendaraan yang dikemudikan oleh sang “manusia irasional”. Kejadian dengan pola yang sedikit berbeda berikut ini pun tidak jarang penulis alami sebagai pejalan kaki. Pada jalan umum dengan dua lajur yang sempit, satu lajur dari arah berlawanan terdapat kendaraan roda empat dalam kondisi terparkir sehingga hanya menyisakan satu lajur, lajur mana menjadi lintasan jalan penulis yang berjalan di bahu jalan pada lajur kiri.

Namun secara mendadak dan mengejutkan, dari arah belakang seorang pengendara kendaraan bermotor roda empat mengklaksoni penulis (makhluk hidup), seolah penulis tidak berhak menggunakan jalan umum tersebut dan seakan tidak boleh menghalangi laju kendaraannya—alih-alih mengklaksoni mobil lain (benda mati) yang diparkir di badan jalan pada lajur sebaliknya di seberang. Hingga saat kini, penulis masih belum mampu menemukan “logika berpikir” dibalik perilaku irasional orang-orang yang mengaku berpendidikan namun minim rasio demikian, selain “logika irasional” milik mereka sendiri.

Jika mereka masih memiliki rasio barang sedikit, semestinya mereka mengklaksoni dan menabrakkan kendaraan yang mereka kendarai kepada kendaraan lain (benda mati) yang diparkir di badan jalan, alih-alih mengklaksoni dan menabrak pejalan kaki yang notabene seorang manusia dan makhluk hidup! Mereka, lebih sayang dan lebih hormat kepada benda mati, ketimbang kepada sesama manusia yang merupakan makhluk hidup yang dapat terluka secara fisik maupun traumatik secara psikis. Memang, penulis akui tidak semua warga di ibukota di Indonesia ini yang berperilaku irasional demikian, juga tanpa bermaksud untuk menggenalisir, namun sedikit banyaknya juga penulis akui menciptakan efek traumatik tersendiri bagi benak pribadi penulis akibat kerapnya mengalami kejadian serupa oleh perilaku para pengendara kita di jalan umum maupun di jalan raya.

Lalu perihal pengemudi yang melajukan kendaraan secara melawan arus—terutama pengendara kendaraan roda dua, tidak terkecuali pengendara sepeda maupun sesama pejalan kaki lainnya)—menurut Anda, siapakah yang semestinya mengalah, yang berjalan sesuai haknya di sebelah kiri, ataukah mereka yang berjalan secara melawan arus? Faktanya, 100% kejadian melawan arus yang penulis alami dan kerap hadapi, selalu saja secara arogannya pihak yang melawan arus selain tanpa rasa malu telah merampas hak penulis atas jalan sebelah kiri, mereka masih juga membuat penulis harus berpotensi mengalami kecelakaan terhantam kendaraan bermotor dari arah belakang—sementara itu mereka bersikukuh tidak mau mengalah sekalipun bersalah, dan sekalipun mereka mengetahui betul bahwa di belakang kepala penulis tidak terdapat mata ataupun semacam “spion” untuk mengetahui kondisi lalu-lintas di belakang ketika penulis dipaksa harus mengalah dengan bergeser ke badan jalan untuk melewati sang pelawan arus yang bila penulis memilih untuk berdiam di tempat maka diancam akan ditabrak oleh “kuda besi” yang mereka terjang. Anda mungkin tidak akan percaya, bahwa penulis dalam lebih dari satu kejadian pernah hampir terkena tabrak kendaraan bermotor roda dua di atas JEMBATAN PENYEBERANGAN ORANG! Persoalan merampas hak orang lain, bangsa ini nomor wahid, dan tampaknya mereka memang berbangga diri menyandang gelar demikian, kebanggaan irasional milik orang irasional tentunya.

Mereka tidak memiliki sentivitas, terlebih rasa bersalah ataupun rasa malu telah merampas hak juga memberi potensi celaka kepada warga lain yang tidak bersalah. Mereka bahkan benar-benar lebih memilih menabrak kaki penulis (benda hidup yang bisa sakit dan terluka) ketimbang menabrak kendaraan yang parkir liar di pinggir jalan, sehingga penulis mengalami memar hebat dan cedera kaki, itu pun sang penabrak masih juga memaki penulis alih-alih merasa bersalah ataupun memaki sang pengendara yang memarkir kendaraannya secara liar di pinggir jalan sehingga pejalan kaki sama sekali tidak memiliki akses ruas jalan untuk berjalan.

Sungguh kondisi infrastruktur yang tidak manusiawi di Kota Jakarta ini masih juga diperkeruh oleh perilaku pengendara pengguna jalan yang juga tidak kalah tidak manusiawinya. Idealnya, pengendara kendaraan bermotor bersikap manusiawi dan “friendly”, sehingga kendala infrastruktur tidak lagi menjadi persoalan berarti bagi kalangan pejalan kaki. Konon, wajah atau kondisi lalu-lintas suatu bangsa, merupakan miniatur budaya suatu bangsa, untuk kita nilai sebagai kultur yang sehat ataukah sebaliknya, kultur irasional yang lebih banyak memainkan peran mentalitas bangsa bersangkutan.

Menghadapi manusia “dungu”, kita harus merepotkan diri setiap kali berinteraksi atau memberikan mereka instruksi, secara panjang-lebar, bahkan harus diulang berulang-ulang dan berkali-kali tanpa jaminan paham sepenuhnya. Mereka tidak paham mengenai apa itu “makna implisit” dan “makna eksplisit”, baik dalam bahasa lisan maupun bahasa tertulis. Daya tangkap dan daya paham maupun daya cerna mereka cenderung dangkal dan sempit. Soal kemampuan dalam menimbang dan mempertimbangkan, mereka tidak dapat diandalkan, amat memprihatinkan—karenanya, bila Anda tidak sedang mujur, Anda akan mendapati hakim yang “dungu” menyidangkan dan memutus perkara yang Anda ajukan ke pengadilan untuk diputus.

Terkadang, praktik hukum di pengadilan bukan soal undang-undang, bukan juga soal apa yang menjadi aturan hukumnya, namun peran vital bobot sang hakim yang memeriksa dan memutus. Tavern pernah berkata, “Berikan saya hakim yang baik, maka hukum yang buruk pun tidak lagi menjadi kendala.” Baik saja tidak cukup, karena bijaksana merupakan perpaduan antara kebaikan moralitas disertai dengan kecerdasan. Terdapat sebuah peribahasa Belanda yang sangat penulis sukai, menyebutkan secara tepat sasaran untuk mewakili apa yang penulis maksudkan sebagai “separuh kata sudah cukup” : “Een goed verstaander heeft maar een half woord nodig.” Artinya, orang yang pandai memahami, (cukup) membutuhkan separuh perkataan. Jika masih belum jelas, tahu berbuat apa yang diharapkan dari dia.

Pengampunan dosa ataupun penghapusan dosa, penebusan dosa, atau istilah sejenis lainnya, adalah “too good to be true”. Namun, seberapa banyak diantara masyarakat kita yang justru menjadi pemeluk “Agama DOSA” tersebut—disebut demikian, semata karena “Agama DOSA” lebih menekankan promosi penghapusan dosa alih-alih jalan kesucian. Orang cerdas paham betul, maka kalimat berikut : Hanya seorang pendosa, yang membutuhkan iming-iming “korup” penuh kecurangan semacam penghapusan dosa, pengampunan dosa, maupun penebusan dosa.

Seorang pendosa, hendak berceramah perihal hidup suci, luhur, bersih, baik, agung, serta mulia, ibarat orang buta hendak menuntut orang buta lainnya. Si “dungu” tidak paham makna “Agama Ksatria”, yakni agama bagi mereka yang berjiwa ksatria dengan tidak lari dari kesalahan perbuatan mereka, dan memilih untuk bertanggung-jawab dalam kesempatan pertama. Suciwan manakah, yang membutuhkan pengampunan dosa? Untung bagi pelaku kejahatan, rugi bagi pihak korban. Penulis menyebut kalangan yang anti terhadap “Agama Ksatria” maupun “Agama Suci”, dengan menjadi pemeluk “Agama DOSA”, sebagai para “dungu” lahir dan batin. Kini Anda paham, orang “dungu” adalah berbahaya adanya.

Sang Buddha pernah membuat sindiran, bahwa si “dungu” berpikir dirinya adalah beruntung karena dapat menyakiti, melukai, ataupun merugikan makhluk hidup ataupun manusia lainnya. Semata, karena si “dungu” memang terlampau “dungu” untuk memahami bahwa penjahat yang paling tidak beruntung adalah penjahat yang selalu berhasil melancarkan niat jahatnya; dan berlaku prinsip sebaliknya, penjahat yang paling mujur ialah penjahat yang selalu gagal ketika mencoba melancarkan niat buruknya kepada orang lain.

Sang Buddha pun pernah menyatakan, apa yang dianggap atau dipandang sebagai kesenangan oleh para manusia “dungu”, sejatinya merupakan derita di mata seorang Buddha. Bagaimana mungkin, kenikmatan surgawi memakai perspektif kenikmatan duniawi semacam bersetubuh dengan puluhan bidadari berbusana “tembus pandang”? Lebih masuk akal bila kenikmatan surgawi dicerminkan lewat kenikmatan meditatif yang hening. Namun tetap saja, si dungu mengejar-ngejar dan mengimpikan “kenikmatan duniawi di alam surgawi” (???) dan berpikir caranya ialah dengan melakukan radikalisme dan ekstremisme.

Sama halnya, di mata orang-orang “dungu”, apa yang mereka sebut sebagai kemujuran atau keberuntungan maupun keuntungan, di mata seorang Buddha merupakan kemunduran dan jeratan penuh petaka dibaliknya. Mereka, mengutip kata-kata Sang Buddha, tidak mampu melihat bahaya dibaliknya. Dibalik setiap kesenangan inderawi, ada harga dan selalu ada resiko yang harus kita bayarkan, yakni kemelekatan dan dibuat bersusah-payah untuk mengejarnya, juga bersedih ketika harus berpisah atau terpisahkan dengannya. Banyak yang terjerat candu tembakau, alkohol, maupun obat-obatan terlarang, mereka harus membayar mahal “harga”-nya berupa terjerumus, melekat, dan harus kehilangan banyak hal, salah satunya sifat-sifat baik dalam diri mereka dan menjadi lemah kesadarannya.

Karenanya, orang-orang cerdas memilih praktik meditatif, yakni praktik latihan untuk melepas, alih-alih menggenggam erat, mencengkeram, hingga merampas—yang menurut orang “dungu” adalah sebentuk “kerugian” dan “siksaan”. Hanya orang “dungu”, yang bangga menimbun dirinya dengan berbagai Karma Buruk, untuk mereka petik sendiri buah pahitnya di masa mendatang, sementara itu harta-harta hasil kejahatan mereka tidak turut terbawa mati setelah ajal menjelang.

Itulah sebabnya, mengapa orang-orang “dungu” demikian merepotkan, dan sebaiknya kita hindari semampu kita. Seperti pesan Sang Buddha, “Jika kita tidak menemukan teman yang sepadan (dalam kebajikan dan kebijaksanaan) dengan kita, maka berjalanlah dan teruskan perjalanan cukup seorang diri.” Tetap saja, si “dungu” akan berpikir bahwa EQ artinya “banyak teman”. Sungguh, dunia ini tidak pernah kekurangan orang-orang “dungu” yang hanya menambah beban bagi dunia. Maka, agar tidak menjadi “beban bagi dunia”, jadilah orang “cerdas”, sebagai salah satu fondasi dasar dalam membangun pilar kebijaksanaan. Bijak, artinya “cerdas + baik”.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.