(DROP DOWN MENU)

Makna Fungsi PENCEGAHAN pada KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI

ARTIKEL HUKUM

Hendaknya Koruptor Dibuat Jera Sejera-Jeranya, KPK Semestinya Bertaring, bukan Tampil Bak Malaikat terhadap Koruptor

Keseriusan Penegakan Hukum yang Separuh Hati, Membuat Jera Koruptor Janganlah Tanggung-Tanggung

Komisi PEMBERANTASAN Korupsi, ataukah Komisi PENCEGAHAN Korupsi?

Tentu kita sepakat, bahwa koruptor perlu dibuat jera agar penegakan hukum benar-benar dapat diharapkan membawa efek jera, sehingga membuat koruptor tersebut maupun para calon koruptor lain tidak tergoda hingga berani mencoba-coba aksi korupsi, kolusi, maupun nepotisme di Tanah Air. Tentu juga telah kita ketahui, bahwa bukanlah berita ataupun kasus baru, dimana seorang tersangka kasus korupsi dekati oleh oknum “mafia hukum” atau “mafia kasus” yang mengaku-ngaku sebagai aparatur penegak hukum yang mampu mengamputasi proses penyidikan maupun penegakan hukum bilamana diberi sejumlah “dana siluman” bagi yang bersangkutan, entah oknum berseragam tersebut benar menjabat dan memiliki kewenangan untuk itu atau bisa jadi hanya sekadar pejabat “gadungan”.

Yang jelas, hanya seorang koruptor yang benar-benar melakukan aksi korupsi maupun kolusi, yang tertarik dan tergiur oleh iming-iming sang oknum berseragam yang menawarkan diri untuk menjadi “mafia hukum” sewaan sang koruptor. Menjadi pertanyaan besarnya ialah, sudah layak atau tidak layak, sudah patut atau tidak patut, dan sudah adil atau tidak adil, bilamana sang koruptor ternyata “dikerjai” atau ditipu oleh sang oknum yang ternyata “gadungan” tersebut atau bisa jadi benar-benar memiliki jabatan tertentu di sebuah instansi namun gagal mengamputasi jalannya proses penegakan hukum sekalipun telah menerima sejumlah “dana siluman” demikian?

Seorang penipu, sudah sewajarnya bila dikemudian hari menjadi korban penipuan. Itu sudah sesuai “common sense” masyarakat umum. Seorang pencuri, juga sudah sewajarnya menjadi korban pencurian oleh pencuri lainnya di kemudian hari. Seorang yang kerap ingkar janji, pula sudah sepatutnya menerima kenyataan dirinya menjadi korban pihak lain yang ingkar janji sama kerapnya dengan diri yang bersangkutan. Ketika seseorang berani menjadi “pelaku”, maka ia harus siap dan berani untuk menjadi “korban” dikemudian hari (Hukum Karma). Karenanya, seorang koruptor hendaknya tidak menuntut terlampau banyak dalam hidup ini, seperti agar tidak tertipu oleh “mafia hukum” gadungan, dan segala modus penipuan lainnya yang hendak mengeksploitasi sang koruptor.

Hanya orang-orang yang selama ini hidup secara jujur dan adil, yang berhak protes pada kehidupan ini, kepada langit, kepada nasib, kepada pelaku yang menjahatinya (menyakiti, melukai, maupun merugikan), semata karena ketidak-adilan yang diderita olehnya terasa sebagai getir-pahit kehidupan yang tidak pada tempatnya dan tidak semestinya terjadi menipa dirinya. Menjadi orang baik dan lurus serta adil, sudah cukup berat—orang-orang baik kerap dijadikan “mangsa empuk” oleh anggota masyarakat lainnya—karenanya, sesungguhnya hanyalah orang-orang jahat yang lebih patut mendapat “cobaan”, derita, petaka, bencana, kerugian, terluka, tersakiti, maupun segala perbuatan jahat lainnya oleh para penjahat berdosa lainnya, yang secara singkat kata ialah paling patut bernasib sebagai korban pada gilirannya.

Seorang koruptor, bahkan tidak memiliki hak untuk komplain ketika menderita kerugian sebagai akibat dijadikan korban pada gilirannya. Bagaimana pun, hidup terus berputar, tidak selamanya seseorang menikmati perbuatan jahatnya sebagai pelaku kejahatan. Akan tiba masa, dimana mereka akan mencicipi duduk pada posisi sebagai korban kejahatan, selebihnya hanya perihal waktu untuk menunjukkan supermasinya.

Bila Anda merupakan penganut paham “kehendak bebas”, maka Anda pun harus mengakui bahwa menjadi orang baik maupun menjadi orang jahat, merupakan persoalan pilihan hidup masing-masing individu, sehingga masing-masing pribadi diantara kita itu sendirilah yang paling bertanggung-jawab atas hidup mereka masing-masing, atas suka dan duka hidup mereka masing-masing, atas buah manis maupun buah pahit yang mereka tanam dan yang akan mereka petik sendiri dikemudian hari. Selalu terdapat konsekuensi, dibalik setiap pilihan hidup. Bila Anda berani memilih, maka Anda pun harus siap dan sanggup menerima konsekuensinya.

Menjadi kontraproduktif, ketika pihak petinggi lembaga semacam Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bersikap “humanis” kepada seorang “hewanis-predatoris” (bernama koruptor), dengan  mengingatkan para pihak yang berperkara di KPK untuk waspada terhadap modus penipuan yang mengatas-namakan penyidik KPK ataupun Jaksa KPK yang bisa jadi menyalah-gunakan status dan seragamnya atau bahkan ternyata petugas atau oknum “gadungan” belaka.

Keganjilan paling utama dari sikap pimpinan KPK demikian ialah, KPK itu sendiri sebelum menetapkan seseorang sebagai tersangka, jelas mengetahui betul kuat dan lemahnya tuduhan demikian, lengkap atau tidaknya bukti yang menunjuk seorang pelaku, serta mengetahui betul bersalah atau tidaknya seseorang yang dijadikan tersangka kasus korupsi oleh KPK. Karenanya, yang disebut sebagai “para pihak” sebagaimana dalam paragraf di atas, merujuk pada para tersangka kasus korupsi yang selama ini telah dan sedang disidik dan diperiksa oleh para penyidik KPK, yang artinya pula KPK tahu betul seseorang yang telah dinaikkan statusnya sebagai tersangka ialah memang betul-betul seorang koruptor, yang bukan tanpa dasar tuduhan dan bukti pendukung sangkaan demikian.

Karenanya pula, adalah sudah sewajarnya bila seorang koruptor layak dan patut diperlakukan secara hina derajat dan martabatnya, dengan tidak perlu menampilkan sikap ataupun wajah “humanis” kepada kalangan koruptor tersebut, yang melakukan aksi kejahatannya bukan karena kelalaian serta bukan karena faktor “perut yang lapar” (namun keserakahan yang tidak kenal puas), namun semata akibat ketamakan serta dilakukan secara disengaja bahkan tidak jarang secara tersistematis dan sangat rapih dalam artian demikian rapat modus operandi sang koruptor dan rekan-rekan korupsinya dalam mengontrol aksi mereka yang tidak jarang canggih serta tersamarkan.

Justru merupakan hal yang bagus dan tidak kontraproduktif terhadap fungsi penjeraan bagi pelaku tindak pidana korupsi, dengan analogi serupa di atas, seorang perampok terkena modus penipuan dan karenanya menderita akibat tertipu, sudah pantas dan layak sebagai jawabannya—bahkan dapat kita sebut sebagai “sudah seharusnya” menderita derita yang sama jahatnya atau bahkan lebih jahat lagi sifat deritanya, semata agar tercipta efek jera (detterent effect) yang diharapkan muncul dan terbentuk membentuk semacam citra kelam bagi mereka-mereka yang memiliki niat melakukan aksi korupsi-, benar-benar dimiskinkan dan jatuh miskin karenanya baik karena vonis hukuman maupun karena terkena modus penipuan para oknum “mafia kasus” yang menawarkan iming-iming amputasi perkara yang menjerat sang koruptor.

Banyak diantara kalangan masyarakat umum, yang mengharapkan KPK dapat lebih proaktif dalam fungsi “pencegahan”, namun kita tidak dapat melupakan peran penting “efek penjeraan” bagi para pelaku aksi korupsi di Tanah Air, bahwasannya para pelakunya mendapat banyak dis-insentif ketimbang insentif dari atau akibat harta hasil “rampokan” (lewat korupsi). Menjadi kontraproduktif, ketika KPK justru bersikap “humanis” terhadap para pelaku aksi korupsi, karena itu menyerupai insentif bagi para “tikus-tikus hitam” yang selama ini menggerogoti uang rakyat.

Sehingga, antara “deterrent effect” terhadap fungsi “pencegahan”, bagai pinang dibelah dua, saling sinkronistik satu sama lainnya, bahkan tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya. Sifat diantara keduanya pun, saling linear, dalam artian apabila penjeraan menemukan titik optimumnya, maka dengan sendirinya menjadi dis-insentif bagi sang koruptor maupun bagi para calon koruptor lainnya, sehingga dengan demikian mampu menekan secara signifikan angka kasus korupsi di Indonesia.

Disamping itu, yang cukup menggelitik ialah frasa atau makna peran fungsi “pencegahan” yang (entah bagaimana dapat) turut diemban KPK itu sendiri adalah rancu dan ambigu adanya karena memperkeruh fungsi dan tugas pokok utama pembentukan lembaganya yaitu untuk “memberantas”. Sebagaimana telah kita ketahui, sebelum ini Mahkamah Konstitusi RI telah mengamputasi salah satu pasal terpenting pada Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), dimana korupsi semula merupakan “delik formil”, oleh Mahkamah Konstitusi RI disulap dan diamputasi menjadi sekadar “delik materiil”, karenanya harus ada wujud real nyata dan konkret adanya kerugian negara, barulah seorang koruptor dapat dijerat oleh Undang-Undang Tipikor dan disidangkan untuk dijatuhi vonis hukuman.

Bila KPK ditengah jalannya aksi korupsi seorang koruptor, seketika muncul mendadak sembari berkata “STOP! Jika Anda melanjutkan aksi Anda, maka kerugian terhadap keuangan negara akan terjadi, maka Anda bisa masuk penjara! Maka, berhenti dan hentikan sekarang juga aksi dan niat korupsi Anda! Anda telah dan sedang kami sadap, sehingga jangan lanjutkan lagi agar tidak terjadi delik materiil bila Anda masih sayang anak dan istri Anda di rumah!

Sayangnya, mengapa KPK yang demikian besar dana operasionalnya, hanya bekerja untuk hal semacam itu, yang mana dapat dilakukan oleh instansi-instansi pemerintahan lainnya yang telah demikian “gemuk” seperti Badan Pemeriksa Keuangan maupun Inspektorat Jenderal pada berbagai Direktoral Jenderal Kementerian? KPK menjadi menyerupai lembaga “pencuci piring”, mencuci piring-piring kotor yang tidak dibersihkan oleh berbagai lembaga pengawasan internal kementerian. Fungsi “pencegahan” semacam itu, bukanlah ranah penegak hukum selevel KPK, namun domain para pemuka agama di tempat ibadah dan para tenaga pengajar dan pendidik di sekolah. Membentuk sistem pemerintahan yang “rapat” dari celah “bermain”, juga bukan domain KPK, namun domain kewenangan departemen pemerintahan dibidang reformasi Aparatur Sipil Negara.

Ironi kedua ialah, KPK dikritik karena lebih senang menangkap dan memenjarakan ketimbang mencegah aksi korupsi untuk terjadi. Ketika KPK berhasil menjalankan fungsi “pencegahan”, akibatnya tiada aksi “OTT” (alias ZERO “operasi tangkap tangan” dalam setiap tahunnya) terhadap seekor pun koruptor selama bertahun-tahun. Alhasil, muncul pula kritik dari masyarakat, bagai serba salah di pihak KPK, bahwa KPK “makan gaji buta” dan “melempem tidak bertaring” karena sangat jarang menangkap pelaku aksi korupsi sekalipun terus membakar anggaran yang bersumber langsung dari keuangan negara untuk operasional kegiatan KPK.

Sebagai penutup, meski bukan yang paling akhir, terdapat kata kunci yang terpenting dari makna “deterrent effect”, tepatnya esensi frasa “penjeraan”, yakni merujuk pada pemahaman berikut : “A deterrent is something that prevents people from doing something by making them afraid of what will happen to them if they do it.

Bilamana kita memerhatikan dengan sungguh-sungguh penjabaran di atas mengenai esensi kata “penjeraan”, maka terdapat dua kata kunci yang telah penulis berikan penekanan. Malaikat berbaju dan berwajah malaikat, tidak akan ditakuti oleh kalangan koruptor mana pun. Karenanya, ada kalanya kita perlu meniru langkah Ajahn Brahm, seorang bhikkhu yang justru menasehati sebagai berikut : “Ada kalanya, seorang suciwan dan malaikat sekalipun perlu menunjukkan taring tajam di balik bibirnya.

Korupsi, merupakan kegagalan sistemik pendidikan dalam keluarga, salah asuhan pada lembaga pendidikan formil maupun nonformil, kekeliru-tahuan mengenai Tuhan dan dosa (seolah dapat dihapuskan sehingga tiada konsekuensi atau bahaya dibaliknya), menyalah-artikan sumpah jabatan yang kemudian disalah-gunakan, faktor teladan lingkungan pergaulan dan kerja yang meremehkan dampak gratifikasi, menyepelekan perasaan korban-korban rakyat jelata dari aksi korupsi, “standar moral” yang memandang ritual dapat mensucikan diri seseorang seperti apapun perilaku mereka dan se-tercela seperti apapun perbuatan mereka selama hidup.

KPK bukanlah lembaga ajaib yang mampu menyulap seseorang yang terbiasa ditempa bermental “korup”, untuk seketika berubah menjelma suciwan. Aksi semacam korupsi, adalah sebuah ekses, atau dampak, dari kegagalan sistemik sebagaimana telah kita bahas bersama, tidak semudah membalik telapak tangan untuk mampu membendungnya terjadi. Mengapa tidak ini saatnya, kita beramai-ramai menunjuk hidung kalangan pemuka agama dan para kalangan edukator yang demikian masif di republik kita, serta fungsi pendidikan dalam keluarga, sebagai biang keladi tumbuh suburnya koruptor di negeri “amburadul” bernama Indonesia ini, dengan bertanya, “Apa saja kerja mereka selama ini dan di mana saja mereka selama ini?

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.