(DROP DOWN MENU)

Alibi dan Alasan Pembenar, Disalahgunakan untuk Menutupi Motif / Modus Sebenarnya dari Sang Pelaku

SENI PIKIR & TULIS

Alasan yang Dibuat-Buat dan Alasan yang Dicari-Cari, ALIBI & ALASAN PEMBENAR untuk Membenarkan Perbuatan yang Tidak Benar

Jangan Bersikap Seolah-olah hanya Kita Seorang Diri yang Menderita Dukkha dalam Hidup Ini

Salah satu sifat kurang terpuji dari umat manusia yang masih demikian tebal dan kasar kekotoran batinnya, ialah memiliki kecenderungan untuk mencari-cari alasan guna membenarkan perbuatan keliru diri mereka. Artinya, mereka memang menghendaki dan menyadari perbuatan buruk yang mereka lakukan, lantas setelah itu masih pula tetap (dengan berani) dilakukan ataupun melanggar sebuah larangan, selanjutnya ialah misi “mencari-cari alasan” hingga “membuat-membuat alasan” sebagai alibi ataupun pembenaran diri (self justification) alias sebagai “alasan pembenar”. Pembenaran diri, sungguh adalah penyakit mental sekaligus penyakit sosial, dimana yang berlaku ialah “akal sakit milik orang sakit”, cerminan sebuah bangsa yang tidak sehat.

Gambaran konkret berikut, dapat dengan mudah kita jumpai dalam realita kehidupan sosial-bermasyarakat kita sehari-hari pada lingkungan tempat tinggal, pemukiman, komunitas pergaulan, organisasi, kantor, sekolah, dsb. Dengan alasan “patah hati” secara berlarut-larut akibat “cinta yang bertepuk sebelah tangan” (unrequited love), seseorang menenggelamkan dirinya pada kegiatan merusak diri seperti meminum minuman beralkohol dan menjadi seorang pemabuk.

Ia tidak mau melihat realita secara lebih meluas, bahwa banyak diantara orang-orang yang berumah-tangga dan menikahi pria / wanita yang selama ini menjadi pujaan dan belahan hatinya, namun tetap saja menjadi seorang peminum, yang artinya urusan asmara tidaklah relevan dijadikan alasan ataupun alibi untuk menjadi seorang pecandu minuman beralkohol yang memabukkan. Seorang aktor ternama Hollywood yang telah sukses, bahkan diberitakan mengakhiri hidupnya sendiri akibat depresi yang justru ironisnya ditimbulkan sebagai efek samping candu minuman beralkohol. Tidak sedikit pula pernikahan berujung gugat-menggugat perceraian dan perseteruan harta hasil perkawinan, sekalipun pada mulanya mereka menikah atas dasar nama “cinta”. Karena ada cinta, maka ada kekecewaan dan rasa benci.

Akan terbukti pula, ketika pada akhirnya ia benar-benar mendapatkan gadis / pria pujaannya dan menikahinya bahkan memiliki anak yang manis dan patuh dari hubungan perkawinannya dengan sang belahan hati, tetap saja ia akan tetap minum minuman beralkohol dan tetap sebagai seorang pemabuk, kebiasaan lamanya. Artinya, kesemua alasan itu hanyalah alibi yang dicari-cari atau alasan yang dibuat-buat. Bahkan, “hidup yang belum sepenuhnya memuaskan” pun dijadikan alibi dan alasan pembenar untuk mengecoh diri sendiri agar lebih dalam lagi terjerat candu yang memabukkan. Siapa juga yang benar-benar dapat merasa terpuaskan dalam hidup ini?

Yang paling ia cintai, sejatinya ialah minuman memabukkan itu, sebab ia pada mulanya beralasan bahwa ia meminum itu dan karenanya menjadi seorang pemabuk akibat “patah hati” urusan asmara, namun pada gilirannya mendapatkan apa yang ia inginkan, ia tidak kunjung menghentikan kebiasaannya meminum minuman beralkohol dan menjadi mabuk karenanya, bahkan mulai bersikap kasar terhadap istri / suami yang semula ia idam-idamkan sampai mabuk. Yang dirinya cari dan lekati, bukanlah mabuk karena urusan asrama, namun mabuk oleh minuman beralkohol. Ia mencintai kemabukan dirinya sendiri (narsistik), bukan mencintai sang “belahan hati”.

Dengan alasan “pusing” akibat urusan pekerjaan ataupun memiliki keluarga yang tidak utuh (broken home), seseorang mulai terlibat dengan kebiasaan menghisap bakaran tembakau atau bahkan menjadi seorang pecandu obat-obatan terlarang. Faktanya, mereka yang hidup dalam keluarga yang utuh, makmur dari segi materi dan karir, memiliki pasangan hidup serta anak yang baik yang dipandang sebagai keluarga ideal bagi orang kebanyakan, telah ternyata masih juga terjebak dalam dilematika candu obat-obatan terlarang maupun nikotin.

Bila asumsi bahwa kerasnya hidup dalam mencari nafkah, bermuara pada pelarian berupa pemakaian barang madat demikian, maka semestinya kalangan pecandu tersebut ialah kalangan kelas menengah kebawah. Namun faktanya pula, kalangan bawah kurang mencukupi asupan gizi anggota keluarga maupun anaknya, dan disaat bersamaan sang kepala keluarga yang mencandu nikotin merasa sanggup membelanjakan dana hasil pendapatan dari pekerjaannya yang terbatas untuk membeli produk bakaran tembakau yang dibakar dan dihisap setiap harinya hingga berkotak-kotak.

Katakanlah, seseorang pada mulanya terjerumus masuk dalam dunia candu barang madat akibat tekanan ekonomi. Seiring berjalannya waktu, tingkat ekonomi dirinya meningkat, bahkan mampu menduduki jabatan eksekutif, naik pangkat hingga top manajemen pada suatu perusahaan. Faktanya, tetap saja kebiasaannya mencandu tidak terlepas dari menu kesehariannya. Sehingga, dapat kita simpulkan, kelekatannya ialah kepada candu dan aktivitas mencandu, dimana masalah ekonomi hanyalah sebagai alasan yang dicari-cari dan dibuat-buat sebagai “alasan pemaaf”.

Dengan alasan tingkat upah yang rendah, seseorang pekerja atau pegawai swasta maupun Pegawai Negeri Sipil melakukan aksi korupsi maupun kolusi. Namun telah ternyata, korupsi dan kolusinya kerap “kebablasan”, dalam artian tidak henti-hentinya dilakukan demi meraup uang kotor lebih banyak lagi untuk dikantungi untuk membiayai kebutuhan-kebutuhan yang non-pokok sifatnya, yakni membelanjakannya untuk kebutuhan-kebutuhan tersier dan gaya hidup mewah yang konsumsif semata. Karenanya, cukup atau tidak cukup suatu pendapatan, tidak semestinya “lebih besar pasak daripada tiang”. Ketika seseorang melakukan aksi korupsi maupun kolusi, maka itu bisa dipastikan memang niat hatinya, sementara alasan perihal upah yang “rendah” hanyalah alibi semata—alibi mana terdengar sebagai “alibi sempurna”.

Tidak sedikit diantara kita yang seumur hidup bekerja demikian keras, demi meraih kekayaan yang menempatkan kita sebagai seorang milioner atau bahkan bilioner, dengan asumsi bahwa pencapaian dari segi ekonomi akan membuat kita menyentuh titik kebahagiaan hidup. Namun, ketika kesemua itu telah diperoleh, kekayaan, status sebagai pebisnis dengan kerajaan bisnis yang menggurita dan mewaralaba secara pesat meninggalkan kompetitor lainnya, memiliki keluarga yang lengkap, ribuan pegawai siap menuruti perintah dan mengerjakan tugasnya, masih juga dilanda dan dikuasai oleh berbagai ketidak-puasan, mulai terprovokasi oleh obsesi untuk menjadi penguasa dunia, atau setidaknya sebagai seorang Kepala Negara dan Pemerintahan.

Ambisi dan sikap ambisiusnya kemudian benar-benar mengantarkan dirinya terpilih sebagai seorang Presiden ataupun Perdana Menteri. Namun, ketika menjelang habis masa jabatannya, dirinya kembali “dibakar” oleh obsesi berupa ambisi tanpa batas untuk kembali terpilih dan menduduki jabatan sebagai Presiden untuk masa jabatan periode kedua, jika perlu juga untuk periode ketiga atau bahkan seumur hidupnya dibolehkan menjabat. Ketika kesemua itu tidak tercapai, dirinya merasa kecewa dan menjadi sentimentil, sekalipun dirinya sudah sangat amat beruntung dan jauh lebih patut bersyukur daripada orang kebanyakan. Artinya, yang dirinya lekati selama ini ialah sifat ambiusnya sendiri, bukan harta, pekerjaan, jabatan, negara, rakyat ataupun sebagainya. Ambisi untuk ambisi itu sendiri.

Dengan alasan “kebutuhan biologis”, seseorang pria menikahi seorang wanita sebagai istrinya. Namun, telah ternyata bahwa satu orang istri tidaklah cukup bagi “libido” seorang pria yang terlampau tidak terbendung “birahi”-nya. Masih juga menginginkan istri kedua, istri ketiga, jika perlu istri tetangga—sebagaimana peribahasa, “rumput tetangga tampak lebih indah daripada rumput di halaman rumah sendiri”—please, don’t try that at home! Ketika sang pria menginjak usia kakek-kakek, dan para istrinya turut pula telah menjelma menjadi nenek-nenek yang ompong giginya, namun telah ternyata sang kakek diringkus dan diciduk oleh pihak berwajib akibat memperkosa dan menyetubuhi anak dibawah umur hingga hamil. Alasan apa lagi ia sekarang, ingin berdalih bahwa sang istri yang sudah nenek-nenek, sudah tidak mampu lagi melayani “kebutuhan biologis” sang pria tua ini?

Seorang kikir selalu berpikir, nanti, setelah jadi hartawan, barulah berdana. Seiring berjalannya waktu, sebagaimana pun usahanya berkembang dan kemakmuran ekonominya meningkat, sifat kikir justru kian menguasai dirinya dan disaat bersamaan keserakahan juga kian memperbudak isi pikirannya. Sebanyak ataupun sesedikit apapun harta yang ia miliki, telah ternyata tidak relevan adanya, dimana yang senyatanya ia cintai dengan amat sangat ialah sifat kikir dalam dirinya itu sendiri.

Dengan alasan balas dendam, seseorang melakukan pembantaian besar-besaran pada sebuah kediaman, mulai dari pegawai, tukang sapu, maupun orang-orang tidak bersalah lainnya yang sekadar pekerja pada satu kediaman. Pertanyaannya ialah, bagaimana dengan sanak-keluarga para korban tersebut, apakah mereka tidak berhak dendam dan turut membalas dendam terhadap sang pelaku yang telah melakukan pembantaian mengatas-namakan “balas dendam”? Apakah seorang pegawai biasa, tidak penting nilai hidupnya sehingga cukup dipandang “sebelah mata” layaknya figuran semata dalam hidup ini seolah-olah masing-masing dari mereka tidak memiliki anggota keluarga yang menunggu kepulangan mereka dengan sehat dan selamat serta menunggu diberi makan? Yang disukai oleh sang pelaku, ialah aksi pembantaian, dimana membalas dendam hanyalah alasan yang dicari-cari semata sebagai alibi.

Sering kita saksikan berbagai kisah pada beragam sinema, sang tokoh utama melakukan aksi “balas dendam” dengan alasan orangtua atau anaknya telah tewas terbunuh oleh orang yang kini diburu oleh sang tokoh utama untuk dibalas dendamnya dan dicabut nyawanya. Namun demikian, dewasa ini kerap kita jumpai kasus-kasus dimana orangtua menggugat anak kandungnya, atau sebaliknya sang anak yang menggugat orangtua kandungnya sendiri. Sang tokoh digambarkan bercucuran mata karena orangtuanya dikisahkan meninggal bukan karena usia muda, menyatakan betapa ia mencintai dan merindukan sang ibu dan sang ayah yang telah “pergi” lebih dahulu dari dirinya. Bisa jadi, bila saja orangtuanya masih hidup dan sehat hingga saat kini, ia kerap terperangkap dalam konflik domestik keluarga dimana suasananya menyerupai “neraka (di) dunia”, tersiksa hidup bersama orangtuanya lengkap dengan sikap-sikapnya.

Jangan bersikap seolah-olah hanya kita seorang diri yang menderita dukkha dalam hidup ini. Mereka yang bersikap seolah-olah hanya mereka seorang diri yang merasakan dukkha dalam hidup ini, kerap bersikap egois bahkan terhadap anggota keluarganya sendiri, terhadap pihak konsumen, ataupun terhadap rakyatnya sendiri (sekalipun rakyatnya jauh lebih miskin daripada dirinya, yang artinya merampok nasi dari piring orang-orang yang lebih miskin daripada sang pelaku), dengan merampas hak mereka, menghancurkan properti mereka, melukai maupun mengecewakan mereka, dengan harapan membuat dunia lebih adil bagi dirinya yang menghibur diri dengan mencelakai dan menyakiti ataupun melukai orang-orang lainnya agar sama menderitanya dengan dirinya.

Dengan alasan keterbatasan sumber daya alam, membawa seseorang menjelajahi benua baru dan meng-okopasinya, membuat hampir punah masyarakat adat lokal, bahkan setelah mengusai berbagai sumber daya alam, mulai muncul keserakahan yang membajak pikiran, yakni menjadikan benua yang baru ditemukan itu sebagai wilayah kolonial untuk dijajah, dimana telah ternyata pula bukan hanya kekayaan alam yang dihisap olehnya, namun keringat tenaga manusia dihisap hingga kering bak taring seekor kelelawar yang tidak kenal sikap manusiawi (kerja rodi dan praktik perbudakan).

Mengaku “dizolimi”, lantas menjadikan itu sebagai alibi untuk membunuh. Memaksakan keyakinan, berbuntut penolakan dan perlawanan oleh korban ketika diancam demikian, dimaknai sebagai “menzolimi” sang pengancam, lantas menjadikannya pula sebagai justifikasi untuk melakukan aksi radikalisme penuh intoleransi. Dengan alasan perut merasa lapar, lantas seolah-olah menjadi alasan pembenar untuk mencuri. Namun, atas alasan “lapar” semacam apakah, seseorang menjadikan itu sebagai alibi untuk berzinah? Kompromistis terhadap maksiat, namun disaat bersamaan begitu intoleran terhadap kaum yang berbeda—standar ganda. Contoh konkretnya dapat kita temukan pada dogma-dogma keyakinan keagamaan semacam “Agama DOSA” yang bersumber dari “Kitab DOSA”, dimana para umatnya mengaku-ngaku mencintai Tuhan namun faktanya lebih mencintai iming-iming janji “penghapusan dosa”, dengan kutipan sebagai berikut:

- “Malaikat menemuiku dan memberiku kabar baik, bahwasanya siapa saja yang meninggal dengan tidak mempersekutukan ... dengan sesuatu apapun, maka dia masuk surga. Maka saya bertanya, ‘Meskipun dia mencuri dan berzinah? ‘ Nabi menjawab: ‘Meskipun dia mencuri dan juga berzinah’.”

- “Saya diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mengucapkan ‘tidak ada Tuhan selain ... dan bahwa ... rasul ...’, menghadap kiblat kami, memakan sembelihan kurban kami, dan melakukan rituil bersama dengan kami. Apabila mereka melakukan hal tersebut, niscaya kami diharamkan menumpahkan darah ataupun merampas harta mereka."

- “Pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi ... dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, ialah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan serta kaki mereka.”

- Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada...”

- “Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat : ... , maka penggallah kepala mereka dan pancunglah seluruh jari mereka.”

- “Perangilah mereka, niscaya Tuhan akan menyiksa mereka dengan tangan-tanganmu...”

- “Perangilah orang-orang kafir dan orang-orang munafik dan bersikap keraslah terhadap mereka.”

- Bunuhlah mereka di mana saja kamu bertemu mereka, ...”

- “Bunuhlah orang-orang ... itu di mana saja kamu bertemu mereka, dan tangkaplah mereka.”

Faktanya, yang sesungguhnya paling mereka cintai dan tunggu-tunggu ialah pembunuhan dan aksi berdarah penuh pertumpahan darah, sementara itu keyakinan yang berbeda hanyalah alasan pembenar alias alibi untuk melancarkan aksi radikal “haus darah” demikian. Sama seperti ketika para penonton (suporter) bola mendatangi stadiun sepak bola, menyaksikan tim kesebelasan mereka bertanding, dimana apapun hasilnya, terutama jika tim kesebelasan mereka kalah bertanding (momen yang sejak semula mereka tunggu-tunggu), maupun menunggu hingga pendukung tim lawan yang memulai serangan (karena tim kesayangannya kalah dalam bertanding), itu menjadi alasan pembenar untuk melakukan aksi “tawuran” penuh anarkisme terhadap penonton dan pendukung tim kesebelasan pihak lawannya.

Yang paling mereka cintai, bukanlah tim kesebelasan yang mereka dukung (yang kini mendapat sanksi dari otoritas), namun ialah aksi anarkhi itu sendiri. Para suporter sepak bola, adalah orang-orang dewasa yang mentalnya masih berseragam anak sekolahan yang masih gemar “tawuran”. Sebagai penutup, apapun alasannya, perbuatan jahat adalah jahat, perbuatan tercela adalah tercela, perbuatan buruk adalah buruk, dan perbuatan keliru adalah keliru. Bukanlah alasan, bila hal itu membawa keburukan atau dilakukan dengan cara yang tidak benar.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.