(DROP DOWN MENU)

Perihal Hak Asasi KORBAN, Hak untuk Mengekspresikan kekecewaan serta Hak untuk Menjerit Kesakitan

ARTIKEL HUKUM

Manusia yang Korban Perbuatan Jahat / Buruk Orang Lain, Bukanlah Mayat yang Hanya dapat Pasrah Seribu Bahasa Menerima Kenyataan Pahit

Hak Asasi MANUSIA (termasuk KORBAN), bukan Hak Asasi MAYAT

Koruptor yang Cerdik, akan Memprovokasi Publik agar Mengolok-Olok sang Koruptor Sebelum Dijatuhi Vonis Hukuman oleh Hakim di Pengadilan, menjadi Alibi untuk Minta Keringanan Hukuman

Bila kita sepakat bahwa “menjerit kesakitan” merupakan “hak asasi KORBAN”, maka mengapa budaya sosial maupun budaya praktik di ruang peradilan di Indonesia, masih juga menjadikan posisi korban serba-salah, dimana untuk menjerit kesakitan pun masih juga dipandang sebagai “tabu”, dianggap sebagai “tidak sopan” (seolah-olah perbuatan pelaku yang telah menyakiti, melukai, maupun merugikan sang korban, adalah sudah “sopan” dan tidak tercela), dicela secara salah alamat (celaan justru ditujukan kepada sang korban, alih-alih kepada sang pelaku yang telah berbuat jahat atau tidak patut), dituntut untuk diam bungkam bagai mayat yang terbaring dan terbujur kaku. Budaya irasional demikian, amat mendiskreditkan posisi korban yang menjelma terjepit dan kian terpojokkan—cerminan rendahnya kecerdasan emosional (EQ, yang dicirikan dengan kemampuan ber-empati), disaat bersamaan mengklaim sebagai bangsa ber-SQ tinggi sebagai “agamais”.

Sudah dirugikan dan dilukai, masih pula dilecehkan oleh komentar-komentar masyarakat kita di Indonesia yang seolah tidak mampu turut prihatin dengan menempatkan perasaan diri mereka pada posisi seorang korban yang terluka dan kian dirudung derita akibatnya secara memprihatinkan—mungkin selama ini rata-rata anggota masyarakat kita di Indonesia yang lebih kerap menjahati orang lain ketimbang menjadi korban kejahatan orang lain. Mungkin pula akibat posisi korban sedang jatuh pada titik nadir demikian lemahnya akibat terluka atau shyok tanpa daya, masyarakat kita menjadikan itu sebagai kesempatan terbuka untuk turut melukai dengan perundungan terhadapnya (oral bullying), dengan masih pula menghakimi sang korban, alih-alih menolong korban dan menghakimi sang pelaku kejahatan.

Ada harga yang kini dibayar mahal oleh bangsa Indonesia atas wajah budaya irasional yang tidak sehat demikian, momentumnya ialah ketika Mantan Menteri Sosial, Juliari Batubara, yang pada tahun 2021 dituntut dan divonis pidana penjara karena menerima uang gratifikasi dana bantuan sosial dari pengusaha yang menyalurkan bantuan sosial kepada masyarakat, dengan mengutip 1/30 dari bantuan yang diterima oleh rakyat miskin (mencuri nasi dari piring orang-orang yang bahkan lebih miskin dan lebih menderita dari sang mantan menteri ketika masih menjabat sebagai Menteri Sosial RI), dilakukan tatkala rakyat Indonesia sedang menderita akut dilanda pandemik akibat wabah virus menular antar manusia mematikan (Corona Virus Disease 2019), dan negara dalam kondisi darurat kesehatan serta darurat ekonomi, Majelis Hakim pada Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi, membuat pertimbangan hukum yang meringankan vonis hukuman bagi sang mantan menteri, bahwasannya sang terdakwa telah menderita psikis akibat dihakimi oleh “olok-olokan” rakyat.

Koruptor mana, yang justru sebaliknya, dipuja-puji dan dielu-elukan oleh masyarakat? Bukankah semua pelaku aksi korupsi, selama ini memang di-olok-olok? Bukankah jika olok-olok oleh masyarakat demikian masif sebagai bentuk ekspresi kekecewaan dan kemarahan, dikala tekanan psikis akibat wabah sedang melanda namun bantuan sosial justru disunat oleh sang menteri sosial, seharusnya menjadi alasan pemberat vonis hukuman alih-alih sebagai alasan peringan vonis hukuman? Mengapa juga seolah-olah, sang hakim berpendirian bahwa korban tidak memiliki hak untuk bersuara dan/atau setidaknya untuk menjerit kecewa, kesakitan, marah, kesal, murka, memaki, mengolok, berteriak, dan segala bentuk ekspresi derita luka lainnya?

Seperti yang telah penulis kemukakan di muka, praktik sosiologi masyarakat di Indonesia dewasa dan selama ini, belum menjadikan hak-hak korban untuk “menjerit kesakitan” sebagai budaya yang dilazimkan serta patut dimaklumi, namun di-tabu-kan. Alhasil, ketika korban menjerit kesakitan, maka itu menjadi jeritan kesakitan yang “amat mahal harganya”, karena menjadikan itu sebagai pintu masuk celah bagi hakim untuk membuat alibi mengada-ngada dalam rangka motif untuk menjatuhkan vonis hukuman secara meringankan derajat kesalahan dan kejahatan sang terdakwa.

Alih-alih mencela sang pelaku kejahatan, masyarakat kita justru mencela bahkan turut melecehkan (melukai perasaan) korban yang “menjerit kesakitan” dengan komentar bernama penghakiman sebagai “tidak sopan”, “sudah gila”, dan lain sebagainya secara mendiskreditkan, yang disaat bersamaan gaibnya justru tidak mencela sang pelaku yang mana artinya mereka membela dan mendukung sang pelaku dan perbuatan buruk sang pelaku terhadap sang korban, yang alhasil terluka untuk kedua kalinya : perbuatan pelaku yang merugikan, melukai, ataupun menyakiti, disertai komentar “miring” penghakiman oleh anggota masyarakat lainnya.

Pada gilirannya, ketika masyarakat kita itu sendiri yang harus mencicipi rasanya menjadi seorang korban praktik aksi korupsi oleh para pelaku korupsi, kemudian mereka melontarkan olok-olok hingga caci-maki kepada sang koruptor, hakim pun untuk itu menilainya bukan sebagai hak seorang / para korban, bukan pula sebagai “hak asasi korban”, dimana para masyarakat selaku korban dituntut untuk bersikap “santun” (korban sudah terluka dan menderita luka, baik fisik maupun psikis, materiil maupun nonmateriil, namun masih pula dituntut untuk membungkam perasaan sendiri serta menahan mulut agar tidak melontarkan “jeritan kesakitan”). Sudah dijadikan sebagai korban, masih pula dituntut untuk bersikap selayaknya “good boy”.

Pertanyaan terbesar penulis selama ini dan jauh sebelum ini, mengapa bangsa Indonesia gagal memahami logika paling sederhana dan berpikir logis yang paling mendasar, bahwasannya korban selaku sesama manusia, bukanlah mayat yang hanya dapat berdiam diri terbujur kaku atau bagaikan sebalok kayu gelondongan maupun patung terbuat dari batu yang tidak mampu merasa dan bersuara.

Bahkan, seekor anjing pun secara tidak resmi diberi hak untuk menjerit dan melolong kesakitan ketika ekornya terinjak oleh kita, bahkan kita tetap merasa maklum ketika sang anjing menggigit bokong kita sebagai responsnya. Bila seekor anjing memiliki “hak asasi anjing” demikian ketika terluka dan disakiti, mengapa seorang manusia seolah-olah tidak memiliki “hak asasi korban” dan tidak pula diberi kesempatan untuk sekadar “menjerit kesakitan”?

Kita tidak pernah, menyebut sang anjing yang “melolong kesakitan” demikian sebagai “tidak sopan”, “sudah gila”, “tidak waras”, dan segala jenis diskredit lainnya yang memarginalisasi kedudukan sang anjing yang menjadi korban perbuatan nakal manusia. Pertanyaannya, mengapa umat manusia (dalam hal ini “manusia korban”), seolah-olah kalah derajat dan martabat dari seekor anjing?

“Menjerit kesakitan” (lengkap dengan keguncangan jiwanya akibat emosional yang wajar dialami setiap korban adanya) semacam apakah, yang dinilai sopan dan tidak sopan? Bukankan semua “jeritan kesakitan”, barang tentu dan sudah pasti wujud ekspresinya tidak sopan, kasar, keras, penuh makian, mengagetkan, dan penuh amarah? Hal demikian adalah lumrah, alamiah, dan wajar saja, sehingga baru menjadi tidak lazim (serta tidak logis) bila terdapat pihak-pihak yang justru menilai dengan komentar negatif terhadap “jeritan kesakitan” sang korban, bahkan menuntut agar sang korban berperilaku menyerupai sebongkah “mayat” yang beku dan kaku.

Sebagaimana juga telah penulis sebutkan di muka, selalu ada harga yang harus kita bayarkan dibalik segala budaya irasional demikian. Ketika bangsa Indonesia menjelma korban aksi korupsi maupun kolusi seorang pejabat kenegaraan, lantas melontarkan kritik keras serta “pedas” penuh kekecewaan, berwujud olok-olok, cemoohan, makian, kutukan, dan segala bentuk murka lainnya secara verbal, terhadap sang koruptor, maka majelis hakim memberi “korting” vonis hukuman lewat pertimbangan hukum yang meringankan bagi sang terdakwa sebagai telah mendapat penghakiman oleh rakyat berupa olok-olok dan caci-maki—seolah-olah sang pelaku tidak layak diganjar olok-olok oleh rakyat, dan seolah-olah rakyat selaku korban tidak berhak untuk bersuara, beraspirasi, dan mengekspresikan amarah penuh kekecewaan meski hanya sebatas secara verbal adanya. Jangan salahkan “ledakan” amarah, salahkan yang menyalakan sumbu pemicunya.

Sekalipun faktanya, sang pejabat negara itu sendiri yang (secara tidak langsung) meminta diolok-olok oleh rakyat, sebagai konsekuensi logis melakukan aksi korupsi maupun kolusi, dan tetap juga berani serta secara sengaja melanggar sumpah jabatan, menyalah-gunakan kekuasaan serta kewenangan, melanggar hukum, maka dapat menjelma bumerang serta “moral hazard” bagi praktik penegakan hukum di kemudian hari bilamana “jeritan kekecewaan” dipandang bukan sebagai “hak asasi KORBAN”.

Betapa tidak, koruptor yang cukup cerdas justru akan meminta tahap penuntutan dibuat berlarut-larut, dengan harapan agar sang koruptor terlebih dahulu mencicipi penghakiman oleh publik berupa masa-masa selama bertahun-tahun dicela dan dicemooh oleh segenap lapisan masyarakat, lantas menjadikan itu sebagai alibi berkelit untuk meminta keringanan hukuman dalam pledooi sang terdakwa.

Bayangkan bila konstruksinya sebagai berikut. Sang koruptor seketika itu juga disidangkan dan diadili saat bukti-bukti penyidikan lengkap dan dilimpahkan ke kejaksaan untuk proses penuntutan (dengan dalih “justice delay is justice denied”), tanpa terlebih dahulu “press release” perihal dijeratnya secara “operasi tangkap tangan” seorang pejabat negara agar tidak menyulut respons oleh publik, dengan harapan agar tidak lebih dahulu mengundang terbitnya “olok-olokan” dari segenap rakyat, dimana ketika jatuh vonis hukuman oleh pengadilan bagi sang koruptor, barulah diadakan jumpa pers untuk memberitakan secara luas divonis hukuman sekian tahun penjara bagi sang koruptor, lengkap dengan alasan pemberatnya, sama sekali tanpa adanya alasan peringan hukuman bagi sang terdakwa—mengingat vonis dijatuhkan sebelum publik mengetahui informasi perihal sang terdakwa.

Barulah ketika rakyat mengetahui berita telah dijatuhi vonis pidana penjaranya seorang pejabat negara, maka seketika itu pula rakyat secara berbondong-bondong dan berjemaah melontarkan caci-maki, seruan penuh kekecewaan, mengolok-olok, menghina, mengutuk, menyumpahi, yang pada pokoknya menghakimi secara verbal terhadap sang pelaku, namun segala caci-maki penuh amarah disertai kekecewaan tersebut terjadi setelah atau paska terbit putusan berisi vonis hukuman.

Alhasil, vonis hukuman oleh hakim di pengadilan menjadi optimal, dalam artian tiada alasan peringan hukuman bagi sang pelaku yang dijatuhi vonis hukuman penjara. Setelah terbit putusan berisi vonis, barulah rakyat secara “berjemaah” membuat tekanan sosial bagi sang terpidana, dengan segala olok-olok dan makian paling “pedas” dan tajam yang pernah kita kenal dan dengar, maka segala olok-olok dan caci-maki demikian akan tampak menyerupai “vonis pidana tambahan” (salah satunya bersama dengan pencabutan hak politik, mencabut izin usaha, denda dan uang pengganti), disamping hukuman pokoknya berupa pidana penjara yang vonisnya dijatuhkan secara optimal dan maksimum.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.