Terkadang dan Seringkali, Putusan Pengadilan Bukanlah Produk Putusan Majelis Hakim, namun Putusan Seorang Hakim yang Dominan
Question: Yang menyidangkan ialah majelis hakim yang terdiri lebih dari satu orang hakim. Bila yang menyuap hanya memberi uang suap kepada satu dari tiga orang hakim, apakah bisa dipidana karena menyuap, dan apakah hakim yang disuap bisa berkelit bahwa putusan diputus oleh majelis hakim yang terdiri dari tiga orang? Beda cerita dengan hakim praperadilan yang terdiri dari hakim tunggal, bila yang memeriksa dan memutus perkara adalah majelis hakim, apakah harus menyuap seluruh hakim itu barulah dapat disebut menyuap untuk memengaruhi putusan?
Brief Answer: Dalam praktek, sekalipun pemeriksa dan pemutus
perkara terdiri dari Majelis Hakim yang berjumlah tiga orang atau lima orang
atau bahkan sembilan orang hakim, tidak jarang yang benar-benar menjadi otak
dibalik suatu putusan pengadilan hanya berupa satu orang sosok hakim yang
dominan perannya—entah karena alasan anggota majelis hakim lainnya terlampau
sibuk dengan tumpukan berkas perkara lain, terlampau pemalas, tidak menguasai
bidang hukum tertentu, atau lain sebagainya. Karenanya, menjadi rancu serta
ambigu membenturkan konsepsi “hakim tunggal” Vs. “majelis hakim”, dimana
majelis pemutus perkara yang tersusun dari lebih dari satu orang sekalipun
bukanlah suatu jaminan akuntabilitas produk peradilan.
Contoh paling ekstrem ialah vonis pidana yang menjerat Hakim Konstitusi
bernama Patrialis Akbar, dalam suatu perkara permohonan uji materiil terkait
importasi hewan ternak, telah teryata Patrialis Akbar seorang diri mampu
menyetir arah putusan Mahkamah Konstitusi setelah melakukan transaksi jual-beli
putusan dari semula “maximum security”
menjelma “relative security”, dimana
kesembilan orang Hakim Konstitusi membubuhkan tanda-tangan dalam putusan tanpa
adanya “dissenting opinion” alias
putusan diterbitkan dengan suara bulat.
Contoh lainnya, ialah di era dimana aturan hukum telah begitu kompleks
menyerupai “norma rimba belantara”, praktisi hukum dipaksa serta terpaksa kian
terspesialisasi, tidak terkecuali kalangan hakim. Semisal hanya terdapat satu
dari tiga hakim yang memahami dunia medis dan kedokteran, lalu dihadapkan pada
kasus malpraktek kedokteran, maka kedua anggota dari tiga anggota Majelis Hakim
akan cenderung membiarkan saja seorang hakim yang mengklaim memahami hukum
kedokteran untuk membuat putusan, dua anggota yang kurang paham akan seketika
tanda-tangan pada draft putusan yang telah dibuat oleh hakim yang mengklaim
paling paham.
Itulah sebabnya, asas “ius curia
novit” (hakim dianggap tahu hukumnya) menjadi tidak lagi relevan pada era
kontemporer ini, dimana juga tidaklah mungkin Hakim Konstitusi mampu memutus
secara adil dan benar terhadap seluruh perkara uji materiil yang menyangkut
segala sektor mulai dari A—Z. Hakim yang hanya menguasai “kulit luar”-nya saja,
mustahil diharapkan mampu memutus secara benar, sekalipun bisa jadi sang hakim
telah bersikap independen saat memutus karena tidak menerima dana suap dari
pihak manapun yang berkepentingan.
PEMBAHASAN:
Untuk memudahkan pemahaman,
ilustrasi konkret lainnya dapat SHIETRA & PARTNERS cerminkan lewat putusan
pidana terhadap seorang pelaku penyuap agar Ketua Hakim Konstitusi bernama Akil
Mochtar menyetir arah putusan Mahkamah Konstitusi RI dalam suatu sengketa
pemilihan umum kepada daerah (Pilkada), divonis pidana sebagaimana putusan
Mahkamah Agung RI register Nomor 65 PK/Pid.Sus/2016 tanggal 26 Juli 2016.
Semula, terhadap tuntutan
Penuntut Umum, yang kemudian menjadi putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
Jakarta Pusat Nomor 11/Pid.Sus/TPK/2015/PN.Jkt.Pst. tanggal 11 Mei 2015, dengan
amar sebagai berikut:
“MENGADILI :
1. Menyatakan Terdakwa RAJA BONARAN SITUMEANG terbukti bersalah melakukan
tindak pidana “Korupsi” sebagaimana diancam pidana dalam Pasal 6 ayat (1) huruf
a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi sebagaimana dalam dakwaan PRIMAIR;
2. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa RAJA BONARAN SITUMEANG berupa pidana
penjara selama 4 (empat) tahun dan pidana denda sejumlah Rp200.000.000 (dua
ratus juta rupiah), apabila tidak dibayarkan, diganti dengan pidana kurungan
selama 2 (dua) bulan;
3. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani oleh Terdakwa
dikurangkan seluruhnya dari pidana yang telah dijatuhkan;
4. Menetapkan supaya Terdakwa tetap dalam tahanan;”
Dalam tingkat Banding, yang
menjadi putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta Nomor 25/PID/TPK/2015/PT.DKI.
tanggal 19 Agustus 2015, dengan amar sebagai berikut:
“MENGADILI :
- Menerima permintaan banding dari Jaksa / Penuntut Umum dan Terdakwa;
- Mengubah Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat Nomor 11/Pid.Sus/TPK/2015/PN.Jkt.Pst. tanggal 11 Mei 2015 yang dimintakan
banding tersebut dengan mengubah sekedar lamanya pidana yang dijatuhkan kepada
Terdakwa sehingga amar selengkapnya berbunyi sebagai berikut:
1. Menyatakan Terdakwa RAJA BONARAN SITUMEANG terbukti bersalah melakukan
tindak pidana “Korupsi” sebagaimana diancam pidana dalam Pasal 6 ayat (1) huruf
a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi sebagaimana dalam dakwaan PRIMAIR;
2. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa RAJA BONARAN SITUMEANG berupa
pidana penjara selama 4 (empat) tahun dan pidana denda sejumlah
Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah), apabila tidak dibayarkan, diganti
dengan pidana kurungan selama 2 (dua) bulan;
3. Menghukum Terdakwa RAJA BONARAN SITUMEANG dengan pidana tambahan
berupa pencabutan hak memilih dan dipilih pada pemilihan yang dilakukan menurut
aturan-aturan umum selama 5 (lima) tahun setelah menjalani pidana yang
dijatuhkan yang berkekuatan hukum tetap;
4. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani oleh Terdakwa dikurangkan
seluruhnya dari pidana yang telah dijatuhkan;
5. Menetapkan supaya Terdakwa tetap dalam tahanan;”
Terdakwa mengajukan upaya hukum
Peninjauan Kembali (PK) terhadap putusan Banding Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi Jakarta di atas, tanpa pernah mengajukan upaya hukum kasasi. Dimana
terhadapnya, Mahkamah Agung RI membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai
berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap
alasan-alasan permohonan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali /
Terpidana tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa alasan-alasan permohonan
peninjauan kembali Pemohon tidak dapat dibenarkan, karena putusan yang
dimohonkan peninjauan kembali telah mempertimbangkan dengan cermat, jelas dan
lengkap unsur-unsur dakwaan yang relevan dengan fakta hukum persidangan yang
diperoleh dari alat-alat bukti yang sah menurut hukum, yang menimbulkan
keyakinan Hakim bahwa Pemohon terbukti melakukan tindak pidana yang diatur
dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, dengan pertimbangan sebagai berikut:
1. Bahwa menurut fakta hukum, Pemohon telah melakukan penyuapan terhadap
M. Akil Mochtar, Ketua Mahkamah Konstitusi, untuk memenangkan perkaranya dalam
sengketa Hasil Pilkada Tapanuli Selatan, dimana Pemohon sebagai Pemenang
Pilkada, agar di dalam perkaranya di Mahkamah Konstitusi, Pemohon tetap
dinyatakan sebagai Pemenang, dengan menyerahkan sejumlah uang dari Pemohon
kepada M. Akil Mochtar, yaitu sejumlah Rp1.800.000.000,00 (satu miliar delapan
ratus juta rupiah), dengan cara orang suruhan Pemohon mentransfer ke Rekening Tabungan
CV. Ratu Semangat Nomor Rekening 146-00-8988899-9 atas nama Ratu Rita Akil,
isteri dari M. Akil Mochtar melalui Bank Mandiri;
2. Bahwa bukti surat Pemohon yang diberi tanda PK – 1, yaitu mengenai Berita
Mass Media tentang terpilihnya M. Akil Mochtar sebagai Pimpinan Mahkamah
Konstitusi dan bukti PK-2 mengenai saat M. Akil Mochtar memangku jabatan sejak
tanggal 03 April 2013. Bahwa bukti PK-1 dan PK-2 tersebut tidak dapat dikatakan
sebagai keadaan baru / Novum, sebab hal tersebut sudah menjadi notoire feiten /
pengetahuan umum bahwa M. Akil Mochtar Ketua Mahkamah Konstitusi dan bertugas
sejak tanggal 03 April 2013. Bukti PK-1 dan PK-2 tidak relevan untuk
dipertimbangan sebagai Novum, sebab yang menjadi “substansi” perkara a quo
adalah “pemberian uang kepada M. Akil Mochtar sebanyak Rp1.800.000.000,00 (satu
miliar delapan ratus juta rupiah);
3. Bahwa fakta-fakta sebagai berikut telah terbukti di persidangan,
yaitu:
a. Bahwa Terdakwa menyuap M. Akil Mochtar sebagai Pimpinan Mahkamah
Konstitusi dalam perkara Pemilukada Terdakwa di Mahkamah Konstitusi Nomor
31.32/PHPU.D-/IX/2011 dengan Panel Hakim adalah Ahmad Sodiki, Muhammad ALIM dan
Haryono;
b. Bahwa benar M. Akil Mochtar bukan Panel Hakim yang memeriksa perkara
Pemilukada a quo di Mahkamah Konstitusi, namun maksud atau keinginan Terdakwa
memberikan uang kepada M. Akil Mochtar adalah karena sesuai dengan janji Sdr.
M. Akil Mochtar kepada Terdakwa, sehingga Terdakwa percaya dan menaruh harapan
bahwa dengan pemberian uang tersebut akan memengaruhi Hakim dan memenangkan
perkaranya;
c. Bahwa ketentuan Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Tipikor menentukan,
memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada “Hakim” dengan maksud untuk
memengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili;
d. Bahwa mens rea Terdakwa memberikan uang kepada M. Akil Mochtar sebagai
Hakim Mahkamah Konstitusi sekaligus sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi tujuannya
adalah untuk memengaruhi agar perkara Pemilukada Terdakwa yang sedang diperiksa
di Mahkamah Konstitusi dapat dimenangkan oleh Terdakwa, dan bahwa benar hasil pemeriksaan
perkara di Mahkamah Konstitusi, gugatan pihak Iawan Terdakwa ditolak oleh
Mahkamah Konstitusi, artinya Terdakwa dinyatakan sebagai pemenang;
e. Bahwa tidak mutlak Hakim yang disuap adalah harus Hakim yang
memeriksa perkara Pemilukada Terdakwa. Bisa saja terjadi Hakim yang
disuap bukan Hakim Panel yang memeriksa perkara melainkan Hakim lain
sebagaimana dalam perkara a quo, M. Akil Muchtar dapat menjanjikan
memenangkan perkara tersebut dengan memengaruhi putusan dimaksud;
f. Berdasarkan fakta yang terungkap, terdapat hubungan kausal yang
erat antara kepentingan dan keinginan Terdakwa dengan sdr. M. Akil Mochtar
dalam memenangkan perkara Pemilukada Terdakwa di Mahkamah Konstitusi.
g. Bahwa terdapat pembicaraan masalah Pemilukda di Mahkamah Konstitusi
antara Terdakwa dengan M. Akil Mochtar dimana Sdr. M. Akil Mochtar menegaskan
bahwa “perkara Pemilukada Terdakwa di Mahkamah Konstitusi sudah beres, lnsya
Allah tidak ada hambatan”;
h. Bahwa terlepas apakah M. Akil Mochtar merupakan Hakim Panel atau bukan
atas perkara Terdakwa yang diperiksa di Mahkamah Konstitusi, mens rea
Terdakwa adalah memberikan uang kepada M. Akil balk sebagai Hakim Mahkamah
Konstitusi maupun sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi;
i. Bahwa perbuatan yang dilarang menurut ketentuan Pasal 6 Undang-Undang
Tipikor sesuai dengan jiwanya adalah “memberi sesuatu / uang untuk memengaruhi
putusan”, tidak perlu langsung kepada Panel Hakim tetapi melalui Hakim
lainnya yang mempunyai power atau pengaruh terhadap Hakim lainnya;
3. Bahwa dalam putusan yang dimohonkan peninjauan kembali dihubungkan dengan
bukti-bukti Pemohon, ternyata tidak ada bukti baru / Novum, atau kekhilafan
Hakim, atau kekeliruan yang nyata, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 263 ayat
(2) huruf a, huruf b, dan huruf c Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana;
“Menimbang, bahwa berdasarkan
pertimbangan di atas, karena alasanalasan peninjauan kembali Terpidana tidak
memenuhi ketentuan Pasal 263 ayat (2) huruf a, huruf b dan huruf c
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, maka berdasarkan
ketentuan Pasal 266 ayat (2) huruf a KUHAP, permohonan peninjauan kembali dari
Pemohon Peninjauan Kembali / Terpidana tersebut harus ditolak;
“Menimbang, bahwa oleh karena
pemohonan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali / Terpidana
ditolak, maka putusan yang dimohonkan peninjauan kembali tersebut dinyatakan
tetap berlaku;
“M E N G A D I L I :
- Menolak permohonan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali /
TERPIDANA RAJA BONARAN SITUMEANG tersebut;
- Menetapkan bahwa putusan yang dimohonkan peninjauan kembali tersebut
tetap berlaku;”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.