(DROP DOWN MENU)

Antara Nasionalisme, Pancasilais, Komun!stik, dan Uang Sogokan bernama Gaji / Upah

ARTIKEL HUKUM

Makna NASIONALIS, Mudah untuk Diucapkan dan Mengaku-Ngaku, namun Tidak Semua Warga Sanggup Menjalankannya : Tidak Menyakiti dan Tidak Merugikan Sesama Anak Bangsa

Masyarakat Indonesia dewasa ini ramai-ramai mengutuk dan mengecam ideologi, pengikut, anggota, maupun simpatisan komun!sme sebagai musuh bersama yang dinilai merongrong ideologi dan persatuan bangsa maupun negara. Namun, seolah tidak konsisten dan ber-“standar ganda”, tidak sedikit diantara rakyat kita yang justru mendukung dan membela tindakan Rusia (negara komun!s) dalam menjajah berbagai wilayah Ukraina sejak bertahun-tahun lampau dan kembali menjajah saat kini—saat ulasan ini disusun, sedang berkecamuk perang antara Rusia dan Ukraina—dan disaat bersamaan pula menjadi pelanggan setia waralaba asal Amerika Serikat (sang l!beralis).

Ambigu, ambivalen, rancu, pada satu sisi mengaku sebagai pengusung konsep Pancasila, sebagai seorang Pancasila, namun pada berbagai sisi lainnya menampilkan corak ragam yang selalu berubah-ubah bak seekor “bunglon”—tidak konsisten. Perhatikan pula kerancuan konsepsi mengenai jiwa “nasionalisme” ataupun sikap “nasionalistik”, pada satu sisi pemerintah menggencarkan promosi “cintai dan beli produk dalam negeri”. Namun, kini kita lihat apa yang kemudian terjadi, komoditas buah-buah lokal yang bermutu tinggi diekspor ke luar negeri, sementara itu buah-buahan hasil sortir yang bermutu rendah dipasarkan dan didistribusikan ke pasar lokal.

Kini, mari kita bandingkan dengan jiwa nasionalisme masyarakat di Amerika Serikat. Ketika meletus perang antara Rusia yang menjajah wilayah Ukraina, harga bahan bakar kendaraan bermotor di Amerika Serikat melambung tinggi akibat menipisnya pasokan minyak bumi global yang sebagian diantaranya berasal dari Rusia. Rakyat di Amerika Serikat dapat memakluminya, meski mereka harus membayar lebih mahal untuk berkendara, tanpa terjadi protes ataupun demonstrasi, dimana ketika masyarakat Amerika Serikat diwawancarai oleh media setempat, mereka menjawab : “Inilah harga yang harus kita bayarkan secara bersama-sama sebagai bagian dari demokrasi. Demokrasi memang mahal harganya, namun kita akan tanggung secara bersama-sama.

Masyarakat di Indonesia, justru mencemooh sosok pejabat yang menjabat sebagi presiden di Ukraina sebagai mantan pelawak, meski sang pejabat presiden Ukraina berseru lantang, “Lihatlah, saya seorang pelawak, namun dapat terpilih sebagai presiden. Ini semua hanya dapat terjadi pada negara-negara demokrasi!” Lihatlah sosok Vladimir Putin, yang telah menjabat terus-menerus bak seorang raja yang terus bertakhta dan bercokol, dimana rakyat Rusia hanya mampu menjadi penonton di negerinya sendiri. Lihatlah Indonesia, kiblat “pesta demokrasi” paling glamor serta paling semarak di dunia, telah ternyata masih juga memiliki anggota masyarakat yang tidak mengecam tindakan Rusia dan tidak memaklumi Ukraina yang wajar mulai bergeser haluan politik luar negerinya ke negara-negara Barat mengingat Rusia telah pernah mencaplok salah satu wilayah negara Ukraina beberapa tahun lampau secara militeristik (penjajahan).

Kini, mari kita berfokus pada fenomena sosial dalam negeri kita sendiri di Indonesia. Pada saat harga komoditas kedelai yang sebagian besar diimpor dari bursa komoditi Amerika Serikat, malonjak harganya (fenomena musiman yang terjadi setiap tahunnya), para perajin tahu dan tempe berteriak, masyarakat selaku konsumen di pasar pun menjerit. Pemerintah dan para pengusaha terkait pun bersuara menanggapi, bahwasannya budidaya kedelai lokal di dalam negeri tidak semenguntungkan bila impor dari luar negeri. Astaga, berapalah harganya sebonggol tempe dan tahu, bila dinaikkan sesuai harga keekonomisan harga bertani, budidaya, dan panen kedelai hingga tingkat perajin yang mengolahnya menjadi tahu dan tempe siap saji, tetap saja pangan semacam tahu dan tempe tetap menjadi pangan termurah yang dapat kita jumpai di pasaran.

Artinya, nasionalisme bangsa Indonesia hanya sebatas selisih beberapa perak rupiah. Bukankah itu ironis, ketika masyarakat di negara-negara Barat rela menanggung harga yang harus mereka tebus dan bayarkan dibalik hidup dalam negara demokrasi, seperti melonjaknya harga bahan bakar yang melambung tinggi, tanpa mengeluh ataupun berkomentar negatif terhadap otoritas negara, disisi lain masyarakat di Indonesia memilih produk komoditas kedelai impor yang selisih harga budidaya dan harga jualnya dengan komoditas kedelai lokal tidaklah berselisih jauh layaknya kenaikan harga bahan bakar. Di-“sogok” dengan harga komoditas kedelai yang sedikit lebih murah daripada komoditas kedelai lokal, bangsa asing telah mampu merontokkan sekaligus “mengangkangi” nasionalisme bangsa Indonesia—nasionalsime pendek yang ternyata dapat diukur dengan alat ukur yang pendek semacam penggaris.

Disaat pemerintah di Indonesia mengkampanyekan “cintai dan beli produk dalam negeri”, disaat bersamaan pemerintah mempersilahkan bangsa asing menjadi pemain yang menguasai sendi-sendi ekonomi di Indonesia, dengan alibi : “transfer of knowledge”. Bila motif pemerintah memang ialah murni dalam rangka “transfer of knowledge”, maka “roadmap”-nya harus jelas, untuk berapa tahun atau berapa belas tahunkah? Jika untuk selamanya Indonesia bergantung dan mengandalkan korporasi asing untuk menggerakkan motor ekonomi di dalam negeri bangsa sendiri, itu sama artinya menggelar “karpet merah” bagi masuknya penjajahan secara ekonomi maupun secara politis.

Jika yang memproduksi produk-produk dalam negeri, ialah korporasi asing, yang mana hasil keuntungan laba usahanya dialihkan keluar negeri dalam bentuk modus “transfer pricing” alias “profit shifting” dari Indonesia ke negara asal sang investor asing (patriasi dana yang memiskinkan devisa dalam negeri), lantas masih jugakah kita memandang bahwa dengan membeli produk-produk “Made in Indonesia” sama artinya telah berjiwa nasionalis? Nasionalis dengan membeli produk-produk dalam negeri, hanya dapat terjadi bilamana kita telah swasembada dari segi manufaktur maupun industri dan ekonomi masyarakat lokal, bukan seperti kebijakan pemerintah saat kini dimana bangsa dibuat “jual murah” dan “obral diri” mengemis-ngemis agar korporasi dan pemodal asing bersedia masuk untuk menanamkan modalnya yang lebih banyak “padat modal” daripada “padat karya”—era robotik, dimana jumlah tenaga kerja ditekan hingga seminimal mungkin, dimana sebagian fungsi pekerjaan telah tergantikan dan digantikan oleh tenaga robotik yang mekanistik dan tidak menuntut upah apapun selain suplai listrik dan cairan pelumas.

Komoditas sawit, bahan baku minyak goreng yang menjadi salah satu dari kebutuhan pokok primadona masyarakat untuk memasak, Indonesia telah berhasil swasembada dengan surplus produksi sawit, alih fungsi lahan terjadi secara masif dari Sabang hingga Merauke, bahkan menjadi produsen sawit terbesar di dunia sekaligus sebagai pengekspor CPO (crude palm oil) ke negara-negara di Eropa sebagai bahan bakar alternatif “biodiesel”. Namun apa yang kemudian terjadi? Ketika pemerintah menggalakkan “cintai dan beli produk dalam negeri”, ironisnya saat pemerintah memberlakukan “HET” (harga eceran tertinggi) minyak goreng, mendadak minyak goreng langka di pasaran.

Saat pemerintah menyerah “angkat tangan”, tidak mampu membekuk para mafia minyak goreng, para produsen dipersilahkan menentukan harga jualnya sendiri dengan berpasrah diri pada mekanisme harga pasar (harga pasar global, bukan lagi harga pasar lokal, sehingga konsumen di Indonesia harus bersaing dengan daya tawar masyarakat Eropa yang lebih tinggi pendapatan per kapitanya), mendadak bagai sulap, minyak sawit kembali muncul melimpah di pasaran namun dengan harga melambung tinggi yang mencekik rakyat, mengingat komoditas minyak goreng merupakan isu sensitif sekaligus strategis yang dapat mempengaruhi harga-harga komoditas pangan lainnya. Bayangkanlah, untuk urusan minyak goreng sekalipun, terdapat mafia di republik ini, dan pemerintah secara resmi menyatakan “menyerah, angkat tangan”, membiarkan rakyat harus menerima kenyataan pahit, seolah negara tidak pernah hadir di tengah-tengah masyarakat untuk melindungi dan mengatur.

Nasionalisme, dalam perspektif pribadi penulis, diartikan sebagai “tidak merugikan dan tidak menyakiti sesama anak bangsa”. Kita tidak butuh definisi canggih yang kompleks dan bertele-tele untuk menjelaskan apa itu nasionalisme. Lihatlah, di keseharian, di jalanan umum, siapakah yang selama ini kerap menyakiti, merugikan, ataupun melukai kita, apakah bangsa asing ataukah sesama anak bangsa? Tetap saja, yang dikutuk dan dicela oleh masyarakat kita ialah jika bukan Yahudi, Cina, Barat, Amerika Serikat, maka “Kafir”. Nasionalisme, dengan demikian, tidak terkait dan juga tidak relevan dengan ideologi ekonomi semacam liberal!sme ataukah komun!sme. Seperti anekdot yang penulis kutip dari seorang tokoh : Tidak penting sang kucing bewarna apa bulunya, hitam ataukah putih, yang penting dapat menangkap tikus!

Tanpa bermaksud mengusung konsep “pragmatisme”, nasionalisme tidaklah sesempit dan sekerdil pengotak-kotakkan demikian. Banyak diantara masyarakat kita yang mengaku-ngaku sebagai seorang nasionalis, bahkan Pancasilais. Namun lihatlah di keseharian, bagimana perilaku mereka terhadap sesama anak bangsa? Amatilah perilaku masyarakat kita di jalan raya kita, itulah miniatur atau cerminan budaya suatu bangsa, akan kita dapati kultur yang sehat atau sebaliknya, sakit.

Pancasila, kerap disalahgunakan oleh pemimpin pada era Orde Baru indoktrinasi yang menyimpang dari tujuan awal pembentukan Pancasila, untuk mengasingkan dan menyingkirkan lawan-lawan politik ataupun untuk membungkam para pengkritiknya. Apakah kita harus menyingkirkan jauh-jauh dan melarang pisau dapur untuk beredar dan dipasarkan di pasaran, mengingat pisau dapur adalah benda tajam yang dapat melukai? Betul sekali, sejatinya kesemua itu netral saja, hanya saja disalahgunakan oleh sikap-sikap tidak bertanggung-jawab. Selama itu tidak menyakiti dan tidak merugikan, maka itu baik—namun itu adalah soal bagaimana kita memperlakukan secara bertanggung-jawab atau justru menyalah-gunakannya. Bahkan benda tumpul pun masih dapat digunakan untuk menyakiti.

Mengkulturkan Pancasila sebagai ideologi negara dan berbangsa, namun bilamana sikap dan sifat masyarakatnya ialah tidak bertanggung-jawab, maka secara sendirinya akan mencoreng citra sakral Pancasila, yang pada gilirannya timbul ketidakpuasan terhadap ideologi negara, dan muncul / terbersit gerakan-gerakan bawah tanah yang hendak menggulingkan ideologi negara yang ditengarai sebagai sumber ketidakadilan ekonomi dan sosial di republik ini, dan menggantikannya dengan ideologi lain yang ternyata tidak kalah lebih spekulatif dan penuh bahaya dibaliknya. Banyak kebijakan pemerintah yang cukup baik niatnya bagi rakyat miskin, namun telah ternyata : bantuan sosial apa yang tidak dikorupsi bahkan oleh ukuran “akar rumput” semacam ketua Rukun Tetangga maupun Rukun Warga, tidak tepat sasaran, di-korupsi Menteri Sosial, dsb? Itukah, yang kita sebut sebagai “nasionalisme” yang selama ini kita bangga-banggakan?

Kesemua itu, hanyalah instrumen, dan sekaligus dapat dipakai untuk mengalihkan isu dari fokus yang utama sebenarnya, yakni kenyataan realita betapa kita tidak sungguh menghormati dan menghargai sesama anak bangsa. Fakta konkret berikut adalah kejadian nyata yang sederhana, namun penulis alami sebagai pengalaman pribadi yang menjadi titik-balik terbukanya mata penulis perihal “nasionalisme” rakyat Indonesia di era modern ini. Saat penulis masih sebagai seorang “fresh graduate”, penulis melamar pekerjaan dan diterima bekerja pada salah satu perusahaan PMA (penanam modal asing), yang dipimpin langsung oleh seorang berkebangsaan Jepang sekaligus sebagai pemilik perusahaan.

Yang unik dari perusahaan asing tersebut ialah, pihak kepala HRD yang notabene seorang “pribumi”, justru lebih memihak sang “Japanese” sebagai atasannya, ketimbang secara penuh perhatian memperjuangkan nasib para karyawan yang mana ialah sesama anak bangsa. Perlakuan kepala HRD, bahkan turut merepresif hak-hak karyawan, melegitimasi perbuatan ilegal sang pemilik perusahaan, menjadikan sang “Japanese” bak raja kecil yang dibiarkan menjajah republik Tanah Air milik sesama para karyawan. Bahkan, kepala bagian keuangan yang juga “pribumi”, turut membantu sang asing untuk memperkecil beban kewajiban pajak yang harus dibayar PT. PMA milik sang asing kepada negara.

Kejadian demikian menyerupai sejarah masuknya Kolonial Belanda di Indonesia, konon akibat mudah disuapnya para pejabat tinggi lokal di Nusantara (para “pribumi”) sehingga berkiblat dan memihak pada pihak Kolonial Belanda. Tanpa para pengkhianat demikian, yang masif dan berjemaah terjadi di seluruh wilayah jajahan sang kolonial (sebagaimana tercatat dalam sejarah bangsa yang penuh pengkhianatan oleh sesama pribumi), maka Belanda tidak mungkin masuk dan berhasil menjajah Bumi Pertiwi. Politik “adu domba” pun terjadi berkat tiadanya nasionalisme para “pribumi” yang menjadi tangan kanan atau “alat” yang diperalat oleh pihak kolonial.

Barulah bertahun-tahun kemudian, tepatnya belum lama ini, penulis menemukan sebuah artikel yang ditulis oleh tokoh spiritual bernama Ajahn Brahm, sebuah kebenaran yang sangat mengena pada sasaran sebagai berikut : “Gaji / Upah merupakan UANG SUAP”. Dengan uang suap bernama gaji itu, kita menjadi “suka ataupun tidak suka” (tetap saja) melakukan apa yang tidak kita sukai. Namun, masalahnya, mengapa nasionalisme digadaikan hanya demi upah yang tidak seberapa nilainya? Seperti dalam kasus kepala HRD perusahaan milik pengusaha Jepang sebagaimana penulis tuturkan kisahkan di atas, hanya demi gaji bulanan yang tidak seberapa nilainya, ia rela menjadi budak dan menghamba pada kepentingan pribadi sang “Japanese”, dan disaat bersamaan turut menindas sesama anak bangsa selaku sama karyawan.

Namun juga, bekerja pada perusahaan milik swasta lokal bukan berarti kita akan menikmati nasionalisme oleh sesama anak bangsa. Penulis pun memiliki pengalaman bekerja pada berbagai perusahaan lokal dalam negeri, yang terjadi ialah “perbudakan” oleh sesama anak bangsa. Dengan kata lain atau singkat kata, perlakuan oleh bangsa sendiri tidaklah lebih baik dan tidak lebih humanis ataupun lebih manusiawi ketimbang perlakuan bangsa asing, akibat minimnya nasionalisme—akan tetapi, mengapa sampai saat kini masyarakat kita masih juga mengklaim dirinya sebagai seorang nasionalis?

Lihatlah, terus berulang kejadian dimana “bantuan langsung tunai” yang dikucurkan pemerintah justru dinikmati oleh kerabat, sanak-keluarga, maupun kenalan dekat pihak Ketua Rukun Warga maupun Rukun Tetangga, bahkan di-“sunat”. Kejadian demikian, masif adanya, belum lagi bicara mengenai bangganya warga kita menjadi “penerima ganda”, “mampu namun mengaku miskin agar mendapat subsidi dan bantuan” (merampas hak orang-orang yang bahkan lebih miskin daripada dirinya, bahkan untuk sekadar sekarung kecil beras telah ternyata jiwa nasionalisme digadaikan), hingga “tidak tepat sasaran”.

Menemukan nasionalis sejati di republik ini, sama langkahnya menemukan jarum diantara tumpukan jerami. Bila kita menilik lebih jauh sejarah kemerdekaan bangsa bernama Republik Indonesia ini, kita tidak pernah dapat betul-betul menemukan sejarah perjuangan memperebutkan kemerdekaan. Kemerdekaan Republik Indonesia dari Kolonial Belanda, adalah hasil kompromi dimana hutang-hutang yang dinikmati Kolonial Belanda harus ditanggung oleh generasi penerus para “founding fathers”. Bukan sejarah perjuangan kemerdekaan, namun sejarah kompromi politik. Disebutkan salah satu buku sejarah, calon presiden Soekarno bahkan harus diculik dan di-doktrin terlebih dahulu oleh para intelek muda saat itu, agar mau berani memproklamirkan kemerdekaan Ri.

Mundurnya penjajah Jepang, bukan pula akibat perlawanan sengit anak bangsa, namun akibat Jepang kalah perang dengan di-bom-atom-nya Hiroshima dan Nagasaki, sehingga Jepang kemudian menarik diri dari negara-negara jajahannya. Lihatlah, Jepang sekalipun menjajah dalam tempo singkat, kasus “jugun ianfu” marak sebagai cerminan tiada sifat manusiawinya para “Japanese”, alias “hewanis”. Namun, lihatlah pula generasi muda masyarakat kita di Indonesia, demikian tergila-gila dan menggemari budaya dan bahasa Jepang, kuliner dan produk bermerek Jepang, bahkan bangsa menjadi pelanggan setia produk-produk “Made in Japan”.

Cukup dengan “uang sogokan” bernama Upah atau Gaji, kita bahkan dapat membeli nasionalisme dangkal dan “tipis” masyarakat di Indonesia—bahkan, para pejabat negara kita yang minta disuap, dengan uang suap, dalam rangka merugikan sesama anak bangsa lainnya semisal dalam kasus tender pengadaan barang dan jasa. Itulah sebabnya, penulis membuat definisi secara harfiah perihal jiwa nasionalisme, sebagai “komitmen untuk tidak menyakiti ataupun merugikan sesama anak bangsa”. Terdengar sederhana dan klise, namun telah ternyata tidak semua warga sanggup menjalaninya, terlebih mengikat komitmen sebagai anak bangsa yang bernegara.

Sesukar itukah, untuk tidak menyakiti dan juga tidak merugikan sesama anak bangsa? Bahkan, seorang preman, dengan uang sogokan tidak seberapa nilainya, tega menganiaya sesama anak bangsa. Maka, jangan heran bila bangsa ini sewaktu-waktu atau bahkan telah pernah, dapat “dibeli” oleh bangsa asing dengan harga yang cukup “murah” saja, mengingat harga diri dan jiwa bangsa ini yang memang “murah” dan “murahan”, bahkan mengobral diri bagai “makhluk jalang”. Bukan satu atau dua kali banyaknya, penulis mendapati komentar atau pendapat warga, bahwasannya lebih baik dunia “busuk” ini dimusnahkan saja.

Bahkan pada kitab salah satu agama, disebutkan bahwa “Tuhan menyesal telah menciptakan manusia”. Memuliakan Tuhan, adalah dengan menjadi manusia yang mulia, bukan sebagai seorang “penjilat”. Janganlah, kita sesumbar perihal jiwa nasionalisme, bilamana ketika disodorkan “uang sogokan” yang tidak seberapa nilainya, kita langsung “gelap mata” dan rela menggadaikan jiwa dengan sudi mengotori tangan kita sebagai alat untuk menyakiti ataupun merugikan sesama anak bangsa. Nasionalisme, bukan untuk diumbar, namun untuk dihayati.

Jadilah nasionalis, namun tanpa perlu membuang waktu untuk membuktikannya kepada dunia, semata dengan secara konkret “STOP” menyakiti sesama anak bangsa, dan “STOP” merugikan sesama anak bangsa. Sanggupkah Anda berkomitmen untuk itu? Seberapa sedikit diantara kita, yang berani mengambil komitmen dan berjalan di jalan yang “sepi” tersebut? Mengingat, sebagian besar masyarakat kita saat kini telah masuk dalam taraf kecanduan serta tergila-gila disamping menjadi pelanggan setia ideologi “penghapusan dosa”, yang bahkan dipromosikan secara vulgar lewat pengeras suara, tanpa rasa malu mengkampanyekan “penghapusan dosa” kepada publik maupun memperdengarkannya orang-orang yang selama ini menjadi korban mereka—dimana kita ketahui bersama, hanya pendosa yang butuh “penghapusan dosa”.

Sebagai penutup, seolah belum mengejutkan kita semua, mari kita jawab pertanyaan pamuncak berikut : Apakah masyarakat Indonesia, cara hidupnya telah benar-benar mencerminkan jiwa seorang demokrat yang demokratis? Faktanya di lapangan, “menyelesaikan setiap masalah dengan KEKERASAN FISIK”. Demokrasi adalah ranah “otak”, sementara kekerasan fisik baru sebatas domain “otot” semata. Bagaimana mungkin, kita mengharapkan “otot” untuk berpikir?

Sepanjang mentalitas masyarakat kita masih bermental korupsi, bahkan tanpa malu dan tanpa takut dosa mengorupsi hak-hak sesama anak bangsa, maka janganlah kita berbicara perihal nasionalisme, “omong kosong”, nasionalisme yang kosong-kopong, takut dosa pun tidak. Pendosa, hendak berceramah perihal hidup mulia, bersih, suci, dan luhur? Tanpa malu sedikitpun, secara vulgar lewat pengeras suara menyerukan agar masyarakat luas serta anak cucu mereka menjadi penyembah ideologi “penghapusan dosa” yang jauh lebih merusak dan lebih “toxic” daripada ideologi semacam Marx!sme ala Karl Marx maupun liberal!sasi ekonomi Adam Smith.

Kewajiban diri maupun hak orang lain sesama anak bangsa, diselewengkan, apalagi nasionalisme? Apakah Anda merasa nyaman, hidup berdampingan bersama dengan anggota masyarakat yang berdosa bahkan tidak takut berbuat dosa disamping menjadi pelanggan tetap ideologi “penghapusan dosa”? Degradasi moralitas suatu bangsa, mulai terjadi sejak ideologi “penghapusan dosa” diperkenalkan ke umat manusia, lebih tepatnya diperkenalkan kepada para pendosa, yang dengan demikian bodohnya memakan “umpan” bernama “to good to be true” dan secara membuta meyakininya semata karena dosa-dosa mereka telah menggunung (“to big to be fall”)—dimana kita ketahui, ada pendosa yang butuh “penghapusan dosa” (demand), maka laris-manislah ideologi “penghapusan dosa” yang ditawarkan (supply).

Ketika kita salah menargetkan siapa “musuh” sejati kita, selama itu pula kita menjadi bangsa yang kerdil disamping dangkal, ketika “penghapusan dosa” diumbar bahkan oleh para pemuka agama lewat pengeras suara pada berbagai tempat ibadah, begitu bangga dan percaya diri diserukan dan dikampanyekan kepada publik luas, tanpa rasa malu ataupun penyesalan, bahkan didengar pula oleh anak dan cucu dari sang pemeluk ideologi “penghapusan dosa” (sungguh tidak mendidik disamping teladan yang buruk) maupun diperdengarkan secara arogan kepada para korban para pendosa tersebut.

Bila dibanding dengan ideologi lainnya, baik Marx!sme maupun Liberal!sme, kedua ideologi ekonomi tersebut tidaklah se-haus-darah-nya ideologi “penghapusan dosa” yang sudah semestinya dijadikan musuh bersama umat manusia yang masih mengaku sebagai bagian dari bangsa beradab. Nasionalisme semacam apakah, yang Anda harapkan dapat dimiliki oleh para pendosa pemeluk ideologi “penghapusan dosa”? Pilihannya hanya ada dua, Anda “memakan” atau “dimakan”, menjadi pelaku (pendosa) ataukah menjadi korban.

Mari kita tarik sejarah peradaban umat manusia jauh ke belakang, dimana pada zaman purbakala, tepatnya pada era pra-“agama samawi”, tiada orang jahat yang yakin akan dapat masuk surga setelah ajal menjelang. Paska “agama samawi” muncul dan lahir, para umat manusia berbondong-bondong dan berlomba-lomba berbuat dosa, menimbun diri dengan dosa, berkubang dosa, mengoleksi segudang dosa, “MERUGI” bila tidak menikmati iming-iming ideologi “penghapusan dosa”, tanpa rasa malu terlebih rasa takut, dan disaat bersamaan yakin seyakin-yakinnya para pendosa tersebut akan masuk ke alam surgawi sembari mengejek para korban mereka yang hanya dapat “gigit jari”, dimana bahkan Tuhan lebih PRO terhadap pendosa.

Maka, jangan harap ataupun menuntut secara berlebihan bahwa seorang hakim di pengadilan ataupun pemerintah selaku otoritas negara, lebih “humanis” ketimbang betapa “Tuhanis”-nya Tuhan yang selama ini lebih humanis kepada penjahat (pendosa). Mengapa harus malu menjadi koruptor ataupun menjadikannya tabu, bila bangsa kita tidak malu bahkan bangga dan mempromosikan ideologi “penghapusan dosa” dengan menjadi seorang PENDOSA? Semestinya bangsa ini konsisten, berseru lantang lewat pengeras suara : AKU BANGGA MENJADI PENDOSA ATAUPUN MENJADI ANAK KORUPTOR! Semata karena, bukankah korupsi juga merupakan dosa itu sendiri? Bukankan menjadi koruptor, sama artinya adalah pendosa yang berdosa itu sendiri? Semestinya Anda konsisten, bukan ber-“standar ganda”.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.