(DROP DOWN MENU)

Netralitas Komentator, KODE ETIK BEROPINI & BERPENDAPAT, BE PROFESSIONAL!

ARTIKEL HUKUM

Komentar dan Pendapat Masyarakat Rawan Disusupi Provokator dan Manipulator

Bahaya Dibalik Komentar Umum, Belum Tentu Netral dari Penyusup dan Penyaru

Bukan hanya kalangan profesional yang dituntut untuk bersikap netral, imparsial, akuntabel, serta transparan. Masyarakat yang sehat secara mentalitas dalam berbangsa dan bernegara, dicirikan oleh kemampuan dan kesediaan untuk bersikap netral selayaknya “warganegara yang profesional”. Kita tidak pernah tahu, motif tersembunyi (hidden agenda) apa yang sedang disusupkan oleh orang-orang yang beropini pada ruang publik, tidak jelas latar-belakangnya, kompetensi, kredibilitas, maupun akuntabilitas dan transparansi sosok pemberi opini maupun pendapat demikian, benar untuk kepentingan umum ataukah terdapat “pesan-pesan sponsor” dibaliknya secara parsial.

Bahaya dibalik penyusupan opini susupan demikian ialah, dapat disetirnya alam bawah sadar audiens pembaca maupun pendengarnya, seolah-olah itu merupakan suara atau aspirasi rakyat jelata di “akar rumput”, sementara itu bisa jadi penetrasi opini telah dirancang sedemikian rupa (baca : “by design”) yang memang ditujukan sejak semula untuk membentuk, menggeser, maupun memanipulasi opini publik. Karena itulah, tidak sedikit diantara rakyat kita yang kerap bermain pada ranah “politik praktis”, lewat aksi penyusupan demikian.

Umpama pada suatu daerah operasi darurat militer, kerapkali tentara pemerintah (berbaju loreng) direpotkan oleh militan yang menyaru sebagai rakyat sipil berbaju sipil namun seketika dan secara mendadak menembaki para tentara dari arah belakang atau dari tempat persembunyiannya. Militan yang menggunakan baju sipil, sangat menyulitkan tentara untuk mengidentifikasi mereka sebagai militan yang dapat diserang dan dapat menyerang, kawan ataukah lawan (atau mungkin pula “musuh dalam selimut”), ataukah rakyat sipil yang wajib dilindungi dan dilarang untuk disakiti dengan cara apapun, kita tidak pernah tahu sampai secara mendadak dan tiba-tiba kita telah menjadi objek sasaran berondongan peluru panas yang kemudian bersarang pada tubuh kita.

Asas sikap ksatria, sejatinya perlu kita terapkan dalam kehidupan bernegara dan berbangsa, dengan bersikap terbuka dan transparan ketika berada maupun berkomentar di ruang publik. Kita pun, selaku anggota masyarakat, perlu bersikap cerdas dengan menjadi “rakyat yang cerdas”, dengan tidak membiarkan opini kita digiring oleh opini mereka-mereka yang belum tentu netral dalam berpendapat di ruang publik. Manusia, tanpa memandang umur atau usia, pada dasarnya ialah “makhluk peniru” (latah). Satu buah opini dapat menggiring khalayak ramai untuk berbondong-bondong memiliki pandangan serupa, demikian juga cara kerja orasi maupun provokasi oleh para provokator hebat yang dikenal oleh sejarah, semacam Adolf Hitler sang orator ulung “berdarah dingin”.

Hati-hati terhadap komentator penyaru, itulah pesan dari ulasan ini, dan mulai menaruh waspada ketika membaca ataupun mendengar opini publik. Baru-baru ini saat ulasan ini disusun, para pengemudi “ojek online” (“Ojol”) yang mengantar paket barang maupun penumpang, mengeluhkan terjadi penurunan tarif bagi hasil antara pihak operator dan pihak pengemudi selaku “mitra” kerja. Keluhan mereka, kemudian dipublikasikan secara luas oleh media massa. Menanggapi pemberitaan demikian, muncul beragam komentar oleh masyarakat dunia digital (para “netizen”) terhadap isu demikian, suara-suara yang menyerukan simpati hingga yang mengkritik.

Yang terbanyak, ialah pendapat bahwa tiada yang memaksa para “driver ojek online” tersebut untuk memilih bekerja sebagai pengemudi “Ojol” lengkap dengan skema tarif bagi hasil antara pihak operator dan sang pengemudi—yang menjadi urusan pribadi sang “driver ojek online” lengkap dengan segala konflik internal terhadap pihak operator—yang notabene bukan urusan pihak konsumen pembayar tarif / ongkos kirim (pengguna jasa). Bila tarif jasa “ongkir” ialah sekian, maka itulah yang dibayarkan konsumen pengguna jasa mereka, dan telah dibayarkan yang karenanya konsumen berhak atas hak-haknya. Konsumen membayar bukan untuk mendapat komplain maupun mendengarkan keluhan, namun untuk dilayani sesuai harga tarif “ongkir” yang diterima masing-masing pihak.

Namun terdapat beberapa komentar lain yang cukup menggelitik perhatian penulis, dan perlu mendapat sorotan karena pada mulanya berhasil menggiring pemikiran pribadi penulis, bahwa betapa malang nasib sang “driver ojek online”, betapa mereka berhak dan layak dihargai dan dihormati profesinya, serta betapa mereka perlu diberi apresiasi lebih atas suka dan duka profesi mereka. Setelah penulis renungkan sejenak dan mengevaluasi komentar-komentar para “netizen” lainnya, barulah penulis terbangun dari lamunan dan “mimpi” yang bagai telah terhipnotis secara tanpa penulis sadari. Berikut kurang lebih komentar seseorang tidak dikenal (“anonim”) yang seolah-olah mengaku sebagai konsumen atau pengguna jasa “driver ojek online” dimaksud:

Saya adalah konsumen driver ojek online untuk beli makanan dan barang. Saya kasihan pada mereka dan cukup memaklumi kondisi para driver tersebut. Karena itulah, setiap kali menggunakan jasa mereka, saya memberikan mereka uang tips tunai Rp. 20.000. Sementara itu jika jaraknya cukup jauh, sesekali saya berikan tips uang tunai Rp. 50.000.”

Betapa dermawannya sang konsumen pengguna jasa dalam komentar tersebut di atas, bahkan angka nominal rupiahnya diluar batas kewajaran psikologis. Kalikan berapa kali dalam sebulan ia menggunakan layanan jasa “driver ojek online”, maka berapa besar alokasi anggaran dana untuk sekadar pemberian uang tips? Telah ternyata, sebuah komentar yang tampak natural dan netral sekalipun, bisa jadi rawan kepentingan yang menyusup, tidak “bebas nilai”, serta tidak tertutup kemungkinan dilontarkan oleh pihak-pihak yang menyaru dengan membawa serta agenda tersembunyi tertentu yang tidak pernah kita ketahui maupun waspadai.

Barulah ketika para komentator lain membuat pendapat, bahwa bila tarif jasa “driver ojek online” tersebut naik lebih mahal, maka mereka tidak akan memakai jasa “driver ojek online” tersebut dan akan memilih berbelanja atau berangkat dengan kendaraan pribadi sendiri. Bila para pengemudi “Ojol” tersebut merasa dieksploitasi oleh pihak operator, maka itu urusan pribadi sang pengemudi “Ojol” terhadap manajemen pihak operator, dimana bukan menjadi urusan pihak konsumen pengguna jasa selaku pembayar tarif ongkos kirim (“ongkir”), serta tidak ada yang memaksa mereka untuk berprofesi sebagai “budak” demikian (istilah “perbudakan” digunakan oleh para “driver ojek online” dalam menyebutkan pekerjaan mereka).

Seorang “budak” dalam kerja rodi, tidak pernah dibayar, dan tiada penjajahan ataupun pemaksaan ekonomi dalam konteks ini, terbukti dari masifnya tenaga kerja yang memilih menjadi “driver ojek online”, dimana satu orang “driver ojek online” berhenti dan keluar dari kemitraan maka para mitra baru lainnya yang mengantri masih cukup banyak untuk menggantikan posisi mereka, dan adalah tidak logis orang-orang berbondong-bondong mengantri menjadi seorang “budak” untuk diperbudak.

Apakah ada, orang sebodoh itu memberikan uang tips setara 1/2 hari kerja UMR? Tetangga yang cukup berpunya sekalipun pada lingkungan kediaman penulis, setelah cukup lama penulis amati, tidak pernah memberikan uang tips apapun kepada para “driver ojek online” tersebut meski sehari-harinya mereka menjadi pengguna jasa “driver ojek online”. Tampaknya, hanya orang yang cukup kurang mandiri dalam berpikir, yang akan terbawa serta termakan oleh manipulasi pikiran sang “driver ojek online” yang menyaru sebagai “konsumen” pengguna jasa pengemudi “Ojol”.

Dengan demikia, kita perlu selalu mengingat, tidak ada jaminan “bebas nilai” pihak-pihak yang melontarkan komentar dan pendapat di ruang publik yang serba “anonim”, bisa jadi dan selalu terbuka kemungkinan menyusup “hidden agenda”, semisal pelaku usaha yang menyaru sebagai pengguna jasa ataupun konsumen, kerap memuja-muji produk ataupun jasa yang mereka perjual-belikan dan tawarkan kepada pasar pengguna produk dan jasa—sudah “rahasia umum”.

Hal berikutnya yang kini perlu kita soroti secara lebih serius ialah, kurangnya sikap profesional dari para “driver ojek online” demikian. Bila setuju, terima dan silahkan ambil, dengan penuh tanggung-jawab jalankan amanat hingga tuntas apa yang menjadi kewajibannya, dan layani konsumen sebagai “raja” (customers is a KING. Ingat, tidak selamanya sang penyedia jasa akan menjadi penyedia jasa, kelak mereka pun bisa jadi menjadi pengguna jasa). Bila tidak setuju dengan skema tarif atau besaran nominal tarif jasa, jangan ambil. Bila tetap mengambilnya (accept), maka janganlah komplain dan mengeluh, serta mampu bersyukur sekalipun secara apa adanya. Masih banyak masyarakat kita di luar sana yang “jobless” dan lebih kurang beruntung lagi nasibnya. Justru karena masifnya “driver ojek online” yang merajalela di setiap ruas jalan, maka pihak operator memiliki daya tawar lebih besar sehingga dapat menekan hak-hak ekonomi para “mitra”-nya tersebut.

BE PROFESSIONAL! Itu urusan masing-masing, resiko usaha masing-masing, karenanya jangan mengeluh pada konsumen pengguna jasa. Konsumen sudah membayar “ongkir”, dan karenanya pihak penyedia jasa perlu bersikap profesional. Sang “driver ojek online” pun selama ini tidak pernah memusingkan bagaimana atau betapa sukar dan peliknya konsumen mendapat dan mencari uang untuk membayar “ongkir”, yang bisa jadi jauh lebih mengeluarkan banyak pengorbanan dari sang “driver ojek online”. Siapa yang tahu?

Apakah para “driver ojek online” tersebut, mau tahu urusan konsumennya, masalah konsumennya, kendala konsumennya, sumber ongkos yang dibayarkan konsumennya didapatkan sesukar dan seletih apakah? Bisa jadi, konsumennya selama ini lebih susah hidupnya daripada sang “driver ojek online”. Bukanlah profesi “driver ojek online” yang mendapat medali rekor dunia sebagia profesi paling nestapa di dunia. Namun, apakah pernah, konsumen mengeluh kepada sang “driver ojek online”, betapa sukar ia mendapatkan uang untuk bisa membayar “ongkir” sang “driver ojek online” (terlepas dari banyak-sedikitnya potongan dari pihak operator). Bila konsumen telah bersikap profesional dengan membayar tarif “ongkir” secara utuh dan penuh tanpa banyak menawar, maka mengapa sang penyedia jasa selaku penerima “ongkir” (“driver ojek online”), masih pula menyeluhkan pekerjaannya kepada publik? Bukankah itu cerminan sikap tidak profesional profesi mereka?

Bila konsumen tidak menggunakan jasa mereka, bisakah mereka hidup dan mencari nafkah? Pernahkah para “driver ojek online” penerima “ongkir” dari konsumen pengguna jasanya, berterimakasih kepada konsumen pembayar tarif jasa mereka? Faktanya, para pengguna jasa yang selama ini terlebih dahulu mengucap “terimakasih” kepada para “driver ojek online” tersebut ketika paket telah diantarkan sampai tujuan, sekalipun sejatinya secara etika berkomunikasi, penyedia jasa yang diharuskan untuk terlebih dahulu mengucapkan “terimakasih” kepada konsumennya yang telah membayar jasa dan memilih menggunakan layanan para “driver ojek online” yang bersangkutan.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.