(DROP DOWN MENU)

BerTuhan, namun Tuhan yang Lebih PRO Terhadap Pendosa / Penjahat, AGAMA DOSA

SOMASI TERBUKA KEPADA SELURUH UMAT MUSLIM DAN NASRANI

Superioritas Semu yang Dibangun Diatas Pilar Rapuh Bernama DELUSI

Question: Berbagai kalangan umat agama samawi yang mencoba menyerang Buddhisme, dengan melemparkan tudingan bahwa Agama Buddha menjadikan umatnya tidak berjiwa, tidak punya tujuan hidup, serta tidak bermakna, karena tidak menyembah Tuhan? Namun, bukankah kita lihat sendiri dalam keseharian, realitanya segala kejahatan di dunia ini dilakukan oleh mereka-mereka yang mengaku ber-Tuhan?

Brief Answer: Dulu, sebelum agama samawi diperkenalkan ke umat manusia, tidak ada pendosa (penjahat) yang yakin akan masuk surga setelah kematian menjemput sang penjahat. Kini, para penjahat berlomba-lomba mengoleksi segudang dosa, berkubang dalam lautan dosa, memproduksi segunung dosa, serta bersimbah dosa, namun yakin seyakin-yakinnya terjamin akan masuk alam surgawi setelah ajal menjemput mereka. “Kabar gembira” bagi pendosa, sama artinya “kabar buruk / duka” bagi kalangan korban-korban dari sang pendosa.

Karenanya, kita perlu bertanya-balik kepada para umat agama samawi tersebut, Tuhan yang mereka sembah, peluk, dan anut, ialah Tuhan yang PRO terhadap pendosa dengan menghapus dosa-dosa para pendosa tersebut, ataukah Tuhan yang PRO terhadap korban dengan menghukum para pelaku kejahatan secara imparsial? Dahulu, sebelum adanya agama samawi, orang-orang baik otomatis masuk surga (hukum meritokrasi egalitarian alias hukum sebab-akibat), namun kini surga dimonopoli oleh para PENDOSA PEMALAS PENGECUT PENJILAT PECANDU PENGHAPUSAN DOSA (abolition of sins). Dengan kata lain, nabi-nabi agama samawi tersebut merupakan “juru selamat” ataukah sebaliknya, “juru PETAKA”?

Mereka, para umat agama samawi, berdelusi sebagai kaum paling superior yang karenanya merasa berhak menghakimi kaum lainnya. Sejatinya, mereka justru merupakan kasta paling terendah dan paling hina—yakni pemalas yang begitu pemalas untuk menanam benih-benih karma baik untuk mereka petik sendiri dikemudian hari dan disaat bersamaan merupakan pengecut yang begitu pengecut untuk bertanggung-jawab atas perbuatan-perbuatan buruk mereka sendiri yang selama ini menyakiti, merugikan, maupun melukai pihak-pihak lainnya.

Terhadap dosa dan maksiat, mereka begitu kompromistik. Namun disaat bersamaan, terhadap kaum yang berbeda keyakinan, mereka begitu intoleran. Cobalah Anda bertanya-balik kepada para umat agama samawi tersebut, sebuah permainan logika sederhana, sebagai berikut: “JIka ada orang baik, orang yang penuh tanggung-jawab, bahkan orang suci, namun NON atau ateis, apakah masuk surga ataukah neraka?” Bila mereka menjawab, “Masuk NERAKA!” Maka Anda patut menimpali : “Berarti agama kalian, adalah AGAMA DOSA bagi PENDOSA, bukan agama suci!

PEMBAHASAN:

Dalam tiap-tiap dogma agama samawi, para pelaku menghindari tanggung jawab atas perbuatan-perbuatan mereka sendiri, dengan mengatas-namakan adanya daya paksa diluar kendali mereka.

Berikut Sang Buddha membabarkan, menolak doktrin Theistik / Theisme yang selama ini diagung-agungkankan oleh para umat agama samawi [dikutip dari Aguttara Nikāya, Sutta Pitaka, Tipitaka]:

“Para bhikkhu, ada tiga doktrin sektarian ini yang, ketika dipertanyakan, diinterogasi, dan didebat oleh para bijaksana, dan dibawa menuju kesimpulan mereka, akan berakhir dalam tidak berbuat. Apakah tiga ini?

“Ada para petapa dan brahmana lainnya yang menganut doktrin dan pandangan seperti ini: ‘Apa pun yang dialami orang ini — apakah menyenangkan, menyakitkan, atau bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan — semuanya disebabkan oleh aktivitas Tuhan pencipta.’

“Kemudian, para bhikkhu, Aku mendatangi para petapa dan brahmana itu yang menganut doktrin dan pandangan seperti ini: ‘Apa pun yang dialami orang ini —  apakah menyenangkan, menyakitkan, atau bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan — semuanya disebabkan oleh aktivitas Tuhan pencipta,’

“Dan Aku berkata kepada mereka: ‘Benarkah bahwa kalian para mulia menganut doktrin dan pandangan demikian?’

“Ketika Aku menanyakan hal ini kepada mereka, mereka menegaskannya. Kemudian Aku berkata kepada mereka: ‘Kalau begitu, adalah karena aktivitas Tuhan pencipta maka kalian mungkin melakukan pembunuhan, mengambil apa yang tidak diberikan, melakukan aktivitas seksual, berbohong, mengucapkan kata-kata yang memecah-belah, berkata kasar, bergosip; maka kalian mungkin penuh kerinduan, memiliki pikiran berniat buruk, dan menganut pandangan salah.’

Mereka yang mengandalkan aktivitas Tuhan pencipta sebagai kebenaran mendasar tidak memiliki keinginan [untuk melakukan] apa yang harus dilakukan dan [untuk menghindari melakukan] apa yang tidak boleh dilakukan, juga mereka tidak berusaha dalam hal ini.

Karena mereka tidak memahami sebagai benar dan sah segala sesuatu yang harus dilakukan dan tidak boleh dilakukan, maka mereka berpikiran kacau, mereka tidak menjaga diri mereka sendiri, dan bahkan sebutan personal sebagai ‘petapa’ tidak dapat dengan benar ditujukan kepada mereka. Ini adalah bantahan logisKu yang ke dua atas para petapa dan brahmana yang menganut doktrin dan pandangan demikian.”

Sudah tidak terhitung banyaknya umat agama samawi yang mencoba menyerang Buddhisme, mereka selalu berakhir pada “kekosongan alibi” untuk membantah apa yang telah dibabarkan oleh Sang Buddha lebih dari 2.500 tahun yang lampau, jauh sebelum agama-agama samawi seperti Nasrani maupun Islam dicetuskan oleh mereka yang mengaku sebagai “rasul Allah”.

Fakta demikian tidaklah mengejutkan, selama ini para umat agama samawi begitu berbesar-mulut berbicara tentang Kitab Agama, ayat-ayat, tentang Nabi, tentang Tuhan, tentang doktrin-doktrin agama, tentang dogma-dogma agama, namun saat mereka dimintakan pertanggung-jawaban atas perbuatan-perbuatan buruk mereka sendiri, mereka begitu “MISKIN KEBERANIAN UNTUK BERTANGGUNG-JAWAB”—jauh dari jiwa seorang ksatria yang masih bisa berbuat keliru, namun siap-berani untuk bertanggung-jawab sehingga korban tidak perlu menuntut ataupun mengemis-ngemis pertanggung-jawaban.

Yesus, menurut teks-teks ajaran Nasrani / Kristiani, disalib bersama dua orang penjahat yang turut disalib bersama Yesus—salah seorang penjahat tersebut adalah seorang “penyamun”. Namun, Yesus kemudian memasukkan ke surga kedua orang penjahat tersebut, dan disaat bersamaan Yesus memasukkan ke neraka orang-orang baik ataupun orang-orang suci yang tidak bersedia menggadaikan jiwanya untuk menjadi penyembah Yesus.

Babi, disebut haram. Namun...

PENGHAPUSAN DOSA, disebut halal—serta dijadikan “halal lifestyle”, sekalipun sifat antara “DOSA” dan “PENGHAPUSAN DOSA” selalu saling komplomenter alias “bundling”.

Bung, hanya seorang PENDOSA yang butuh PENGHAPUSAN DOSA. Itu adalah “Agama SUCI” ataukah “Agama DOSA”?—kesemuanya dikutip dari Hadis Sahih Muslim:

- No. 4852 : “Dan barangsiapa yang bertemu dengan-Ku dengan membawa kesalahan sebesar isi bumi tanpa menyekutukan-Ku dengan yang lainnya, maka Aku akan menemuinya dengan ampunan sebesar itu pula.

- No. 4857 : “Barang siapa membaca Subhaanallaah wa bi hamdihi (Maha Suci Allah dan segala puji bagi-Nya) seratus kali dalam sehari, maka dosanya akan dihapus, meskipun sebanyak buih lautan.

- No. 4863 : “Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengajarkan kepada orang yang baru masuk Islam dengan do'a; Allaahummaghfir lii warhamnii wahdinii warzuqnii'. (Ya Allah, ampunilah aku, kasihanilah aku, tunjukkanlah aku, dan anugerahkanlah aku rizki).”

- No. 4864 : “Apabila ada seseorang yang masuk Islam, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengajarinya tentang shalat kemudian disuruh untuk membaca do'a: Allaahummaghfir lii warhamnii wahdinii wa'aafini warzuqnii'. (Ya Allah, ampunilah aku, kasihanilah aku, tunjukkanlah aku, sehatkanlah aku dan anugerahkanlah aku rizki).”

- No. 4865 : “Ya Rasulullah, apa yang sebaiknya saya ucapkan ketika saya memohon kepada Allah Yang Maha Mulia dan Maha Agung?" Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menjawab: 'Ketika kamu memohon kepada Allah, maka ucapkanlah doa sebagai berikut; 'Ya Allah, ampunilah aku, kasihanilah aku, selamatkanlah aku,”

- Aku mendengar Abu Dzar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Jibril menemuiku dan memberiku kabar gembira, bahwasanya siapa saja yang meninggal dengan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, maka dia masuk surga.” Maka saya bertanya, ‘Meskipun dia mencuri dan berzina? ‘ Nabi menjawab: ‘Meskipun dia mencuri dan juga berzina’.” [Shahih Bukhari 6933]

Terdapat dua jenis korupsi, yakni : “korupsi materi” dan “korupsi DOSA”. Pelaku yang melakukan korupsi terhadap uang rakyat, disebut KORUPTOR. Sementara itu yang para umat agama samawi yang setiap harinya melakukan “korupsi DOSA”, tidak lebih mulia daripada para KORUPTOR yang disebut diawal, yakni disebut sebagai KORUPTOR DOSA!

“Standar moral” semacam apakah, yang menjadi sunnah nabi rasul Allah, sang kekasih Allah yang disebut-sebut oleh ibu-ibu pengajian sebagai manusia paling sempurna, paling baik, paling suci, paling baik, dan paling mulia? Telah ternyata berupa teladan MABUK dan MENCANDU PENGHAPUSAN DOSA (tercela)—juga masih dikutip dari Hadis Muslim:

- No. 4891. “Saya pernah bertanya kepada Aisyah tentang doa yang pernah diucapkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memohon kepada Allah Azza wa Jalla. Maka Aisyah menjawab; 'Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah berdoa sebagai berikut: ‘Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari keburukan perbuatan yang telah aku lakukan dan yang belum aku lakukan.’

- No. 4892. “Aku bertanya kepada Aisyah tentang do'a yang biasa dibaca oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, maka dia menjawab; Beliau membaca: ‘Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari keburukan perbuatan yang telah aku lakukan dan yang belum aku lakukan.’

- No. 4893. “dari 'Aisyah bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam di dalam do'anya membaca: ‘Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari keburukkan sesuatu yang telah aku lakukan, dan dari keburukkan sesuatu yang belum aku lakukan.’”

- No. 4896. “dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bahwasanya beliau pemah berdoa sebagai berikut: ‘Ya Allah, ampunilah kesalahan, kebodohan, dan perbuatanku yang terlalu berlebihan dalam urusanku,  serta ampunilah kesalahanku yang Engkau lebih mengetahui daripadaku. Ya Allah, ampunilah aku dalam kesungguhanku, kemalasanku, dan ketidaksengajaanku serta kesengajaanku yang semua itu ada pada diriku. Ya Allah, ampunilah aku atas dosa yang telah berlalu, dosa yang mendatang, dosa yang aku samarkan, dosa yang aku perbuat dengan terang-terangan dan dosa yang Engkau lebih mengetahuinya daripada aku,”

- Aisyah bertanya kepada Rasulullah SAW, mengapa suaminya shalat malam hingga kakinya bengkak. Bukankah Allah SWT telah mengampuni dosa Rasulullah baik yang dulu maupun yang akan datang? Rasulullah menjawab, “Tidak bolehkah aku menjadi seorang hamba yang banyak bersyukur?” [HR Bukhari Muslim]

PENDOSA, namun hendak berceramah perihal akhlak, hidup suci, luhur, mulia, baik, jujur, serta terpuji? Sang Buddha menyatakan bahwa itu ibarat ORANG BUTA, orang buta mana hendak menuntun para butawan lainnya berbondong-bondong “tancap gas” menuju lembah jurang nista bernama “alam rendah”.

Para umat muslim kemudian berdelusi, bahwa para muslim “kembali suci” lewat memakan dan termakan iming-iming ideologi KORUP bernama “PENGHAPUSAN DOSA”. PENDOSA yang menikmati “sins laundring” lantas menjelma SUCIWAN? Orang suci manakah, yang MABUK dan KECANDUAN PENGHAPUSAN DOSA? Oke, mereka mungkin “kembali suci” lewat PENGHAPUSAN DOSA, namun menjema seorang “KORUPTOR DOSA” sebagai fakta yang tidak lagi terbantahkan!

BUNG, HANYA SEORANG PENDOSA YANG BUTUH PENGHAPSUAN DOSA!—sampai mati pun nasib para muslim telah divonis sebagai seorang PENDOSA PEMALAS PENGECUT PENJILAT PECANDU PENGHAPUSAN DOSA.

Mereka, para pendosa yang mabuk PENGHAPUSAN DOSA tersebut, bahkan lebih sibuk ritual memohon PENGHAPUSAN DOSA alih-alih sibuk bertanggung-jawab atas perbuatan-perbuatan mereka sendiri.

Sang Buddha bersabda: [dikutip dari Dhammapada dan Aguttara Nikāya]

316. Barangsiapa malu terhadap hal tak memalukan, tidak malu terhadap hal memalukan; mereka yang memegang pandangan keliru itu akan menuju ke alam sengsara.

317. Juga, barangsiapa takut terhadap hal tak menakutkan, tidak takut terhadap hal menakutkan; mereka yang memegang pandangan keliru itu akan menuju ke alam sengsara.

318. Barangsiapa menganggap tercela terhadap hal tak tercela, menganggap tak tercela terhadap hal tercela; mereka yang memegang pandangan keliru itu akan menuju ke alam sengsara.

319. Sebaliknya, barangsiapa menyadari hal tercela sebagai yang tercela, menyadari hal tak tercela sebagai yang tak tercela; mereka yang memegang pandangan benar itu akan menuju ke alam bahagia.

“Para bhikkhu, ada empat jenis orang ini terdapat di dunia. Apakah empat ini? Orang yang mengikuti arus; orang yang melawan arus; orang yang kokoh dalam pikiran; dan orang yang telah menyeberang dan sampai di seberang, sang brahmana yang berdiri di atas daratan yang tinggi.

(1) “Dan apakah orang yang mengikuti arus? Di sini, seseorang menikmati kenikmatan indria dan melakukan perbuatan-perbuatan buruk. Ini disebut orang yang mengikuti arus.

(2) “Dan apakah orang yang melawan arus? Di sini, seseorang tidak menikmati kenikmatan indria atau melakukan perbuatan-perbuatan buruk. Bahkan dengan kesakitan dan kesedihan, menangis dengan wajah basah oleh air mata, ia menjalani kehidupan spiritual yang lengkap dan murni. Ini disebut orang yang melawan arus.

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas, seseorang ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa ke sana. Apakah lima ini?

(1) Tanpa menyelidiki dan tanpa memeriksa, ia memuji seorang yang layak dicela.

(2) Tanpa menyelidiki dan tanpa memeriksa, ia mencela seorang yang layak dipuji.

“Para bhikkhu, dengan memiliki lima kualitas, seorang bhikkhu tuan rumah ditempatkan di surga seolah-olah dibawa ke sana. Apakah lima ini?

(1) Setelah menyelidiki dan setelah memeriksa, ia mencela seorang yang layak dicela.

(2) Setelah menyelidiki dan setelah memeriksa, ia memuji seorang yang layak dipuji.

Anda tahu, arti kata dari “alam Neraka” dalam perspektif, kami terkait “alam Neraka” versi agama samawi, di mata umat Buddhist? “Neraka agama samawi”, merupakan MONUMEN KEGAGALAN TUHAN. Semakin banyak manusia-manusia baik dan orang suci yang dilempar ke neraka oleh Tuhan agama samawi yang diberi nama sebagai “Allah”, maka semakin besar MONUMEN KEGAGALAN ALLAH.

Sang Buddha pernah bersabda, apa yang di mata orang-orang kebanyakan dipandang sebagai kenikmatan, adalah dukkha di mata seorang Buddha. Sama halnya, apa yang dinamakan sebagai “surga” di mata para PENDOSA, merupakan “neraka” di mata para SUCIWAN. Begitupula sebaliknya, apa yang dipandang sebagai “surga” di mata para SUCIWAN, merupakan “neraka” di mata kalangan PENDOSA. Biarkanlah, para PENDOSA tersebut berkumpul di dalam “surga-nya para PENDOSA”.

Ada seorang Muslim, yang membuat pengakuan kepada publik, bahwa satu-satunya yang ditakutkan oleh Muslim, hanyalah “BABI”—selebihnya, “BUAT DOSA DAN MAKSIAT, SIAPA TAKUT, ADA PENGHAPUSAN DOSA!”

Realita berikut dapat kita jumpai dikeseharian. Muslim yang satu kemudian disakiti, dirugikan, dan dilukai oleh muslim-muslim lainnya (oleh sesama muslim). Muslim-muslim yang melakukan kejahatan demikian, kemudian dimasukkan ke surga berkat iming-iming KORUP bernama PENGHAPUSAN DOSA. Disini, yang “merugi” ialah sang muslim itu sendiri—itulah yang disitir oleh pepatah orang bijak sebagai : YANG HIDUP DARI PEDANG, AKAN MATI KARENA PEDANG. YANG HIDUP DARI PENGHAPUSAN DOSA, AKAN MATI KARENA PENGHAPUSAN DOSA.

Adakah diantara Anda, yang mengetahui akar penyebab rendahnya tingkat IQ Bangsa Indonesia? Dosa dan maksiat disebut sebagai dilarang oleh Tuhan. Namun, disaat bersamaan, agama-agama samawi yang sama tersebut justru mempromosikan PENGHAPUSAN DOSA alih-alih mengkampanyekan gaya hidup higienis dari dosa dan maksiat.

Antara “larangan berbuat dosa dan maksiat” dan “promosi PENGHAPUSAN DOSA sebagai halal lifestyle”, sejatinya merupakan dua buah proposisi yang saling menegasikan satu sama lainnya. Hanya orang-orang dengan tingkat “IQ tiarap” (dungu) yang tidak mampu menyadarinya, bahkan memakan dan termakan oleh dogma-dogma KORUP dan KONYOL demikian.

Bagaikan mampu meramalkan kelahiran agama-agama samawi setelah Sang Buddha mangkat, apa yang disabdakan oleh Beliau seolah ditujukan kepada umat-umat agama samawi sebagaimana dapat kita jumpai dalam khotbah Sang Buddha dalam “Aguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang Buddha, JILID III”, Judul Asli : “The Numerical Discourses of the Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012, terjemahan Bahasa Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta Press, Penerjemah Edi Wijaya dan Indra Anggara, dengan kutipan:

157 (7) Khotbah yang Disampaikan Secara Keliru

“Para bhikkhu, sebuah khotbah disampaikan secara keliru ketika, setelah menimbang satu jenis orang terhadap jenis lainnya, khotbah itu disampaikan kepada lima jenis orang [yang tidak tepat] ini. Apakah lima ini?

Sebuah khotbah tentang keyakinan disampaikan secara keliru kepada seorang yang hampa dari keyakinan; sebuah khotbah tentang perilaku bermoral disampaikan secara keliru kepada seorang yang tidak bermoral; sebuah khotbah tentang pembelajaran disampaikan secara keliru kepada seorang yang sedikit belajar; sebuah khotbah tentang kedermawanan disampaikan secara keliru kepada seorang yang kikir; sebuah khotbah tentang kebijaksanaan disampaikan secara keliru kepada seorang yang tidak bijaksana.

(1) “Dan mengapakah, para bhikkhu, sebuah khotbah tentang keyakinan disampaikan secara keliru kepada seorang yang hampa dari keyakinan?

Ketika sebuah khotbah tentang keyakinan sedang dibabarkan, seseorang yang hampa dari keyakinan menjadi kehilangan kesabaran dan menjadi jengkel, melawan, dan keras kepala; ia memperlihatkan kemarahan, kebencian, dan kekesalan.

Karena alasan apakah? Karena ia tidak melihat keyakinan itu di dalam dirinya dan tidak memperoleh sukacita dan kegembiraan dengan berdasarkan padanya. Oleh karena itu sebuah khotbah tentang keyakinan disampaikan secara keliru kepada seorang yang hampa dari keyakinan.

(2) “Dan mengapakah, sebuah khotbah tentang perilaku bermoral disampaikan secara keliru kepada seorang yang tidak bermoral?

Ketika sebuah khotbah tentang perilaku bermoral sedang dibabarkan, seseorang yang tidak bermoral menjadi kehilangan kesabaran dan menjadi jengkel, melawan, dan keras kepala; ia memperlihatkan kemarahan, kebencian, dan kekesalan.

Karena alasan apakah? Karena ia tidak melihat perilaku bermoral itu di dalam dirinya dan tidak memperoleh sukacita dan kegembiraan dengan berdasarkan padanya. Oleh karena itu sebuah khotbah tentang perilaku bermoral disampaikan secara keliru kepada seorang yang tidak bermoral.

(3) “Dan mengapakah, sebuah khotbah tentang pembelajaran disampaikan secara keliru kepada seorang yang sedikit belajar?

Ketika sebuah khotbah tentang pembelajaran sedang dibabarkan, seseorang yang sedikit belajar menjadi kehilangan kesabaran dan menjadi jengkel, melawan, dan keras kepala; ia memperlihatkan kemarahan, kebencian, dan kekesalan.

Karena alasan apakah? Karena ia tidak melihat pembelajaran itu di dalam dirinya dan tidak memperoleh sukacita dan kegembiraan dengan berdasarkan padanya. Oleh karena itu sebuah khotbah tentang pembelajaran disampaikan secara keliru kepada seorang yang sedikit belajar.

(4) “Dan mengapakah, sebuah khotbah tentang kedermawanan disampaikan secara keliru kepada seorang yang kikir?

Ketika sebuah khotbah tentang kedermawanan sedang dibabarkan, seseorang yang kikir menjadi kehilangan kesabaran dan menjadi jengkel, melawan, dan keras kepala; ia memperlihatkan kemarahan, kebencian, dan kekesalan.

Karena alasan apakah? Karena ia tidak melihat kedermawanan itu di dalam dirinya dan [182] tidak memperoleh sukacita dan kegembiraan dengan berdasarkan padanya. Oleh karena itu sebuah khotbah tentang kedermawanan disampaikan secara keliru kepada seorang yang kikir.

(5) “Dan mengapakah, sebuah khotbah tentang kebijaksanaan disampaikan secara keliru kepada seorang yang tidak bijaksana?

Ketika sebuah khotbah tentang kebijaksanaan sedang dibabarkan, seseorang yang tidak bijaksana menjadi kehilangan kesabaran dan menjadi jengkel, melawan, dan keras kepala; ia memperlihatkan kemarahan, kebencian, dan kekesalan.

Karena alasan apakah? Karena ia tidak melihat kebijaksanaan itu di dalam dirinya dan tidak memperoleh sukacita dan kegembiraan dengan berdasarkan padanya. Oleh karena itu sebuah khotbah tentang kebijaksanaan disampaikan secara keliru kepada seorang yang tidak bijaksana.

“Sebuah khotbah disampaikan secara keliru ketika, setelah menimbang satu jenis orang terhadap jenis lainnya, khotbah itu disampaikan kepada lima jenis orang [yang tidak tepat] ini.

“Para bhikkhu, sebuah khotbah disampaikan secara benar ketika, setelah menimbang satu jenis orang terhadap jenis lainnya, khotbah itu disampaikan kepada lima jenis orang [yang tepat] ini. Apakah lima ini?

Sebuah khotbah tentang keyakinan disampaikan secara benar kepada seorang yang memiliki keyakinan; sebuah khotbah tentang perilaku bermoral disampaikan secara benar kepada seorang yang bermoral; sebuah khotbah tentang pembelajaran disampaikan secara benar kepada seorang yang terpelajar; sebuah khotbah tentang kedermawanan disampaikan secara benar kepada seorang yang dermawan; sebuah khotbah tentang kebijaksanaan disampaikan secara benar kepada seorang yang bijaksana.

(1) “Dan mengapakah, para bhikkhu, sebuah khotbah tentang keyakinan disampaikan secara benar kepada seorang yang memiliki keyakinan?

Ketika sebuah khotbah tentang keyakinan sedang dibabarkan, seseorang yang memiliki keyakinan tidak menjadi kehilangan kesabaran dan tidak menjadi jengkel, melawan, dan keras kepala; ia tidak memperlihatkan kemarahan, kebencian, dan kekesalan.

Karena alasan apakah? Karena ia melihat keyakinan itu di dalam dirinya dan memperoleh sukacita dan kegembiraan dengan berdasarkan padanya. Oleh karena itu sebuah khotbah tentang keyakinan disampaikan secara benar kepada seorang yang memiliki keyakinan.

(2) “Dan mengapakah, sebuah khotbah tentang perilaku bermoral disampaikan secara benar kepada seorang yang bermoral?

Ketika sebuah khotbah tentang perilaku bermoral sedang dibabarkan, seseorang yang bermoral tidak menjadi kehilangan kesabaran dan tidak menjadi jengkel, melawan, dan keras kepala; ia tidak memperlihatkan kemarahan, kebencian, dan kekesalan.

Karena alasan apakah? Karena ia melihat perilaku bermoral itu di dalam dirinya dan memperoleh sukacita dan kegembiraan dengan berdasarkan padanya. Oleh karena itu sebuah khotbah tentang perilaku bermoral disampaikan secara benar kepada seorang yang bermoral.

(3) “Dan mengapakah, sebuah khotbah tentang pembelajaran disampaikan secara benar kepada seorang yang terpelajar?

Ketika sebuah khotbah tentang pembelajaran sedang dibabarkan, seseorang yang terpelajar tidak menjadi kehilangan kesabaran dan tidak menjadi jengkel, melawan, dan [183] keras kepala; ia tidak memperlihatkan kemarahan, kebencian, dan kekesalan. Karena alasan apakah?

Karena ia melihat pembelajaran itu di dalam dirinya dan memperoleh sukacita dan kegembiraan dengan berdasarkan padanya. Oleh karena itu sebuah khotbah tentang pembelajaran disampaikan secara benar kepada seorang yang terpelajar.

(4) “Dan mengapakah, sebuah khotbah tentang kedermawanan disampaikan secara benar kepada seorang yang dermawan?

Ketika sebuah khotbah tentang kedermawanan sedang dibabarkan, seseorang yang dermawan tidak menjadi kehilangan kesabaran dan tidak menjadi jengkel, melawan, dan keras kepala; ia tidak memperlihatkan kemarahan, kebencian, dan kekesalan.

Karena alasan apakah? Karena ia melihat kedermawanan itu di dalam dirinya dan memperoleh sukacita dan kegembiraan dengan berdasarkan padanya. Oleh karena itu sebuah khotbah tentang kedermawanan disampaikan secara benar kepada seorang yang dermawan.

(5) “Dan mengapakah, sebuah khotbah tentang kebijaksanaan disampaikan secara benar kepada seorang yang bijaksana?

Ketika sebuah khotbah tentang kebijaksanaan sedang dibabarkan, seseorang yang bijaksana tidak menjadi kehilangan kesabaran dan tidak menjadi jengkel, melawan, dan keras kepala; ia tidak memperlihatkan kemarahan, kebencian, dan kekesalan.

Karena alasan apakah? Karena ia melihat kebijaksanaan itu di dalam dirinya dan memperoleh sukacita dan kegembiraan dengan berdasarkan padanya. Oleh karena itu sebuah khotbah tentang kebijaksanaan disampaikan benar kepada seorang yang bijaksana.

“Para bhikkhu, sebuah khotbah disampaikan secara benar ketika, setelah menimbang satu jenis orang terhadap jenis lainnya, khotbah itu disampaikan kepada lima jenis orang [yang tepat] ini.”

Sekarang, Anda dapat menjadi paham serta maklum, bahwa PENDOSA hanya menyukai AGAMA DOSA, karena tidak ada kesucian dalam diri dan jiwa mereka. Sebagaimana air, secara alamiahnya selalu bergerak ke arah bawah, bukan sebaliknya.

Jika jadi PENDOSA (penjahat) saja masuk surga berkat iming-iming KORUP bernama PENGHAPUSAN DOSA, maka untuk apakah juga menjadi orang baik-baik maupun orang suci? Itulah, jebakan mental yang selalu dapat kita jumpai pada umat-umat agama samawi. Mereka merasa “MERUGI” jika MENJADI ORANG BAIK, terlebih MENJADI ORANG SUCI.

Mereka, para PENDOSA yang mabuk dan mencandu ideologi KORUP benama PENGHAPUSAN DOSA tersebut—alias para KORUPTOR DOSA—hanya akan mempermalukan diri mereka sendiri ketika mencoba mendebat umat Buddhist yang benar-benar paham dan mempraktikkan Dhamma.

Bung, (terlagipula) untuk memuliakan Tuhan, adalah dengan cara menjadi seorang manusia yang mulia, bukan dengan cara menjadi seorang PENDOSA PEMALAS PENGECUT PENJILAT PECANDU PENGHAPUSAN DOSA. Hanya “Tuhan yang bodoh”, yang bersedia dipersatukan dengan manusia-manusia penuh kekotoran batin—ibarat pepatah “nila setitik, rusak susu sebelanga”.