SENI SOSIAL
Ambivalensi antara Subjektivitas dan Sikap Objektif, sebuah PARADOKS
Mungkinkah seseorang Mampu Bersikap Objektif dengan
Melepaskan Diri dari Perspektif Pribadi yang Berangkat dari Latar Belakang
Pengalaman Pribadi yang Personal Sifatnya dan Berbeda antar Individu?
Question: Maksudnya apa, ketika ada orang yang meminta kita untuk bersikap objektif?
Brief Answer: Sikap “objektif”, merupakan lawan kata dari
sikap “subjektif”. Komunikasi antar individu, cara merespons, maupun ketika
kita menilai dan mengambil keputusan, sedikit-banyaknya dibiaskan oleh
perspektif pribadi diri kita masing-masing, sehingga tidak heran terjadi salah-kaprah,
miskomunikasi, salah memaknai, salah-kaprah, ataupun terjadi bias penyampaian
pesan antara si pembicara dan pihak yang mendengarkan. Distorsi pesan terjadi
disamping faktor ketidaksempurnaan bahasa lisan maupun tertulis, juga akibat
dibiaskan oleh persepsi pribadi masing-masing pihak, baik pihak yang berbicara
maupun pihak yang mendengarkan.
Perspektif pribadi melahirkan asumsi dan tendensi
atau kecenderungan tertentu, sehingga lebih menyerupai “kacamata hitam” (sebuah
kiasan) ketika kita mencoba melihat dunia. Hanya dengan melepakan “kacamata
hitam” itulah, kita baru dapat berpikir secara jernih, menanggapi dunia
eksternal diri secara lebih objektif, serta melihat secara “apa adanya”. Namun
demikian, ada kalanya kondisi menuntut kita selaku orang luar (outsider) untuk meminjam “kacamata” milik
orang lain, semata agar kita dapat turut berempati dan turut prihatin atas
kondisi dan situasi yang dihadapi seseorang yang tidak jarang bersifat
dilematis atas suatu peristiwa traumatik maupun dramatis yang dialaminya secara
langsung secara personal. Contoh, sebagai pria, kita tidak mengetahui kesulitan
hidup seperti apa yang dihadapi kalangan ibu rumah-tangga, ataupun sebaliknya.
Ilustrasi sederhana berikut dapat menjadi contoh
konkret mengenai peran persepsi pribadi dalam keseharian kita. Terdapat sebuah
warung makan yang menjadi tempat dimana biasanya penulis membeli makanan,
dimana yang melayani pembelian oleh pelanggan ialah dua orang yang saling
bergiliran melayani pelanggan yang datang berkunjung untuk membeli. Satu orang
diantaranya bertubuh kecil dan kurus, ketika melayani pembeli, porsi yang
diberikan kepada pembeli selalu berupa porsi untuk orang bertubuh sama kecil
dengan diri sang pelayan, sekalipun yang membeli dan memesan ialah orang yang
bertubuh lebih besar daripada dirinya.
Kontras dengan pelayan yang disebut pertama,
pelayan yang kedua berpostur tubuh besar dan gemuk, dan ketika melayani pesanan
pembeli, porsi yang diberikan selalu serba banyak, sebanyak biasanya sang
pelayan memakan nasi dan makanan lauk-pauk yang ia rasa dapat mengenyangkan
perutnya—sebagai tolak-ukur persepsi pribadinya. Karena itulah, para berbagai
rumah makan yang lebih menekankan takaran dan standar prosedur baku (SOP), para
pelayannya dilatih untuk melepaskan preferensi bawaan berupa persepsi
pribadinya, dan diharuskan berlatih untuk mengingat takaran porsi makanan yang
diberikan kepada pembeli sebagai “standar”, betapa pun tubuh sang pelayan
adalah kecil maupun besar, sehingga setiap pembeli akan mendapatkan porsi yang
sama, tidak lebih banyak dan juga tidak lebih sedikit—sehingga lebih terukur,
dan jelas ukurannya.
Ketika seorang hakim pemeriksa dan pemutus
perkara tindak pidana asusila dimana korbannya ialah seorang wanita /
perempuan, sementara itu sang hakim adalah bergender pria, maka sang hakim
tidak dibenarkan untuk bersikap “objektif”, mengingat pelecehan dan tindak
pidana asusila memasuki ranah kejiwaan dan aspek psikologis disamping trauma
tubuh yang mengalami luka atau bahkan kehamilan tidak diinginkan akibat
perkosaan oleh sang pelaku kejahatan—bila regulator pembentuk regulasi yang
duduk di parlemen ialah mayoritas diduduki oleh para kalangan pria, maka mereka
akan lebih cenderung menolak gagasan untuk membolehkan praktik abors! bagi
wanita (korban) yang mengandung janin akibat tindak kejahatan asusila.
Untuk itu, sang hakim perlu menempatkan dirinya
di kursi sang saksi korban pelapor, berempati dan mampu merasakan prihatin
lengkap dengan segala derita dan perasaan korban, ketakutan, disamping segala
penyulit yang dialami untuk seumur hidup sang korban—dengan kata lain, memilih
untuk secara proaktif bersikap “subjektif” untuk kepentingan korban, dimana
tanpa itu maka hakim akan menyerupai robot yang meski murni bersikap objektif,
namun “dingin” dan tidak berperasaan. Kita dapat menyebutnya sebagai, “subjektivitas
dalam rangka affirmative action”.
Karenanya, bukan persoalan apakah kita hanya boleh bersikap objektif ataupun
subjektif, namun akan lebih relevan ketika kita tahu KAPAN harus bersikap
objektif dan KAPAN harus bersikap subjektif.
PEMBAHASAN:
Gelas, galon, ataupun botol
yang berisi air, akan cenderung membiaskan cahaya, sehingga apa yang tampak
dibalik botol plastik tersebut akan berbeda dari pandangan aslinya ketika kita
menyingkirkan botol tersebut dari pandangan kita, ataupun ketika air di dalamnya
kita kuras mengingat sudah sifatnya air untuk membiaskan cahaya. Istilah
lainnya dari persepsi pribadi yang mengeruhkan pandangan dan penilaian, ialah
“anasir”. Anasir, bisa berupa anasir bawaan yang merupakan hasil latar-belakang
pengalaman pribadi, pendidikan, ideologi, faktor kebiasaan, budaya, keyakinan,
idealisme diri, visi dan misi, cita-cita, yang sifatnya internal pada diri
seorang individu, termasuk didalamnya ialah sinisme dan antipati ataupun
sebaliknya (bersimpati).
Anasir kedua bersifat eksternal,
yang biasanya dilekatkan oleh pihak ketiga, bisa berupa anasir politik, anasir
pengaruh lingkungan pergaulan, harapan keluarga terhadap kita, tuntutan
pekerjaan (membuat kita lebih cenderung melindungi “semangat korps”), seragam
yang kita kenakan, komitmen (semisal perkawinan), status (semisal menjadi
orangtua), janji (ikatan itu sendiri, termasuk “gaji” atau “upah”), anasir
tren, anasir konflik kepentingan semisal “latah” terhadap sentimen terhadap
kaum tertentu, dan lain sebagainya.
Anasir-anasir demikian dapat
kita sadari menguasai cara berpikir ataupun cara kita memandang dunia dalam
diri maupun dunia luar, yang mana tidak jarang tidak kita sadari sama sekali
telah terus-menerus kita bawa dalam keseharian dari sejak muda hingga tumbuh
dewasa. Terdapat anasir yang positif sifatnya, namun tidak jarang pula yang
bersifat negatif disamping destruktif. Kita bahkan kerap melekat pada identitas
yang kita buat sendiri, ataupun identitas yang orang lain lekatkan kepada atau
harapkan dari diri kita (semisal sebagai si “bodoh”, si “pemalas”, faktor
gengsi, dsb)—yang membuat kita pada akhirnya terjebak pada kekakuan karakter,
tidak lagi dinamis, juga menganggap identitas tersebut adalah personal diri
kita itu sendiri yang tidak dapat tergantikan, dimana tanpa “persona” (topeng
atau kemasan diri) tersebut maka (seolah) kita tidak eksis di dunia ini.
Karena itulah, kita perlu
menaruh perhatian dan berhati-hati penuh kewaspadaan terhadap persepsi pribadi
kita, dan dengan arif tidak melekat kepadanya, namun bersifat terbuka,
fleksibel, dan membuka diri untuk perubahan dan dalam rangka perbaikan diri.
Bukan bermaksud agar kita tidak memiliki pendirian dan prinsip diri, namun
lebih kepada seruan untuk bersikap dinamis mengingat dinamika masyarakat pun
bersifat dinamis, tidak seperti sebuah potret yang “beku” sifatnya, terpaku
pada satu momen tertentu dan membajak cara berpikir kita ibarat berjalan di
tempat.
Terdapat seorang pujangga hukum
bernama Hans Kelsen, yang mengusung konsep pembersihan hukum dari anasir-anasir
non-hukum, bernama “the pure theory of
law”, tujuannya semata untuk menyingkirkan dan menihilkan anasir-anasir “toxic” yang dapat merusak kemurnian
hukum sebagai sesuatu yang bersifat sakral dan tidak terbias dalam proses pembentukan
maupun penegakkannya. Sayangnya, disaat bersamaan ia mengeliminir orang-orang
dari sifat kemanusiaannya itu sendiri, yakni kemampuan untuk bersikap
“subjektif”, kering dari segi empati, nihil kearifan yang mana membutuhkan pula
kemampuan bersikap “subjektif” yang terdegradasi demi obsesi kemurnian dibalik
hukum seolah-olah hukum dapat dibentuk di “ruang hampa” anasir.
Itulah sebabnya, hakim yang
memiliki hubungan keluarga dengan salah satu pihak yang bersengketa di
pengadilan, diwajibkan oleh hukum untuk mengundurkan diri sebagai hakim
pemeriksan dan pemutus perkara, karena telah melekat persepsi pribadi hakim
bersangkutan yang dapat membuat putusannya menjadi bias atau timpang sebelah,
karena gagal bersikap objektif—betapa tidak, kita cenderung lebih percaya apa
terhadap apapun yang dikatakan oleh orang-orang terdekat kita, dan tidak jarang
seketika berasumsi secara “membabi-buta” bahwa apa yang mereka katakan adalah
benar adanya, sementara itu orang lain selalu merupakan pihak yang keliru,
tanpa secara seimbang mencoba mendengarkan keterangan fakta peristiwa dari
semua pihak yang saling berkonflik tanpa terkecuali.
Begitupula ketika perkara
tindak pidana asusila dihadapkan ke persidangan, dimana sang Terdakwa selaku
pelakunya bergender pria, sementara itu hakim yang menyidangkan perkara
tuntutan pidana ialah bergender sesama pria, adalah wajar bila kita membaca
atau mendengar pemberitaan bahwa hakim dalam perkara demikian justru kerap
mendiskreditkan dan memojokkan pihak saksi korban yang notabene sebagai seorang
wanita, dengan menyebut bahwa sang korban-lah yang telah membuat sang Terdakwa tergoda
sehingga “gelap mata” ketika melihat pakaian “you can see” yang dikenakan sang korban pelapor.
Itulah yang disebut sebagai
bias gender, dimana sang hakim yang melupakan bahwa dirinya adalah sesama pria
dengan pihak Terdakwa, perlu menempatkan dirinya sedemikian rupa sehingga tidak
terperangkap dalam identitas gender pribadi lengkap dengan segala persepsinya
mengenai “tubuh wanita dari kacamata seorang pria”. Kerap pula kita dengar
anekdot : sesama pengemudi angkutan umum, dilarang saling mendahului. Karenanya
pula, seorang hakim yang korup, akan lebih cenderung kompromistis terhadap
seorang terdakwa kasus-kasus korupsi, jika perlu saling melindungi dan saling
memaklumi satu sama lainnya.
Kita justru harus memulai
mencoba sudut pandang dari persepsi pihak korban, sebagai penyeimbangnya, bila
tidak dapat benar-benar bersikap objektif dengan melepaskan diri dari perangkap
“bias persepsi”. Sebagai contoh, dalam sengketa gugat-menggugat, seoarang warga
menggugat warga lainnya yang telah merusak atau menghilangkan boneka tua “usang”
berbau “tengik” milik Penggugat. Pihak Tergugat berdalih, boneka tua “jelek”
tersebut tidak memiliki nilai ekonomis apapun, dimana dijual pun tidak akan
laku, bahkan pemulung menolak untuk mengambilnya. Bila Anda adalah seorang
hakim yang mencoba membuat putusan secara arif dan bijaksana, maka apakah yang
akan menjadi pertimbangan hukum serta putusan Anda?
Bisa jadi bagi Anda dan kita
semua, boneka “usang” dan “jelek” tersebut tidaklah memiliki nilai sama sekali.
Namun, bagi seseorang yang memiliki ingatan bersejarah dengan sang boneka
“dekil” demikian, nilainya menjadi tidak ternilai, karena dihadiahkan oleh
almarhum nenek atau kakek yang dicintai olehnya. Disini, persepsi siapakah yang
paling valid serta yang paling berbobot untuk diakomodir oleh seorang hakim
yang bijaksana? Karenanya, terkadang hakim yang paling arif dan paling
bijaksana bukanlah hakim yang bersikap “objektif”, namun adalah hakim yang
bersikap “subjektif”, dengan catatan subjektif dengan mencoba memahami persepsi
pihak yang paling dirugikan atas suatu peristiwa, perkara, ataupun kejadian
hukum—bukankah jawaban ini menyentak kesadaran dan jiwa Anda, yang selama
ini diajarkan untuk bersikap “objektif” terhadap segala hal, terutama kalangan
profesi kehakiman?
Penting untuk mulai kita pahami
serta ingat betul, bahwasannya memakai persepsi pribadi kita sebagai preferensi
utama untuk mengomentari, menilai, ataupun untuk memutuskan nasib orang lain
yang besar kemungkinan memiliki pengalaman, latar-belakang, keadaan, maupun
kondisi yang berlainan atau bahkan bertolak-belakang dengan kita, adalah
sebentuk “penghakiman” itu sendiri. Setara dengan itu, ketika seseorang menilai
seorang pihak ketiga semata karena mendengar dari keterangan satu pihak yang
“sepihak”, bukan dari kedua belah pihak. Sebagai hakim yang baik, kita memiliki
kewajiban hukum serta moril untuk mendengar keterangan dari semua pihak.
Itulah pesan yang hendak
penulis tekankan dalam ulasan ini, agar ketika kita menjadi seorang warga yang
menyaksikan atau mendapati suatu peristiwa, ataupun sebagai seorang hakim, kita
perlu turut mengakui serta menghargai persepsi yang dimiliki oleh orang lain
yang saling berkaitan erat dengan peristiwa tersebut, terlebih bila kita
hanyalah seorang penonton atau pihak ketiga yang tidak memiliki kedekatan atau
ikatan emosional terhadap suatu peristiwa.
Sebagai contoh, mengapa juga
Tuhan diilustrasikan sebagai sosok yang lebih PRO terhadap pendosa yang telah
berbuat jahat seperti menyakiti, melukai, maupun merugikan manusia lainnya,
dengan menghapus dosa-dosa para pendosa tersebut, alih-alih “victim friendly” dengan mengakomodir
aspirasi kaum korban? Mengapa Tuhan yang semestinya lebih “Tuhanis” daripada
kalangan hakim yang hanya sebatas “humanis”, justru melepaskan pelaku kejahatan
(pendosa) dari konsekuensi atas perbuatannya, dengan cara membiarkan korban
hanya dapat “gigit jari” tanpa diberikan hak-haknya berupa keadilan? Lantas,
bagaimana dengan nasib para korban dari para pendosa tersebut? Jelaslah sudah, “pembuat”
dogma-dogma keyakinan keagamaan tersebut sedang memakai persepsi pribadinya,
seorang “pendosa”.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR
dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi
Hery Shietra selaku Penulis.