(DROP DOWN MENU)

Istri Kreditor Wajib Turut Tanda-Tangan Perjanjian Hutang-Piutang

LEGAL OPINION

Ketidakcakapan Hukum Kreditor ataukah Debitor, yang Lebih Fatal secara Hukum?

Apakah hanya Debitor, yang Butuh Tanda-Tangan Istri / Suami?

Question: Sebenarnya jika seorang suami ada meminjamkan sejumlah uang kepada orang lain, apakah istri (dari sang keditor) juga harus ikut turut serta tanda-tangan perjanjian pinjam-meminjam uang ini? Setahu kami, hanya debitur yang wajib ada tanda-tangan baik di pihak suami dan pihak istri.

Brief Answer: Kami asumsikan seluruh pertanyaan dan pembahasan yuridis dalam konteks ini, ialah pasangan suami-istri yang terikat pernikahan secara sah menurut hukum negara disamping secara agama, memiliki akta perkawinan dan tidak terdapat “perjanjian perkawinan” perihal “pisah harta kekayaan,” sehingga terjadi percampuran “harta bersama” antara pihak suami dan pihak istri. Begitupula kami asumsikan seluruh dana hutang-piutang tersebut tersangkut-paut dengan “harta bersama” pasangan suami-istri.

Bila dalam Perjanjian Kredit, seorang debitor diwajibkan membubuhkan serta tanda-tangan pihak istri/suami di atas akta tersebut sebagai wujud pemberian persetujuan atau setidaknya sebagai yang mengetahui dan tidak berkeberatan, sekalipun secara de facto pihak debitor menerima sejumlah uang pinjaman / kredit, yang artinya bertambah modal finansial yang dimiliki oleh pihak debitor—sekalipun kelak harus mereka kembalikan dan lunasi pinjamannya.

Maka, secara logika mendasar, terlebih kalangan kreditor yang meminjamkan sejumlah dana pinjaman, yang artinya mengeluarkan sejumlah modal finansial kepada pihak peminjam—sekalipun untuk sementara waktu harta kekayaan (likuiditas) menjadi berkurang, dimana dapat ditagih kembali dana pinjaman demikian—maka persyaratan berupa persetujuan pihak pasangan yang terikat pada hubungan perkawinan yang sah menjadi prasyarat mutlak bagi kalangan / pihak kreditor untuk dapat memberikan sejumlah uang pinjaman bagi debitornya.

PEMBAHASAN:

Dalam praktik, SHIETRA & PARTNERS menjumpai masifnya perjanjian kredit, perjanjian hutang-piutang, perjanjian pinjam-meminjam dana, akta pengakuan hutang, perjanjian investasi, perjanjian penyertaan modal usaha, atau apapun itu sebutan dan bentuk ragamnya, yang secara rancu hanya menjadikan pihak debitor yang dibebani kewajiban untuk memperoleh tanda-tangan pihak suami/istri sebagai bentuk persetujuan pasangan dalam ikatan perkawinan pihak debitor. Fakta yuridisnya, secara de jure, sebagaimana merujuk Undang-Undang tentang Perkawinan yang berlaku di Indonesia, piutang sekalipun tergolong sebagai “harta bersama” (“percampuran harta” antara pihak suami dan istri). Itulah yang kerap kali diabaikan atau tidak disadari oleh kalangan kreditor.

Perlu kita sadari serta pahami, dana yang dikucurkan atau digelontorkan oleh pihak kreditor kepada sang debitor, merupakan dana yang bersumber dari “harta bersama” (dalam “percampuran harta” dalam ikatan perkawinan), karenanya bila meminjamkan sejumlah dana, artinya terjadi pengeluaran atau pengurangan sejumlah harta kekayaan (untuk sementara waktu) dari “harta bersama”, hak tagih atau piutang mana belum tentu dapat ditagih kembali pada hari jatuh tempo hutang-piutang, maka sejatinya yang lebih diwajibkan oleh hukum untuk mendapat persetujuan suami/istri, ialah kalangan kreditor.

Logika senada terjadi dalam konstruksi kalangan debitor, meminjam sejumlah dana artinya menghimpun sejumlah dana pinjaman yang bermakna bertambah sejumlah harta kekayaan (meski untuk sementara waktu) yang mana terdapat kewajiban untuk mengembalikannya pada saat hutang-piutang jatuh tempo pengembalian, maka formalitas persetujuan suami/istri tidaklah segenting dan se-urgen kepentingan pihak pasangan dalam ikatan perkawinan dari pihak kreditor yang selalu “dihantui” oleh gagal bayar / cidera janji / wanprestasinya pihak debitor untuk melunasi hutangnya, gagal tagih piutang, gagal eksekusi terhadap agunan, dan resiko penyerta lainnya.

Namun, dari sisi resiko atau konsekuensi yuridisnya, jauh lebih beresiko meminjamkan sejumlah dana tanpa persetujuan pihak suami/istri dari pihak debitor. “Kecakapan hukum” pihak-pihak yang saling mengikatkan diri dalam suatu perbuatan hukum, merupakan “unsur subjektif” syarat sah perjanjian (vide Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata), yang mana bila tidak terpenuhi, akibatnya “dapat dibatalkan” (voidable). Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, syarat batal selalu dianggap melekat di dalam perjanjian, sekalipun tidak diatur secara eksplisit oleh para pihak yang saling mengikatkan diri dalam perjanjian tersebut—bahkan, pasal yang mencoba menyimpangi ketentuan tersebut pun dapat dibatalkan oleh pengadilan.

Bila dari kalangan debitor, yang membubuhkan tanda-tangan ialah semata sang suami, sebagai contoh, tanpa persetujuan turut sertanya pihak istri dalam suatu Akta Kredit, mengakibatkan pihak kreditor hanya dapat menagih pembatalan berupa tuntutan pengembalian sejumlah dana pinjaman dari pihak sang suami, tanpa dapat menuntut pengembalian dana dari “harta gono-gini” maupun “harta bersama” (dalam percampuran harta) pihak istri—bahkan lebih kompleksnya lagi ialah tidak dapatnya suatu gugatan perdata oleh pihak kreditor terhadap debitornya dieksekusi, mengingat dalam setiap harta kekayaan sang suami terkandung pula “hak gono-gini” milik sang istri, yang notabene tidak pernah turut menyetujui perjanjian hutang-piutang yang ditanda-tangani oleh sang suami, karenanya dapat menjadi “worst case scenario” terburuk dan paling fatal yang dapat terjadi bagi kalangan kreditor, karenanya penting untuk dipastikan serta diantisipasi untuk tidak sampai terjadi dalam praktik.

Sementara itu bila “kecakapan hukum” tidak dipenuhi oleh pihak kreditor, semisal istri dari pihak kreditor, sebagai contoh, tidak turut membubuhkan tanda-tangan dalam perjanjian hutang-piutang sebagai bentuk persetujuannya, maka sang kreditor dapat semudah mengajukan gugatan pembatalan terhadap perjanjian hutang-piutang, dan dapat menuntut pengembalian dana pinjaman dari sang debitor dan istri dari sang debitor—dari “harta bersama” sang debitor. Merujuk pada ketentuan Pasal 1265 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata:

“Suatu syarat batal adalah syarat yang apabila dipenuhi (atau terjadi),  menghentikan perikatan, dan membawa segala sesuatu kembali, pada keadaan semula, seolah-olah tidak pernah ada suatu perikatan. Syarat ini tidak menangguhkan pemenuhan perikatan; hanyalah ia mewajibkan si berpiutang (dan si berhutang) mengembalikan apa yang telah diterimanya, apabila peristiwa yang dimaksudkan terjadi.”

Catatan Penutup SHIETRA & PARTNERS:

Secara pribadi, penulis memiliki pendapat—dalam rangka “keberanian beropini serta berwacana dalam dialektik berhukum, mengingat norma hukum bukanlah dogma ayat-ayat Kitab Suci yang tidak dapat diubah dan direvisi maupun untuk dikritisi—sudah saatnya Undang-Undang tentang Perkawinan yang selama ini berlaku di indonesia untuk direvisi atau diubah ketentuan norma hukum yang diatur di dalamnya, salah satunya ialah perihal setiap pasangan suami-istri yang terikat perkawinan yang sah menurut hukum negara, maka secara otomatis “demi hukum” terjadi apa yang disebut sebagai “percampuran harta” (harta bersama, yang bila terjadi perceraian disebut sebagai “harta gono-gini”).

Idealnya, mengingat faktor kultur Bangsa Indonesia meski telah memasuki era modern ini, namun tatap masih memandang “perjanjian perkawinan pisah harta” sebagai hal yang tabu untuk didiskusikan serta disepakati dan saling diperjanjikan oleh pasangan suami-istri, maka regulasi terkait perkawinan perlu merombak konstruksi hukumnya menjelma setiap pasangan suami-istri, ketika pernikahan sah secara hukum negara terjadi, otomatis “demi hukum” tetap terjadi “pemisahan harta kekayaan”—konstruksi mana, menyerupai perkawinan “nikah siri”, dimana tidak terjadi percampuran harta-kekayaan apapun sama sekali. Namun itu dua hal yang berbeda, mengingat status anak maupun status istri dalam konstruksi “nikah siri”, bukanlah sebagai calon ahli waris dari sang ayah maupun sang suami.

Dengan pembalikan konstruksi demikian, praktik akan menjadi lebih efektif serta lebih efisien, mengingat banyaknya kesukaran bagi pihak-pihak yang hendak mengikatkan diri dalam sebuah perjanjian, kerap menjumpai kendala berupa aspek formalitas persetujuan suami/istri, lengkap dengan segala ambigu serta ambivalensinya. Bersama dengan itu, bila seorang suami/istri hendak memilih tunduk pada ketentuan “percampuran harta”, maka pasangan suami-istri tersebut dapat membuat “perjanjian perkawinan”, yang berisi pernyataan bahwa keduanya saling tunduk pada ketentuan perihal “percampuran harta” menjelma “harta bersama”.

Dengan pembalikan konstruksi sebagaimana penulis perkenalkan dan kemukakan di atas, maka setiap pihak diasumsikan “tidak mengalami percampuran harta kekayaan” sekalipun telah menikah secara agama dan secara sah menurut hukum negara. Bilamana seorang debitor, katakanlah, mengaku tidak terjadi “percampuran harta”, atau tidak memiliki “perjanjian perkawinan (berupa percampuran harta)” dengan istrinya, sehingga tidak membutuhkan tanda-tangan pihak istri sebagai persetujuannya, maka dapat dipidana sebagi pelaku yang telah memasukkan keterangan palsu ke dalam akta yang menimbulkan kerugian bagi pihak kreditor maupun istri dari sang debitor. Selanjutnya, menjadi keberanian pihak legislator untuk mengubah konstruksi hukum yang selama ini diberlakukan, serta pembiasaan dari pihak masyarakat sebagai pengemban hukumnya.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.