TELUSURI Artikel dalam Website Ini:

Hukum PERLINDUNGAN

SINOPSIS

HUKUM PERLINDUNGAN DEBITOR : Terkait Agunan Tanah

“Milik Beding” adalah istilah yang belum banyak dikenal oleh kalangan debitor, namun bisa jadi banyak diantara kita yang terperangkap dalam jejaring praktik “milik beding”. “Milik beding”, ialah sebuah janji bahwa jika debitor gagal melunasi hutangnya, maka agunan debitor akan menjadi milik sang krebitor, sekalipun harga agunan jauh melampaui nilai hutang-piutang. Sifatnya ialah “main hakim sendiri”, dalam arti terjadi penyalahgunaan instrumen hukum yang bernama Akta (Pemberian) Kuasa Untuk Menjual (Hak Atas Tanah).
Hingga saat buku ini disusun, penulis telah menginventarisir tidak kurang dari 60 (enam puluh) putusan pengadilan maupun putusan Mahkamah Agung terkait larangan praktik “milik beding”—yang dalam praktiknya diyakini jauh melampaui angka tersebut—dimana fenomena yang penulis temui cukup mengejutkan: larangan “milik beding” sudah dilarang sejak beberapa dekade lampau, namun hingga saat ini praktik “milik beding” masih kerap dijumpai.
Pada suatu kesempatan penulis berhadapan dengan seorang presiden direktur sebuah grup usaha di Jakarta. Pengusaha berekonomi kuat tersebut menyatakan bahwa dirinya membenarkan praktik “milik beding”, dengan alasan Hak Tanggungan adalah mekanisme yang merepotkan kreditor. Kurang lebih berikut petikan percakapan antara penulis dengan sang pengusaha:
“Mengapa Bapak mengatakan Akta Kuasa Untuk Menjual adalah ilegal? Toh debitor sudah berhutang dan cidera janji untuk melunasi? Sah-sah saja kreditor kemudian mengambil alih kepemilikan agunan.”
“Tidak selamanya kita dalam posisi kuat. Saat ini Anda superior, Anda mendudukkan diri Anda selaku kreditor. Namun tidak selamanya Anda menjadi seorang kreditor. Suatu ketika, tiba saatnya Anda berposisi sebagai seorang debitor. Ketika itu terjadi, apa yang akan Anda katakan? Jika kita masih mengakui negeri (Indonesia dan otoritasnya) ini, maka mau tidak mau kita harus menghormati hukum yang berlaku di negeri ini.”
“Bukankah ini berdasar kebebasan berkontrak?”
Kebebasan berkontrak hanya disakralkan pada abad ke-19. Akta Kuasa Menjual bukanlah alternatif jaminan alih-alih mengikat hak atas tanah dengan proses legal seperti Hak Tanggungan dan parate eksekusi yang sarat prosedur.”
Saya mau yang aman, kredit saya bisa kembali, tapi tak mau pakai repot dengan lelang eksekusi agunan!
Oh, tentu ada caranya.”
“Apa itu?”
“Tak perlu Anda berikan hutang.
Kalangan pengusaha acapkali menghendaki usaha tanpa mau direpotkan olehnya. Setiap usaha yang sahih memiliki kerepotan sendiri. Hanya usaha yang ilegal yang berani menyimpangi prosedur hukum. Menjadi seorang kreditor itu sendiri pun, merupakan sebuah usaha, bukankah demikian?
Sebagai contoh sederhana, terhadap sebidang tanah yang belum bersertifikat namun sedang mengajukan permohonan hak atas tanah, atau sedang mengajukan peningkatan/penurunan status hak atas tanah, sedang dimohonkan pembaharuan hak karena HGB/U miliknya telah kadaluarsa, ataupun bila sertifikat hak atas tanah hendak dilakukan pemecahan ataupun pemisahan[1], secara hukum Hak Tanggungan dapat diajukan pembebanannya bersamaan dengan permohonan hak tersebut secara simultan, atau menggunakan mekanisme Surat Kuasa Untuk Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) yang disediakan hukum secara sahih sebagai instrumen jaminan pelunasan hutang.
Atau, bila terdapat fisik bangunan yang berdiri diatasnya, untuk sementara fisik bangunan tersebut dapat diikat jaminan kebendaan berupa Fidusia. Dengan kata lain, instrumen hukum yang sahih telah disediakan secara lengkap. Mengapa masih memilih menggunakan Akta Kuasa Untuk Menjual? Realitanya, mayoritas masyarakat awam tidak menyadari ataupun mengetahui hak mereka akan larangan “milik beding”, dan kerap dijumpai bahwa praktik “milik beding” justru di-inisiasi oleh kalangan notaris pembuat akta itu sendiri.
Dalam praktik di lapangan, kalangan notaris mengkampanyekan Akta Penyerahan Jaminan dan Kuasa (PJDK), bahkan tidak jarang menggelar seminar tentang promosi praktik “main hakim sendiri” lewat instrumen akta notariil. Perhatikan kutipan pernyataan berikut dari seorang notaris ternama di Jakarta:
“Oleh karena itu, walau proses sertifikasi sedang berlangsung, penjamin berjanji akan hadir lagi untuk menandatangani akta jaminan. Namun, dalam hal sertifikat belum jadi dan debitur sudah wanprestasi, maka bank berhak mengeksekusi jaminan tersebut dengan mekanisme kuasa menjual.”[2]
Buku ini menggunakan pendekatan case law sebagaimana menjadi metode ilmu hukum di negara dengan tradisi common law system di Amerika Serikat dan Inggris, mengingat larangan praktik “milik beding” di Indonesia bukan bersumber dari suatu hukum tertulis, namun terbit dari praktik peradilan yang bernama yurisprudensi.
Bagi masyarakat yang hendak mengetahui hakiki dari kebebasan berkontrak, buku ini menjadi rujukan utama yang wajib dibaca. Buku ini penulis tujukan pada khususnya bagi seluruh masyarakat umum, agar mengetahui hak dan kewajibannya di mata hukum.
Bagi para praktisi maupun akademisi, buku ini menawarkan khazanah serta konsep-konsep segar di bidang hukum yang tidak hanya sekadar repetisi teori yang telah mapan. Buku ini disusun dengan kerangka dan penyusunan yang sarat analisis serta melewati serangkaian riset. Akhir kata, penulis ucapkan selamat menikmati bacaan praktis ini.
HERY SHIETRA HUKUM PERLINDUNGAN DEBITOR

BAB 1
PROLOG
PERLINDUNGAN DEBITOR DALAM “WELFARE STATE”
Ab abusu ad usum non valet consequentia.
A conclusion about the use of a thing from its abuse is invalid.[3]
Hakim Agung Asikin Kusumah Atmadja dalam Putusan Mahkamah Agung R.I. No. 3438 K/Pdt/1985, tanggal 9 Desember 1987, memutuskan:
… Suatu perjanjian utang piutang dengan jaminan sebidang tanah, tidak dapat dengan begitu saja menjadi perbuatan hukum jual-beli tanah, manakala si debitur tidak melunasi utangnya. Syarat yang dikenal dengan nama milik beding ini sudah lama tidak diperkenankan, terutama dalam suasana hukum adat.”[4]
“Milik Beding” merupakan terminologi bagi praktik perbuatan “main hakim sendiri” oleh kreditor dengan mengambil-alih hak kepemilikan atas tanah milik debitor dengan menjadikannya sebagai pemilik. Larangan ini merupakan konkretisasi asas hukum “nemo judex in causa sua”—larangan memutus hal-hal yang menyangkut diri dan kepentingannya sendiri dimana tersangkut pula kepentingan pihak lain.[5]
Pelaksanaan sanksi merupakan monopoli negara. Warga negara tidak diperkenankan melaksanakan sanksi untuk menegakkan hukum terhadap warga negara lain, terlebih menjadi hakim dalam perkaranya sendiri. Tindakan menghakimi sendiri tidak lain merupakan tindakan untuk melaksanakan hak menurut kehendak sendiri yang bersifat sewenang-wenang. Secara sederhana, tindakan menghakimi sendiri merupakan pelaksanaan sanksi oleh warga negara.[6]
Tindakan main hakim sendiri (eigenrichting), ialah suatu istilah yang mengilustrasikan suatu tindakan untuk melaksanakan hak menurut kehendak serta cara sendiri secara sepihak, tanpa mengikuti prosedur hukum yang ada, dimana perbuatan hukum ini merupakan pelaksanaan sanksi oleh warga negara terhadap warga negara lain secara “melangkahi” hukum.[7] Dalam peristiwa tindakan main hakim sendiri, sang pelaku menjadi “hakim” pemutus (ajudikasi) bagi dirinya dan bagi warga negara lain.[8]
Larangan “milik beding” terkait erat dengan penyalahgunaan keadaan, telah lama menjadi suatu larangan yang dikumandangkan lewat praktik peradilan. Arrest mengenai penyalahgunaan keunggulan kejiwaan disimbolikkan dalam kasus Van Elmbt/Feierabend, Hoge Raad[9] 29 Mei 1064 (NJ 1965, 104). Kasus ini bermula dari seorang janda bernama Feierabend, karena terdesak keadaan telah mengagunkan rumahnya kepada seseorang yang memberikan pinjaman kepadanya guna menghindari suatu eksekusi oleh kreditor lain. Kredit itu disertai hak opsi untuk membeli bagi sang kreditornya. Si pemberi pinjaman telah menyalahgunakan kepercayaan yang diberikan oleh janda itu kepadanya, sedangkan jelas baginya bahwa janda itu tidak dapat memahami akibat diberikannya hak opsi tersebut karena situasi kejiwaan yang tertekan dan kekurangan pengertian dalam masalah-masalah demikian. Ketika sang kreditor hendak menuntut hak opsinya, si janda menggugat atas dasar penyalahgunaan keadaan, gugatan mana kemudian dikabulkan pengadilan dan hak opsi bagi sang kreditor untuk menjadi pemilik agunan dibatalkan (dimana secara mendadak janda ini dibawa menghadap notaris dimana di sana sudah dipersiapkan perjanjian yang kemudian disodorkan kepadanya untuk ditanda-tangani—praktik yang hingga kini masih terjadi).[10]
Berbicara mengenai hukum perlindungan debitor terkait praktik “milik beding”, maka kita berbicara mengenai ‘Keadilan Protektif’—keadilan yang memberikan bantuan dan perlindungan kepada setiap warga-negaranya sehingga tidak seorang pun dapat diperlakukan sewenang-wenang.[11] Hukum bekerja dengan cara memberi “ruang dan batas” perbuatan seseorang atau hubungan antara orang-orang dalam masyarakat.[12]
Hans Kelsen membagi dua jenis konsepsi hak: “jus in rem” merupakan hak atas suatu benda, sementara “jus in personam” merupakan hak untuk menuntut seseorang agar berbuat menurut cara tertentu, yakni hak atas perbuatan orang lain (misal seorang kreditor mempunyai hak untuk menuntut debitor agar membayar sejumlah uang).[13] Namun seorang kreditor tidak dapat mendudukkan dirinya sendiri selaku pengemban “jus in rem”.
Larangan “milik beding” merupakan salah satu bentuk “hadirnya peran negara”[14] dalam melindungi para warga negaranya, disamping pengaturan mengenai larangan “bunga-berbunga”[15] maupun larangan praktik “rentenir”. Ketiga larangan ini merupakan perlindungan dasar hubungan kreditor terhadap debitornya.
Putusan Asikin Kusumaatmadja pada tahun 1987 tersebut, hingga saat buku ini disusun, masih dipegang dan dirujuk secara konsisten atas setiap sengketa “milik beding” dihadapkan kepada Mahkamah Agung. Mark Constanzo memberikan ilustrasi atas praktik yurisprudensi:[16]
“Salah satu bagian metode hukum melibatkan penghargaan terhadap keputusan sebelumnya. Semua budaya dibentuk oleh sejarah. Tetapi, mereka menunjukkan perbedaan dalam hal nilai yang mereka berikan pada sejarahnya. Di sebagian budaya, orang memberikan persembahan kepada arwah leluhurnya dan percaya bahwa leluhurnya itu ikut campur tangan secara aktif dalam pelbagai masalah kehidupan. Meskipun pengacara dan hakim tidak memohon petunjuk kepada leluhurnya, tetapi keputusan yang telah lewat memiliki kekuatan aktif dalam kehidupan profesional mereka. Seperti dikemukakan oleh Oliver Wndell Holmes: ‘Law is government of the living by the dead.’ (hukum adalah aturan yang diberlakukan pada yang masih hidup oleh yang sudah tiada.) Jaksa penuntut dan hakim wajib menempatkan fakta-fakta yang ada saat ini di dalam konteks keputusan yang pernah diambil sebelumnya. Mereka harus meng-kaitkan antara yang sekarang dengan yang lalu.”[17]
Praktik “milik beding” secara dasariahnya dilarang, mungkin berlandaskan pada akal-budi suatu bangsa beradab, meminjam istilah Meuwissen, sebagai suatu “undang-undang kesusilaan alamiah” (lex naturalis) dimana kaedah yang terkandung didalamnya dengan cara sederhana dapat dipahami oleh akal manusia awam yang sehat, sebagai suatu “prima principia”.[18]
Salah satu asas utama dalam hukum perjanjian, ialah “tidak boleh main hakim sendiri”. Asas ini patut digaribawahi, dalam konteks pelanggaran kesepatan (breach of contract) oleh salah satu pihak dalam kontrak, yang mana mengakibatkan pihak yang melakukan wanprestasi demikian dapat dipaksa untuk memenuhi kewajibannya. Untuk memaksakan pemenuhan itu, tentunya dibutuhkan “causa” yang dibenarkan oleh hukum[19], salah satunya ialah asas “tidak main hakim sendiri”. Dengan demikian, meskipun hukum menjamin hak seseorang sebagai pihak yang beritikad baik, untuk memperoleh perlindungan atas hak-hak terlanggar, ia dapat menegakkan haknya menurut prosedur dan ketentuan hukum yang berlaku. Dengan kata lain, yang bersangkutan tidak diperkenankan sekehendak hati atau dengan cara-caranya sendiri memaksa pihak lain untuk memenuhi perjanjian.[20]
Dalam hukum berlaku asas: warga negara tidak dibenarkan mejadi hakim bagi kepentingan perkaranya sendiri. Kreditor yang menghendaki pelaksanaan suatu perjanjian dari seorang debitor yang cidera janji, harus meminta perantaraan Pengadilan yang netral dengan bukti-bukti yang relevan. Dengan demikian, kreditor dapat menempuh upaya gugatan terhadap debitornya di depan pengadilan. Jika prestasi yang dikehendaki itu berupa pengembalian sejumlah dana, sang kreditor sudah tertolong jika ia mendapat suatu putusan pengadilan, dimana dengan itu ia dapat meminta dijalankannya amar putusan dengan menyita dan melelang harta benda sang debitor.[21] Negara pun telah memberi alternatif lain seperti prosedur hukum berupa parate eksekusi Hak Tanggungan dan Fidusia, sehingga tidak lagi terdapat alasan untuk melanggengkan praktik “milik beding”.
Para pihak dalam suatu kontrak, memandang satu sama lain sebagai individu yang berhadapan dengan individu. Sementara dalam konsep Ilmu Negara lewat konsepsi “kontrak sosial”, pihak-pihak tersebut dilihat sebagai entitas warga negara terhadap entitas warga negara lainnya. Untuk itu setiap warga negara, warga negara mana pun itu yang tunduk dibawah yurisdiksi negara, maka tunduk pula pada hukum negara. Dengan demikian, “hukum publik” sejatinya ialah “hukum perdata dalam arti skala makro”.[22]
Buku ini disusun bagi masyarakat umum, dimana kegiatan usaha tidak lekang dari faktor modal (capital) yang acapkali bersumber dari dana kredit. Untuk itu karya tulis ini diharapkan mampu membangkitkan rasa berdaya secara hukum. Bagi pembaca yang tidak bermaksud untuk tenggelam dalam wacana teoretis, dapat langsung merujuk pada bab “Studi Kasus” guna melihat tren perkembangan terbaru kasus-kasus perkara “milik beding”.
Ketika seseorang hidup seorang diri, hukum tidak dibutuhkan. Ketika komunitas menjadi kompleks penuh kepentingan masing-masing yang bisa jadi saling bertenturan satu sama lain, maka diperlukan peran negara dalam fungsinya sebagai penegak “kontrak sosial” yang bernama hukum, sehingga warga negara yang lemah tidak termarjinalisasi oleh kelompok atau pihak yang lebih kuat.
Sehingga, menurut Sudikno Mertokusumo, manusia di dalam masyarakat memerlukan perlindungan kepentingan, yang tercapai dengan terciptanya peraturan hidup yang menentukan bagaimana manusia harus bertingkah laku dalam masyarakat agar tidak merugikan orang lain dan dirinya sendiri.[23]
Dalam sejarahnya, ketika negara hukum formal terbentuk, sendi-sendi kehidupan sipil dibiarkan bebas, pemerintah hanya menjadi “penjaga malam”. Yang terjadi kemudian, kebebasan sipil menjadi tidak terkendali.[24] Kesenjangan kian lebar akibat pihak yang kuat “mengisap” sumber daya pihak yang lemah. Dalam konsep negara kesejahteraan (welfare state), pemerintah lewat berbagai regulasinya melakukan langkah intervensi, baik preventif maupun kuratif sehingga hak-hak setiap warga negara terjamin keberadaannya. Sejak saat itu, kebebasan berkontrak antar sipil tidak lagi bersifat mutlak. Negara lewat hukum serta aparaturnya menjadi simbol representasi “kontrak sosial”.[25] Dengan demikian, setiap penduduk dan generasi penerusnya, secara hukum mewarisi “kontrak sosial” tersebut. Negara lewat otoritasnya ialah representasi rakyat, sehingga bila satu warga negara dilukai berarti negara telah dicederai,[26] yang mana sebagai responnya undang-undang mengambil sikap.[27]
Secara akurat Hestu Cipto Handoyo mengilustrasikan fenomena metamorfosis fungsi negara:[28]
Mengingat semakin beragamnya dinamika kehidupan masyarakat dengan berbagai dimensi yang ada di dalamnya. Pola-pola kehidupan dan kegiatan dari warga negara makin lama sukar untuk dipisahkan dengan pola dan kegiatan yang dilakukan oleh negara (pemerintah). Di lingkungan warga negara muncul organisasi-organisasi yang manifestasinya juga mengarah kepada kekuasaan, seperti partai politik, golongan fungsional, dan lain sebagainya.
Oleh sebab itulah fungsi dan tugas negara mulai mengalami pergeseran dan penambahan disana-sini. Negara tidak hanya sebatas sebagai pencipta hukum untuk menjaga keamanan dan ketertiban, melainkan sudah mulai ikut terlibat dalam meningkatkan kesejahteraan umum dari warga negaranya. Unsur-unsur negara hukum formil yang dulunya begitu kuat untuk dipertahankan (negara sebagai penjaga malam) mulai mengalami pergeseran dan ditambah, yaitu kewajiban bagi negara untuk ikut terlibat dalam membantu meningkatkan kesejahteraan umum warga negara. Dari sinilah konsepsi negara hukum formil berikut unsur-unsur yang terkandung di dalamnya mulai berganti dengan konsep negara hukum modern atau negara kesejahteraan (welfare state) yang lazim juga disebut sebagai negara hukum materiil.”
Intervensi negara didasarkan pada konsep welfare state yang menugaskan negara membangun kemajuan dan kesejahteraan masyarakat sehingga negara tidak boleh pasif, melainkan harus aktif. Alfred Stepan menuliskan:[29]
Konsep kebaikan umum ... , membuka kesempatan bagi negara untuk merumuskan dan dengan inisiatif sendiri memaksa perubahan-perubahan kepada sebuah masyarakat yang sudah mapan supaya dapat diciptakan sebuah masyarakat baru yang lebih baik.”
Hal ini kemudian, urai Philip Schmitter, diikuti dengan tampilnya negara yang kuat dan cenderung campur-tangan secara masif dalam hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat. Senada dengan itu, Alfred Stepan menyebutkan bahwa negara mempunyai hak istimewa untuk mengawasi berbagai kelompok kepentingan di masyarakat dengan berbagai cara supaya dapat mencegah timbulnya tuntutan “sempit” berdasarkan kelas sosial yang mengandung benih persengketaan.[30]
Hukum ialah aturan-aturan kehidupan yang mengatur hubungan antar manusia yang hidup bersama dalam satu komunitas atau masyarakat. Teori “kontrak sosial” sebagaimana menjadi maskot Jean Jacques Rousseau, memiliki ide utama bahwa manusia yang membentuk masyarakat untuk hidup bersama dan dengan demikian berkesempatan untuk mengembangkan kemampuan dan bakat mereka, dengan mengorbankan kebebasan penuh yang ada padanya, menyerahkan kepada otoritas atau organisasi publik (negara) yang dipercaya untuk memerintah mereka demi kebaikan bersama (common virtue).[31]
Yang dimaksudkan Rousseau dengan kehendak umum (volente generale), ialah asumsi adanya konsensus diantara anggota masyarakat untuk menciptakan suatu negara. Setelah negara itu berdiri, mereka masih harus menyatakan kehendaknya untuk bergerak, ini dilakukan dengan membuat suatu undang-undang. Jadi dengan demikian, lembaga pembentuk undang-undang itu mesti harus ada dan ia harus bertujuan untuk melaksanakan kepentingan umum. Untuk itu, kemudian rakyat menjalankan dan melaksanakan undang-undang. Sebab, bilamana rakyat ingin melaksanakan pemerintahan sendiri, maka akibatnya ialah akan timbul kekacauan antau anarki. Secara umumnya, yang menjadi tujuan negara ialah menyelenggarakan kesejahteraan dan kebahagiaan rakyatnya, atau menyelenggarakan masyarakat adil dan makmur.[32]
Teori hukum klasik[33] menyebutkan, bahwa asas “kebebasan berkontrak” (pacta sunt servanda) disebut juga dengan asas kepastian hukum, dimana hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah undang-undang. Otoritas tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak.[34] Teori tersebut hanya benar dalam konteks negara hukum klasik (rechtsstaat) yang sudah lama ditinggalkan, bukan ciri negara kesejateraan (welfare state).
Ketika praktik monopoli usaha menunjukkan riaknya pada abad ke-20, mulai terjadi peningkatan intervensi pemerintah dalam tatanan sosial, hukum diberikan perhatian pada kepentingan yang imbang sehingga menjamin koordinasi keseluruhan masyarakat terhadap beberapa tujuan yang diinginkan.[35] Pengadilan dipandu oleh ideal-ideal koordinasi guna mempertahankan stabilitas dalam masyarakat. Otoritas negara menjadi aktif dalam keterlibatannya terhadap ekonomi dan masyarakat untuk menyeimbangkan sejumlah kepentingan bagi “kesejahteraan umum”. Pengadilan kemudian memutuskan apa yang merupakan “itikad baik” dengan cara menyeimbangkan kepentingan. Ringkasnya, pengadilan merefleksikan renpons terhadap kondisi yang berubah dalam bidang ekonomi yang (dahulu) disimbolikkan oleh gerakan-gerakan kapitalisme. Prinsip, standar, dan case law merupakan produk kebutuhan dan dinamika internal tatanan politik ekonomi yang berubah.[36]
Sebagai contoh, terhadap praktik monopoli usaha maupun kartel[37] penetapan komoditas barang yang dilakukan warga negara terhadap warga negara lain, pemerintah melakukan intervensi dan pengawasan terkontrol kuat, karena praktik demikian telah membuat kontrak tak tertulis berskala masif yang timpang tanpa disadari antara para konsumen dan pelaku kartel. Tanpa campur-tangan pemerintah,[38] pemodal besar akan menggerus pesaing yang lemah guna memonopoli pangsa pasar yang pada gilirannya akan merugikan konsumen.[39]
Dua dekade lampau Sunaryati Hartono meramalkan, perangkat-perangkat Hukum Ekonomi Indonesia belum siap dan sigap menghadapi praktik-praktik bisnis yang curang dan bersembunyi dibelakang klausula-klausula kontrak bisnis. Dalam pranata hukum yang berisi kebijakan untuk mengarahkan kehidupan ekonomi ke suatu arah yang tertentu, yakni pemerataan dan keadilan, tidak dapat bertumpu pada asas kebebasan berkontrak, sebagaimana kita dapat belajar dari sejarah tahun 1930 dimana asas kebebsan berkontrak pula yang telah menyeret masyarakat Eropa dan seluruh dunia kedalam jurang pengangguran dan kelaparan, sehingga pemerintah di Perancis dan lain-lain negara Eropa merasa perlu untuk ikut campur tangan dalam hal kontrak-mengontrak ini. Dengan lain perkataan, Droit Economique atau Hukum Ekonomi (dalam arti sempit) merupakan peraturan-peraturan Hukum Administrasi Negara yang membatasi kebebasan berkontrak demi pemerataan, keadilan, dan kesejahteraan bangsa.[40]
Rutten berpendapat, bahwa tindakan menghakimi sendiri pada asasnya tidak dibenarkan. Akan tetapi, apabila peraturan yang ada tidak cukup memberi perlindungan, maka tindakan menghakimi sendiri itu secara tidak tertulis dibenarkan.[41] Namun dalam konteks hubungan hutang-piutang, tiada terdapat alasan yang dapat dibenarkan untuk melakukan perbuatan “main hakim sendiri”. Hukum negara telah memberikan fasilitas berupa mekanisme pengikatan Hak Tanggungan guna jaminan pelunasan piutang. Lembaga Hak Tanggungan telah berjalan cukup mapan dan dapat dijadikan sarana parate eksekusi.[42]
Hanya ketika menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap aparatur kantor lelang negara selaku penyelenggara parate eksekusi maupun fiat eksekusi, ketika reputasi aparatur penegak hukum jatuh hingga titik nadir, atau aparatur penegak hukum tidak cukup efektif untuk diandalkan, barulah tindakan “main hakim sendiri” mendapat legitimasinya dan menjadi bagian dari dinamika masyarakat yang tidak dapat dipersalahkan secara etika dan moril sebagai satu-satunya jalan keluar ketika sruktur hukum tidak memberikan solusi alternatif. Mengutip pernyataan yang baik dari Kementerian Perdagangan:
“Dari uraian tersebut di atas dapat ditarik benang merah bahwa pemerintah dalam hal ini termasuk juga Kementerian Perdagangan telah memberikan akses kepada masyarakat untuk dapat menyelesaikan permasalahan, baik itu di lakukan di luar pengadilan maupun melalui pengadilan, sehingga diharapkan akses tersebut dapat meminimalisir atau bahkan menghilangkan upaya-upaya penyelesaian masalah / sengketa dengan main hakim sendiri (eigenrichting).”[43]
Tren praktik hukum kontemporer melahirkan berbagai modus canggih guna mengelabui pihak kantor pertanahan, lewat berbagai disparitas simbol dan atribut yang menyamarkan fakta hukum yang sebenarnya terjadi ialah hutang-piutang, bukan jual-beli. Larangan “milik beding” dinodai oleh tataran praktik para kreditor yang berkelindan dengan praktik para notaris “nakal”.[44] Penyimpangan-penyimpangan lewat modus-modus canggih digambarkan secara lugas dan gamblang dalam buku ini, mengilustrasikan praktik “rimba” hukum pertanahan di Indonesia.
Ketika kreditor melakukan praktik “main hakim sendiri” dengan menjual sendiri hak atas tanah milik sang debitor, bahkan mengalihkan kepemilikan hak atas tanah tersebut keatas nama sang kreditor itu sendiri, maka negara bagaikan negeri tanpa hukum.[45] Tepat kiranya bila penulis kutipkan pandangan Montesquieu:[46]
“Kekuatan masing-masing individu tidak bisa disatukan tanpa adanya titik temu diantara kehendak mereka. Titik temu dari kehendak-kehendak itulah, seperti yang dikatakan dengan tepat oleh Gravina, yang kita istilahkan sebagai keadaan sipil.”
Sebagaimana kita ketahui bersama, hukum privat (hukum keperdataan yang mengatur hubungan hukum antara satu warga negara dengan warga negara lainnya) dibentuk dan diberikan ruang dalam suatu koridor tertentu oleh negara, sehingga negara pulalah yang memiliki kedaulatan untuk membatasi “keliaran” praktik hukum keperdataan dengan membuat penegasan-penegasan ataupun berbagai pembatasan.
Menurut sejarah, hukum dibentuk sebagai suatu konsensus sebagai instrumen pengatur dan penertib atas konflik sosial yang terjadi di tengah pergaulan masyarakat. Alasan keberadaan hukum, kepentingan suatu warga negara dapat saling berbenturan dengan kepentingan warga negara lain, sehingga hukum sebagai representasi otoritas memiliki peran simbolik yang memiliki peran penting kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Buku ini diharapkan mampu mengedukasi masyarakat agar terhindar dari praktik “main hakim sendiri”[47], sekaligus mengarahkan praktik kalangan kreditor secara sehat dan legal. Berbagai telaah dan praktik yang diilustrasikan dalam buku ini merupakan praktik nyata yang terjadi di tengah masyarakat dan masih berlangsung hingga kini.
Seperangkat hak (termasuk hak asasi), lahir karena keberadaan kewajiban (termasuk kewajiban asasi manusia).[48] Dari berbagai ketentuan mengenai hak, konstitusi Republik Indonesia yakni UUD RI 1945 menjadi landasan hak konstitusional, kaedah relevan yang dapat dielaborasi, yakni:
-        Pasal 28 G Ayat (1) UUD RI 1945: “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.”
-        Pasal 28 H Ayat (4) UUD RI 1945: “Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun.”
Sementara itu antinomi nilai yang menjadi landasan utama ketentuan mengenai larangan “milik beding”, sebagai simbol hadirnya negara sekaligus representasi pembatasan “kebebasan berkontrak”[49], ialah dua pasal “pamungkas” berikut:
-          Pasal 28I UUD RI 1945: “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.” ß Mensyaratkan keterlibatan aktif pemerintah dan negara.
-        Pasal 28J Ayat (1) UUD RI 1945: “Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.” ß Larangan tindakan “main hakim sendiri”.
Tujuan dibuatnya perjanjian, ialah agar perikatan[50] yang ada di dalamnya dapat dieksekusi dan dilaksanakan tanpa resiko dibatalkan oleh pengadilan alias bilamana dilaksanakan maka tidak terdapat ancaman kebatalan dari pihak lain dalam perjanjian. Apalah gunanya menyusun kontrak yang tidak terdapat jaminan untuk dapat dieksekusi?
Larangan “milik beding” telah dibentuk oleh putusan pengadilan beberapa dekade lampau. Namun, menjadi pertanyaan besar, mengapa praktik “milik beding” masih terus berlangsung hingga saat ini? Dalam praktik, penulis melihat suatu penyimpangan, yakni kreditor melakukan praktik “milik beding” atas dasar advice kalangan notaris, kemudian “berjudi” dengan praktik demikian, mengingat tak semua debitor menyadari hak dan kewajibannya dimata hukum. Ketidaktahuan ini yang kemudian dimanfaatkan sehingga praktik “milik beding” tidak mendapat perlawanan berarti. Kemungkinan itulah sebabnya praktik “milik beding” masih berlangsung secara masif.
Fenomena tersebut kerap kita jumpai dalam praktik, disinyalir pula lebih banyak praktik “milik beding” yang tidak mendapat perlawanan berarti dari debitor yang awam hukum. Tak semua korban “milik beding” mengajukan upaya hukum terhadap kreditornya. Oleh sebab itu, buku ini diangkat dengan satu visi utama: disadarinya hak dan kewajiban debitor atas jaminan hak atas tanah yang diberikannya sehingga praktik “milik beding” tidak kembali berulang.
Satu hal untuk menjadi pegangan kita bersama dalam menyikapi berbagai praktik demikian, yakni: negeri Indonesia adalah negeri hukum dan berhukum.
...
Judul : HUKUM PERLINDUNGAN DEBITUR: Terkait Agunan Tanah
Penulis : Hery Shietra, S.H.
Bahasa : Indonesia
Penerbit : SHIETRA PUBLISHER
Tahun terbit : 2017
File E-book : pdf, dapat dibaca dan dibuka pada berbagai aplikasi, baik mobile, smartphone, tablet, maupun personal computer (PC).
Harga : Rp. 72.000;-  Bebas ongkos kirim, e-Book akan dikirimkan kepada pembeli via e-mail. Secara esklusif hanya dijual oleh hukum-hukum.com.
Lisensi : "END USER AGREEMENT", HANYA DIJUAL KEPADA PEMBELI ORANG-PERORANGAN (Pembeli Individual), BUKAN UNTUK KEPERLUAN PERKANTORAN, PERPUSTAKAAN, ATAU SEJENISNYA. Lisensi 1 eBook HANYA UNTUK 1 ORANG PEMBELI. Dapat dibaca untuk SEUMUR HIDUP pembeli, kapanpun dan dimanapun.
Cara Pemesanan : Kirimkan email pemesanan Anda kepada alamat email legal.hukum@gmail.com , agar dapat kami berikan instruksi tata cara pemesanan serta 'syarat dan ketentuan'. Paling lambat e-Book akan kami kirimkan 3 x 24 jam setelah klarifikasi penerimaan dana pembelian. (PERINGATAN : Menyalahgunakan alamat email ini ataupun nomor kontak kerja kami untuk peruntukan lain diluar pemesanan eBook, akan kami kategorikan sebagai pelanggaran terhadap “syarat dan ketentuan” dalam website profesi kami ini. Hanya klien pembayar tarif jasa konsultasi yang berhak menceritakan ataupun bertanya tentang isu hukum, karena Anda pastilah menyadari serta telah membaca keterangan sebagaimana header maupun sekujur website ini bahwa profesi utama kami ialah mencari nafkah sebagai Konsultan Hukum dengan menjual jasa berupa konseling seputar hukum.)

Hukum Perlindungan Debitur Terkait Agunan Tanah oleh Hery Shietra

DAFTAR ISI
PENGANTAR ... 6
BAB I : Prolog—Perlindungan Debitor dalam “Welfare State” ... 9
BAB II : Wajah Lain Kebebasan Berkontrak ... 21
BAB III : Law as a Tool of Crime ataukah Law as a Tool of Crime Control ... 28
Hukum Sebagai Instrumen yang Sakral ... 29
Penyalahgunaan Keadaan dalam Perspektif Hukum ... 31
Pendirian Pengadilan Atas Praktik Penyalahgunaan Keadaan: Telaah Putusan Mahkamah Agung RI. No. _____ Tanggal 18 Februari 2009 ... 38
Bahaya Laten Dibalik Topeng “Kebebasan Berkontrak” ... 42
Intervensi Hukum Negara Terhadap Hukum Privat dalam Telaah Praktik Rentenir ... 50
Perbuatan Melawan Hukum yang Bersumber dari Hubungan Kontraktual ... 54
BAB IV : Studi Kasus ... 57
Putusan Pengadilan Tinggi Maluku Utara dalam Register Perkara No. _____ tanggal 04 Februari 2013: Kebulatan Sikap Pengadilan akan Larangan Praktik “Milik Beding” ... 61
Putusan Pengadilan Tinggi Banten dalam Register Perkara Nomor _____ tgl 19 Maret 2015: Perjanjian Tetap Sah Terkecuali “Milik Beding” ... 68
Putusan Pengadilan Negeri Kebumen dalam Register Perkara _____ tgl 08 Februari 2011: “Milik Beding” Sebagai Dasar Pembatalan Parsial ... 74
Putusan Mahkamah Agung dalam Register Perkara Nomor _____ tanggal 30 Januari 2014: Milik Beding Tetap Tidak Dibenarkan ... 78
Putusan Pengadilan Negeri Banjarmasin dalam Register Perkara Nomor _____ tanggal 20 September 2013: “Milik Beding” sebagai Penyalahgunaan Keadaan yang Dilarang Hukum ... 79
Putusan Pengadilan Negeri Mataran dalam Register Perkara No. _____ tanggal 29 Oktober 2010: “Milik Beding” Bertentangan dengan Ketertiban Umum ... 85
Putusan Pengadilan Negeri Yogyakarta dalam Register Perkara Nomor _____ tgl 17 Juli 2014: “Milik Beding” yang Menjadi Bumerang ... 88
Putusan Pengadilan Tinggi Yogyakarta dalam Register Perkara Nomor _____ tanggal 5 Januari 2015: “Milik Beding”, Sekali Dilarang Tetap Terlarang ... 92
Putusan Pengadilan Negeri Pekanbaru dalam Register Perkara Nomor _____ tanggal 14 Oktober 2014: “Milik Beding” yang Penuh Kontroversi ... 94
Putusan Pengadilan Tinggi Jambi dalam Register Perkara Nomor _____ tanggal 10 Januari 2013: Sekalipun Diperjanjikan, “Milik Beding” Tetap Terlarang ... 101
Putusan Pengadilan Negeri Bale Bandung dalam Register Perkara Nomor _____ tanggal 14 Maret 2011: Ketika Debitor Korban Praktik “Milik Beding” Bersuara dan Menggugat ... 105
Putusan Mahkamah Agung RI dalam tingkat Peninjauan Kembali dalam Register Perkara Nomor _____ tanggal 05 Mei 2011: Pelaku “Milik Beding” Tidak Dilindungi oleh Hukum ... 114
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam Register Perkara Nomor _____ tanggal 27 Desember 2012 : Antara “Milik Beding” dan Hutang-Piutang ... 119
Putusan Mahkamah Agung RI dalam perkara Peninjauan Kembali dalam Register Perkara Nomor _____tanggal 25 Mei 2011: Pelaku “Milik Beding” Patut Mendapat Hukuman ... 119
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Timur dalam Register Perkara Nomor _____ tanggal 6 Maret 2014 : “Milik Beding”, Sekali Dilarang, Tetap Dilarang ... 122
Putusan Pengadilan Tinggi Bandung dalam Register Perkara Nomor _____ tanggal 20 Oktober 2014 : Modus Variasi “Milik Beding”, Gadai Tanah ... 124
Putusan Pengadilan Negeri Kelas I A Bandung dalam Register Perkara No. _____ tanggal 26 November 2014 : Akta Kuasa Menjual yang Kontroversial ... 129
Putusan Pengadilan Tinggi Bandung dalam Register Perkara Nomor _____ tanggal 17 November 2014 : Pemulihan Hak Debitor Korban Praktik “Milik Beding” ... 135
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam Register Perkara Nomor _____ tanggal 24 April 2014 : Modus Canggih yang Menyelubungi Praktik “Milik Beding” ... 139
Putusan Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi Register Perkara Nomor _____ tanggal 6 Agustus 2014 : Praktik “Milik Beding” Tidak Dapat Dibenarkan oleh Pengadilan ... 148
Putusan Mahkamah Agung RI dalam tingkat Kasasi Register Perkara Nomor _____ tanggal 27 Desember 2012 : “Milik Beding” Tidak Sah Sekalipun Dengan Akta Notaris ... 150
Putusan Mahkamah Agung RI dalam Register Perkara Nomor _____ tanggal 28 Maret 2007: Perintah Menjual-Lelang Dimuka Umum Alih-Alih Mengabulkan “Milik Beding” ... 152
Putusan Mahkamah Agung RI dalam Register Perkara Nomor _____ tanggal 11 Agustus 2014 : Penolakan Praktik “Milik Beding” oleh Pengadilan Bukan Diartikan Membenarkan Wanprestasinya Debitor ... 154
Putusan Mahkamah Agung RI dalam Register Perkara Nomor _____ tanggal 14 September 2011 : Perjanjian “Milik Beding” ialah Batal Demi Hukum ... 159
Putusan Mahkamah Agung RI dalam Register Perkara Nomor _____ tanggal 12 Februari 2013 : Tiada Alasan “Milik Beding” yang Dapat Dibenarkan Keberlakuannya  ... 161
Putusan Pengadilan Tinggi Denpasar Nomor _____ tanggal 10 April 2012 : Ketidakadilan “Milik Beding” ... 164
Putusan Mahkamah Agung dalam Register Perkara Nomor _____ tanggal 30 April 2012 : “Milik Beding” adalah Perwujudan Niat Batin dengan Itikad Buruk ... 166
Daya Persuasif Sebuah Yurisprudensi serta Preseden Berbagai Putusan Pengadilan Atas Perkara Serupa ... 175
Keadilan Dimata Hukum ... 179
BAB V : Hakekat Akta (Pemberian) Kuasa Untuk Menjual (Hak Atas Tanah) ... 182
Surat Kuasa Mutlak dan Korelasinya dengan Perbuatan “Main Hakim Sendiri” ... 183
Aspek Yuridis Pemberian Kuasa ... 185
Alasan Keberadaan suatu Akta Pemberian Kuasa Untuk Menjual ... 190
Contoh Kasus Akta Kuasa Mutlak Untuk Menjual Tanah yang Dibatalkan Pengadilan ... 191
Dibebaskan dari Hak, Bukanlah Kebebasan ... 195
Hakiki Hukum Privat Modern Bertumpu pada Konsep Kewarganegaraan ... 197
BAB VI : Catatan Penutup ... 199
Otoritas Negara sebagai Otoritas Penerap Sanksi ... 203
Kontrak yang Tidak Seimbang, Selalu dibayangi “Kebatalan” ... 206
Perjanjian yang Mengandung Perikatan dengan Causa yang Tidak Sahih ... 210
Hukum adalah Ilmu Prediksi ... 211
Intervensi Hukum Negara dalam Hubungan Kontraktual Perdata ... 213
Kreditor dan Debitor, Sebuah Relasi yang Membingungkan ... 217
Urgensi Hukum Nasional Dibidang Perikatan Perdata ... 219
Potret Budaya Berhukum ... 219
Evolusi Hukum Perikatan Perdata ... 221
“Milik Beding” = Perikatan Tidak Sempurna ... 225
Praktik “Milik Beding”, Melampaui Alas Hak ... 227
Tak Selamanya Kontrak/Perjanjian Berlaku Sebagai Undang-Undang bagi para Pihak yang Mengikatkan dirinya ... 228
“Itikad Baik”, Makhluk Apakah Itu ? ... 229
Pembuatan Kontrak yang Melanggar Hukum Negara = “Perbuatan Melawan Hukum” ... 232
Kotak Pandora “Milik Beding” ... 236
Penghujung Diskursus Praktik “Milik Beding” dan “Penyalahgunaan Keadaan” ... 237
LAMPIRAN:
1. Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1982 Tentang Larangan Penggunaan Kuasa Mutlak Sebagai Pemindahan Hak Atas Tanah.
2. Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 13/SEOJK.07/2014 Tentang Perjanjian Baku.
...
Untuk membaca uraian selengkapnya Praktik Hukum Perlindungan Debitur, kirimkan email pemesanan Anda kepada kami pada alamat legal.hukum@gmail.com
Paling lambat 3 x 24 jam setelah dana pembelian E-Book kami terima, E-book akan kami kirimkan pada email Anda.
Mengapa E-Book menjadi evolusi modern media sastra? Karena sifatnya praktis dan mobile, mudah serta dapat dibawa kemana pun sebagai teman bacaan via gadget, tidak rusak termakan kutu buku, serta tidak memakan ruang/tempat. Dengan membeli eBook, berarti kita telah turut menjaga kelestarian lingkungan hidup.
© SHIETRA & PARTNERS Copyright.



[1] Pemecahan hak atas tanah berbeda konsep yuridis dengan pemisahan hak atas tanah (istilah “pemecahan/pemisahan sertifikat” kurang tepat). Pemecahan hak atas tanah, mengakibatkan sertifikat hak atas tanah semula menjadi gugur dan terbit dua atau lebih sertifikat hak atas tanah baru hasil “pencacahan” bidang tanah dari sertifikat asal yang dipecahkan. Sementara dalam konsep pemisahan hak atas tanah, sertifikat hak atas tanah induk tetap eksis, tidak gugur, hanya saja terjadi perubahan data fisik semisal surat ukur, dimana disaat bersamaan terbit sertifikat hak atas baru lainnya seluas bagian bidang tanah yang dipisahkan dari sertifikat hak atas induk.
[2] Adalah pernyataan menyesatkan ketika “main hakim sendiri” disama-artikan dengan “eksekusi”. Eksekusi adalah ranah otoritas negara.
[3] Legal Maxim dari Black’s Law Dictionary, 9th Edition. Yang kurang lebih diterjemahkan secara bebas sebagai: “Sebuah kesimpulan terhadap penggunaan sesuatu secara tidak layak, adalah tidak sah.”
[4] Pasal 22 Algemeene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesia serta yang senada dapat kita temukan pada ketentuan Pasal 10 Ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman: “Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.” Dalam masyarakat, hukum memiliki dua kategorisasi: “hukum tertulis” berupa peraturan perundang-undangan, serta “hukum tidak tertulis” berupa potensi hukum yang hidup dalam masyarakat (living law of the people) yang kemudian dikonkretkan lewat putusan pengadilan—dapat berupa hukum adat maupun kebiasaan yang kemudian di-saneer (disaring) dan diadopsi oleh praktik pengadilan.
[5] Unsur pembeda antara “penentuan nasib sendiri” dengan “main hakim sendiri”, terletak pada derajat keterlibatan antara para pihak dalam hubungan kontraktual keperdataan.
[6] Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Edisi Kelima, (Yogyakarta: Liberty, 2003), hlm. 23.
[7] Diadaptasi dari kamus hukum yang diunduh dari http://www.pn-amurang.go.id/pics/kamus%20hukum.pdf, diakses pada tanggal 26 Desember 2015.
[8] Penulis berupaya menghindari penggunaan frasa “individu” ataupun “perorangan”, karena dalam konsepsi “kontrak sosial”, setiap subjek hukum dipandang sebagai “warga negara” yang merupakan bagian dari “rakyat”, dimana “warga negara” memiliki “pemerintahan” serta “negara” yang diakui dan tempatnya tunduk. Sehingga, tidak lagi terdapat dalil-dalil akrobatik mengenai “kebebasan berkontrak” yang demikian liar, karena dibatasi oleh konsepsi-konsepsi hukum bernegara serta kedaulatan yang telah “diserahkannya” kepada negara. Ketika terdapat warga negara yang menyatakan keberatan akan “penyerahan” kedaulatan tersebut kepada negara, dengan harapan dirinya dapat membuat hukum dirinya sendiri, maka dengan demikian hukum negara tidak dapat melindungi dirinya ketika hak-haknya dilukai oleh warga negara lain. Benar bahwa konsep “kontrak sosial” berangkat dari asumsi dasar, sebagai suatu organisasi masyarakat secara makro, namun konsep ini dilandasi oleh suatu semangat kepercayaan berbangsa serta jiwa satu-kesatuan yang merupakan akar pembentuk tertib bermasyarakat guna kohesi sosial atas masyarakat yang majemuk.
[9] Julukan bagi Mahkamah Agung Belanda di Negeri Belanda.
[10] H.P. Panggabean, Penyalahgunaan Keadaan Sebagai Alasan (Baru) Untuk Pembatalan Perjanjian, Edisi Revisi Kedua, (Yogyakarta: Liberty, 2010), hlm. 59—61.
[11] Dudu Duswara Machmudin, Pengantar Ilmu Hukum: Sebuah Sketsa, Cetakan Kedua, (Bandung: Refika Aditama, 2003), hlm. 25.
[12] Ishaq, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hlm. 10.
[13] Hans Kelsen, Teori Umum tentang Hukum dan Negara, Penerjemah: Raisul Muttaqien, (Bandung: Nusa Media, 2010), hlm. 109.
[14] Dalam suatu entitas negara beradab, lalu-lintas pergaulan penduduknya tidak lagi tunduk pada hukum “rimba” survivor of the richest. Rousseau merumuskan hukum dari hukum rimba sebagai: “hak untuk menaklukkan tidak mempunyai dasar lain kecuali hukum bagi yang terkuat... Bila tidak ada pemimpin bersama untuk mengatur hubungan antara seseorang dengan (publik) umum, maka dalam beberapa hal setiap orang akan menjadi hakim bagi kepentingannya sendiri, dan segera akan terjadi anggapan demikian pada setiap hal. Dengan demikian keadaan alami akan kembali seperti sedia kala (hukum rimba), dan akibatnya akan timbul tirani dan kehancuran. Akhirnya setiap orang memberikan dirinya untuk umum, dan tidak lagi terdapat individu yang berdiri sendiri. Setiap kita menempatkan diri dalam kebersamaan, semua daya kekuatan ditempatkan di bawah tujuan utama dari kehendak umum.” (Jean Jacques Rousseau, Kontrak Sosial, Penerjemah: Sumardjo, (Jakarta: Erlangga, 1986), hlm. 12 dan hlm. 15) Perhatikan kalimat terakhir dari pernyataan Rousseau tersebut, public person tersebut menjadi konsekuensi logis konsepsi “kontrak sosial”.
[15] Istilah bagi praktik “bunga majemuk” atau “bunga berjenjang” (compunded interest), dimana terhadap bunga maupun denda yang tidak terbayar pada periode sebelumnya dikenakan sebagai dasar acuan bersama pokok hutang untuk menentukan besaran beban bunga bulan berjalan. Perhatikan Pasal 17 Ayat (7) Butir (d) Peraturan Bank Indonesia No.14/2/PBI/2012 tanggal 6 Januari 2012 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu: “Penghitungan bunga yang timbul atas transaksi Kartu Kredit wajib dilakukan oleh Penerbit Kartu Kredit dengan memperhatikan paling kurang hal-hal sebagai berikut: biaya dan denda, serta bunga terutang dilarang digunakan sebagai komponen penghitungan bunga.” Perhatikan pula ketentuan dalam Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 14/17/DASP tanggal 7 Juni 2012 perihal Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu: “Dalam rangka perlindungan Pemegang Kartu Kredit, perhitungan bunga yang timbul atas transaksi Kartu Kredit wajib dilakukan oleh Penerbit Kartu Kredit dengan ketentuan sebagai berikut: biaya terutang, denda terutang, bunga terutang, dan tagihan yang belum jatuh tempo, dilarang digunakan sebagai komponen penghitungan bunga Kartu Kredit.
[16] Mark Constanzo, Aplikasi Psikologi dalam Sistem Hukum, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hlm. 16—17.
[17] Terdapat pepatah latin yang berbunyi: A bove majori discit arare minor. Dari sapi yang lebih tua, yang muda belajar untuk membajak sawah. (berbagai pepatah latin dikutip dari http://wordinfo.info)
[18] Meuwissen, Tentang Pengembangan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum, dan Filsafat Hukum, Penerjemah: B. Arief Sidharta, (Bandung: Refika Aditama, 2009), hlm. 69.
[19] Istilah causa/kausa (pangkal sebab), yang dalam bahasa Inggris diistilahkan sebagai consideration, menurut Arrest Hoge Raad tgl 29 Desember 1911, dulu orang menganggap bahwa causa atau consideration merupakan kewajiban (promise) saja. Karena pengertian consideration harus merupakan suatu kontra-janji (kewajiban) sudah tidak diikuti lagi maka sebab yang dimaksudkan dalam Pasal 1320 KUHPerdata itu adalah sebab perjanjian, yaitu dapat sebagai kewajiban (promise) atau dapat sebagai prestasi/syarat (performance). (Elly Erawati dan Herlien Budiono, Penjelasan Hukum tentang Kebatalan Perjanjian, (Jakarta: Nasional Legal Reform Program: 2010), hlm. 81.)
[20] Rai Widjaya, Merancang Suatu Kontrak, edisi revisi, (Jakarta: Kesaint Blanc, 2004), hlm. 31—32.
[21] Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 2008), Hlm. 123—124.
[22] Dari sudut sistem objektif atau sistem komunitas yang dibentuk oleh individu-individu, dalam pandangan Hans Kelsen, tidak ada individu bebas sama sekali; yaitu, tidak ada individu bebas yang bisa dipahami begitu saja dengan kognisi yang difokuskan pada sistem sosial. Individu, dalam konteks negara dipandang sebagai sebuah komponen terikat dari komunitas tersebut. (Hans Kelsen, Pengantar Teori Hukum (Introduction to the Problems of Legal Theory), Penerjemah: Siwi Purwandari, (Bandung: Penerbit Nusa Media, 2010), hlm. 91)
[23] Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Edisi Kelima, (Yogyakarta: Liberty, 2003), hlm. 4.
[24] Dum felis dormit, mus gaudet et exsilit antro. Ketika kucing jatuh tertidur, tikus bersuka ria dan melompat dari lubangnya.
[25] suatu keadaan konsensus antar anggota masyarakat yang diasumsikan menjadi prasyarat utama pembentukan negara hukum dengan suatu tujuan bersama.
[26] Dalam bermasyarakat, urai Wirjono Prodjodikoro, seorang manusia tidaklah hidup tersendiri, melainkan bersama-sama dengan orang-orang lain. Masyarakat baru dapat dikatakan berada dalam keadaan makmur sejahtera bila terdapat keseimbangan pada suasana hidup didalamnya. Maka dapat dikatakan juga, “perkosaan” terhadap suatu kepentingan seorang anggota masyarakat, bagaimana pun kecilnya tentu mengakibatkan kegoncangan pada neraca keseimbangan dalam masyarakat. Oleh karenanya, setiap perbuatan melanggar hukum, memiliki konsekuensi logis yang berdampak pada kepentingan masyarakat seluruhnya. Kepentingan dari seorang perseorangan baru mendapat perlindungan dari hukum berupa adanya suatu peraturan hukum yang melarang atau sebaliknya, apabila kepentingan masyarakat juga menuntut supaya kepentingan orang perseorangan tersebut dilindungi. (Wirjono Prodjodikoro, Perbuatan Melawan Hukum: Dipandang dari Sudut Hukum Perdata, (Bandung: Mandar Maju, 2000), hlm. 14.)
[27] Stat pro ratione voluntas populi. The will of the people stands in place of a reason.
[28] Hestu Cipto Handoyo, Hukum Tata Negara Indonesia, (Yogyakarta: Universitas Atma Jaya, 2009), hlm. 19—20.
[29] Alfred Stepan, Ther State and Society (1978), sebagaimana dikutip Mahfud M.D., Politik Hukum di Indonesia, edisi revisi, (Jakarta: Rajawali Press, 2010), hlm. 225.
[30] Mahfud M.D., Politik Hukum di Indonesia, Ibid, hlm. 226.
[31] Mochtar Kusumaatmadja dan Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum: Buku I,  (Alumni: Bandung. 2000), hlm. 14 dan hlm. 19.
[32] Soehino, Ilmu Negara, (Liberty: Yogyakarta, 2005), hlm. 122 dan hlm. 148.
[33] Yang ironisnya, masih terus didengung-dengungkan dalam teks-teks ilmu hukum saat kini.
[34] Salim, Wiwiek Wahyuningsih, dkk, Perancangan Kontrak & MoU, (Sinar Grafika: Jakarta, 2008), hlm. 2—3.
[35] Abundans cautela non nocet. Perhatian yang berkelimpahan tidaklah menyakiti.
[36] Anthon F. Susanto, Hukum dari Consilience Menuju Paradigma Hukum Konstruktif-Transgresif, (Bandung: Refika Aditama, 2007), hlm. 115.
[37] Apakah terjadi kesepakatan harga antara pelaku kartel dengan konsumen? Tidak. Yang sepakat mengenai harga ialah para pelaku usaha yang menggabungkan diri dalam asosiasi kartel dan mematok “harga mati” atas komoditas di pasaran. Masyarakat, yakni dalam hal ini konsumen, hanya tunduk pada harga yang ditetapkan pelaku usaha kartelisasi yang memiliki daya tawar kuat dalam menetapkan harga, karena tiada pilihan lain bagi konsumen kecuali mengikuti “aturan main” para pelaku usaha kartel tersebut.
[38] Kita ambil salah satu ketentuan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Pasal 11 mengatur mengenai larangan kartel: “Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha pesaingnya, yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.”
[39] Inilah yang kemudian penulis sebut sebagai hukum perdata privat bernuansa publik.
[40] Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, (Bandung: Alumni, 1991), hlm. 118—119) Mungkin adalah terlampau berani jika penulis menyatakan bahwa Hukum Administrasi Negara = Hukum Perdata dalam skala masif. Dalam konsep “kontrak sosial”, negara merupakan simbolisasi rakyat. Dengan demikian, ketika hukum perdata/sipil mengandung komponen warga negara terhadap warga negara lainnya, dalam Hukum Administrasi Negara yang saling berhadapan ialah warga negara terhadap simbolisasi rakyat.
[41] Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 2006), hlm. 3.
[42] Untuk lebih jelas, telaah buku Penulis berjudul Praktik Hukum Jaminan Kebendaan, diterbitkan oleh PT. Citra Aditya Bakti (Bandung, 2016). Dalam teori, larangan “main hakim sendiri” setidaknya mengundang dua pandangan. Ada yang mengatakan tindakan menghakimi sendiri itu sama sekali tidak dibenarkan (van Boneval Faure). Alasannya, hukum acara perdata telah menyediakan prosedur untuk memperoleh perlindungan hukum bagi para pihak melalui pengadilan, maka segala bentuk tindakan yang diluar prosedur hukum, dilarang. Pandangan demikian, menurut Sudikno Mertokusumo, telah ditinggalkan. Pandangan yang lebih moderat menyatakan, tindakan menghakimi sendiri pada asasnya tidak dibenarkan, akan tetapi bilamana peraturan yang ada tidak cukup memberi perlindungan, maka tindakan menghakimi sendiri itu secara ‘tidak tertulis’ dibenarkan (Rutten). (Dikutip dari Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Op. Cit.)
[43] Didit Akhdiat suryo, “Akses Bagi Masyarakat Dalam Penyelesaian Sengketa Di Bidang Perdagangan”, dalam Sosi Pola (editor), Jendela Informasi Hukum Bidang Perdagangan, (Jakarta: Biro Hukum Kementerian Perdagangan, 2011), hlm. 16.
[44] Acta exteriora indicant interiora secreta. Tindakan-tindakan lahiriah mengindikasikan pikiran-pikiran tersembunyi dibaliknya.
[45] Aliquis non debet esse judex in propria causa, quia non potest esse judex et pars. Seseorang tidak diperkenankan menjadi hakim atas kepentingannya sendiri, karena ia tidak dapat bertindak baik sebagai hakim dan disaat bersamaan sebagai para pihak terlibat.
[46] Montesquieu, The Spirit of Laws, Penerjemah: M. Khoiril Anam, (Nusa Media: Bandung, 2007), hlm. 93.
[47] Actus judidarius coram non judice irritus habetur. A judicial act before one not a judge (or without jurisdiction) is void.
[48] Ubi ius (jus), ibi officium. Dimana ada hak, disitu terletak pula kewajiban.  Keistimewaan tidaklah muncul dari ketiadaan berbagai tanggung-jawab. (dikutip dari http://wordinfo.info/unit/3483?letter=L&spage=3)
[49] Asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk: (Salim, Hukum Kontrak: Teori & Praktik Penyusunan Kontrak, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hlm. 9.)
-        membuat atau tidak membuat perjanjian;
-        mengadakan perjanjian dengan siapapun;
-        menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya.
[50] J. Satrio mendefinisikan “Perikatan (hukum)” sebagai: suatu hubungan hukum antara dua pihak, dimana disatu pihak ada hak dan dilain pihak ada kewajiban. (J. Satrio, Hukum Perjanjian: Perjanjian pada Umumnya, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1992), hlm. 3.) Sementara itu Subekti mengartikan “Perikatan (perdata)” adalah suatu hubungan hukum antara dua pihak, dimana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain tersebut berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu. (Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Intermasa, 2005), hlm. 1.)

Arsip Artikel HUKUM-HUKUM.COM (Dropdown Menu)

Artikel yang Paling Populer Minggu Ini

Konsultan Hukum HERY SHIETRA & PARTNERS