(DROP DOWN MENU)

Logika dan Asumsi Kita, Seringkali KELIRU. Jadilah Pribadi Pembelajar yang Rendah Hati, itulah Pesan Dibalik Ilmu Pengetahuan

ARTIKEL HUKUM

Hal yang Menarik Dibalik Belajar dan Penggalian Ilmu Pengetahuan, Sejarah Hidup Kita Penuh Kekelirutahuan, karenanya Kesombongan dan Keangkuhan Bukan Lagi pada Tempatnya

Takjub, Ilmu Pengetahuan selalu Menampar Wajah Kita yang Penuh Kekelirutahuan, karenanya Kita Perlu Rendah Hati oleh Sebab Selama Ini Terbukti berbagai Asumsi dan Logika Kita telah Ternyata Keliru (bahkan Tidak Jarang Menyesatkan) yang Baru akan Terungkap Semasa Pembelajaran

Bagi yang memiliki kesombongan dan selama ini dikusai oleh arogansi seperti merasa “selalu paling benar sendiri” dan “mau menang sendiri”, belajar ilmu pengetahuan akan tampak seperti hal atau sebagai opsi yang kurang atau bahkan sama sekali tidak menarik, bahkan untuk sekadar disentuh. Mengapa? Semata, karena yang bersangkutan, sang “sombong nan arogan”, sudah merasa paling tahu dan paling benar—meski faktanya, mereka takut bahwa “bangunan keangkuhan” mereka yang rapuh itu akan seketika runtuh hingga rubuh berkeping-keping ketika mendapati realita yang berkata lain adanya.

Mereka, tidak memiliki kerendahan hati untuk menerima kenyataan bahwa mereka bisa jadi dan besar kemungkinan keliru atau bahkan salah besar untuk saat kini, sebelumnya, dan dimasa yang akan datang. Apakah kenyataan berbagai kekelirutahuan kita selama ini, yang tidak terhitung lagi jumlahnya dan telah membawa banyak bencana kemanusiaan dalam sejarah peradaban umat manusia, belum cukup menampar wajah kita? Karenanya, mereka tidak memiliki apa yang disebut sebagai “kebijaksanaan”. Kita, perlu setidaknya belajar dari “kesalahan sejarah” perihal “pemurnian ras” yang didengungkan oleh Adolf Hitler, tokoh fenomenal yang terperdaya dan berdelusi akibat asumsinya sendiri. Sehingga, jangan pernah berkata bahwa asumsi yang menyimpang adalah hal yang remeh-temeh dan patut disepelekan. Asusmi dapat menjadi fatal dan dapat mencelakai diri orang lain maupun diri kita sendiri.

Mengapa kita harus merasa takut, untuk bersikap terbuka pada kenyataan yang, “apa adanya”, yang kerap kali diilustrasikan secara lugas tanpa tedeng aling-aling sebagai “truth always bitter”—sebagaimana telah pernah disabdakan oleh Sang Buddha untuk “menampar wajah” kita yang masih merasa patut bersenang-senang dalam kubangan samsara penuh kesengsaraan, “Hidup adalah dukkha, hanya mereka yang menyadarinya yang akan mencari pantai seberang dan cara menuju pantai seberang, akhir dari dukkha.” [Note Penulis : Mohon agar sabda Sang Buddha tidak dipenggal secara parsial, dalam rangka menghindari kesalah-pahaman dalam memaknai, seolah-olah ajaran Buddhisme adalah “pesimistis”, sekalipun Sang Buddha telah menawarkan solusi dan jalan keluarnya yang dapat kita tempuh dalam satu-kesatuan.]

Terdapat berbagai hal menarik ketika penulis mencoba mempelajari ilmu pengetahuan baru, salah satunya ialah betapa takjubnya kita, bahwa selama ini kita memiliki berbagai asumsi penuh asumtif, hingga logika yang ternyata KELIRU sama sekali, alias tidak empirik yang kita kenal dengan julukan “kekeliru-tahuan”. Belajar ilmu pengetahuan adalah hal menarik dan selalu menggugah, bagi mereka yang berpikiran terbuka dan tidak sempit, karena kita menjadi dan baru mengetahui ternyata banyak asumsi kita selama ini adalah keliru serta meleset adanya, dan lebih banyak lagi logika-asumtif kita ternyata tidak benar dan tidak empirik adanya. Namun, satu hal lainnya yang menarik ialah, para pembelajar tidak terpaku di tempat dimana mereka dikejutkan betapa rapuh logika dan asumsi seorang umat manusia, karena para pembelajar adalah para “pemberani” dan “pemenang kehidupan dalam melawan kebodohan dan dalam mengarungi samudera pengetahuan yang nan luas”.

Sayangnya, justru banyak kalangan sarjana sains yang menjadi arogan dan “takabur” alias penuh kesombongan, setelah mereka merasa menguasai sains dan ilmu pengetahuan, sekalipun selama mereka tumbuh besar dari mulai bersekolah di Sekolah Dasar hingga tamat kuliah maupun bekerja dan berkeluarga, mereka telah menemui serangkaian kesalahan asumsi demi kesalahan asumi, berbagai “kecelakaan logika” yang membuat kita “terpeleset”, yang senyatanya tidak empirik dan bertentangan dengan kebenaran.

Karena itulah, kita tetap perlu bersikap terbuka terhadap “mungkin bisa jadi kini atau nantinya pun kita masih tetap dapat keliru dan masih ada kekeliruan dalam hal keyakinan, asumsi, maupun logika berpikir”, kita hanya dapat memperhalus derajat kekeliruannya lewat proses belajar dan menimba ilmu disamping sikap penuh kerendahan hati yang menyisakan “ruang bagi kemungkinan” terjadinya kesalahan logika maupun asumsi, mengingat sebelum ditemukan fakta, kita bergerak dilandasi oleh asumsi sebagai momentum awal pergerakan—oleh sebab itu tiada lagi sikap bersikeras hati untuk bersikap sombong terlebih arogan. Asumsi adalah asumsi. Keyakinan adalah keyakinan. Fakta adalah fakta, tanpa dapat diperkeruh oleh asumsi ataupun kepercayaan, tanpa dapat dicampur-adukkan, suka atau tidak suka.

Mereka dengan arogansi dan kesombongan intelektual, tampaknya tidak belajar dari berbagai kesalahan mereka selama ini, dan terus jatuh pada lubang kesalahan yang sama, yakni asumsi penuh asumtif bahwa telah benar dan selalu benar—meski ilmu pengetahuan selama ini telah kerap mengganjar mereka dengan tamparan keras di wajah, bahwasannya mereka memiliki kekelirutahuan akibat asumsi dan logika yang kurang sempurna serta tidak empirik terhadap fakta yang ada, bias persepsi terhadap kebenaran dan fakta, subjektivitas yang memperkeruh objek observasi, hingga suatu tendensi disamping faktor ego pribadi yang sama sekali tidak perlu dijadikan sebagai “bumbu penyedap” ataupun “penguat rasa”.

Ketika masih bocah, banyak asumsi dan keyakinan, pendirian, kekerasan hati, hingga logika kita ternyata keliru, membentur tembok keras bernama kenyataan ketika berbagai dongeng fantasi yang kita baca atau diperdengarkan kepada kita ternyata hanya mitos belaka. Kita, hanya dapat menerima kenyataan, dan mulai menanggalkan mitos serta fantasi, beranjak pada kenyataan. Proses pendewasaan pun, dimulai dengan melepaskan “dunia rekaan” pada masa kanak-kanak kita (itulah epistemologi konsepsi perihal “manusia dewasa”, yakni menjejakkan kakinya pada bumi, membumi dalam segi berpikir). Tetap saja, banyak diantara manusia dewasa yang tetap hidup dalam “mimpi”, seolah-olah pendosa dapat masuk ke dalam alam surgawi, bagaikan yang kotor dapat bersatu dengan yang suci bersih.

Ketika menjelang remaja, kita menemukan bahwa segala asumsi, ketetapan hati, kekeras-kepalaan, kepercayaan, hingga berbagai logika kita ternyata “tidak laku” pada realita kenyataan di lapangan. Pilihannya hanyalah, mulai bersikap rasional atau kita akan tersisih dari kehidupan yang keras ini. Ketika tumbuh dewasa atau bahkan hingga kita menjelma tua renta, kita pun masih akan terbuka kemungkinan menjumpai pengalaman dimana berbagai asumsi, pendapat, pemikiran, dugaan, sangkaan, logika, maupun berbagai keyakinan kita ternyata keliru dan meleset adanya dari kenyataan yang ada.

Salah satunya, ialah sikap orthodoks kalangan orangtua tempo dulu yang memandang remeh fungsi edukasi perihal “parenting” (ilmu pengetahuan serta keterampilan terapan bagaimana menjadi orangtua yang baik dan benar), dimana semata karena ego, mereka berasumsi bahwa melahirkan anak sudah otomatis diberkati pengetahuan merawat dan mendidik seorang anak—asumsi fatal yang membuat sebagian besar kalangan orangtua di muka Bumi ini diwarani oleh aksi-aksi orangtua yang tergolong “egoistic and narcisistic parents” maupun yang termasuk dalam kategori “toxic parent”, dimana masa depan anak menjadi taruhannya.

Tanpa melalui proses belajar yang membutuhkan kerendahan hati untuk belajar dan mengakui bahwa kita belum tahu, kita bisa jadi keliru, logika kita yang masih belum sempurna dan belum matang maupun yang tidak sesuai dengan konteks yang ada, ataupun asumsi kita yang belum akurat sehingga perlu diluruskan pada tempatnya, maka kita akan menjelma pria atau wanita tua renta yang “keras kepala”, tidak pernah bersedia belajar dari pengalaman ataupun kenyataan empirik yang ada—bukan karena faktor ketidak-mampuan untuk belajar dan berubah atau merubah “mindset” dan pendirian, namun lebih kepada faktor ego yang tidak realistis dan tidak rasional, disamping ketidak-mauan untuk belajar dan mengakui dengan penuh kerendahan hati bahwa kita masih perlu berproses untuk menjadi tahu, alias belum benar-benar tahu secara mutlak apa yang disebut sebagai kebenaran mutlak. Untuk itu, relevan bila kita kembali meminjam pernyataan Albert Einstein, “Mengharapkan hasil yang berbeda dengan menggunakan cara yang sama, sinting.”

Karena itulah, yang perlu kita sadari dan pahami betul oleh diri kita sendiri, bahwa segala asumsi dan logika yang kita bawa dan usung dalam diri kita selama ini, sifatnya hanyalah kebenaran nisbi yang sangat subjektif diri kita pribadi yang mana bisa jadi “belum matang” adanya, tidak empirik, tidak rasional, tidak objektif, alias bertentangan dengan kenyataan. Apriori, wajib dibarengi oleh sikap aposteriori. Apriori bukan untuk sikap apriori itu sendiri, namun sebagai langkah perdana atau gerbang pembuka bagi hipotesis untuk menemukan apa FAKTA yang ada atau terkandung dibalik suatu aposteriori, sebagai pembuktian empiriknya mengenai realita atau kenyataan, mengenai kebenaran, ataupun mengenai valid atau invalidnya logika dan keyakinan maupun asumsi-asumsi yang bisa jadi prematur (beranggapan, prejudice).

Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan “apriori” sebagai berpra-anggapan sebelum mengetahui (melihat, observasi langsung, dan sebagainya) keadaan yang sebenarnya. Sedangkan “aposteriori” diberi pemaknaan sebagai diketahui setelah dilihat dan diselidiki keadaan yang sebenarnya. Dengan demikian “a priori” berkaitan dengan alasan atau pengetahuan yang berasal dari deduksi teoritis semata yang kita sebut sebagai “asumsi” atau “hipotesis”, dimana kita dapat menyebutnya sebagai dunia ide atau “alam” gagasan, bukan berangkat dari pengamatan induktif atau pengalaman empirik. Lawan katanya, tidak lain tidak bukan ialah “a posteriori”, yaitu yang melibatkan penalaran secara induksi yang ditarik dari fakta dan pengalaman empirisme berupa pencerapan langsung lewat panca indera sang pengamat.

Menganai “prasangka” atau “pra-anggapan”, diartikan sebagai membuat keputusan sebelum mengetahui fakta yang relevan mengenai objek tertentu. Awalnya istilah ini merujuk pada penilaian berbasiskan pada ras suatu golongan sebelum memiliki informasi yang relevan yang bisa dijadikan dasar penilaian, namun keyakinan terhadap stigma ditarik dari ranah asumtif semata sehingga stigma terkokohkan menjelma “bangunan rasisme” yang sukar diruntuhkan. Selanjutnya prasangka juga diterapkan pada bidang lain selain ras, yang dewasa ini hampir dapat dipergunakan untuk setiap aspek sosial-kemasyarakatan.

Dari sekian banyak contoh kasus kekelirutahuan yang pernah penulis hadapi dan alami dari semenjak bocah hingga tumbuh dewasa (serta hingga nanti tua dan tutup usia), salah satu ilustrasi berikut masih tergambar dengan cukup jelas dalam memori penulis dan dapat menjadi representasi sederhana paling gamblang untuk memperlihatkan betapa rapuh asumsi dan logika seorang manusia. Saat masih duduk di bangku sekolah, guru meminta murid untuk melakukan sebuah Pekerjaan Rumah, berupa sebuah percobaan atau eksperimen sederhana menggunakan balok es dari cairan yang dibekukan, setebal sekitar dua sentimeter, ditaruh pada tempat dimana bagian tengahnya tidak memiliki alas berpijak bagi balok es tersebut, kemudian di atasnya diletakkan atau direntangkan tali yang diikatkan pada sebuah beban pemberat pada masing-masing ujung tali. Pertanyaannya, apakah balok es tersebut akan patah menjadi dua bagian pada bagian tengahnya akibat tidak kuasa menahan beban tali yang menekan balok es tersebut?

Ternyata, asumsi dan logika “dangkal” penulis keliru dan meleset jauh, tali itu seiring berjalannya waktu, bergerak turun menembus balok es tanpa mematahkan balok es tersebut! Itulah, sebuah atraksi alamiah sederhana yang dapat menampar wajah ego “sudah tahu” dan delusi seorang manusia bahwa dirinya sudah mengetahui segala hal. Sama halnya seperti para generasi pendahulu kita ketika bersikukuh bahwa Planet Bumi ini adalah datar adanya karena melihat “Matahari tenggelam” di ufuk Barat, bersikeras dan berkeyakinan bahwa Bumi menjadi pusat dari tata surya, bahwa Matahari yang berevolusi mengelilingi Bumi, mengakibatkan Galileo yang saat itu penelitiannya menemukan kebenaran dibalik pendapat Copernicus, terancam hukuman penjara seumur hidup karena dinilai menodai dogma keagamaan.

Sebagai satu tambahan, cobalah eksperimen berikut, untuk membuktikan betapa rapuh asumsi dan logika yang Anda miliki, bilamana benteng ego Anda masih berdiri kukuh (akibat delusi). Tambahkan satu gelas air ke dalam satu gelas garam (kedua gelas sama ukuran takarannya, dan isinya sama-sama penuh, gelas yang satu penuh oleh air dan gelas kedua penuh oleh kristal garam). Maka, satu gelas air ditambah satu gelas garam, berapakah kapasitas gelas yang akan tercipta?

Rumusnya kurang-lebih akan menjadi 1 gelas Air + 1 gelas Garam = ... gelas? Jangan terburu-buru termakan asumsi dengan tergoda menjawab dua buah gelas. Anda akan terkejut, hasilnya ialah SATU gelas, tidak kurang dan tidak lebih—penulis temukan fakta tersebut pada buku berjudul “Einstein pun Tidak Tahu”. Ehipassiko, mengundang untuk dibuktikan, itulah sebabnya, Buddhisme disebut juga sebagai agama empirisme, dimana sedikit demi sedikit, perlahan namun pasti kebenaran dibaliknya mulai terkuak, selah satunya perihal “past life”, yang kini bahkan mulai diakui oleh dunia sains di Barat, karena fakta-fakta demikian ditemukan oleh para ilmuan berlatar-belakang dunia ilmiah Barat yang sebelumnya tidak memiliki keyakinan metafisika.

Kini, kita terperanjat, bahwa logika umat manusia amatlah rapuh dan penuh asumtif yang kelewat “arogan”. Kita karenanya, perlu belajar kehendahan hati, bahwa saat ini pun kita masih mungkin terbuka kemungkinan melakukan kekelirutahuan, logika yang belum sempurna, asumsi yang membiaskan fakta sebenarnya bahkan membelokkan kebenaran secara kita sadari ataupun tanpa kita sadari, dan akan kembali terbentur ataupun tersandung jatuh oleh realita yang ada telah ternyata jauh dari apa yang sebelumnya atau selama ini dan saat kini kita yakini. Bagaimana mungkin, kita belum juga bangun dan tersadarkan dari “tamparan-tamparan” demikian?

Menyadari betapa banyak kita keliru dan dikuasai oleh kekelirutahuan, karenanya kita tidak pada tempatnya untuk bersikap congkak, angkuh, terlebih arogan khas “kesombongan intelektual” yang merasa diri mereka lebih intelek, lebih benar, lebih tahu, selalu benar, selalu tahu, dan paling benar maupun paling tahu, tidak mungkin keliru. Mereka, merasa alam semesta telah berada di dalam genggaman tangan mereka. Namun lihatlah, para ilmuan saat kini bahkan masih juga tidak berdaya menghadapi wabah yang diakibatkan pandemik virus menular antar manusia. Mereka, para “arogan intelektual”, menganut aturan hukum berikut : Pasal Kesatu, guru tidak dapat keliru dan selalu benar. Pasal Kedua, jika guru keliru, lihat pasal kesatu.

Kita belajar dan menjadi tahu, dalam rangka untuk menjadi lebih rendah hati, bukan berkebalikan dari itu. Mereka yang karena belajar, justru menjadi angkuh dan congkak, belum benar-benar pernah belajar dari kesalahan mereka ataupun dari berbagai tamparan yang pernah mereka cicipi (mungkin belum cukup keras tamparan yang mereka rasakan, atau bisa jadi kulit pipi mereka yang terlampau tebal sehingga tidak sadarkan diri telah pernah terkena tamparan)—bahwa mereka pernah keliru, bahwa mereka seringkali keliru, bahwa mereka dapat keliru dan dapat pula kembali keliru, bahwa mereka belum sempurna, bahwa spekulasi dalam pikiran mereka masih menjadi sumber asumsi, bahwa logika mereka mengandung kerapuhan serta cacat bawaan lahir, dan bahwa mereka masih dapat keliru seyakin apapun mereka meyakini sesuatu. Dahulu mereka dan kita telah pernah keliru, kini pun kita masih dapat keliru, maka kelak pun kita tetap terbuka kemungkinan atau peluang dimana kita kembali keliru, kekelirutahuan sebagai sejarah yang tidak terpisahkan dari kehidupan umat manusia dari muda hingga ia dewasa bahkan saat akan meninggal dunia.

Sebagaimana asumsi perihal “penghapusan / pengampunan dosa” maupun anggapan perihal “penebusan dosa”, yang kini diyakini oleh mayoritas umat manusia, bahwa setelah ajal menjelang, para pendosa memetik dan menikmati buah perbuatan-perbuatan dosa mereka di “alam surgawi”? Bukankah itu sangat tidak empirik, tidak logis, serta tidak sesuai asas “akal sehat milik orang sehat”? Bukankah itu merupakan sebentuk paling ekstrim dari “akal sakit milik orang-orang sakit”? Faktanya, mereka adalah orang-orang “keras kepala” yang tidak pernah mau belajar dari demikian banyak kesalahan mereka selama ini, tiada kerendahan hati, dan tiada instrospeksi diri, semata arogansi diri dan mental yang mengemuka, sungguh suatu kesia-siaan.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.