(DROP DOWN MENU)

ENDEMIK KORUPSI, Hidup Berdampingan dengan Korupsi?

SENI PIKIR & TULIS

Pendekatan Budaya untuk Melawan BUDAYA KORUPSI

Kasus-kasus korupsi seolah tidak pernah usai, ditumpas satu, tumbuh seribu, semata karena bukanlah akar “kejahatan pencurian yang berkelindan dengan kekuasaan” tersebut yang diberantas, namun adalah fenomena “puncak gunung es” yang menyembul ke atas permukaan dan tampak kasat mata oleh kita yang berada di daratan, sementara itu batang tubuh gunung es yang terbenam di bawah permukaan air laut, jauh lebih masif, tersistematis, terselubung, serta “mengakar” disamping “membatu / mengerak”. Apapun itu, baik korupsi maupun noda, semakin lama dibiarkan, semakin sukar untuk dibersihkan di kemudian hari. Ketika telah menjelma budaya, hampir mustahil untuk dibersihkan kecuali secara radikal semacam “revolusi mental” (yang bukan sebatas gimmick polesan bibir dan jargon).

Dari beragam pendapat masyarakat umum, telah ternyata mengerucut pada satu opini yang senada, yakni korupsi merupakan permasalahan perihal budaya, yang kian hari kian membudaya (budaya pop itu sendiri), alias “budaya korupsi” yang telah menjadi bagian dari bangsa Indonesia—suka atau tidak suka, itulah faktanya. Aksi korupsi, akibat masif serta terjadi pembiasaan, kebiasaan, pengabaian, permisif, maupun pembiaran, bahkan dilakukan secara “berjemaah” secara vulgar dan seronok, masih pula dipromosikan lewat reduksi konsekuensi dibalik tiadanya rasa malu maupun rasa takut berbuat jahat, maka virus-virus mentalitas korupsi kemudian telah menjelma “endemik” dari semula “pandemik darurat korupsi”. Pertanyaannya, apakah kita harus menyerah pasrah dan mulai membiasakan diri serta terbiasa hidup berdampingan bersama dengan korupsi maupun bersama dengan para pelaku aksi korupsi?

Pemberantasan aksi korupsi, sekalipun telah terbentuk lembaga khusus (“ad hoc” bermakna “khusus”, bukan “temporer”) semacam Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang diharapkan mampu menekan dan meminimalisir aksi-aksi korupsi agar tidak menjelma aksi yang merata dan terbesar luas dan menjangkiti berbagai pikiran para warga secara meluas. Prinsip-prinsip pemberantasan korupsi, sangat menyerupai prinsip-prinsip pemberantasan wabah akibat pandemik virus menular mematikan antar manusia, yakni “tracing” dan “tracking”, pelacakan dan penjejakan terhadap para “suspects”. Perbedaannya ialah, korupsi perihal ideologi berpikir yang tidak membutuhkan agen penular semacam virus dan juga tidak tersedia perlindungan diri berupa vaksinasi anti korupsi.

Berhubung korupsi telah diyakini menjadi bagian dari budaya bangsa kita, maka pendekatan hukum berupa pemberantasan dan penegakan hukum pidana anti korupsi, termasuk dibentuknya lembaga khusus semacam KPK, dinilai kurang dapat lagi untuk diharapkan dan diandalkan sebagai satu-satunya sarana untuk mengendalikan “wabah korupsi” yang kian hari kian memkhawatirkan, dimana dahulu kala korupsi terjadi secara perorangan, kini terjadi secara berjemaah, terselubung, dan tersistematis, serta seronok-vulgar. Permasalahan terkait budaya, titik sandarannya ialah dapat diatasi lewat pendekatan budaya. Bila “narasi” mengenal adanya “kontra-narasi”, maka “budaya korupsi” pun membutuhkan tandingannya berupa “budaya kontra-korupsi”.

Penulis memiliki satu pengalaman unik yang dapat mencerminkan fenomena korupsi yang sejatinya telah terjadi berdekade-dekade lampau di negeri ini, alias bukan budaya lama perihal “korupsi berjemaah”. Ketika seluruh instansi dan para pesertanya melakukan korupsi (mainstream), terdapat satu orang yang tampil beda, lain dari pada yang lain, melawan arus, maka eksistensinya akan tampak menjelma sebagai ancaman bagi para pelaku aksi korupsi tersebut, yang pada gilirannya sang “pelawan arus” akan diserang, direpresi, direduksi, ditekan, didiskriminasi, disudutkan, jika perlu disingkirkan dan dimusnahkan agar tidak ada lagi eksis sosok yang membuat kontras antara “orang jujur” Vs. “orang korup”.

Ketika seluruh instansi dan pesertanya berisi orang-orang “kotor”, maka mereka merasa itulah “the New NORMAL”, yakni normalnya ialah budaya korupsi. Ketika terjadi anomali berupa muncul dan eksis orang yang jujur dan bersih, maka terjadilah fenomena “kontras”, mengakibatkan eksistensi mereka menjadi terancam dan kemapanan mereka terguncang, mulai timbul keresahan, mengingat hanya “orang baik” yang memonopolisir alam “surgawi”. Perbandingan, melahirkan kontras. Menihilkan perbandingan dengan mengeliminir sumber penyebab perbandingan, artinya kontras pun sirna dan menjadi nihil dengan sendirinya.

Karena itulah, terjadi kepentingan (“interest”) bagi mereka, para pelaku aksi korup, untuk mendegragasi dan menihilkan individu-individu yang bersih dan jujur dari pandangan mata maupun institusi mereka, agar normalnya umat manusia yang berada di dalam dan sekitarnya ialah pribadi-pribadi dengan “standar moralitas” penuh oleh akal korup dan aksi korupsi, sehingga orang-orang “normal” tersebut dapat berharap masuk surga sekalipun sepanjang hidupnya mengoleksi dan menimbun diri dengan dosa-dosa korupsi yang mereka produksi dan cetak setiap harinya secara demikian produktif (produktif yang tidak sehat dan jahat).

Sebagaimana kita bahas di muka, bahwa persoalan korupsi ialah persoalan ideologi yang terkait erat dengan kristalisasi (pembatuan) pengalaman dan kebiasaan hidup (the way of life) suatu bangsa menjelma budaya itu sendiri, “budaya korupsi”, maka untuk mengatasi “budaya korupsi” dibutuhkan strategi yang tidak lagi semata mengandalkan hukum lewat penegakan hukum anti korupsi, namun mengandalkan pendekatan budaya. Mengatasi gulma, cabut akarnya, bukan pangkas ilalangnya. Pendekatan budaya, membutuhkan medium berupa “kontra-ideologi” terhadap “ideologi korupsi”. Bagi para pembaca yang menilai bahwa korupsi bukanlah ideologi, paparan berikut di bawah ini cukup menarik untuk Anda simak karena penulis babarkan secara lugas dan gamblang, mengena langsung pada jantung masalahnya tanpa lagi dapat dipungkiri.

Sebelum kita mulai, penulis mohon agar para pembaca untuk terlebih dahulu memahami anekdot klasik yang selalu relevan berikut : Yang manis, jangan langsung ditelan. Sebaliknya, yang pahit, jangan langsung dibuang. Apa yang akan penulis uraikan, adalah pahit sepahit-pahitnya, namun itulah realita apa adanya (truht always bitter). Sepanjang Anda maupun warga lainnya masih menjadi pemeluk serta “konsumen” yang menggemari (penggemar berat) ideologi “curang” dan “tidak bertanggung-jawab” semacam “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”, maka sepanjang itu pula aksi-aksi korupsi kian merebak, membudaya, serta menggurita tanpa dapat dibendung.

Adalah delusif, ketika seorang pengkonsumsi dan pemeluk ideologi “tidak jantan” semacam “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”, hendak berceramah dan menasehati masyarakat perihal cara hidup yang baik dan bersih, bebas dari aksi-aksi curang semacam korupsi. Janganlah kita lupa, hanya seorang pendosa yang membutuhkan ideologi “cuci tangan” semacam “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa” (sin laundring). Seorang suciwan, bersih murni dari aksi-aksi korupsi, tidak membutuhkan iming-iming “kotor” demikian, tidak kompromistis terhadap maksiat namun toleran terhadap kaum yang berbeda keyakinan. Sementara itu seorang ksatria, tidak pernah “lempar batu sembunyi tangan”, dimana tanggung-jawab menjadi ideologi para kaum ksatria, sehingga tidaklah perlu bagi mereka untuk terlebih dahulu digugat maupun dilaporkan untuk bersedia bertanggung-jawab.

Justru sebaliknya, adalah “rugi” dan “merugi”, sebentuk “kerugian” besar, bilamana seorang umat ideologi “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa” justru hidup secara bersih dan bebas dari aksi-aksi korup dikeseharian aktivitasnya. Agar tidak merugi, maka janganlah membuat mubazir yang ditawarkan oleh ideologi “too good to be true” yang telah di-“halal”-kan oleh “sesosok adikodrati” yang delusif—seolah-olah Tuhan lebih PRO terhadap pelaku kejahatan (pendosa yang berdosa) ketimbang memberikan keadilan bagi para korban dari sang pelaku kejahatan, dimana seakan-akan “Tuhan” pun turut membungkam suara jeritan korban-korban yang kian berjatuhan.

Pertanyaan pamuncaknya ialah, beranikah Anda, melepaskan diri dari asosiasi antara Anda dan ideologi “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”? Banyak diantara masyarakat kita, menyerupai jalan maju tanpa berani memilih jalan mundur (point of no return), mengingat dosa-dosa mereka telah menyerupai sebentuk “to big to be fall”, dimana gunung-gunung dosa mereka dapat runtuh sewaktu-waktu menimbun mereka hidup-hidup bila tidak memilih untuk membutakan mata dan mata hati diri mereka sendiri dengan meyakini secara membuta ideologi dosa semacam “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”. Korupsi, adalah dosa, kotor, jorok, serta biadab (jahanam). Bagaimana mungkin, eksis alam bernama “surga jahanam” bagi para “jahanam”?

Sekalipun ada di antara Anda yang melakukan “pembenaran diri” dengan segala justifikasi, bahwa dana hasil korupsi yang berhasil didapatkan ialah rezeki dari Tuhan, kuasa dari Tuhan, kehendak Tuhan, izin dari Tuhan, namun disaat bersamaan melupakan, bahwa dirinya telah gagal total dari “ujian” yang diberikan Tuhan. Kesemua itu, adalah “umpan”, dan sang pelaku korupsi telah memakan umpannya, dimana ia bayar mahal dengan menggadaikan integritas, bahkan masih pula mencatut nama Tuhan sekadar untuk menjadi alat justifikasi diri—pelakunya, memuji sekaligus disaat bersamaan menista keagungan Tuhan, pujian yang menista Tuhan, lewat segala dalil-dalil alibi yang mengatasnamakan nama Tuhan untuk membenarkan aksi korupnya.

Pada prinsipnya, sepanjang kita dan Anda masih menjadi agen pemeluk dan penyebar ideologi “korup” semacam “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”, maka bila kita bersifat moderat terhadap keyakinan ideologi tersebut, dengan tidak percaya sepenuhnya bahwa dosa dapat dihapus atau diampuni—seolah Tuhan yang memonopoli pemberian amnesti dan grasi bagi pendosa, bukan menjadi hak prerogatif pihak korban—maka bisa jadi anak atau para pengikut Anda yang akan termakan dan memakan mentah-mentah seyakin-yakinnya ideologi “korup” tersebut, dan menjalankannya secara sepenuh hati tanpa keraguan, dimana mempertanyakan ialah “tabu”, skeptis artinya tidak meyakini dan tidak mengimani.

Serupa dengan ideologi teror!sme, sekalipun ada di antara Anda yang mengaku sebagai “moderat”, namun bisa jadi anak atau cucu Anda yang akan menjelma radikal, seorang fanatik yang membuta, militan. Maka, korban-korban pun akan terus berjatuhan, bilamana ideologi yang tidak logis dan irasional masih dibiarkan bersarang di tengah-tengah bangsa kita maupun di dalam kepala kita. Ideologi yang berbahaya ini ialah satu, yakni “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”, namun muaranya dapat bermanifestasi pada bentuk-bentuk korup, jahat, curang, kotor, maupun segala wujud tidak berperikemanusiaan lainnya—menjelma menyerupai “hewan” yang “hewanis”, disamping “premanis”, sekaligus “predatoris”. “Tuhanis”, lebih tinggi dari “humanis”. Jangankan “Tuhanis”, “humanis” pun mereka tidak layak menyandang nama “manusia”, kecuali “manusia hewan”.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.