TELUSURI Artikel dalam Website Ini:

Linda Bonmartini

SINOPSIS

E-Book NOVEL BASED ON TRUE STORY

Kisah dalam novel ini memiliki keunikan berupa perpaduan romance dan tragedi yang bersinggungan dengan permasalahan hukum dengan latar belakang kisah nyata (based on true story) di Italia pada akhir abad ke-19.
Gravin Linda Murri menikahi Graf Bonmartini yang tidak dicintainya, sebelum kemudian berjumpa kembali dengan pria yang dicintainya dikala muda. Status darah biru yang melekat pada silsilah keluarga Linda, membuatnya tak dapat berjodoh dengan Carlo.
Sebagai suami yang sewenang-wenang, Graf melakukan siksaan fisik maupun batin terhadap istrinya, Linda. Meski Linda adalah wanita yang tegar dan kuat, ia terancam mati karena Graf, sementara Linda tak berani menceraikan Graf karena suaminya mengancam akan mengambil hak asuh kedua anaknya.
Tullio, adik Linda, mencoba memeringatkan kelakuan Graf terhadap Linda. Ketika Linda diujung maut akibat perlakuan lalim sang suami, Tullio terlibat pertengkaran mulut dengan Graf yang berujung pada kematian Graf yang kemudian ditemukan menderita belasan bekas luka tusukan.
Cinta segitiga antara Linda, Carlo, dan Graf ini menuai petaka. Linda yang tidak tahu-menahu ataupun terlibat pembunuhan suaminya, terseret sebagai terdakwa di persidangan, dan dijadikan musuh seluruh rakyat Italia yang menilainya sebagai wanita penzina yang selicik iblis.
Carlo yang tidak terlibat langsung akan kematian itu pun, terseret dalam tuduhan persekongkolan pembunuhan, dimana kemudian terjadi pengkhianatan Carlo terhadap Linda.
Perkara ini demikian kompleks, berujung pada pemidanaan penjara bagi Linda yang membuat tubuhnya yang lemah terancam kematian sebelum akhirnya dibuang dalam pengasingan.
Proses persidangan yang menyimpang meski diliput wartawan berbagai negara, mengakibatkan orang-orang tak bersalah akhirnya memakan korban dalam tragedi Bonmartini.
Seorang tokoh intelektual Jerman bernama Karl Federn kemudian memberikan perhatian kepada kasus tragedi Bonmartini ini, dan menemukan banyaknya cacat dibalik pemidanaan terhadap Linda, meski proses persidangan ini melibatkan puluhan pengacara paling top di Italia pada masanya.
Federn berusaha meluruskan putusan yang menyimpang ini dengan kemampuan riset, analisis, serta karya tulisnya yang kemudian diterbitkan dalam bentuk buku mengenai perkara Murri-Bonmartini yang menggemparkan rakyat Italia yang mudah terhasut itu, sehingga kemudian Raja Italia memberikan pengampunan kepada Linda meski ia sama sekali tidak terlibat dalam pembunuhan suaminya.
Novel ini menggambarkan juga perkembangan sejarah peradaban Eropa dengan segala kepelikan politik dan sosialnya pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20.
Kompleksitas karakter, drama percintaan dan keriuhan hukum, kekuatan semantik dialog antar tokoh, serta alur yang kaya akan melodrama tragis namun mengharukan ini cocok dijadikan bacaan bagi kalangan muda-mudi maupun pasutri, sebagai bacaan yang sarat makna dan bermanfaat.
Kisah nyata dalam novel ini adalah kisah yang suram dan kelam, namun beruntung, berakhir dengan bahagia dan penuh haru berkat kepedulian seorang tokoh bernama Karl Federn dikala masyarakat Italia sendiri mencampakkan Linda—dimana novel ini sendiri penulis angkat guna mengenang kembali jasa-jasa tokoh emansipatif tersebut.
Hanya garis besar kisah dalam novel ini yang diangkat dari kisah nyata. Berbagai detail dan peristiwa rinci merupakan hasil elaborasi serta improvisasi penulis secara pribadi.

Based on True Story Novel by Hery Shietra LINDA MURRI BONMARTINI

Judul : GRAVIN LINDA MURRI BONMARTINI—Iblis Berhati Malaikat
Penulis : Hery Shietra, S.H.
Bahasa : Indonesia.
Penerbit : SHIETRA PUBLISHER
Tahun terbit : 2017
File E-Book : pdf, dapat dibaca dan dibuka pada berbagai aplikasi, baik mobile, smartphone, tablet, maupun personal computer (PC).
Harga : Rp. 50.000;-. Bebas ongkos kirim, e-novel akan dikirimkan pada pembeli via e-mail. Dijual secara esklusif hanya oleh hukum-hukum.com.
Cara Pemesanan : hubungi kami pada email legal.hukum@gmail.com , selanjutnya kami akan memberikan instruksi tata cara pemesanan serta syarat dan ketentuan. Paling lambat E-book akan kami kirimkan 3 x 24 jam setelah klarifikasi penerimaan dana. Secara esklusif hanya dijual oleh hukum-hukum.com
Lisensi : "END USER AGREEMENT", HANYA DIJUAL KEPADA PEMBELI ORANG-PERORANGAN (Pembeli Individual), BUKAN UNTUK KEPERLUAN PERKANTORAN, PERPUSTAKAAN, ATAU SEJENISNYA. Lisensi 1 eBook HANYA UNTUK 1 ORANG PEMBELI. Dapat dibaca untuk SEUMUR HIDUP pembeli, kapanpun dan dimanapun.

IBLIS BERHATI MALAIKAT
Gravin Linda Murri Bonmartini
© 2017 Author by: Hery Shietra, S.H.
Hak Cipta Penulis dilindungi oleh undang-undang

Novel ini dipersembahkan bagi Karl Federn atas jasa serta karya-karyanya.

Based on True Story Novel by Hery Shietra LINDA MURRI BONMARTINI

PROLOG
Kisah yang mengangkat sosok wanita bernama lengkap Gravin Linda Murri Bonmartini ini secara garis besar diangkat dari kisah nyata dengan latar belakang Eropa pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20, yang penulis adaptasi dari sebuah cerita pendek dari berbagai cerpen yang dirangkum oleh Hermann Mostar dalam bukunya Peradilan Yang Sesat (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1987).
Kasus Bonmartini, sebagaimana disebutkan Hermann Mostar, merupakan perwujudan “cinta kasih melawan fitnah dan kebodohan”. Dikabarkan, Linda Murri merupakan wanita tercantik pada abad kedua puluh. Tragedi yang dialaminya telah menimbulkan pro dan kontra di tengah masyarakat Italia yang bergelora dan memang mudah tersulut, terjadi di negeri eksotik tempat lahirnya berbagai seniman berbakat dunia, dan tercatat sebagai kejadian bersejarah yang mengundang perhatian dunia.
Kerabat, rohaniawan yang mengenalnya, bawahan yang mengetahui kehidupan Linda, mereka semua memandang dirinya sebagai malaikat hidup—kesucian, ketulusan, ketegaran, dan cinta kasih seorang ibu yang sejati. Akan tetapi rakyat Italia pada masa itu, kaum rohaniawan lainnya, begitupula pers, mereka yang tidak mengenal dekat dirinya, memandangnya sebagai maha iblis penuh nafsu, haus membunuh, wanita tak beriman, seorang sadistik. Sebagaimana dilukiskan Hermann Mostar dalam menggambarkan kisah menyentuh ini:
Baru lama kemudian citra malaikat mengalahkan citra iblis. Baru lama kemudian para pembencinya berbalik mencintainya, setelah kebenaran terungkap—dan kebenaran murni selalu mengajarkan mencinta, bukan membenci. Tapi sebelum itu ia harus menderita—penderitaan yang tak mungkin dialami oleh malaikat atau iblis, melainkan oleh manusia. Namun demikian, baik kawan maupun lawan, mengakui Gravin tersebut sebagai suri-teladan keindahan yang sempurna. Mereka melukiskan wanita yang telah berumur empat puluh tahun itu sebagai ‘anak pucat yang terperanjat’.”
Kekuatan utama karakter Linda Murri, ialah ketegaran jiwa ketika harus menghadapi kenyataan ketika seluruh rakyat Italia memusuhi dirinya. Meski bermula dari sebuah cerita pendek, tampaknya tetap relevan untuk para pembaca di abad kedua puluh satu ini meski telah terpaut lebih dari satu abad lamanya latar kejadian tragedi Bonmartini di sebuah negeri yang pernah menjadi inspirator renaisans bernama Italia.
Secara garis besar, novel ini penulis angkat berdasarkan kisah nyata, meski untuk detail-detail merupakan hasil improvisasi dan elaborasi penulis. Kisah ini akan menyentuh siapapun pembacanya, baik kalangan muda-mudi, pria atau wanita, maupun para suami-istri, karena kedalaman sosok Linda Bonmartini yang mencoba bersikap teguh meski dikala perasaannya rapuh.
Novel roman ini merupakan perpaduan unik dari kisah nyata kehidupan cinta kasih seorang wanita sekaligus seorang ibu, dengan tragedi yang menjadikan dirinya pesakitan di depan persidangan dengan tuduhan pembunuhan terhadap suaminya sendiri, yang terjadi pada tahun 1902 hingga tahun 1906.
Sebuah tragedi yang masih menyisakan kenangan pada setiap memori rakyat Italia.

TOKOH-TOKOH
Gravin Linda Murri Bonmartini ... sang iblis berhati malaikat dalam tragedi Bonmartini
Tullio Murri ... saudara laki-laki Linda
Augusto dan Giannina Murri ... orang tua dari Linda dan Tullio
Carlo Secchi ... pria yang dicintai Linda
Graf Francesco Bonmartini ... suami Linda
Mainardi ... keponakan Graf Francesco
Maria dan Ninetto ... anak-anak hasil perkawinan Linda dan Francesco
Rosina Bonetti ... gadis yang menyukai Tullio
Tisa Borghi ... asisten Carlo Secchi
Pio Naldi ... rekan aksi Tullio
Stanzani ... kepala penyidik Bologna
Karl Federn ... kolumnis dan aktivis

1
PERJUMPAAN
Bologna—Italia, tahun 1880.
Dua anak remaja belasan tahun berjalan setengah berlari di tengah dataran berumput. Cuaca sedang bagus saat itu.
“Tullio, percepat langkahmu!”
“Apa kau tak bisa bersikap layaknya seorang wanita? Gaya berjalanmu tak anggun,” sahut sang adik, yang tiga tahun lebih muda dari sang kakak, Linda.
Setibanya di stasiun, mereka mencari-cari seorang pendatang baru di kota mereka yang diminta oleh Prof. Augusto Murri, ayah mereka, untuk disambut kedatangannya. Keriuhan stasiun pada pagi itu membuat Tullio ragu dapat dengan cepat menemukan satu orang diantara ratusan penumpang kereta yang hilir-mudik.
“Menurutmu, seperti apa orang yang bernama Carlo Secchi?” tanya Tullio, anak lelaki muda dengan rambut pendek coklatnya yang teracak-acak meski telah sering mendapat teguran oleh ibunya yang penuh disiplin dan keras terhadap kedua anaknya tersebut. “Aku malas selalu disuruh Ayah untuk mengantar kedatangan tamu-tamunya.”
“Tak ada gunanya mengeluh, Tullio.”
Linda tidak menghentikan langkahnya seolah telah mengenal persis pria yang bernama Carlo Secchi tersebut meski dirinya belum pernah bertemu dengan pria yang akan menjadi mahasiswa ayahnya.
Sepasang mata Linda yang biru dipicingkan mencari-cari sesosok pria yang diyakininya pasti tengah berdiri di depan halaman stasiun menunggu penjemputnya. Dan benarlah, ia seakan mengenali orang yang sedang dicarinya.
Mi scusi (permisi), apakah Anda mengenal seseorang bernama Tuan Carlo Secchi?” gadis itu memanggil dengan nada lembut sembari membungkuk memberi salam hormat secara santun.
Pria berperawakan tinggi berumur tiga puluh tahun dengan mantel coklat yang menampakkan beberapa koyak tersebut menengok dan melihat seorang gadis muda berkulit seputih gaun yang dikenakannya menatap dirinya sembari tetap tersenyum dengan siung-pipitnya yang menawan.
“Oh, Signorina (nona) Murri. Bagaimana kabar Profesor Augusto?”
“Kabar Ayah kami baik. Mohon perkenalkan, nama saya Gravin Linda Murri, dan ini adik saya, Tullio. Benvenuto (selamat datang).”
Buon giorno (selamat pagi), Tuan. Kami dapat memanggil Anda dengan sebutan Tuan Carlo ataukah Tuan Secchi?” sambut Tullio, mencoba bersikap seramah yang ia mampu.
Buon giorno, Tuan Tullio,” sahut Carlo. “Apa saja.”
Tullio tampak cukup terkesan oleh sikap Carlo yang memanggil remaja ingusan belasan tahun itu dengan sebutan ‘Tuan’.
Linda memaksa tamunya untuk mengizinkan dirinya membawakan satu koper milik Carlo, meski Carlo sama bersikerasnya agar dirinya sendiri yang membawanya, namun Tullio kemudian menimpali: “Anda jangan khawatir Tuan Carlo, Linda memiliki otot yang cukup kekar untuk mengangkat ketiga koper ini.”
Bologna memang merupakan kota yang ramai dan aktivitas bisnisnya hidup. Orang berlalu-lalang dengan tergesa adalah hal yang lumrah di Bologna, kontras dengan para pengunjung kedai-kedai yang tampak memiliki banyak waktu untuk dihabiskan.
Sepanjang perjalanan, Carlo yang terpaut dua puluh tahun lebih tua dari Linda menceritakan bagaimana pertemuan dirinya dengan Prof. Augusto Murri dalam suatu seminar umum mengenai teknik anastesi pembedahan yang dapat menolong ribuan pasien dalam suatu operasi. Dari berbagai ceritanya tersebut, Linda kemudian mengetahui bahwa pertemuan Carlo dengan ayahnya tersebut kemudian memberi kesempatan Carlo untuk mengambil pendidikan tinggi kedokteran di Bologna dengan rekomendasi dari ayah Linda.
“Tuan Secchi, darimanakah Anda berasal, jika saya tidak lancang dengan pertanyaan tersebut,” Linda berjalan perlahan bersebelahan dengan Carlo, bersikap tangguh seolah tidak merasakan nyeri pada jemarinya menenteng satu dari tiga koper bawaan Carlo.
“Lahir di Venice dan tumbuh besar di Modena, demikianlah mengenai saya.”
“Venice, simbol demokrasi, sungguh kota nelayan yang ajaib dan indah. Saya dan Tullio pernah mengunjungi tempat tersebut tahun lalu, Tuan.”
“Panggil saja aku Secchi, Oke, maka aku pun cukup memanggilmu Gravin.”
“Oke, kita sepakati demikian!” mereka terkekeh. Sejak saat itulah, Carlo memanggil Linda dengan nama sebutan “Gravin”, sementara Linda memanggil Carlo dengan nama sebutan “Secchi”.
Meski Carlo menyadari perbedaan kelas sosial antara dirinya dengan Linda, Carlo tetap menampakkan sikap percaya diri. Cara berjalannya tegap dan bahunya kokoh. Sebaliknya, Linda yang berasal dari keluarga bangsawan menengah, dengan penampilannya yang terawat dan memikat, telah terbiasa bersikap bersahaja dan bersahabat dengan semua kalangan.
Linda membiarkan Carlo terus bercerita sepanjang perjalanan itu. Matahari yang persis berada di tengah langit tetap tidak mampu mengalahkan hawa musim dingin Bologna. Sementara Tullio telah berjalan jauh di depan, nampak tidak sabar. Dengan penuh minat Linda mendengarkan setiap patah kata Carlo, dan diam-diam menikmatinya.
Mereka tiba pada permukiman dengan berbagai bangunan rapat bergaya gothic menjulang tinggi dengan pilar-pilar yang tampak kokoh perkasa menahan beban gedung-gedung berdinding susunan batu besar yang berderet di sepanjang jalan itu.
“Secchi, inilah kediaman yang telah Ayah sewa untuk menjadi tempat tinggalmu selama menempuh pendidikan di Universitas Bologna. Sederhana, namun telah kupastikan sendiri cukup nyaman untuk ditempati. Jangan sungkan untuk menyampaikan sesuatu yang Tuan butuhkan.”
“Umn, tempat ini lebih dari cukup untuk seorang bujang sepertiku.”
Carlo Secchi mengagumi berbagai karya seni yang tersebar di berbagai sudut Kota Bologna. Patung-patung bergaya romawi maupun yunani yang menggambarkan sosok para ksatria seakan menjadi prajurit yang tidak mengenal letih mengawasi para penduduk. Burung-burung bertengger pada gedung-gedung yang angkuh yang menyerupai deretan tembok kastil. Betapa elok kota ini.
“Kau lihat Manor di ujung jalan hook sebelah sana? Itulah kediaman kami. Ayah beserta koleganya akan tiba malam ini. Ia memintaku untuk mengundang Anda makan malam bersama kami malam nanti.”
“Suatu kehormatan, Gravin. Sampaikan salam saya untuk keluarga Murri.”
Carlo berdiri mematung di depan pintu masuk, menunggu Linda untuk berbalik dan pergi menyusul Tullio yang telah terlebih dahulu berjalan pulang. Namun Linda tetap berdiri di tempatnya sembari tersenyum kecil memandangi Carlo.
Namun keheningan itu segera dibuyarkan oleh teriakan Tullio dari kejauhan. “Hei Linda, Ibu sudah menunggu di rumah!”
Dengan salah tingkah Linda seketika membalik badan, mengangkat gaunnya, dan bergegas.
Namun seketika itu juga Carlo berseru seraya mengulurkan tangan seolah hendak menjamahnya: “Eih..., Signorina Gravin!”
Linda memalingkan wajahnya setelah langkahnya terhentikan oleh panggilan itu.
Grazie (terimakasih).”
Kedua pasang mata itu saling menatap lekat.
“... Grazie.”

2
ASMARA
Carlo dengan cepat beradabtasi dengan kota eksotik dengan budayanya yang kerap dipenuhi basa-basi. Kafe-kafe mudah ditemui di kota tersebut. Beberapa tahun berjalan dengan cepat, dimana kemudian Carlo menjadi assisten kepercayaan Prof. Augusto Murri, klinikus sekaligus pengajar terkemuka di Universitas Bologna.
 Sementara Tullio yang memberontak terhadap kehendak sang ayah untuk dimasukkan pada sekolah kedokteran, dikirim ke Milan untuk menempuh pendidikan teknik industri, sementara Linda tumbuh menjadi gadis paling cantik di Bologna.
Setibanya Giannina Murri pulang dari kegiatan rutinnya di rumah ibadah, sang ibu yang tekun beribadah meski penggugup dan keras ini segera mencari-cari sang putri. “Linda, Linda, apakah sudah kau kirimkan paket-paket itu?”
Linda yang menekuni rancangan gaun cukup disibukkan dengan pesanan dari berbagai kalangan bangsawan kenalan sang ibunda. Giannina menemukan putrinya tengah memasak makan malam di dapur.
“Linda, Linda, mengapa kau belum mengantarkan paket-paket itu? Berapa kali perlu kuingatkan agar kau mengirimkan paket-paket itu sebelum kantor pos tutup!”
Tanpa menghiraukan perihal paket-paket yang teronggok di ruang tamu, Linda menengok dan menatap sang ibunda dengan wajah polosnya sembari menyunggingkan senyum polosnya.
“Belum Ibuku yang manis, besok pagi akan kuposkan. Dikau jangan marah ya, ya... Tuh kan, muncul keriput!”
“Dasar, kau ini!”
Linda merangkul Ibunya dan mengelus bahunya dengan manja, “Iya, aku hanya bercanda, Ibu jangan marah ya... Wah, keriputnya hilang!”
Sang ibu selalu luluh dengan sikap manis sang putri yang tumbuh dengan sikap jenaka. Menanggapi wajah tak berdosa Linda, beliau tak punya pilihan lain. “Mungkin aku terlalu lunak mendidikmu. Kau antarkan ransum ke tempat ayahmu, ia tidak makan malam di rumah malam ini.”
“Baik, madame Ibundaku yang baik hati,” sahut Linda senantiasa ceria menyelesaikan sentuhan terakhir pada salad yang baru dibuatnya. Madame (nyonya) Giannina hanya dapat menggumal.
Linda maupun Tullio mendapat didikan yang amat keras dari Giannina Murri, sementara sang ayah jarang berada di rumah karena berbagai kesibukannya sebagai guru besar maupun berpraktik di rumah sakit pusat kota Bologna, setimpal dengan kemasyuran internasional yang menjadikannya sebagai warga kehormatan kota.
Karena itu, Tuan Augusto Murri merasa memiliki kewajiban profesi untuk turut serta menghadiri berbagai konferensi-konferensi ilmiah di luar kota bahkan tidak jarang di luar negeri.
Praktis, antara sang ayah dan sang anak jarang berkumpul. Sesekali Tuan Augusto Murri berkunjung pulang membawa serta berbagai kolega yang harus disambut dengan ramah oleh Linda sebagai tuan rumah.
Tuan Murri membiarkan sang istri, Giannina berkutat dengan peribadatannya dan sekaligus simpatisan konservatif berbagai rumah ibadah di Bologna, dan disaat bersamaan Giannina cukup menikmati ketenaran sang suami dan mendapat kebebasan dalam mendalami kegiatan ibadahnya.
Tak mengherankan, anak-anak ini mencari dan mendapatkan kehangatan yang selama ini tak mereka peroleh di rumah, pada orang lain dan pikiran-pikiran lain.
Sang ayah yang mengirim Tullio menempuh pendidikan di Milan, justru memberikan tempat bagi Tullio untuk menemukan minatnya, buku-buku karya tokoh-tokoh besar komunisme yang kala itu memang sedang populer.
Tullio mulai merintis usaha percetakan bersama dengan kawannya. Dari perkenalan dengan dunia percetakan tersebut, Tullio mendapat akses terhadap berbagai buku-buku, baik terlarang maupun buku-buku lainnya, dan secara diam-diam tanpa diketahui keluarga Murri, menjadi seorang penganut sosialisme.
Setelah memasukkan bekal makan malam dalam dua rantang, Linda memakai topi lebar yang membuatnya tampil menawan. Sebagai seorang yang terlahir dari kalangan bangsawan, dimana dirinya kini banyak disibukkan oleh kegiatan merancang busana yang memang sudah sejak dahulu kala digandrungi para kaum muda-mudi warga Italia yang sangat menggilai tren dan mode berpakaian.
Linda secara alamiah memang memiliki bakat bawaan kecantikan wajah dan sikap yang jenaka namun tetap rendah hati.
Dengan dua rantang di tangan, Linda melangkah menyusuri jalan Bologna yang diterangi dengan penerangan kedai-kedai dan tempat hiburan yang membuat wajah kota Bologna yang eksentrik tampak lebih eksotis.
“Hai Ernst, anjingmu tampak makin gemuk, ia menderita obesitas.”
“Hai Linda, terimasih atas pujiannya.”
“Aku tidak sedang memuji.”
“Jika begitu besok akan kubawa anjing ini berolahraga.”
Dengan tidak segan Linda akan menyapa setiap pejalan kaki, anak kecil maupun para lansia, dan setiap warga setempat yang dilihatnya. Tak terhitung jumlah pemuda yang telah mencoba meminang Linda. Namun Linda telah menambatkan hatinya pada seorang dokter miskin, yang kini menjadi asisten ayahnya, pria bernama Dokter Carlo Secchi.
Carlo menjadi mahasiswa terpandai dari Universitas Bologna, sekaligus asisten yang paling cakap.
Selama tinggal di Bologna sebagai mahasiswa, terkadang Carlo tidak segan mencari sumber penghidupan dengan menjadi kurir. Linda menjalin hubungannya selama itu, namun tidak pernah sekalipun memandang rendah pada dirinya, dan Carlo pun tidak pernah bersikap rendah percaya diri.
Meski demikian, Carlo tidak pernah bertindak lancang. Sekadar menyentuh bibir Linda pun belum pernah dilakukannya. Carlo menyadari hubungan dirinya dengan Linda tidak mendapat persetujuan Tuan Murri, sehingga hubungan mereka terjalin secara diam-diam, tidak tergesa.
Toh, keduanya saling menikmati kebersamaan yang berjalan secara perlahan itu.
Baik Tuan Augusto maupun Giannina Murri tidak menyukai putri mereka berhubungan dekat dengan Carlo. Umur keduanya terpaut dua puluh tahun, disamping kondisi sosial Carlo yang bukan berasal dari kalangan bangsawan. Carlo harus disibukkan oleh pergulatan hidup dalam mencari penghidupan disamping kelas pergaulannya yang terbatas.
Linda tiba di rumah sakit Bologna yang megah di pusat Kota Bologna. Meski telah menjelang malam, tempat itu tetap ramai oleh lalu-lalang pengunjung dan perawat.
Linda menyapa beberapa suster dan penjaga, berbincang sambil berbasa-basi dengan beberapa dokter yang dijumpainya, kemudian menaiki lantai tiga tempat sang ayah berkantor.
“Hai Natalie, senang berjumpa kembali denganmu. Apakah saya mengganggu Dokter Augusto?” sapa Linda pada seorang petugas tata usaha di ruang ayahnya. “Cat kukumu bagus sekali.”
“Hai Linda, senang juga berjumpa denganmu. Sayang sekali, beliau baru saja memasuki ruang bedah di lantai dua. Kutinggal dulu ya, aku harus kembali bekerja.”
Linda menampilkan wajah kecewa yang sebetulnya sudah cukup sering ia tampilkan di kantor itu. Meletakkan sebuah rantang di atas meja kerja sang dokter, menuliskan secarik memo agar ayahnya tidak lupa untuk menyempatkan diri makan malam, membersihkan meja kerja ayahnya, lalu sedikit membenahi ruang kerja itu sembari bersenandung sebuah lagu yang lembut.
Tak lama kemudian, Linda duduk bersandarkan tepian meja, mengetuk-ngetukkan jemarinya pada meja kerja kayu ayahnya, kemudian mengambil arloji portabel dari sakunya. Arloji menunjukkan pukul 18.04.
Masih tersisa waktu satu jam baginya untuk bercengkerama di komplek rumah sakit. Linda bergegas menuruni gedung, menuju bangsal perawatan pasien kanak-kanak.
“Haloo, anak-anak!” sapa Linda sambil melambaikan tangan pada anak-anak yang menjadi pasien di bangsal khusus anak itu. Linda menyapa satu per satu nama setiap anak yang sudah dihafalnya. Anak-anak yang tidak dapat bangkit dari pembaringan, mendapat perhatian dari Linda. Hanya pasien anak di ruang perawatan khusus yang tidak berani Linda sambangi, agar tidak mengganggu istirahat mereka.
Sontak anak-anak itu berseru riang atas kedatangan Linda. Tidak lupa, Linda memberikan mereka beberapa bungkus permen yang dibelinya di toko dalam perjalanan tadi.
“Heiii, apa kalian bersikap baik hari ini? Menurut pada nasehat dokter? Bagus, itu baru adik-adik yang baik. Wah, kau sudah bisa berlari?”
Anak-anak sudah tidak sabar mendengarkan kelanjutan kisah dongeng yang Linda banyak pelajari dari perpustakaan kota.
Sebagai penutup pertemuan dengan anak-anak itu, Linda terbiasa menyanyikan lagu yang diciptakannya sendiri. Ketika Linda mulai bernyanyi, lantunan itu mengundang para perawat untuk turut menyaksikan dan mendengarkan.
Meski tidak diiringi oleh orkestra apapun, suara merdu dan penuh kasih Linda merupakan senar dawai itu sendiri.
Pokok pesan dari lagu yang dibawakan oleh Linda, agar setiap dari kita memiliki sebuah cita-cita yang akan membuat kita tahu bagaimana melangkah, tetap menjaga harapan dan berbagai kemungkinan yang terbuka di depan kita. Masa depan penuh berbagai impian yang dapat diraih lewat pertualangan. Bertahanlah. Bertahanlah terus. Bangkitkan semangat juangmu... tiada mengeluh.
Tepat pukul 19.00 Linda tiba di taman belakang komplek rumah sakit. Taman itu luas dan disediakan tempat duduk pada setiap sudutnya.
Seperti biasa, Carlo telah tiba terlebih dahulu, dengan sabar mengamati Linda dengan anggunnya melangkah mendekat. Linda melangkah perlahan dengan langkah feminim menawan dengan senyumnya yang manis dari bibir tipisnya.
Satu-satunya sifat tomboi yang tersisa dari dirinya, Linda tak pernah merias wajah. Namun pesona kecantikan alamiahnya tidak membutuhkan polesan apapun. Carlo tanpa bersuara menikmati kedatangan Linda. Perlahan demi perlahan.
Linda menghentikan langkahnya dalam jarak lima meter dari Carlo. Kemudian diangkatnya sebuah rantang.
“Semoga Tuan Secchi bersedia untuk mencicipi masakan gadis yang tampaknya kurang berbakat menjadi koki ini.”
Carlo tersenyum lepas. “Dapat melihatmu pun sudah membuatku puas, Signorina Gravin.”
“Betulkan? Aduh, Tuan Carlo Secchi, kau sedang merayu ya? Sering-sering ya.”
Setiap perawat dan penjaga di rumah sakit Bologna mengetahui hubungan keduanya lebih dari sekadar pertemanan, namun keduanya tidak ambil pusing. Linda menikmati momen-momen Carlo selalu melahap habis setiap masakan yang dibuatnya, dan Carlo sudah puas ketika Linda memberinya perhatian.
Di sudut taman itu, Linda dapat tertawa lepas dengan berbagai lelucon yang dilontarkan Carlo, seorang pria yang tampak lugu dan selalu antusias dalam setiap momen kehidupannya yang sederhana.
Cahaya kehidupan bergelora dari sinar mata pria itu. Dan yang terpenting, Carlo tidak pernah berkata ataupun bersikap kasar terhadap siapa pun.
Carlo tahu cara mengisi hati Linda yang kosong, dan Linda tahu cara membesarkan hati Carlo yang membutuhkan pengakuan dan penghargaan.
“Gravin, kau tahu, hari ini ada seorang pasien, tentara yang sudah malang-melintang di berbagai peperangan dan medan tempur. Berbagai medali telah diperolehnya. Pernah tertembak peluru sebanyak dua kali, dan selamat. Namun hari ini, ia menjerit sekeras-kerasnya ketika akan kusuntik.”
“Oh Secchi, bolehkah kutanyakan sesuatu padamu. Apakah kau berani bila disuntik?”
“Hmnn, itu pertanyaan yang berat. Namun aku tidak keberatan bila kau yang melakukannya untukku. Mungkin besok jika pasien itu kembali, aku akan memintamu datang untuk memberinya satu tusukan yang mantap, tepat di bokongnya.”
Linda menampilkan wajah merengut nakal. Tidak mau kalah, Carlo turut membalasnya dengan wajah merengut manja. Mereka pun melepaskan tawa.
Sungguh menyenangkan bila waktu tidak pernah berubah, dan tetap ditempatnya berada.
Namun rembulan berganti matahari, sebelum kemudian tergantikan kembali oleh rembulan. Terkadang bulan purnama, terkadang bulan gelap. Waktu terus berjalan, dan berbagai peristiwa akan terus silih-berganti tanpa dapat kau genggam erat. Ada yang menyebutkan, setiap zaman memiliki momennya sendiri.

3
PERGERAKAN
Sifat idealistis Tullio menjadi-jadi, berkat gelombang ideologi baru di belahan Eropa akan pemikiran-pemikiran sosialisme. Tidak terdapat garis keturunan sosialisme dalam silsilah keluarga Murri. Namun gambaran kehidupan pada akhir abad ke-19 yang makin memberatkan kaum pekerja dan kalangan bawah, memberikan sentakan bagi benak Tullio yang lugu namun menggebu-gebu untuk menyalurkan hasrat idealismenya.
Kaum borjuis kian berkuasa, sementara kaum bawah termarjinalisasi demikian lebar. Pemusatan kekayaan menimbulkan gelombang baru benih-benih pembangkangan sipil terhadap struktur sosial-ekonomi.
Motor penggerak ekonomi berupa mesin-mesin produksi menjadikan eksploitasi tenaga kerja terjadi secara masif dan menyebar dengan demikian cepatnya merembet ke berbagai belahan Eropa bagaikan virus.
Pusat-pusat industri memang bertumbuhan, terlihat dari berbagai cerobong asap mengepulkan asap hitam pekat pertanda aktivitas industri menggeliat secara masif. Namun disaat bersamaan kesenjangan ekonomi membuat kehidupan warga menjadi kontras. Kemajuan industri yang pesat membawa perubahan dalam hubungan antar lapisan masyarakat. Kemajuan industri justru menjadi kehidupan demikian keras bagi kalangan masyarakat tertentu. Apa yang dahulu dikerjakan oleh tangan para pekerja, kini tergantikan oleh mesin. Daya tawar pekerja menukik turun. Dimulailah apa yang disebut sebagai eksploitasi manusia oleh kaum kapitalis.
Eropa pada abad ke-19 dan awal abad ke-20 dilanda gelombang besar semangat “Laissez Faire-Laissez Passer”, segala kegiatan ekonomi diserahkan pada mekanisme pasar, bebas dari campur tangan otoritas negara. Paham ini menjadi slogan propaganda liberalisme ekonomi pasar bebas Adam Smith dengan teori invisible hand-nya.
Pemuda ini kini turut dalam gerakan bawah tanah perlawanan terhadap kaum borjuisme setelah bisnis percetakannya tergerus oleh para pemodal yang lebih kuat darinya. Kekecewaan ini membuatnya kian larut dalam sosialisme.
Kali ini yang menjadi target pergerakan bawah tanah ialah gurbernur pada sebuah distrik, dan Tullio turut ambil serta dalam aksi ini.
Pada suatu siang, penawanan yang terorganisir secara rapih telah berhasil menahan Tuan Damasio, sang gubernur, di dalam manornya sendiri. Penawanan itu berlangsung secara efesien tanpa mengundang kecurigaan baik penjaga maupun para pekerja di manor sang gubernur.
Untuk itu, rombongan ini bergerak hanya dengan menyertakan lima orang anggota yang dipimpin oleh Luigi, seorang mantan marinir yang telah melumpuhkan paling tidak empat penjaga manor sebelum rombongan ini dapat memasuki manor.
Tullio adalah anggota rombongan termuda yang ikut serta. Tanpa bekal keterampilan khusus selain menyabotase mekanisme slot kunci pintu sehingga dapat dibuka dan ditutup tanpa anak kunci, mungkin diizinkan ikut dalam misi ini dalam rangka indoktrinasi atau kaderisasi pergerakan sosial mereka.
Kelimanya berdiri di sekitar Gubernur Damasio yang didudukkan dengan tangan dan kaki terikat. Tullio dan ketiga rekannya mengenakan penutup wajah, namun hanya Luigi yang dengan demikian berani bertatap muka dengan tawanannya tanpa selembar pun penutup wajah. Percuma baginya menutup wajah, ia telah menjadi ikon gerakan sipil melawan kaum kapitalis dan memang telah menjadi orang yang paling dicari di kota itu.
Sungguh suatu kehormatan dapat beraksi menjalankan misi bersama dengan sang legandaris ini.
Luigi memulai dialog tanpa basa-basi. “Tuan Damasio, Anda pastilah telah mengetahui siapa kami dan apa tujuan kedatangan kami.”
Luigi memiliki suaranya rendah, perlahan, tenang, namun demikian dalam dan memiliki suatu efek mistis bagi pendengarnya. Kaum ningrat dan borjuis mana pun yang mendengar nama Luigi, pastilah akan lari pontang-panting.
Dengan bersikap seolah tiada takut, sang gubernur menantang lantang: “Tiada negosiasi!”
Seketika secepat peluru disambut Luigi, “Eccellente (sangat baik)!”
Dengan sigap Luigi meraih dagu tawanannya, dan menekankan ujung jari telunjuk dalam-dalam ke bagian bawah tengah rahang yang lunak dari tengkorak Damasio, mengakibatkan sang gubernur tersesak-sesak seakan tenggelam kehabisan nafas.
Siksaan yang dibuat Luigi menimbulkan perasaan ngeri bagi Tullio terutama ketika tubuh tawanannya mulai mengejang.
Sebelum tawanannya tewas, Luigi melepaskan cengkeramannya.
“Ah, masih hidup rupanya,” ujar Luigi membersihkan tangannya dari keringat sang tawanan yang wajahnya menjelma merah akibat tekanan darah. “Saran saya, jadilah tuan rumah yang baik.”
Sang tawanan terengah-engah hampir mati. Luigi membiarkannya beberapa saat menghirup udara segar, meski wajah tawanannya itu kini banjir oleh peluh.
Sang gubernur pada akhirnya dapat berbicara sebelum kembali terbatuk-batuk, “Apa maumu?”
“Hanya berdialog,” tanggap Luigi. Anggota lainnya mengamati aksi Luigi sembari memerhatikan jendela tempat mereka merayap masuk maupun memastikan keadaan pintu ruang itu tetap terkunci rapat, agar dialog dapat berlangsung secara aman.
“Tuan, wargamu kini kelaparan,” sambung Luigi. “Apa sajakah yang Engkau, sang terhormat, lakukan selama ini di istana ini?”
“Tidak ada sangkut paut antara urusan bisnis kaum sipil dengan kami.”
“Aaaah... , betapa naifnya Anda, Tuan. Jika kami boleh mengetahui, mengapa Anda, kaum birokrat aristokrat, dan para ningrat serta pemodal, selalu menggunakan jargon yang sama terhadap berbagai aspirasi kami?”
“Aku pun tidak paham,” aku sang tawanan. “Ini memang sudah menjadi tradisi pemerintahan Eropa. Kau sendiri tahu, semua ini berjalan secara alamiah.”
“Kau maksud, seleksi alam?”
Terjadi keheningan. Kening sang gubernur berkerut, memikirkan dalam-dalam kalimat Luigi, terlagipula Luigi memberi tawanannya tersebut waktu yang ia butuhkan untuk berpikir. Tak perlu terburu-buru, pikir Luigi, toh ini hanya sebuah diskusi intelektual, meski agak sedikit menyakitkan pada awalnya.
Akhirnya sang tawanan berhasil menemukan jawaban yang menurutnya tepat untuk ditawarkan. “Pemerintah menghormati kebebasan berkontrak antar warga negara.”
Luigi tak seketika membantah. Ia tampak berpikir sembari berhenti berjalan mengitari sang tawanan. Ia berdiri menghadap jendela, memandangi dedaunan yang mulai menguning menyambut musim gugur.
“Anda sungguh naif, Tuan. Kebebasan berkontrak dicetuskan pada abad lampau oleh Napoleon. Kini era industri yang dimotori lokomotif uap telah membuat struktur pelapisan statifikasi masyarakat demikian berjenjang, dan mulailah terjadi pemusatan kekayaan yang berujung pada ketimpangan daya tawar. Monopoli usaha, pemerahan tenaga kerja. Lihatlah, Tuan, pengangguran telah mencapai klimaks, dan akan menjadi puncak yang tak tertahankan lagi bila semua ini terus dibiarkan berjalan apa adanya tanpa campur-tangan negara lewat otoritas pemerintah. Revolusi proletar di Paris terjadi pada tahun 1871, Tuan. Saya harap Anda dapat menangkap pesan ini.”
Tidak terjadi kekerasan pada sang gubernur. Luigi bukanlah tipe haus darah. Ia segera memandu rombongan untuk bergerak tanpa suara meninggalkan manor, meninggalkan sang gubernur yang tidak membalas sepatah kata pun.
Tullio tidak mengetahui apakah perjumpaan Luigi dan sang gubernur akan mengubah kebijakan kota. Yang pasti, Tullio kian mantap pada visi misi pergerakan. Menumbangkan kaum borjuisme yang telah menjadi raja kecil di dalam Kerajaan Italia pada masa itu.

4
PENOLAKAN
Rumor menyebar diantara perawat, rekan-rekan dokter, dan pegawai rumah sakit, namun Tuan Murri bukanlah tidak tahu-menahu akan isu-isu tersebut, termasuk rumor mengenai hubungan dekat antara Carlo dan Linda. Perjumpaan keduanya terlampau intens dan terlalu rutin untuk sekedar hubungan pertemanan biasa.
Banyak yang mengatakan bahwa keduanya adalah pasangan yang serasi. Namun tidak di mata Tuan Murri.
Kehidupan sosial pada akhir abad ke sembilan belas di Eropa masih tersusun dari struktur kelas masyarakat, antara kaum bangsawan dan kaum rakyat biasa. Sekat kelas sosial ini tetap tidak mampu ditembus oleh berbagai prestasi Carlo selama menjadi mahasiswa maupun kini sebagai asisten Prof. Augusto yang paling terampil.
Linda memiliki garis keturunan darah biru. Sementara Carlo berasal dari kalangan rakyat biasa. Itu saja sekat pemisah yang tidak akan mampu diubah oleh seorang Carlo sekalipun. Selama berabad-abad tradisi kelas ini telah berlangsung dari satu generasi ke genearsi selanjutnya. Darah biru tetap melangsungkan generasi darah biru, dan kelas pekerja tetap melangsungkan generasi pekerja.
Tuan Murri mencoba menggunakan langkah “diplomatis” dengan mengatakan pada para perawat di rumah sakit, bahwa Dokter Carlo masih seorang lajang yang cocok untuk dijadikan suami mereka. Dalam beberapa kesempatan bahkan Tuan Murri secara personal memperkenalkan seorang perawat untuk dijodohkan kepada Carlo.
Upaya tersebut menemui kegagalan, Carlo tampaknya teguh menjaga rapat relung hatinya bagi wanita yang tidak lain ialah putri mentornya tersebut.
Tidak habis akal, Tuan Murri meminta Madame Murri untuk menasehati sang putri. Sehingga pada suatu petang, ketika sang ibunda duduk merajut di sebuah sofa sementara Linda sedang menyetrika pakaian.
“Linda, mengenai Carlo.”
Seketika Linda menghentikan aktivitasnya, dan berpaling menatap lekat wajah sang ibunda dengan rona wajah penuh curiga.
Linda menunggu ucapan Madame Murri untuk selanjutnya. Linda menyadari bahwa hubungan dirinya dengan Carlo tak dapat selamanya ditutupi dari penginderaan orang tuanya. Ia tahu hal tersebut cepat atau lambat akan dihadapinya, dan ia memang telah memersiapkan diri untuk itu.
“Kami tahu tentang hubungan kalian.”
Sementara Linda masih bertanya-tanya arah tujuan pembicaraan. Ia sedikit cemas.
“Ayahmu tidak merestui. Begitupula Ibu.”
Seolah dapat menerka, Linda kembali dengan kesibukannya tanpa menghiraukan lebih lanjut.
“Linda, apa kau mendengarkan Ibu?”
Tak ada respon dari Linda.
Sang ibunda menghela nafas, tidak tahu bagaimana menghadapi kekerasan hati sang putri yang mana tabiat itu memang telah diketahui sejak lama oleh sang ibunda, selain karena memang tabiat keras hati itu diturunkan oleh sang ibunda itu sendiri.
Linda bukanlah tipe pengkomplain maupun pengeluh. Ia memilih diam seribu bahasa sebagai caranya mengungkapkan ekspresi. Kedua orang tuanya mengenal baik sifat Linda, dan Madame Giannina Murri menangkap pesan non verbal tersebut. Tak ada siksaan apapun yang dapat membuat putrinya itu mengendurkan kekerasan hatinya.
Madame Murri beranjak pergi dan membiarkan putrinya itu seorang diri dengan kesibukannya sendiri.
Terdengar bunyi pintu ditutup di kejauhan ketika ibunya meninggalkan ruang, dan Linda segera mengusap wajahnya. Firasat kewanitaannya memberinya suatu sinyal buruk.
Linda menghirup nafas dalam-dalam, dan menghembuskannya perlahan. Hidup terus berjalan, dan ia tahu perasaannya sendiri tanpa perlu diberitahukan oleh siapapun kepadanya apa yang sedang ia rasakan.
Malam itu sunyi hening seperti biasa.
Lampu meja dinyalakan, dan Linda duduk di meja kerjanya. Linda teringat kepada adiknya, Tullio. Sudah lama tiada kabar darinya. Linda menyempatkan diri menulis surat kepada Tullio, mengenai alasan mengapa adiknya itu kini jarang untuk sesekali pulang ke rumah, apakah ada kesukaran di kota tempatnya berkegiatan saat ini, dan apakah ada yang dapat dilakukannya untuk membantu adik yang sangat disayanginya itu.
“Di mana kau saat ini. Semoga kau baik-baik saja, Tullio,” ucap Linda pelan. Ia mencemaskan adiknya, menghadap mereka sekeluarga dapat berkumpul kembali.
Setelah memasukkan surat terlipat ke dalam amplop, menuliskan alamat tempat tinggal adiknya, Linda membuat segel lilin pada tutup amplop sebelum kemudian menguap karena mengantuk, dan untuk kesekian kali dirinya jatuh tertidur pulas di meja kerjanya.
Sesibuk apapun Augusto Murri dengan karirnya, ia tetaplah seorang ayah yang mencintai putra-putrinya. Malam itu Augusto mendapati kembali Linda tertidur di meja kerjanya. Augusto tidak pernah membangunkan Linda yang tertidur. Diambilnya selimut ringan yang kemudian diselempangkan pada pundak putrinya itu agar tidak kedinginan.
Setelah menyingkirkan beberapa pernak-pernik di meja itu, Augusto meninggalkan ruang kerja Linda. Menutup pintu perlahan dan beranjak tidur di kamarnya sendiri. Giannina telah tertidur pulas terlebih dahulu, menyusul Augusto.

5
PERPISAHAN
“Dokter Carlo!” seorang perawat menahan langkah Carlo di ujung tangga setibanya ia di lantai tiga. “Dokter Augusto sedang mencari Anda. Kini beliau sedang berada di kantornya.”
“Baiklah, grazie.”
Setelah tegur sapa yang ramah, kini Carlo duduk berhadap-hadapan di ruang kerja Augusto.
“Bagaimana dengan kondisi pasien dengan komplikasi ginjal di ruang rawat intensif?”
“Terpantau stabil. Operasi akan segera dilakukan dalam minggu ini sesuai jadwal. Saat ini tim medis masih sedang berusaha menstabilkan tekanan darah pasien tersebut.”
“Baik sekali. Carlo, dengarkan. Kini aku akan berbicara sebagai Ayah Linda. Kuharap kau dapat memahami apa yang akan kusampaikan.”
Carlo hanya mendengarkan dengan badan menyender rapat punggung kursi. Rasanya tidak nyaman, seperti sedang dinterogasi dan siap diterkam oleh singa lapar.
Tanpa berbasa-basi, Augusto berterus-terang kepada Carlo, dengan harapan semoga pria lajang ini dapat memahami duduk persoalan keluarga Murri.
“Linda mewarisi darah biru. Kuharap kau dapat memahami hal itu, Carlo,” ujar Augusto yang kemudian juga menyandarkan punggungnya di kursi, membuat jarak diantara dirinya dari Carlo. “Aku tak bermaksud untuk menyinggung perasaan dirimu. Kau adalah siswa sekaligus asisten dengan rekam prestasi terbaik yang kumiliki. Namun Linda adalah putriku, dan itu tidak membuat perbedaan apapun adanya kau ataupun tidak, ia ditakdirkan berdarah biru, dan akan tetap melangsungkan darah biru.”
Seakan didudukkan untuk merasa bersalah, Carlo hanya sanggup menundukkan wajah. Saat ini ia hanya ingin menghindari bertatap mata dengan Augusto. Meski mereka saling berbeda status, namun Carlo menyadari harga dirinya sendiri. Ia tidak mau berdebat untuk sesuatu yang telah ia sadari akhirnya.
Setelah menumpahkan pokok permasalahan ini, Augusto membiarkan Carlo seorang diri duduk di ruangan itu dengan masih dalam keadaan kepala tertunduk.
Malam harinya Linda kembali berkunjung ke rumah sakit. Kali ini ia dapat berjumpa sang ayah yang memakan habis makan malam yang dibawakannya. Namun tidak untuk Carlo, ia tidak menemukan Carlo.
Satu jam ia menunggu seorang diri di bangku taman belakang. Nihil. Dua jam. Belum juga ada tanda-tanda kedatangan Carlo. Tidak pernah sebelumnya Carlo terlambat dalam setiap perjumpaan dengan Linda.
Linda memutuskan untuk beranjak menemui resepsionis rumah sakit, dan mendapati bahwa Carlo telah meninggalkan rumah sakit siang tadi, tanpa memberi pesan atau kabar apapun pada Linda sebelumnya.
Linda berjalan pulang dengan berbagai pertanyaan di benaknya. Apakah ada masalah mendesak sampai-sampai ia tidak sempat berjumpa dengan Linda. Mungkin memang ada sesuatu hal mendesak yang harus diselesaikan Carlo.
Esok hari pada waktu yang sama. Linda mengalami hal serupa. Namun kali ini ia mendapatkan kabar yang lebih mengejutkan dari resepsionis, Carlo telah berhenti bekerja di rumah sakit Bologna, dan meninggalkan kotak berisi setangkai mawar putih dengan secarik kertas kecil berisi pesan diikatkan di tangkaiya.
Tulisan tangan Carlo. Dengan sigap Linda membaca isi pesan tersebut, “Signorina Linda Murri, aku doakan yang terbaik untukmu. Tiada lagi Carlo Secchi. Mohon maafkan aku.”
Linda menatap tidak percaya pada resepsionis yang memberi-tahukannya berita kepergian Carlo.
“Di mana Dokter Carlo?”
“Dokter Carlo sudah meninggalkan rumah sakit sejak pagi dengan hanya menitipkan kotak itu.”
Terdapat perasaan pedih yang sulit diutarakan namun demikian getir. Kepergian Carlo demikian mendadak dan mengejutkannya.
Linda hampir tidak menyadari air matanya menitik. Ia merintih kecil lalu membalik badan, mengangkat gaunnya dan berlari menyusuri jalan malam kota Bologna menuju rumah persewaan Carlo.
Dengan nafas tersengal-sengal, Linda mengetup pintu kediaman itu. Tanpa balasan ataupun jawaban dari penghuninya. Linda kembali mengetuk dan memanggil nama Carlo.
Hening.
“Secchi, apakah kau di dalam? Secchi, ini aku, Linda. Kumohon kau berbicaralah. Keluarlah, Secchi! Kumohon!”
Sepanjang malam gadis patah hati ini seorang diri berdiri menatap kediaman itu.
Bergeming, baik Linda maupun pintu kediaman itu.
Tidak tersedu. Tampak tegar. Namun tetap saja sepasang matanya memerah. Perasaannya terpukul. Air mata yang telah mengering terlihat dari wajahnya. Linda berdiri menatapi pintu kediaman persewaan itu yang tetap tidak membuka.
Sebuah malam yang panjang dan misterius.
Apa salah Linda? Mengapa Carlo mencampakkannya tanpa sepatah kata pun ucapan selamat tinggal dari mulutnya sendiri? Mengapa ia pergi bersama dengan hati yang telah dicurinya?
Orang-orang melintas di ruas jalan itu. Sesekali pejalan kaki yang melintas mengenali Linda, kemudian menyapa gadis itu yang berdiri mematung. Linda tidak membalas sapaan juga tidak menoleh membalik badannya. Gadis pucat ini tetap berdiri terpaku memandangi kediaman sewaan Carlo.
Mengapa Carlo memperlakukannya dengan cara menyedihkan seperti ini? Linda sungguh ingin mengetahui jawabannya. Ia tulus mencintai. Namun tetap saja perpisahan ini demikian menyakitkan.
Barulah keesokan harinya Linda mengetahui bahwa Carlo telah meninggalkan Kota Bologna. Cinta pertamanya ini telah membuat bekas luka dalam pada hati Linda.

6
KEBOHONGAN
Tahun berganti tahun, musim berganti musim.
Musim dingin telah berganti menjadi musim semi. Burung-burung berkicauan, bunga-bunga liar bermekaran, tupai berlompatan keluar dari liangnya, sungai kembali mengalir deras dengan jernihnya meski airnya masih sedingin es, dan pancaran sinar matahari menyeruak lembut menyapu lorong-lorong pemukiman Bologna yang disesaki rumah-rumah tinggi yang menjulang tegak demikian kokoh dengan tembok dari susunan batu-batu besarnya yang angkuh.
Kehidupan telah kembali menunjukkan keriuhannya. Anak-anak berlarian dan bercanda ria. Para dewasa sibuk dengan bisnis mereka. Para pelintas hilir-mudik. Para penggosip sibuk dengan gosip mereka di kedai-kedai yang kian menjamur. Pasar-pasar menjadi pusat keramaian dan keriuhan. Bengkel-bengkel seni melahirkan berbagai seniman berbakat.
Kemajuan industri telah banyak mengubah wajah Italia maupun Bologna menjadi kota modern, pendidikan, dan pusat fashion dunia. Arus masyarakat menjadikan Bologna menjadi salah satu pusat wisata dunia. Kafe-kafe menjamur. Kehidupan tidak pernah bergerak secepat itu sebelumnya. Meski berbagai kastil dan menara tinggi kuno tetap dijaga kelestariannya sebagai cagar budaya. Wajah arsitektur kota Bologna tetap dibiarkan eksotik dengan dinding batu besar, ornamen-ornamen seni, dan jalan-jalan yang lebar dan tertata apik diperkaya oleh deretan patung karya para seniman di setiap sudutnya.
Perubahan-perubahan itu turut membawa pengaruh terhadap hubungan masyarakat tradisional Bologna. Namun kehidupan tetap terus berjalan. Augusto Murri kian sibuk membenamkan diri dengan kariernya, sementara sang istri, Giannina Murri menjadi simpatisan dalam berbagai kegiatan keagamaan lokal setempat dan menjadi donatur berbagai kegiatan amal.
Beberapa perubahan terjadi pada diri sang putri, Linda Murri, gadis jenaka yang kini menjelma pemuram. Hari tak sama lagi seperti dahulu. Musim dapat berubah, seseorang pun dapat berubah.
Namun satu hal yang tidak pernah berubah dari dirinya sejak kepergian Carlo secara mendadak, hatinya telah hilang bersama seorang kekasih yang tidak pernah lagi mendapat kabar keberadaannya.
Gadis putus cinta ini masih kerap mengunjungi taman belakang rumah sakit, menunggu, dan menunggu. Kemudian berjalan pulang dengan langkah perlahan, berharap esok sosok Carlo Secchi akan kembali menjumpainya di taman tersebut. Terkadang orang-orang akan melihat Linda menjadi sosok yang sering berjalan dengan wajah melamun.
Umur Linda kini tak lagi bisa disebut muda untuk ukuran seorang gadis seperti dirinya. Ia telah cukup umur untuk menikah. Tuan dan Madam Murri tidak bisa membiarkan putrinya bermuram durja sepanjang tahun.
Dalam suatu festival tahun baru yang biasa dihadiri keluarga Murri sebagai warga kehormatan kota, Augusto berbicara pada sang istri, Giannina. Sembari menikmati pesta kembang-api diiringi musik orkestra, Augusto berkata dengan nada rendah:
“Mungkin adalah suatu kekeliruan memisahkan Linda dan Carlo.”
Sang istri tak segera menjawab. Mereka sedang memikirkan hal itu, dengan hati-hati Giannina menimpali, “Kupikir juga demikian, Augusto. Aku mencemaskan Linda. Kau tahu, sudah banyak pria melamar baru-baru ini, namun Linda bersikap dingin. Kau tahu apa maksud sikap diam Linda. Ia mewarisi sifat keras kepala kita.”
“Aku tahu,” timpal Augusto. “Apa yang dapat kita lakukan sekarang?”
“Apa kau pernah mendapat berita tentang Carlo?”
Kini seorang seniman tampil diatas panggung melantunkan puisi yang menggelora di hadapan para hadirin. Orang Italia memang punya bakat alamiah untuk mengeluarkan suara bernada tinggi yang memekakkan telinga.
“Entahlah, kami hilang kontak sejak terakhir kali aku memintanya menjauhi Linda dari Bologna.”
“Carlo sudah pergi, tampaknya tak mungkin kembali. Augusto, aku memiliki pendapat. Bagaimana jika kau sebarkan rumor bahwa Carlo telah pergi bersama seorang perawat magang dari tempatmu, sementara aku akan mengatakan pada Linda betapa ia telah dibodohi oleh pria itu.”
Augusto menunjukkan wajah terkejut akan ide sang istri, namun setelah diam sejenak mencernanya, Augusto toh, mengikuti juga saran sang isteri. Untuk sementara biarlah mereka berdua menikmati pertunjukkan festifal Bologna yang penuh warna.
Rumor tersebut kemudian menyebar dengan cepat, dan sampai juga di telinga Linda.
Carlo Secchi adalah cinta pertamanya. Ia merasa mengenal benar karakter Carlo yang penuh percaya diri namun lembut dan polos. Ia takkan percaya begitu saja dengan kabar angin yang dibiarkannya berlalu seiring hembusan angin. Linda cukup keras kepala untuk ukuran seorang gadis.
Dalam suatu makan malam, yang kebetulan suami-istri Murri dapat berkumpul bersama di Manor Murri untuk santap malam bersama sang putri, Giannina melontarkan kata-kata yang membuat nafsu makan Linda menyurut.
Sang ibunda tahu akan karakter serta reaksi yang akan terjadi pada Linda, sehingga kata-kata itu baru diluncurkannya ketika Linda hampir menyantap habis hidangan di piringnya.
Augusto menyantap makan malamnya dengan lahap sementara Giannina sibuk berceloteh mengenai kegiatannya siang tadi di pertemuan amal yang ia selenggarakan. Sementara Linda makan tanpa bersuara.
Sang ayah menyendokkan sup untuk putrinya. “Kau makanlah lebih banyak, agar badanmu tidak menjadi kurus.”
“Terimakasih, Ayah. Ayah dan Ibu juga makanlah yang cukup.”
“Sudah kau dapat kabar mengenai si anak badung, adikmu itu?”
Linda menggeleng. “Aku tak tahu pesan yang kukirim sampai padanya atau tidak. Tapi kurasa ia baik-baik saja. Bulan lalu ia mengatakan sedang berpindah-pindah tempat menjadi teknisi lepas.”
“Rupanya ia kurang keras kudidik,” timpal Giannina.
“Ia seorang pria, Giannina,” ujar Augusto. “Biarkan ia tumbuh menjadi pria dewasa. Apa kau ingin ia tumbuh menjadi pria pesolek yang hanya terpekur di rumah?”
“Oh ya, pria bernama Carlo itu, Augusto, telah mempermainkan hati putri kita. Sebenarnya ini tak ingin ku-ungkapkan. Setahun lalu aku mendengar ibu-ibu kelompok penggalang dana kami yang pernah mengenal Carlo, mengatakan hal yang aku sendiri tidak percaya. Mereka mengatakan dengan demikian serius, bahwa pria bernama Carlo tersebut telah mengejek putri kita sebagai anak bodoh yang mengejar-ngejar dia. Putri kita mengejar-ngejar pria penipu itu? Yang benar saja. Tapi, apakah mungkin Carlo telah mengambil keuntungan dari sifat lugu putri kita?”
Dengan berlagak tetap menikmati hidangan sup kentang, Augusto berkomentar ringan, “Aku juga sudah lama mengetahui kabar itu. Ia mencoba mencari ketenaran dengan mencoba menaikkan kelas sosial dirinya. Aku tak tahu apa motif sebenarnya dari pria murid didikku satu itu, yang jelas kini tiada kabar lagi tentang Carlo. Sementara kehidupan di rumah sakit harus terus berlanjut, dengan atau tanpa pria itu.”
Linda tak mengucapkan sepatah kata pun. Ia tidak meledak-ledak, tidak menggerutu, tidak mengajukan komplain ataupun pembelaan diri. Sikap diam membisunya telah dikenal benar oleh orang tuanya sebagai suatu ekspresi tidak setuju.
Linda mampu mengontrol emosinya dengan baik. Tahun-tahun yang berjalan belakangan ini telah mengajarkan dirinya untuk bersabar dan tegar.
Namun Linda adalah gadis cerdas yang cukup rasional. Apakah artinya seorang Carlo sehingga memenjara pikiran dan jiwanya untuk seumur hayatnya? Carlo telah melupakan dirinya, dan inilah saatnya untuk membuka lembaran baru.
Linda memikirkan masak-masak untuk menghapus memori kenangan mengenai Carlo. Kebetulan disaat bersamaan, kabar mengenai kecantikan Linda sang bunga desa, menyebar hingga kota tetangga, sampai akhirnya tiba pada keluarga bangsawan Bonmartini.
Graf Francesco Bonmartini, seorang pria sepuluh tahun lebih tua dari Linda, bertubuh besar dan tambun, yang senantiasa tampil eksentrik dan penuh percaya diri. Tubuhnya terawat dengan baik, seorang pria pesolek meski jelas gagal menjaga berat badannya.
Graf masihlah seorang lajang yang sedang mengincar gadis muda untuk dipinangnya. Ia seorang pemilih, dan sekali telah memilih, sukar baginya melepaskan apa yang sudah dikehendakinya.
Jadilah, Graf mengirim utusan untuk menyampaikan kehendaknya untuk meminang putri keluarga Murri. Pria ini sebetulnya tidak secerdas penampilan necisnya. Namun dengan latar belakang kelas sosialnya sebagai bangsawan kelas atas, ia dapat menjalin relasi dengan politikus maupun para borjuis.
Kekayaannya bersumber dari tanah-tanah perkebunan anggur dan peternakan di daerah selatan Italia yang telah diwariskan dari generasi ke generasi. Bonmartini memiliki silsilah nama keluarga terpandang yang dikenal sebagai bangsawan tuan tanah partikelir sejak berabad-abad lampau.
Satu kelebihan dari Graf, ia sangat percaya diri bahwa penampilan dirinya mampu mempesona gadis manapun, seperti yang selama ini terjadi, meski semua orang tahu bahwa itu terjadi bukan karena penampilan postur tubuhnya.
Dengan penuh keyakinan akan mampu memberi kesan mendalam bagi gadis yang dipinangnya, Graf mengirim berbagai hadiah beserta figura foto lukisan tangan seniman sewaan, yang membuat sosok seorang Graf Bonmartini tampak berwibawa. Seorang laki-laki sejati bertubuh tegap perkasa.
Bukankah lukisan memang dibuat untuk memberikan ilustrasi sosok yang lebih ideal dan lebih sempurna? Tentu dengan perut dalam lukisan yang dibuat sedatar mungkin.
Utusan kembali dengan tidak membawa hasil. Apalah artinya seorang Graf bila lusinan pria sebelumnya telah gagal meminang gadis itu.
Graf pada mulanya mencak-mencak, temperamennya persis seperti anak perengek. “Dia pikir siapa dirinya berani menolak Graf Francesco Bonmartini yang berwibawa ini! Sungguh sombong dan bodoh! Bah, dirinya pikir hanya ia seorang gadis di muka bumi ini? Kurang apa dari pria tampan seperti diriku ini!?”
Tidak habis akal, Graf menuliskan sendiri surat bagi Linda Murri. Dilanjutkan dengan surat berantai berikutnya karena tiada balasan apapun dari Linda. Graf yang memaknai sikap tak acuh Linda, mencoba sekeras mungkin untuk menurunkan sedikit kesombongan dirinya.
Dengan pilihan tutur kata manis Graf menyusun kata-kata dalam suratnya yang kelima:
Rispetto (dengan hormat), Signorina Gravin Linda Murri. Saya harap Anda, Tuan Augusto Murri, serta Madame Giannina Murri, senantiasa sehat dan penuh sukacita. Izinkan saya untuk kembali memperkenalkan diri. Graf Francesco Bonmartini, Signorina boleh memanggilku dengan nama sebutan Graf bila kau menghendaki. Tentunyalah suatu kehormatan dapat menjalin jodoh yang baik dengan Signorina Linda, jika Anda tidak berkeberatan saya menyebutkan demikian. Sudah saatnya bagi saya untuk membangun rumah tangga, dan untuk itu pilihan saya telah jatuh pada pesona diri Anda, Signorina Linda. Harus saya akui, Signorina Linda, saya tergila-gila pada diri Anda meski kita belum pernah berkesempatan berkenalan secara langsung. Pada suatu parade musim panas kemarin, kebetulan saya pernah sekali melihat Anda dari kejauhan kerumunan penonton parade. Namun itu telah cukup membuat hatiku senang. Terdengar janggal, namun inilah keputusan saya yang dengan penuh harap dapat Anda kabulkan. Dapat kusebutkan ini sebagai cinta pada pandangan pertama. Dengan sangat berharap, surat balasan dari Signorina Gravin Linda Murri akan sangat berarti bagi pria sepertiku. Salam hangat. Graf Francesco Bonmartini.”
Graf sudah hampir memupuskan harapannya ketika kemudian secara tiba-tiba kediamannya dikunjungi seorang tamu yang tak terduga, seorang gadis yang telah setengah mati diincarnya, Linda Murri.
Linda mengenakan gaun kuning, gaun sederhana tersebut tidak mengurangi pesona kecantikan sosok yang mengenakannya.
Ketika pintu diketuk dan seorang pelayan yang membukakan pintu menanyakan apa keperluan kedatangan sang tamu, Linda menyebutkan nama dirinya, dan menyatakan tujuannya datang untuk bertemu sang tuan muda, Tuan Graf Bonmartini.
Manor itu sangat besar, dipenuhi berbagai ornamen dari negeri-negeri eksotik tempat Graf sering berkunjung ke luar negeri. Meski menawarkan aneka kemewahan, namun tidak mampu membuat terkesan dirinya yang memang terbiasa hidup bersahaja.
Linda setelah menunggu beberapa saat di ruang tamu, pada akhirnya berjumpa dengan Graf, yang menyambutnya dengan sopan meski nada suara sombong dirinya tetap tidak dapat dhilangkan.
Dengan sopan dan lembut Linda memberi hormat dan memperkenalkan dirinya. Kini Graf benar-benar mabuk kepayang oleh bidadari hidup di hadapannya ini.
Graf mengajak Linda berjalan menyusuri koridor-koridor manor yang lebih menyerupai istana mungil penuh benda-benda koleksi yang dapat dijadikan museum. Diceritakannya berbagai tempat destinasi yang pernah dikunjunginya dalam memperoleh ornamen-ornamen hiasan dinding yang memenuhi kediaman itu, betapa ia menjalin relasi dengan berbagai kalangan aristokrat di negeri itu, mengenai kebun-kebun anggur dan peternakan yang dimiliki keluarga besar Bonmartini, namun sama sekali gagal membuat gadis berambut coklat keemasan tersanggul itu terkesan dengan berita-cerita hebatnya.
Sikap ayu Linda memiliki kekuatan mistis yang memikat Graf. Linda menolak permintaan Graf yang mengajaknya untuk santap sore bersama setelah Graf memperkenalkan anggota keluarga besarnya di manor tersebut.
“Tuan Graf Bonmartini,” akhirnya Linda mengucapkan kata-kata, suara yang menyihir Graf yang termabuk oleh nada selembut sutera dan tatapan murni Linda. Linda memiliki watak tulus yang memikat siapa pun yang mengenalnya. “Kedatangan saya hanya untuk menyampaikan pada Anda, tanpa mengurangi rasa hormat saya, saya berterimakasih atas segenap perhatian dan kebaikan hati Anda.”
Linda kembali diam sejenak, namun Graf bergeming dan menunggu kelanjutan kata-kata Linda yang bagaikan dawai senar surgawi di telinganya. Dewi yang turun dari surga ini tidak boleh terlepas, tekadnya membatin. Jika perlu sayapnya akan ia putuskan agar bidadari ini tidak dapat kembali ke kahyangan.
“Saya pernah mencintai seorang pria,” Linda akhirya melanjutkan secara serius, “yang hingga kini belum sepenuhnya dapat saya lupakan.”
Kembali hening. Linda menunggu untuk melihat reaksi sang tuan rumah.
Namun air wajah Graf tidak menampakkan perubahan berarti.
Aih, pikir Graf, itu pastilah hanya cinta monyet dikala kanak-kanak. Apa yang harus diambil pusing? Yang pasti dewi dari kahyangan ini telah berada di kediamannya, harus ditaklukkan, dan sudah diputuskan secara bulat, ialah pilihan tepat untuk menjadi Madame Graf Bonmartini.
Setelah berbasa-basi seringkas mungkin oleh Linda, dirinya mohon pamit. Graf memaksa Linda agar berkenan diantarkan oleh dirinya pulang. Namun watak Linda yang sekeras batu, setelah menolak berulang-kali sesopan mungkin, berjalan dengan langkah cepat keluar meninggalkan manor Bonmartini.
Graf menyandar pada kusen pintu, dengan tersenyum puas memandangi gadis itu berjalan pergi hingga tidak lagi nampak di tengah embun sore. Tidak ada bidikan yang pernah lolos darinya.
“Graf Francesco siap beraksi!” serunya ketika berbalik badan dan menutup pintu dengan kencang.

7
PERNIKAHAN
Tahun 1891.
Jauh di kota lain, Carlo Secchi tampak sedang menulis secarik surat di bawah penerangan cahaya bulan yang menyinari masuk ruangan itu dari balik kaca jendela. Surat itu entah surat yang sudah kesekian ratus kali ditulisnya, untuk kekasihnya nan jauh di sana, Gravin Linda yang dikasihinya.
Untuk kesekian ratus kalinya juga, surat yang telah ditulisnya dengan penuh perasaan tersebut dimasukkan dalam koper yang berisi surat-surat untuk Linda yang tidak pernah diposkannya.
Ia merasa bahwa dengan menulis mampu mengisi kekosongan hatinya. Ia merasa begitu bersalah dan ada suatu rasa penyesalan yang menyesakkan. Ingin rasanya ia kembali tampil dan hadir di hadapan Linda, namun mengingat pernyataan terakhir yang disampaikan ayah Linda bertahun-tahun lampau, membuat Carlo enggan untuk kembali ke Bologna.
Kini Carlo kerap berpraktik sebagai dokter di berbagai rumah sakit besar pemerintah, terkadang menjadi dokter tamu di beberapa kota. Perlahan namun pasti, ia akan menyamai bahkan melampaui kemasyuran Prof. Augusto Murri yang pernah menjadi mentornya selama di Bologna.
Akan tetapi tetap saja, pria itu masih menyimpan relung kosong di lubuk hatinya. Kini ia memiliki karir yang sukses, namun jika dapat memilih Linda, ia akan rela meninggalkan segalanya. Carlo tidak mencoba menenggelamkan diri pada judi ataupun alkohol, namun pada karir, yang ternyata tidak juga mampu melupakan gadis Bologna satu itu.
Sementara itu di Bologna. Linda menghendaki resepsi pernikahan yang sederhana, namun Graf bersikeras mengadakan resepsi yang meriah dan megah. Setiap wanita di kotanya menikah ketika umurnya telah matang. Linda hanya mengikuti ritual kehidupan ini, sebagaimana selalu didesak oleh kedua orangtuanya. Graf bersuka cita telah mendapatkan mangsa buruannya.
Setelah Linda melangsungkan pernikahan bersama Graf, mereka pindah dan berumah tangga di sebuah apartemen yang lebih kecil, namun masih tetap di Kota Bologna, kota yang menjadi kampung halaman Linda.
Tak lama kemudian lahirlah dua orang anak hasil dari perkawinan tersebut, seorang anak perempuan bernama Maria, dan seorang anak laki-laki bernama Ninetto. Kedua buah hati inilah yang kemudian mengisi hati Linda, dimana ia dapat mencurahkan welas asihnya.
Linda Murri Bonmartini sibuk mengurus rumah dan anak-anak, sementara Graf menyibukkan diri untuk urusan-urusan yang tidak pernah diketahui Linda. Graf memberi istrinya itu segala kemewahan yang tidak pernah diminta Linda.
Perkawinan itu tampaknya bahagia dan sempurna, menurut penglihatan orang-orang di luar rumah tangga ini. Tapi sebenarnya tidaklah demikian.
Graf Francesco Bonmartini berbadan gempal nan besar. Berat badannya mencapai seratus dua puluh lima kilogram. Semangat dan kegembiraan hidupnya meluap-luap, dapat dikatakan agak kekanakan, gemar bertualang, namun jauh lebih dangkal dan kurang terpelajar ketimbang istrinya yang mulai sakit-sakitan, perasa, dan kian dalam dengan sifat dingin membatunya.
Tidak ada masalah dengan anak-anak. Linda sangat mencintai anak-anaknya dengan sepenuh hati, dan anak-anak itu pun sangat dekat dengan sang ibunda. Linda mengurus rumah tangga itu dengan telaten, memasak makanan sendiri yang acapkali tidak dihadiri oleh sang suami saat makan malam dan baru akan kembali tengah malam dalam keadaan mabuk sempuyungan, terlebih disertai sikap tak karuan.
“Graf, kurangi kebiasaan meminum alkohol,” ucap Linda membantunya menyadarkan diri dengan handuk basah hangat.
“Kau hanya seorang wanita, dan cukup jadilah istri yang melayani suami bukan bertugas menceramahi suami!”
Belum lama mereka menjadi suami-istri, Graf telah mengeluhkan perihal sifat dan watak istrinya. Kepada kawan-kawannya ia suka mengadu: “Istriku tak suka kepada cinta badani. Jika dipeluk ia seperti orang mati. Ia lebih mirip koleksi porselen yang bisu seperti batu.”
Graf sebetulnya mencintai Linda, namun dirinya frustasi karena gagal mengisi hati Linda. Karena egonya, ia merasa terluka dan terhina diperlakukan layaknya suami beristerikan gadis berhati beku dan diam sedingin es.
Meski sebetulnya Linda istri yang baik, selalu melaksanakan semua tanggung-jawabnya, tidak pernah mengeluh, tidak merong-rong, tidak menuntut, dan sangat pendiam terhadap Graf. Mungkin juga justru karena itulah ia merasa tidak dihargai sebagai seorang suami. Sifat kekanakan Graf membuatnya banyak mengambil tindakan bodoh.
Leluhur-leluhur pendahulu kita mengatakan, pernikahan tak selalu harus didahului oleh percintaan antara calon suami-istri. Banyak contoh suami-istri yang menikah karena dijodohkan, dan dapat berlangsung secara harmonis dan langgeng hingga akhir hayat. Namun pepatah tersebut tampaknya tidak berlaku dalam rumah tangga Linda dan Graf.
Maka Graf yang bergelora itu seperti mendapat alasan untuk mencari hiburan kepada wanita lain dari kalangan terhormat yang mudah menanggapi dan digauli, namun tidak terkecuali kepada wanita yang tak terhormat.
Tak hanya sampai di situ, bangsawan kaya raya ini ternyata berubah menjadi demikian kikir pada Linda. Ia selalu menyalahkan Linda, bahwa kekurang-hangatannya telah menyebabkannya harus mencari kehangatan di tempat lain, dan itu berarti pengeluaran sejumlah “biaya” untuk pelayanan yang tidak didapatkannya dari Linda.
Sikap terus-terang Graf yang kasar tak mengenal kebijaksanaan sama sekali, tidak juga setelah kelahiran Maria dan Ninetto. Justru sifat kekanakan Graf kian menjadi-jadi.
Bukan Linda yang berhasil dibuat cemburu akan kelakuan Graf, justru Graf yang menjadi luar biasa tersulut cemburu buta oleh sifat dingin Linda di tempat tidur bila sedang bersamanya. Linda tak pernah menolak hubungan badaniah ketika Graf menghendaki, namun Linda juga tak pernah menunjukkan ekspresi apapun.
Seperti bercumbu mayat hidup, pikir Graf, sang suami.
Jika ada yang dapat membuat Linda menunjukkan ekspresi marah pada diri Graf, itulah yang tepatnya pasti akan dilakukan Graf. Namun kekerasan hati Linda terbukti hanya membuat Graf kian tenggelam dalam obsesinya sendiri menguasai kedalaman relung hati Linda yang tidak akan pernah terjamah olehnya.
Dengan riang Graf menceritakan pada Linda ketika malam itu dirinya menyetubuhi istrinya, pengalaman-pengalaman yang menurutnya hebat bersama dengan perempuan lain. Namun Linda tetap dingin tiada ekspresi.
Graf mendapatkan tubuh Linda, namun ia terbukti gagal mendapat hati Linda karena sikap kekanakan yang ditunjukkan oleh sang suami, bocah besar manja yang belum juga dewasa.
Tak lama kemudian Graf seakan mendapat inspirasi yang jatuh dari langit. Ia akan mencoba berbuat mesum di rumahnya itu sendiri saat Linda sedang berada di rumah!
Suatu ketika tamu Graf datang berkunjung, dan Graf menyampaikan minatnya agar dicarikan seorang “guru wanita” untuk menemaninya dan yang haruslah tahu bagaimana cara “menyenangkan laki-laki”.
Tamu tersebut lantas menawarkan seorang gadis yang dipujinya sebagai sosok tepat untuk memuaskan kehausan tersebut.
“Ia tahu bahasa Prancis, Inggris, dan Jerman, serta dapat bermain piano. Pokoknya mempunyai semua kepandaian untuk menjadi guru anak-anak Tuan. Tapi ia juga mempunyai potongan tubuh dan wajah yang sempurna. Dan sejauh ini ia hanya bergaul dengan beberapa orang pria. Agaknya ia cocok untuk menempati jabatan yang hendak Tuanku Yang Mulia peruntukkan baginya.”
Sengaja diperdengarkan perbincangan itu tatkala Linda sedang membersihkan dapur.
Linda tak berkomentar apapun. Tidak juga ketika “guru bahasa dan piano” itu benar-benar muncul dan diajaknya bermesraan di dalam rumah sementara Linda memberikan respons diam dengan mengajak anak-anak untuk berkunjung ke perpustakaan kota. Graf menjadi demikian penuh amarah sejak saat itu, serta menjadi emosional yang terkadang bersikap kasar.
Linda tak pernah mengeluhkan tentang suaminya kepada siapa pun, kecuali kepada orang-tuanya ketika Linda berkunjung ke Manor Murri. Perempuan pendiam ini mencurahkan seluruh perhatian serta cintanya kepada Maria dan Ninetto, anak-anak yang ia puja-puja dan anak-anak yang juga memuja-muja sang ibunda.
Pada suatu musim gugur, keponakan Graf yang bernama Mainardi, seorang pria yang sopan, berumur belum genap dua puluh tahun, datang berkunjung. Terjadi percakapan antara Graf dan keponakannya itu yang tak sengaja tertangkap oleh telinga Linda yang sedang berbenah di ruang sebelah.
“Paman, ayah sedang mengalami kesulitan. Setelah badai menghempas kapal ekspedisi kami, kini perusahaan logistik kami terancam gulung tikar. Sehingga saya datang berkunjung mewakili ayah untuk menanyakan apakah Paman Francesco bersedia untuk meminjamkan kami sejumlah kredit untuk membeli kapal-kapal baru atau setidaknya untuk mereparasi kapal-kapal kami untuk sementara agar dapat tetap beroperasi.”
“Aku tak akan berbasa-basi, Mainardi. Jadi dengarkan, perkebunan anggur belakangan ini sedang diserang hama sehingga gagal panen. Bukan perkara mudah untuk mencari pinjaman dana lunak sekarang ini.”
Linda cukup mengenal Mainardi. Keponakan Graf tersebut memiliki perangai yang jauh berbeda dari tabiat Graf. Mainardi memiliki satu kemiripan dengan Linda, ia seorang yang bersahaja, mandiri, dan ramah.
Linda datang menyuguhkan secangkir teh untuk Mainardi sebelum kemudian kembali ke ruangannya. Mainardi mencoba sebaik mungkin meyakinkan Graf agar berkenan meminjamkan sejumlah dana, meski bukan tabiat Mainardi untuk banyak berbicara.
Sekitar satu minggu sebelumnya ayah Mainardi secara pribadi datang mengunjungi Graf guna meminta bantuan pinjaman, namun mendapati dirinya pulang tanpa hasil.
“Kami akan mengembalikan dana pinjaman secepatnya.”
“Kau dan ayahmu memang sama saja!” gumam Graf sebelum dirinya beranjak pergi ke ruangan lain meninggalkan Mainardi yang masih berharap-harap cemas.
Linda amat mengenal karakter Graf. Ia dapat sangat kikir bila menyangkut keuangan, bahkan terhadap keluarga besarnya sendiri.
Linda dengan sigap menemui Mainardi, kemudian dengan nada rendah Linda berbisik, “Mainardi, kotak ini berisi perhiasan yang mungkin bisa membantu Ayahmu. Jarang kugunakan, jadi jangan sungkan kau terima.”
“Tapi, ...”
“Tak perlu sungkan, ya.”
Linda secara cekatan membungkus kotak perhiasan itu bersama kotak makanan dalam satu buntelan dan menyerahkannya kepada Mainardi sebelum Graf kembali ke ruangan tamu dengan suara langkahnya yang bongsor berisik.
Setelah kembali berbasa-basi, Mainardi mohon pamit. Ia meminta izin Graf untuk mengucapkan salam pamit pada Linda di dapur.
Ketika menjumpai Linda di daput, Mainardi mengucapkan terimakasih atas ketulusan Linda dan berjanji tidak akan melupakan kebaikan hatinya.
Namun Linda yang tenang itu hanya membalas, “Tidak masalah Mainardi, lagipula aku tak membutuhkan perhiasan itu. Ayahmu lebih memerlukannya. Berhati-hati dalam perjalanan pulang dan salam untuk orang-tuamu.”
Setelah memberi hormat, Mainardi pun pamit. Digenggamnya bungkusan itu di tangannya secara hati-hati dan berjalan pergi berbaur memasuki kerumunan Kota Bologna yang padat dari gedung-gedung dan lalu-lalang pengguna jalan.
Mainardi sebelumnya agak sungkan menanyakan mengapa istri pamannya tersebut memiliki banyak memar bekas luka lebam di pipi serta pelipis matanya.
Namun Linda selalu menjawab, kepada siapapun yang menanyakan hal tersebut kepadanya, “Hanya akibat terjatuh tidak disengaja.”
Sekalipun ia mengalami kesukaran ketika melahirkan Ninetto, dan kendati badannya lemah, ia menyusui sendiri putranya itu. Namun demikian sudah terang ia menderita tubuh-jiwa-serta batinnya. Penderitaan yang luar biasa, tak berkesudahan dan tiada habisnya.
Kini, rasa penghargaan Linda terhadap suaminya hilang sama sekali. Linda menjelma istri yang sakit-sakitan karena tekanan mental dan kurangnya perawatan. Graf merasa perlu menyiksa istrinya dengan mendiamkan sakit istrinya menuju kronik, dengan harapan agar istrinya memelas dan memohon kepada dirinya.
Namun siapa yang mampu mengalahkan sifat keras hati diri istrinya. Graf karena sifat arogannya, berpikir mampu menaklukkan apapun yang dikehendakinya dengan status sosialnya, dan selalu membohongi dirinya sendiri akan berhasil menguasai hati dan pikiran Linda.
Setidaknya, bila tak mampu mendapat cinta Linda sang isteri, ia dapat menarik perhatian Linda dengan membuatnya membenci diri suaminya. Inilah cara membalas dendam seorang suami, sejak zaman prasejarah hingga zaman modern. Otak limbik peninggalan evolusi masih menyisakan fungsi otak primitif itu dalam otak setiap spesies makhluk bernama homo sapiens.
Satu hal yang membuat Graf kian terpuruk secara emosi. Ia selalu fokus pada kekurangan emosi Linda, yang dipandangnya sebagai kelemahan istrinya. Ia tidak memandang berbagai sifat baik istrinya. Ia begitu terobsesi pada “kelemahan” istrinya, sementara disaat bersamaan tidak mampu untuk menghargai sifat baik-sifat baik istrinya.
Setelah Linda terserang tifus, menyusul radang paru-paru diidapnya. Secara maraton berbagai penyakit mulai menyerang wanita ini. Setelah radang paru-paru, menyusul kolik ginjal yang menahun. Namun tidak juga mampu membuat sang suami berpikiran dewasa. Tiada sedikit pun empati ditunjukkan oleh Graf terhadap Linda.
Kini Graf yang terobsesi, mendapat kepuasan baru dengan melihat istrinya tersiksa.
Dengan tabungannya yang terbatas, Linda telah mencoba mencari pengobatan. Para dokter yang menangani pasien bernama Linda ini, melihat bahwa penderitaan batinnyalah yang menjadi penyebab penderitaan jasmaninya.
Daerah distrik tempat Linda hidup adalah daerah wilayah dari Kota Bologna yang kecil, dimana rumor dan gosip sekecil apapun akan tersebar demikian cepat, tak terkecuali sang dokter yang menangani Linda yang juga mengetahui kabar mengenai kehidupan di dalam unit apartemen kediaman Graf Bonmartini di kota mereka itu.
Dokter-dokter Linda berulang-kali memberi saran kepadanya, agar dirinya mengambil tindakan segera untuk bercerai dengan Graf Francesco.
Linda tak pernah mengeluh ataupun menyampaikan kabar penderitaan dirinya kepada orang lain, namun semua warga setempat tahu kelakuan seperti apa Graf selaku seorang suami lalim terhadap istrinya.
Namun perceraian tersebut tak pernah terjadi, karena Graf menuntut hak asuh anak-anaknya, sementara Linda tak dapat membiarkan Maria dan Ninetto dirawat oleh Graf yang pasti akan ditelantarkan oleh ayah mereka.
Titik nadir sampai pada suatu hari ketika putra bungsunya, Ninetto, pada malam hari terbaring di tempat tidur karena sakit dimana Linda sendiri telah kehabisan tenaga sama sekali.
Alih-alih menunjukkan sikap kebapakan untuk mencemaskan kesehatan Ninetto, Graf justru memaksa Linda supaya mau rujuk, setidak-tidaknya secara lahiriah.
Linda untuk kali pertama menunjukkan sikap berontak. Ketika Graf mulai menyeruduk Linda dan menggerayangi tubuhnya, Linda segera meronta melepaskan dirinya.
Linda terdiam menatap tajam sang suami yang kesetanan, namun kemudian Linda bergerak menjauh sambil tetap mengawasi Graf yang menggila.
Tanpa mau menyadari kondisi tubuh Linda yang layu dan kuyub, Graf kembali membekap Linda, sontak Linda berteriak: “Tidak, lepaskan!”
Graf terkejut Linda kini berani menolak perlakuan Graf. Namun Linda yang menyadari kegilaan Graf malam itu, segera meraih benda tajam apapun yang ada di dekatnya, menggenggamnya untuk kemudian mengarahkan ujung tajam garpu itu ke lehernya sendiri.
Nafas Linda terengah-engah. Sepasang mata Linda tetap terbelalak tanpa berkedip mengawasi Graf.
Beruntung Graf masih memiliki akal sehat. Tak lama kemudian ia menjauh dan meninggalkan kamar itu dengan sikap tak puas. Linda terduduk lunglai, tampak dehidrasi. Meriang masih menyisakan panas-dingin dengan peluh membanjiri tubuhnya.
Setelah merasa aman, dengan sigap Linda bangkit untuk mengganti air hangat untuk bahan kompresan Ninetto yang masih terbaring tidur.
Beberapa hari kemudian, ketika kesehatan Ninetto telah pulih dan Linda telah sedikit lebih bugar, ia mengumpulkan keberanian diri untuk menghadap Graf yang pada pagi itu kebetulan sedang baik mood-nya.
Tanpa berbasa-basi, Linda menyatakan dirinya hendak bercerai. Dengan ringan Graf menanggapi tanpa memalingkan wajah pada Linda yang berdiri di sampingnya, bahwa ia akan memasukkan Ninetto ke dalam sebuah asrama yayasan dan Maria ke dalam biara.
Linda yang paham akan ancaman itu, bersabar diri. Tak ada lagi kata-kata yang terucap dari bibir Linda. Ia berbalik dan berjalan meninggalkan pria yang masih sibuk mengecek pembukuan di ruang kerjanya.
“Dasar wanita sinting!” gerutu Graf sambil tetap asyik mengamati angka-angka kemudian menuliskan sesuatu pada buku catatannya.
Graf benar, cepat atau lambat Linda, istrinya itu, akan menjadi gila oleh berbagai perlakuan tidak manusiawi suaminya tersebut.
Maka meraka tetap hidup satu atap, makan bersama, tapi kamar tidur Linda terhalang selamanya bagi sang suami. Lagi pula sudah sejak Juli 1898 tak ada hubungan mesra antara suami dan istri Bonmartini ini.
Namun Graf, pria yang menggemari hubungan badani, sama sekali tak menyukai hubungan seperti itu.
Alhasil, Graf sebagai balasannya, selalu mencoba mencari-cari kesalahan istrinya di mana pun, kapan pun. Kesalahan mana acapkali merupakan fantasi Graf sendiri dengan tuduhan-tuduhan kekanakannya. Perilaku tidak sehat Graf membuatnya menjadi haus perhatian dan perlahan namun pasti mengantarkannya kepada perilaku neurotik.
Graf tidak segan memecat orang-orang yang dekat dengan istrinya, namun untuk hal tersebut Linda merasa tidak dapat tinggal diam. Ia akan menemui Graf dan siap berperang secara verbal terhadap Graf. Graf menanggapi bahwa orang-orang yang dipecatnya ialah orang-orang yang digaji Graf, sehingga dengan itu pula Graf berhak memecat mereka sesuka yang ia mau.
Linda menuduh Graf telah berbuat lalim. Tidak terima dengan perkataan tersebut, Graf meraih sebuah kursi dan mengangkatnya mengancam akan menimpakan kursi itu pada Linda.
“Wanita sialan! Coba kau katakan sekali lagi!”
Namun Linda bergeming, bahkan memejamkan matanya dengan wajah menengadah, siap untuk segala kesadisan Graf.
Graf mendengus, membuang kursi itu yang terbanting menderak di lantai, dan kembali mendengus sebelum pergi berlalu.
Linda menutup mulutnya dengan tangan. Dirinya seakan hendak menjerit namun tak mampu bersuara. Urat-urat di lehernya menegang. Tekanan jiwanya demikian mengguncang. Mata Linda memerah dengan beberapa titik air mata menetes. Linda kemudian berjongkok dan merangkul lututnya.
Menangis tanpa suara.

8
REUNI
Sore itu hujan turun cukup deras. Linda sedang mengajarkan materi pekerjaan rumah dari sekolah Maria dan mengajarkan Ninetto cara berhitung ketika didengarnya bunyi ketukan pada pintu apartemen.
Linda membuka selot pada pintu untuk melihat siapakah tamu yang mengunjungi kediamannya.
“Tullio!” girang sekali dirinya melihat kedatangan sang adik.
“Hai, lama tak berjumpa.”
Hampir Linda tidak lagi mengenali sosok sang adik. Selama ini ia hanya berkirim pesan lewat surat. Terakhir kalinya ia berjumpa Tullio saat resepsi pernikahan Linda dan Graf.
Entah apa kegiatan Tullio belakangan kini. Dalam surat ia mengaku berprofesi sebagai insinyur lepas dan menjelajah dari Brescia, Parma, hingga Alessandria.
Linda memekik girang dan seketika memeluk Tullio meski jas yang dikenakan adiknya itu basah kuyub oleh hujan, sebelum kemudian menyambutnya masuk ke dalam.
Linda tidak mengetahui bahwa Tullio, adik tersayangnya ini, pernah hijrah ke negeri tetangga, Perancis, untuk mempelajari sejarah dan bergaul dengan kaum revolusioner di negeri tersebut.
Tullio tidak datang hanya untuk sekadar bertandang. Dalam surat terakhir kakaknya, Linda sempat menceritakan pada adiknya itu bagaimana dirinya tengah menyusun rencana untuk melarikan diri bersama Maria dan Ninetto keluar dari Bologna, membebaskan diri dari kelaliman Graf, sang suami.
Perangai dan teror dari Graf yang senantiasa merong-rong, tulis Linda dalam suratnya yang diterima Tullio dan telah dibacanya berulang kali secara cermat, tak baik untuk perkembangan Maria dan Ninetto. Untuk itu Tullio merasa terpanggil untuk mencari tahu kehidupan dan alasan kakaknya menulis surat dengan bahasa seperti itu.
“Siapa yang mengetuk pintu?” mendadak Graf muncul. Ia dan Tullio kemudian saling berpandangan. Tak lama bagi Graf untuk berhasil mengenali wajah itu, ternyata adik Linda.
Dengan mencoba bersikap ramah, Graf mempersilahkan Tullio masuk beristirahat di ruang tamu. Tullio memberi hormat dan bersalaman dengan Graf. Menyadari setelan Tullio yang kuyub, Graf meminta Tullio untuk berganti pakaian dengan setelan miliknya yang pastilah akan kedodoran di tubuh Tullio, dan menawarinya untuk bermalam di kediaman mereka malam itu.
Beberapa kali Linda sempat menanyakan kondisi Tullio yang penuh dengan balutan perban di tangannya, yang menurut pengakuan Tullio adalah luka yang didapatnya sebagai konsekuensi dari pekerjaannya selaku mekanik lepas.
Begitupun sebaliknya, ketika Tullio menanyakan pada Linda, mengapa kakaknya ini demikian pucat kurus kering, ia hanya mendapat jawaban berupa kepala Linda yang tertunduk muram. Tullio sudah tahu jawabannya dari surat itu, meski Linda tak mengatakan apapun padanya secara lisan.
Ini kali pertama ia dapat berjumpa dengan Maria, gadis berperawakan elok dengan potongan rambut pendek, kini telah berumur delapan tahun, serta adiknya Ninetto yang berusia enam tahun. Linda memperkenalkan paman mereka. Tullio meminta maaf baru dapat mengunjungi mereka saat ini.
Tullio tampak cepat akrab dengan Graf. Saat makan malam mereka membicarakan banyak hal, serta kegemaran mereka yang sama perihal pertandingan sepak-bola dan tim yang mereka dukung. Sesekali mereka membicarakan bisnis, namun tidak soal politik.
Sore itu Linda bersama anak-anak mengajak Tullio bercengkerama di alun-alun kota. Linda menitipkan Maria dan Ninetto yang sedang bermain-main dengan anak-anak lainnya di taman itu sementara Linda berbelanja bahan makan malam di toko sekitar.
Tullio kini memelihara kumis dan janggut untuk sedikit menyamarkan wajahnya yang menjadi buronan kepolisian akibat keterlibatannya dalam aksi pemberontakan terhadap rezim kekaisaran Italia.
Di Bologna ini, Tullio tampaknya dapat duduk tenang, karena daerah tersebut sepertinya cukup damai dan aman.
Mendadak Tullio dikejutkan oleh Maria yang terjatuh ketika sedang bermain. Diperhatikannya Maria mengernyit menahan sakit akibat mendapat luka di kakinya.
Namun gadis kecil itu tidak menangis ataupun merengek. Sungguh mirip ibundanya, pikir Tullio. Ia harus cepat mengobati luka gadis cilik itu sebelum ibunya akan menjadi panik mendapati anak gadisnya terluka.
Hingga beberapa hari kemudian Tullio tetap tinggal bersama di kediaman Bonmartini. Adiknya itu rupanya sangat cocok dengan Graf, sang kakak ipar. Belum juga sempat disinggung mengenai surat itu secara privat antara Tullio dan Linda.
Pernah suatu hari Tullio bermain gulat dengan Graf di suatu tempat peristirahatan milik Graf, dan anak-anak bersuka-cita menyaksikannya.
Hingga tiba saat Tullio akan pamit, ketika ada kesempatan baginya berbicara empat mata dengan Linda, Tullio barulah membahas perihal isi surat terakhir Linda padanya.
Dengan berbagai bujukan Tullio mencoba menasehati agar Linda tidak berpikiran pendek, agar ia mau bersabar hingga anak-anak tumbuh dewasa, dan berjanji pada kakaknya bahwa ia akan ada bila Linda membutuhkan pertolongannya.
Linda menjadi pucat sehingga Tullio berusaha menenangkan dirinya, meyakininya bahwa semua akan berjalan baik. Meski orang tua mereka Augusto dan Giannina Murri adalah pasangan yang cukup harmonis, namun pertengkaran suami-istri adalah hal yang wajar dan akan dialami oleh semua pasangan, bujuk Tullio sembari memegangi dan menepuk-nepuk tangan kakaknya guna menenangkan hati Linda.
Sebelum pamit, Tullio bertanya pada Linda, “Apakah kau memerlukan seorang penjahit untuk membantumu menjahit, Linda?”
Tullio menawarkan seorang yang dikatakannya sebagai kawan dekat Tullio yang dapat dipercaya Linda untuk membantu dan menemani dirinya, yang mungkin dapat dipekerjakan Linda di tempat itu, yakni seorang wanita bernama Rosina Bonetti.

9
PERGOLAKAN
Kehidupan Tullio tidak kalah kompleks dengan sang kakak. Ia bukan pria dengan tipe perengek yang senang mencari zona nyaman, meski kemapanan hidup dapat dengan mudah dilakoni Tullio. Seorang kawan yang merupakan seorang bankir menawarinya menjadi pengelola kantor cabang bank yang menjadi jaringannya, namun Tullio merasa profesi di balik meja demikian kurang sesuai dengan karakternya. Sejak muda ia dikenal memiliki jiwa ksatria dan pemberani, meski tubuhnya tidak terlampau besar.
Tullio pun memiliki perjalanan hidup serta kisah-kisah asmaranya sendiri, walaupun pertualangan asmaranya dalam memperlakukan wanita-wanitanya secara lebih hormat dan lebih baik ketimbang Graf, kakak iparnya terhadap Linda.
Tullio pun suka kepada kehidupan dan penyelesaian pertikaian secara damai. Maka ia akan memilih mengambil peran sebagai penengah antara rumah-tangga Linda dan Graf yang sudah hampir retak sama sekali.
Merukunkan suami-istri itu kini menjadi konsen perhatiannya.
Tullio dikenal Linda sebagai pria dewasa yang penuh tanggung-jawab. Namun yang tak diketahui Linda, kini Tullio sedang dalam masa pelarian. Adiknya itu, putra bungsu Keluarga Murri, bangsawan menengah yang kaya dan terkemuka, telah dengan sepenuh hati membela kaum pekerja.
Maka ketika pemberontakan pada tahun 1898 mendapati kegagalan, ia harus menemukan dirinya harus berliang dalam persembunyian terhadap kejaran dan pencarian polisi Italia selama berbulan-bulan.
Itulah sebabnya Tullio harus menghindari diri dari tengah masyarakat maupun keramaian, dan putus kontak selama sekian tahun dengan keluarganya.
Setiap negara berperadaban pernah memiliki masa keemasan serta kisah suramnya sendiri dalam sejarah. Tidak terkecuali Negeri Italia, yang juga tidak luput dari gejolak politik dan sosial.
Regno d'Italia (Kerajaan Italia) terbentuk pada tahun 1861 hingga 1878 dibawah bekas Kerajaan Sardinia, dengan Victor Emmanuel II duduk sebagai raja pertama dari Kerajaan Italia yang mencakupi seluruh semenanjung Italia, dilanjutkan oleh kepemimpinan bertangan besi Raja Umberto I yang pada akhirnya terbunuh pada tahun 1900 oleh Gaetano Bresci saat Milan dilanda gelombang demonstrasi massa para pekerja yang kelaparan. Sebelum kemudian tahkta diwariskan oleh Victor Emmanuel III (1900—1946), yang menjadi Raja Italia terakhir ketika Perang Dunia Pertama meletus dan mengesahkan Fasisme bersama Benito Mussolini sebagai perdana menterinya di kemudian hari.
Industrialisasi menjadi motor penggerak ekonomi, sekaligus mulai memunculkan konflik antar kelas ekonomi. Gelombang liberalisme melanda Eropa pada awal abad ke-19. Sementara itu doktrin Marxisme sebagaimana diusung Marx dan Engels ialah re-definisi akan “negara” yang diartikan sebagai “proletariat yang terorganisasi sebagai kelas yang berkuasa.”
Sementara itu yang menjadi semangat dibalik revolusi kelas buruh (proletar), adalah mengangkat proletariat (kaum buruh) menjadi kelas yang berkuasa. Sementara negara kemudian akan digunakan sebagai alat perlawanan terhadap kaum penghisap (borjuis) yang selama ini dinilai telah mengeksploitasi tenaga kerja.
Ideal-ideal dalam komunisme demikian menjadi propaganda yang sangat berkesan bagi sebagian warga Eropa pada pertengahan abad ke-19 karena mendapat relevansinya dengan kehidupan sosial-ekonomi mereka saat itu meski peperangan antar negara terjadi dimana-mana demi perluasan teritori kekuasaan untuk mendapat sumber daya alam dan juga pasar baru, tidak terkecuali dengan Italia yang hingga paruh pertama abad ke-20 dengan sistem pemerintahan feodalismenya.
Komunisme dianggap sebagai hantu yang berkeliaran di Eropa. Gerakan anti-komunisme berpendapat bahwa golongan komunis yang jika berkuasa akan cenderung menjadi intoleransi terhadap oposisi. Pemerintahan komunis kerap dituduh menciptakan kelas penguasa baru, dengan kekuasaan dan hak istimewa yang lebih besar daripada yang sebelumnya dinikmati oleh kelas atas sebelum rezim non-komunis mereka tumbangkan. Mereka berpendapat bahwa negara Marxis adalah bentuk lain dari penindasan.
Prinsip komunisme, ialah redistribusi faktor produksi, sumber daya, faktor modal, serta redistribusi tanah, sehingga dianggap sebagai penjagal kemajuan ekonomi dan perdagangan bebas. Komunisme berpandangan, pemusatan kekayaan akan melahirkan kelas penguasa baru yang bahkan sejajar dan bahkan menandingi otoritas negara sehingga seakan kaum borjuis memiliki kedaulatannya sendiri dalam mengeksploitasi sumber daya dan tenaga kerja. Saat itu terjadi, masyarakat kelas bawah menjadi demikian bergantung pada kelas penguasa modal dan kekayaan untuk bertahan hidup, menggadaikan tenaga mereka untuk sekadar mencapai taraf kehidupan paling minimum.
Namun bahwa sifat manusia membutuhkan motivasi dengan insentif pribadi, sehingga motivasi dibalik latar belakang semangat komunisme pun kerap dipertanyakan, atau dapat disandingkan dengan kemunafikan, bahkan kedok belaka, sebagaimana sejarah memperlihatkan kaum proletar yang telah berhasil menjadi penguasa kemudian menjelma penguasa lalim baru yang korup. Sebagaimana diutarakan Lord Acton: “Power tends to corrupt. Absolute power, corrupts absolutely.”
Fasisme itu sendiri lahir sebagai reaksi terhadap pemberontakan kaum komunis dan sosialis di Eropa, tidak terkecuali fasisme Italia dibawah kepemimpinan Mussolini beberapa dekade kemudian.
Kini, Tullio tampaknya telah sepenuhnya memahami hal ini, setelah beberapa waktu dalam pelariannya pasca mengalami kegagalan dalam revolusi, membuatnya berpaling pada sosialisme, paham yang lebih moderat dari komunisme yang digaungkan Marxisme.
Mungkin ini jugalah sebab dirinya tidak lagi demikian alergi terhadap bangsawan kelas atas dan tuan tanah seperti Graf Bonmartini yang kini menjadi kakak iparnya.
Pada tahun 1898 itu, kenaikan harga kebutuhan pokok telah menjadi motor penggerak domonstrasi para pekerja kelaparan yang sepanjang demosntrasi terjadi penjarahan terhadap toko-toko roti. Ketika arus huru-hara mencapai kerajaan, tentara dibawah perintah Jenderal Bava-Beccaris diperintahkan untuk menembak para demonstran, secara brutal mengenai kerumunan itu.
Sebagai responnya, kaum anarkis kemudian mencoba menumbangkan raja, namun gagal, menyebabkan Tullio dan rekan-rekannya harus melarikan diri dari sekitar Milan dan menyembunyikan diri.
Selama masa persembunyiannya, dengan bantuan seorang wanita penjahit bernama Rosina Bonetti, yang dengan antusias mendukung dan melindungi Tullio, merawat luka-lukanya, dimana kediaman Rosina kemudian menjadi alamat surat-menyurat Tullio dengan kerabat dan orang luar.
Rosina berbadan kecil, hidup sederhana, namun demikian penurut dan tampak tidak memiliki ego. Gadis itu mencurahkan perhatiannya secara total. Ia memberikan semua kebutuhan Tullio, teman pria yang demikian dicintainya, mengorbankan diri sendiri, rela berbuat apa saja untuknya.
Rosina yang naif, bahkan tidak mengeluarkan uang sepeser pun bagi keperluan diri sendiri—apapun yang dilakukannya ialah demi dan untuk Tullio semata.
Berbagai macam karakter manusia dapat kita jumpai di tengah masyarakat pada zaman apa pun dan di negara mana pun. Namun sifat penurut Rosina memiliki keunikan karakter tersendiri. Selalu ada saja manusia-manusia dengan sifat yang lain dari pada yang lain.
Setelah perjumpaan kembali Linda dan Tullio di kediaman Graf, Tullio teringat pada Rosina. Rosina sang gadis penurut yang besar dalam mencintainya itu, dapat menjadi jiwa yang baik bagi kakak perempuannya, kakak yang menjadi sosok yang dipujanya.
Untuk itulah Tullio kemudian melanjutkan langkahnya dalam perjalanan menuju tempat kediaman teman wanita penurutnya itu.
Rosina dengan antusias menyambut kembali kedatangan Tullio, dengan sigap memasakkan makanan baginya, melayaninya, menawarkan segala sesuatu yang dibutuhkan Tullio.
Setelah Rosina dapat duduk diam berhadapan dengan Tullio, Tullio menyampaikan suatu permintaan yang dirinya ketahui pasti akan dipenuhi Rosina sekalipun itu permintaan untuk menyeberangi hutan belantara ganas sekalipun.
Dengan penuh minat Rosina mendengarkan cerita Tullio mengenai sosok Linda, sang kakak yang kini membutuhkan dukungan moril, seseorang yang mampu merawatnya, menghiburnya, dan menjaganya.
“Kau mau aku pergi untuk menjaga dan membantu Linda?” tanya Rosina, yang tampaknya cukup cerdas untuk menerka maksud tersirat dari apa yang disampaikan Tullio.
Apakah Tullio sedang memanfaatkan dirinya? Entahlah, dan biarlah. Rosina tampak gembira dapat membuat Tullio bahagia. Rosina sendiri yang telah menawarkan diri.
Terkadang kita menemui tipe manusia yang tidak lazim. Ada pribadi yang sensitif sehingga akan bersikap defensif ketika seseorang mencoba memanfaatkan dirinya. Namun dapat pula kita jumpai manusia yang senang bila dirinya dapat dimanfaatkan dan diperalat demi orang yang disukainya.
Tullio akan senang bila Linda bahagia, sehingga membahagiakan Linda sama artinya menyenangkan hati Rosina. Jadi apa yang salah memintanya membantu melayani kakaknya, pikir Tullio.
Tullio yang masih belum menjawab, mendapat isyarat bahwa Rosina takkan keberatan, tampak dari ekspresi wajah Rosina yang selalu riang dan berseri. Membuat Tullio menjadi sedikit sungkan.
Bagaimana pun Tullio perlu bersikap tahu diri. Telah banyak pengorbannan Rosina bagi sang Tullio-nya.
Namun Rosina dengan wajahnya yang mungil putih bersih meski sedikit berhidung pesek itu kemudian menyampaikan, seakan bila itu demi kepentingan Tullio, maka dirinya tak perlu mempertimbangkan apapun. “Aku akan melayani Linda. Kapan aku bisa ke sana?”
Tullio tampak tak enak hati. “Aku tak memaksamu, Rosina.”
“Aku tahu bahwa kau tahu aku akan senang bila dapat membuatmu senang, Tullio.”
Rosina menumpu kepalanya dengan kedua kepalan tangannya yang disandarkan di atas meja, memandangi Tullio yang lahap memakan pasta saus brokoli yang dibuatkannya dengan resep khusus untuk Tullio tersayang.
“Makanlah yang banyak, Tullio, nanti akan kumasakkan lagi untukmu.”
“Sudah cukup, kini kau layanilah dirimu sendiri.”

10
NOSTALGIA
Dimulailah perkenalan Linda dengan Rosina yang masuk ke dalam rumah tangga Linda. Rosina gadis yang bersahaja serta cekatan, dan ia memenuhi harapan Tullio. Ia memanjakan Linda serta anak-anak, sebaliknya ia pun dimanjakan oleh Linda, yang selanjutnya tak punya siapa-siapa yang dapat dipercayainya selain gadis dari kalangan kaum buruh ini.
Pada awal perkenalan, Linda sempat bertanya, “Rosina, bagaimana kau mengenal Tullio?”
Tentu saja, Rosina sang penurut mengikuti pesan Tullio agar menyembunyikan aktivitas Tullio yang saat itu sebagai anggota revolusioner. “Kami berjumpa di sebuah perkampungan dekat perbatasan Siena dan Florence. Tampaknya Tullio cukup tergila-gila mengejarku dengan seikat bunga lili,” tutur Rosina, jelas berbohong.
Linda tersenyum, “Terdengar sangat romantis.”
Linda menikmati kemewahan yang telah lama tidak dirasakannya, perawatan wajah dan rambut oleh Rosina yang dipelajarinya dengan cepat dari Linda, sebelum kemudian Linda pun akan merias Rosina yang juga sangat menikmatinya.
“Aku belum pernah merias diri.”
“Kau akan tampil cantik dengan rambut keriting, Rosina. Saat ini sedang menjadi tren di kalangan gadis-gadis.”
“Terimakasih Linda, nanti akan kuperlihatkan pada Tullio. Menurutmu dia akan suka?”
Kini kita kembali kepada Graf, yang terampil menghadirkan teror bagi istrinya.
Secara kreatif yang tidak sehat, Graf masih melangsungkan hobinya meneror Linda. Linda akan dapat tenang mengurus Maria dan Ninetto hanya ketika Graf pergi berdinas ke luar kota. Setidaknya kini Linda memiliki seorang teman baru yang dapat berbagi beban dan cerita, meski Linda tidak dapat melibatkan Rosina dalam percek-cokan rumah tangganya. Perkembangan psikologi putra-putrinya yang paling dicemaskan Linda.
Kini kita putar balik waktu beberapa tahun lalu saat Ninetto baru saja dilahirkan.
Jauh di tempat lain, Carlo Secchi merintis karir yang membuatnya cukup terkenal. Belasan tahun berlalu sejak perpisahannya dari Linda. Carlo berpraktik sebagai salah satu dokter di Tivoli, sebuah kota dekat Roma di belahan selatan Italia.
Carlo direncanakan akan menghadiri konferensi yang diadakan di Monza, kota di dekat Milan, untuk itu ia akan melakukan perjalanan panjang.
Dalam perjalanan dari Tivoli, rute mengharuskan ia melewati Bologna yang memang menjadi pusat jalur ekspedisi darat. Bologna menjadi kota yang strategis karena menjadi jalur penghubung utama dari Roma menuju Milan, sekaligus kota yang penuh kenangan.
Penampilan Carlo telah jauh berbeda dari waktu pertama kali dirinya ke Bologna. Dahulu ia hanya seorang pemuda miskin, kini setelan jasnya berkelas dan kehidupannya telah mapan. Jenggot tipisnya tercukur rapih. Tidak ada lagi jaket yang lusuh. Sepatu pantofelnya selalu tersemir mengkilat. Kini ia menjadi dirinya sendiri.
Carlo memutuskan untuk menyempatkan diri berkunjung sesaat di Bologna, dan dengan berjalan kaki ia menyinggahi beberapa tempat di kota berseni itu, tempat yang telah dikenal baik olehnya.
Sekadar nostalgia, pikirnya. Akhirnya ia tergoda juga untuk memberanikan diri bertandang ke manor keluarga Murri. Carlo telah menjadi dokter ternama, pastilah perlakuan Prof. Augusto Murri tidak lagi akan memandang rendah dirinya. Bagaimana pun ia masih memiliki rasa hormat terhadap mentornya tersebut.
Carlo sangat penasaran akan kabar Linda. Ia dapat merasakan jantungnya berdebar kencang saat memikirkan Linda. Mungkinkah Linda masih berada di Bologna? Seperti apa ia sekarang? Bagaimana keadaannya? Apakah Linda masih memikirkan Carlo? Apa yang harus dikatakan Carlo saat berjumpa kembali dengan Linda?
Gedung-gedung berdinding batu besar dan tembok-tembok tinggi masih menampakkan keangkuhan masa lalu Bologna. Namun kehidupan di tempat itu telah banyak berubah. Setelah makan siang di sebuah kedai sederhana yang dahulu menjadi tempat favoritnya, dimana pemilik kedai ternyata masih mengenal pelanggan lamanya ini, Carlo menikmati nostalgia wafer panggang yang renyah namun murah-meriah, sebelum kemudian Carlo melanjutkan langkah menuju manor Murri.
Ia menikmati setiap udara Bologna yang ia hirup, dan menikmati perjalanan menyusuri jalan itu menuju kediaman Murri. Kenangan masa lalu tidak dapat terbendung. Sensasi itu membuat langkah Carlo demikian ringan.
Seperti yang telah diduga olehnya, Tuan Augusto tidak sedang berada di rumah. Carlo disambut oleh Madame Giannina Murri. Kini ibunda Linda tersebut tidak lagi menampakkan sikap angkuhnya terhadap Carlo, dan Carlo pun tidak menunjukkan suatu kebencian apapun terhadap madame yang telah menunjukkan tanda-tanda penuaan itu.
Tiada perseteruan diantara keluarga Murri dan Carlo. Yang ada hanyalah kesalahpahaman akan budaya yang telah diturunkan dari generasi ke generasi.
Carlo dapat melihat mimik wajah Giannina yang menyiratkan keterkejutan dirinya berjumpa kembali dengan Carlo. Namun sang nyonya rumah kemudian menyambut Carlo dengan ramah.
Setelah memberi hormat, berbasa-basi sejenak, dan menjelaskan tujuannya sekadar singgah sementara sebelum menempuh kembali perjalanan panjangnya, Carlo mengamati keadaan manor tersebut yang tampak sunyi. Ia tidak melihat tanda-tanda keberadaan gadis yang sangat ingin dijumpainya kembali, setidaknya untuk dapat ia pandangi sekali lagi.
Masih teringat parfum aroma sejenis pohon pinus yang biasa digunakan Linda. Masih terbayang senyum usil Linda. Sepasang bola mata besarnya. Sikap jenakanya. Kelincahannya. Antuasismenya. Ingin sekali ia kembali ke masa lampau. Ingin sekali.
“Bagaimana kabar Tuan Augusto?” tanya Carlo dengan kerendahan hati.
“Augusto dalam tiga hari kedepan berada di San Marino,” urai Madame Murri, juga dengan menunjukkan kerendahan hati yang sama. “Kini Augusto lebih banyak memberikan kuliah di berbagai universitas. Penjuru Italia. Baru-baru ini kami mendengar mengenai reputasi praktikmu pada jurnal yang dimiliki Augusto. Saya mewakili Augusto mengucapkan selamat untukmu.”
Grazie, Madame Murri. Harus kuakui Prof. Augusto memberi peran penting bagi keterampilan klinik yang saat ini saya praktikkan.”
“Bagaimana dengan istri dan anak-anakmu, Carlo?” tanya Giannina, menduga-duga bahwa diri pria yang hampir mencapai usia paruh baya tersebut pastilah telah memiliki rumah-tangganya sendiri.
Carlo mengangkat bahu kemudian mengibaskan tangan. “Saya masihlah seorang dokter bujangan, Madame.”
Tampak terkejut, atau mungkin sengaja membuat ekspresi terkejut, Giannina menegakkan tulang punggungnya dan mengamati Carlo dengan saksama. Tampak jelas di mata Carlo bagaimana Madame Murri seakan hendak terlonjak sambil menjerit: Astaga!
Setelah memalingkan muka seakan tak acuh, memandangi kebun samping manor, Carlo memberanikan diri menanyakan hal yang sudah dinanti-nanti olehnya, yang pastinya juga sudah diduga Madame Murri akan ditanyakan oleh Carlo.
“Sungguh kebun yang indah. Apakah Linda yang merawatnya? Sungguh taleten merawar bunga-bunga itu.”
Jantung Carlo berhenti berdenyut, agar telinganya mampu mendengar jawaban yang terucap dari bibir Madame Murri dengan sejelas-jelasnya.
Madame Murri tak lekas menjawab pertanyaannya. Ia duduk mematung dengan pandangan jauh ke tempat lain. Carlo menjadi penasaran dan sedikit gelisah tak nyaman. Namun tampak olehnya, kerut di kening Madame Murrni makin tertarik ke dalam.
Madame Murri membuka mulutnya hendak mengutarakan banyak hal, namun tak satupun terlontar. Setelah satu atau dua menit hening, pada akhirnya ia berhasil mengucapkan sepatah dua patah kata.
“Linda telah menikah, dengan dua orang anak.”
Carlo menatap dirinya lekat-lekat, menunggu kisahnya lebih lanjut. Namun tiada hal lain lagi yang terlontar dari mulut Madame Murri. Ia hanya terdiam, begitupula Carlo yang tak tahu harus bagaimana menanggapi.
Berdeham dan memperbaiki postur duduknya, Carlo mengusahakan diri agar tampak tidak acuh. “Saya rasa itu kabar yang baik. Saya turut bersuka-cita baginya. Apakah kini Linda masih di Italia?”
“Linda masih tinggal di Bologna.”
Carlo menyimak dengan cermat. Akhirnya ia mendapat satu petunjuk, yang tidak diketahui untuk apa petunjuk tersebut baginya. Namun setidaknya kini ia tahu bahwa Linda masih di Bologna, di kota itu, Linda masih ada di kota itu, alam bawah sadar Carlo berbisik. Linda dapat berada sudut atau distrik mana saja yang ada di Bologna, namun setidaknya gadis itu masih berada di Bologna. Di kota yang sama dengan kini Carlo kembali berada.
Secara mengejutkan Carlo mendengar suatu ucapan terlontar dari Madame Murri.
“Saya dan sekaligus mewakili Augusto menyampaikan permintaan maaf untuk kau dan Linda, Carlo,” ucapnya tulus. Kelopak matanya dipicingkan sembari menatap lekat Carlo. Matanya tampak berkaca-kaca.
“ ... Untuk dan atas apa?” Carlo bertanya sepolos mungkin.
Namun Madame Murri tak mampu membendung perasaannya lagi. Ia pun menangis, dan Carlo menyodorkan sapu tangan.
Rumah sakit Bologna, masih dengan gedung yang sama, hanya saja cat dan penampilannya telah jauh berbeda dari sejak Carlo meninggalkan Bologna.
Rumah sakit Bologna kini memiliki pagar yang mengitari komplek rumah sakit. Namun tidaklah sukar bagi Carlo untuk menemukan kembali taman belakang rumah sakit yang dahulu sering dipakainya untuk berjumpa dengan Linda.
Taman itu telah jauh berubah. Namun atmosfer yang melingkupinya masih sama seperti dahulu.
Selama beberapa saat Carlo duduk pada salah satu kursi taman di bawah kerindangan pohon besar. Duduk seorang diri, dan menikmati kenangan kembali menggelayapi pikirannya.
Kini aku sudah kembali, Gravin. Secchi telah kembali.

11
KEJUTAN
Setelah perjumpaan terakhir kalinya Carlo dengan Madame Giannina Murri enam tahun lampau, Carlo memutuskan untuk membuka kliniknya sendiri. Bologna telah penuh oleh berbagai klinik. Maka ia mencari kota terdekat dari Bologna untuk menjadi tempat barunya membuka praktik pribadi.
Pilihannya jatuh pada daerah cukup ramai bernama San Giovanni. Demi pembukaan perdana kliniknya, Carlo merekrut seorang asisten terampil bernama Tisa Borghi.
Tidak sampai lima tahun membuka klinik sendiri, ia mampu membuat nama klinik itu menjadi terkenal, kemasyurannya bahkan terdengar hingga telinga penduduk Bologna.
Disamping keterampilannya, pada dasarnya penampilan Carlo tetap memikat meski telah berumur paruh baya sehingga tidak heran bila banyak wanita yang tertarik padanya dan diperebutkan.
Namun, pria ini tetap melajang dan menenggelamkan diri dalam karir.
Sementara nama Carlo kini kian bersinar, hubungan suami-istri Linda dan Graf mencapai titik nadir. Tekanan mental membuat Linda sering jatuh pingsan secara mendadak. Tekanan darahnya tidak stabil, dan secara jangka panjang hal ini dapat mengancam keselamatan dirinya.
Suatu hari Linda bersama kedua putra-putrinya berkunjung ke kerabatnya di San Giovanni. Melihat wajah Linda yang pucat dan kesehatannya yang sering turun secara mendadak, kerabatnya membawa Linda datang ke sebuah klinik.
Klinik itu tidak terlampau besar, namun cukup apik dan bersih. Klinik itu hasil rintisan yang dibangun oleh Carlo. Seorang dokter kolega Carlo yang kemudian memeriksa Linda, memberikan hasil diagnosa yang sudah sering didengar Linda, stres berlebih yang membuat tekanan darahnya labil dan merusak fungsi ritmik jantungnya.
Setelah diberikan resep, mereka beranjak keluar.
Ketika mereka akan melangkah meninggalkan klinik itu, seorang pasien yang berkunjung bertanya pada resepsionis mengenai jadwal pertemuannya dengan Dokter Carlo Secchi.
Pendengaran Linda yang masih baik menangkap bagaikan radar sensitif, Secchi!
Carlo Secchi!
Adakah mungkin dua orang dengan satu nama yang sama?
Sontak Linda berbalik dan meminta klarifikasi. Linda memberikan deskripsi ciri-ciri Carlo yang terakhir kali dilihatnya belasan tahun lalu, yang ternyata masih dapat dikenali dari sosoknya kini sebagaimana ciri-ciri itu dibenarkan oleh sang resepsionis.
Linda ingin bertemu dengannya. Seketika semua perasaan dan memori itu bangkit kembali bagaikan arus deras yang mendera jiwanya. Ia harus bertemu Secchi dan menanyakan alasan kepergiannya secara misterius setelah mempermainkan hatinya. Rupanya hingga kini pikirannya masih tertambat pada pertanyaan itu.
Linda meminta bertemu Dokter Carlo Secchi, namun tidak dipenuhi sang resepsionis sebab beliau sangat sibuk hari itu dan harus mencari jadwal diwaktu lain saat dokter yang terkenal itu dapat ditemui.
Linda pun menyerah. Ia hanya meminta secarik kertas dan menuliskan sebuah pesan diatasnya: “Tuan Dokter Carlo Secchi, maaf atas kelancangan saya mengganggu kesibukan Anda. Saya hanya ingin menanyakan mengapa Anda telah mempermainkan keluguan seorang gadis yang tulus mencintai Anda. Gravin.”
Linda menatap sejenak klinik itu, menyeka matanya yang mulai membasah, dan pergi berlalu.
Beberapa waktu kemudian pesan itu pun tiba di meja kerja Carlo. Berbagai tumpukan dokumen memenuhi meja itu, seperti lazimnya seorang profesional yang sibuk. Namun Carlo adalah tipe efesien yang seketika melahap habis setiap dokumen yang masuk ke atas meja kerjanya.
Ia bagaikan mampu menelan setiap dokumen dengan sekali pandang, namun tidak bagi satu lembar kecil memo bertuliskan tangan itu. Terutama sebuah nama yang tercantum dibawahnya, Gravin.
Sungguh nama yang sangat familier!
Dengan pesan yang masih di tangannya, tak sekalipun dirinya berkedip. Lama ditatapnya lekat-lekat tulisan tangan itu, goresan yang sama dan masih dikenalnya dengan sangat baik.
Tidak mungkin orang lain. Ia tahu siapa penulis pesan itu, dengan sangat pasti.
Jantungnya berdegup keras. Ini suatu kejutan. Carlo mengantungi kertas memo tersebut, menuruni tangga, menanyakan kepada petugas jaga perihal memo tersebut, kemudian bergegas menemui dokter koleganya yang pada waktu itu memeriksa Linda.
Dari arsip rekam medis, Carlo melihat hasil diagnosis atas pasien dengan nama tercantum “Linda Murri Bonmartini”.
Carlo memanggil Tisa, sang asisten yang memiliki potongan tubuh muda segar dan sempurna, dan memintanya untuk menyelidiki perihal nama Bonmartini.
“OK, bos-ku, Tisa siap berangkat!” seru Tisa dengan nada centil. Dirinya memang energetik dan cukup memikat. Pastilah tidak akan membosankan bekerja bersama gadis seksi satu ini. Tunggu sampai kau lihat cara berjalan Tisa yang selalu mengenakan sepatu hak tinggi, sorotan mata para lelaki tidak akan lepas dari gadis itu.
Tisa adalah warga setempat, sehingga tidak sukar baginya mengidentifikasi ketenaran nama Bonmartini di Bologna.
Tak butuh waktu lama baginya untuk mengetahui keberadaan Linda. Setelah mengetahui pasti alamat kediaman Linda, Carlo terjun sebagai investigator bagi dirinya sendiri untuk mengetahui lebih dekat kehidupan Linda.
Jadilah Carlo harus membagi waktu antara profesinya di San Giovanni menuju Bologna untuk mencari dan melihat tanda-tanda kehidupan dari Linda.
Carlo bukanlah tipe yang terburu-buru. Ia menikmati setiap momen pengamatan yang dilakukannya ketika Linda mengantar Maria dan Ninetto ke sekolah, mengawasi dari kejauhan saat Linda berbelanja bagaikan bodyguard yang tidak kasat mata, mengamati bagaimana kebiasaan Linda di keseharian tinggal di apartemennya dari taman depan komplek apartemen.
Untuk beberapa waktu kesemua ini menjadi rutinitas baru Carlo, hingga suatu hari warga Bologna yang masih menjaga hubungan erat antar warga setempat tersebut memberitahu Linda agar waspada terhadap seorang pria misterius yang setiap hari membuntuti Linda.
Sampai pada suatu pagi, Linda sengaja berjalan keluar apartemen, tanpa suatu tujuan tertentu, kemudian berhenti di sebuah sudut kota, dan berseru dengan nada agak tinggi. “Keluarlah, aku tahu kau berada di sana.”
Sesuatu mendesir dalam jiwa Linda. Firasatnya mengatakan ada seseorang yang samar-samar pernah dikenalnya. Perasaan ini membuatnya gundah.
Carlo pun menampakkan diri dari persembunyiannya. Linda belum dapat melihat kemunculan Carlo yang datang dari arah belakang punggung Linda.
Setelah Carlo berjalan cukup dekat, langkah kaki mendekat tertangkap pendengaran Linda namun tidak membuatnya berbalik badan. Linda menunggu.
Mi dispiace (maafkan saya), Madame Linda Bonmartini.”
Nada suara itu, tidak banyak berubah. Tidak salah lagi, Linda yakin sekali, pria itulah orangnya!
Pria yang sangat dicintainya pada masa belia, tapi yang belum pernah menciumnya walau sekali. Pria yang sama dengan pria yang telah lama membawa lari hatinya. Pria yang menghilang tanpa mengucapkan perpisahan.
Linda dengan penuh keberanian membalik badan, namun dengan wajah menatap lantai, membungkuk memberi hormat layaknya wanita terhormat, kemudian berdiri mematung. Linda tidak berani menatap wajah Carlo.
Ia hanya dapat menatap sepasang kaki Carlo, dan meski begitu dirinya tetap dapat mengenalinya.
Batinnya berkecamuk. Seperti apakah wajah Secchi sekarang ini. Apa yang Carlo pikirkan. Apa yang harus ia katakan pada Secchi. Perjumpaan ini begitu mendadak dan mengagetkan dirinya. Betapa sungguh mengejutkannya Secchi kembali berada di Bologna dan secara kebetulan saat ini berhadap-hadapan dengannya.
Carlo berjalan mendekat. Linda memejamkan mata, menggenggam erat buku jari tangannya, berusaha kuat tetap berdiri. Ia tidak dapat memikirkan apa-apa.
Kulit putih Linda. Bibirnya yang tipis. Rambutnya yang keemasan terkepang panjang. Rahang yang mungil. Jemari yang lentik. Pesona kecantikan itu tidak pula luntur seiring waktu meski tanda-tanda keletihan tampak di wajah itu.
Carlo Secchi menemukan kembali Gravin-nya yang telah lama ia tinggalkan. Dengan hati-hati Carlo mengeluarkan secarik kertas memo dari saku jasnya, kemudian menyodorkannya kepada Linda.
Linda secara perlahan membuka kelopak matanya, dan melihat memo yang dituliskannya saat berada di San Giovanni.
“Izinkan saya untuk berbincang sebagai seorang dokter terhadap pasiennya.”

12
PENJELASAN
Kedai minuman di sudut jalan itu tampak cocok untuk berbincang-bincang tanpa mengundang gunjingan para warga.
Ia dapat melihat kegugupan Linda. Wanita rapuh yang tetap berusaha tampil kuat. Setelah memesan dua gelas teh-susu, minuman yang masih diingat Carlo akan kesukaan Linda, Carlo memulai perbincangan.
“Bagaimana kabarmu, Gravin?”
Linda tak menjawab, ia tak mau menjawab.
“Aku agak sedikit cemas dengan hasil diagnosis klinikku sewaktu kau berada di San Giovanni.”
“Terimakasih, dokter, saya baik-baik saja.”
Kini Carlo yang dengan cermat memikirkan kata-kata yang tepat untuk disampaikan. Amat naif dan lancang bila ia pergi begitu saja dan tiba-tiba muncul kembali di hadapan wanita ini sambil mengatakan maaf.
Orang-orang berkata, seorang wanita menyukai diperlakukan hormat dan berharga. Tidak berbeda dengan seorang laki-laki ingin diperlakukan. Baik pria maupun wanita pada dasarnya memiliki watak dasariah yang sama.
“Secchi tak pernah bermaksud mempermainkanmu, Gravin.”
Linda menengadah dan menatap wajah Carlo yang memandanginya secara serius. Sementara wajah Linda tetap saja menampakkan kemungilan dengan rahang yang kecil itu.
Namun terdapat sekelebat emosi di balik pancaran mata Linda.
“Tulus aku memberikan hatiku, darimana pun kau berasal. Tidak dapat seorang gentiluomo (gentlement) meninggalkan seorang gadis dengan hati terluka dan terus menunggu kedatangannya kembali.”
“Secchi tak pernah mempermainkan ketulusan delle fate (peri) Gravin.”
Tidak ada nada mengejek dari ucapan Carlos yang lembut. Ingin sekali ia membicarakan banyak hal, namun tak tahu bagaimana memulai ataupun mengutarakannya. Ia tahu Linda tampak tegar namun sebenarnya sangat sensitif. Ia tidak ingin mengambil resiko rusaknya percakapan ini hanya karena ucapan yang tidak terkontrol.
Mungkin ini adalah momen yang paling kritis dari perjumpaan kembali keduanya.
Linda hanya menatap Carlo. Terus menatapnya. Lama mereka duduk mematung seperti itu. Meski telah menunjukkan tanda-tanda penuaan, namun postur Carlo tetap memancarkan antusiasme, kegagahan, dan kehangatan.
“Secchi masihlah sama dengan Secchi yang dahulu dikasihi Gravin, dan Secchi pun mengasihi Gravin. Secchi yang sama, hati yang sama. Secchi yang melajang ini tidak pernah melupakan Signorina Gravin Linda Murri. Tidak barang satu hari pun.”
Kini tahulah Linda bahwa orang tuanya telah berdusta. Dokter itu tidak pernah bermaksud mencuri dan mempermainkan hatinya.
Meski demikian pertemuan mendadak ini tak membuat Linda lupa akan segalanya, tidak juga untuk kembali menyerahkan segenap jiwanya pada sang dokter. Ia bahkan tidak pernah menyentuhnya, dahulu, maupun kini.

13
RAHASIA
Tahun 1900.
Kekacauan seantero Negeri Italia mulai melanda. Namun kekacauan surut seiring waktu.
Dokter Carlo secara rutin pulang-pergi San Giovanni—Bologna dalam kurun waktu tertentu yang lama-kelamaan menjadi rutinitas. Carlo masih menjelaskan pada kolega-koleganya, bahwa hubungan dekatnya dengan Linda adalah dalam rangka perawatan sebagai dokter terhadap pasiennya.
Barangkali itu karena penyakit-penyakit Linda yang tak kunjung sembuh, terutama karena sebutir debu batu bara yang masuk ke dalam matanya. Debu itu mengakibatkan peradangan yang memerlukan operasi yang nyeri, dan kemudian mengakibatkan mata itu terancam buta.
Siang itu yang datang menjenguk ialah Tisa Borghi, asisten seksi sang dokter. Penampilannya berkelas, dan tampak jelas wajahnya terawat dengan pewarna bibir yang berani. Sorot matanya tajam, namun sedikit nakal.
Rosina membukakan pintu, dan menanyakan tujuan kedatangan sang tamu.
Buon pomeriggio (selamat siang),” jawab Tisa, nada suaranya manja dan nakal. Perempuan mana pun dengan insting kewanitaannya akan tahu bahwa Tisa cocok menjadi wanita penggoda. “Mohon perkenalkan, nama saya Tisa Borghi, asisten Dokter Carlo Secchi.”
Gaya tubuhnya ketika berbicara, intonasi, serta logatnya tegas, namun dilontarkan secara perlahan, elegan disempurnakan oleh senyum dan mata berbinar.
Sungguh menggoda betul wanita produk kemajuan modernisasi bernama Tisa Borghi ini. Selera pakaiannya kelas tinggi, melebihi seorang asisten perawat semata. Laki-laki mana yang cukup kuat untuk tidak bertekuk-lutut padanya.
Yang jelas, mata lapar Graf Bonmartini tidak boleh melihat kedatangan wanita dengan lekukan tubuh dan lingkar pinggang sempurna itu, yang pastilah akan melahap wanita itu bulat-bulat di kediamannya sendiri.
Rosina mempersilahkan masuk. Suara ketukan sepatu hak tinggi Tisa bergemetuk di lantai. Tisa menunggu di ruang tamu, melihat-lihat sekeliling.
Berbagai lukisan karya para seniman ternama Italia bergantung berjejer di dinding ruang tamu. Kesemuanya ialah lukisan foto Graf bersama dengan berbagai wanita yang berbeda dalam setiap figura. Namun yang manakah nyonya rumah bernama Linda yang menjadi pasiennya itu?
Tisa berdiri memandangi lukisan-lukisan itu, sembari menggigiti ujung bingkai kacamatanya. Ia sudah menjelajahi lukisan-lukisan foto yang terpampang di ruang itu dengan sepatu hak tingginya bergemetak dalam setiap langkahnya yang seksi.
Akan sangat menarik sekali bila foto lukisan dirinya menjadi salah satu dari jejeran lukisan foto itu, pikir Tisa.
Tubuh tinggi padat berisinya itu cocok benar menjadi manekin koleksi Graf.
Entah bagaimana Carlo dapat mengenalnya, namun Tisa selain berpenampilan seksi, juga tampak cukup berotak sehingga dapat mengundang perhatian Carlo untuk menunjuk Tisa sebagai asisten pribadi kepercayaan sang dokter yang kini menjadi utusan pembawa pesan kasih hubungan dokter-pasien ini.
Tak lama kemudian Tisa mendengar suara terbatuk-batuk dari arah koridor. Akhirnya berjumpa jugalah ia dengan sosok sang pasien yang berjalan lunglai dipapah oleh Rosina. Linda masih berumur tiga puluh, namun cara berjalannya sudah menyerupai seorang nenek-nenek.
Sungguh pasien aneh yang anehnya juga dapat mengundang perhatian luar biasa dari Carlo, atasannya.
Mereka berdua saling memberi salam, lalu Linda memperkenalkan diri, sementara Tisa memandangi Linda sambil tersenyum. Manis benar pasien Dokter Carlo ini.
Umn, rasanya tak satupun dari gadis-gadis dalam foto lukisan tadi yang menyerupai pasien mungil ini! Lagi-lagi Tisa menyunggingkan senyum nakalnya.
Linda diarahkan duduk pada salah satu kursi kayu. Setelah Tisa mengganti perban yang membalut mata kiri Linda, Linda menanyakan kabar Dokter Carlo.
“Dokter Carlo sehat dan sangat sibuk oleh berbagai jadwal operasi yang akan dilakukannya hari ini. Karena itulah ia memintaku datang untuk memantau keadaan Anda, Madame Linda,” jelas Tisa, menikmati kebersamaannya dengan pasien yang baru dikenalnya itu yang bernada suara lembut dan hangat. “Dokter Carlo tampak sangat konsen terhadap radang di mata Anda. Ia sampai banyak meluangkan waktu berkorespondensi dengan teman-teman sejawat dokternya serta meneliti jurnal medis internasional untuk menemukan perkembangan terbaru perawatan medis untuk mengobati infeksi mata Madame Linda.”
Oh, sungguh pandai benar wanita satu ini mengambil hati. Tapi tentunya Linda hanya tersenyum. Memercayakan matanya mendapat perawatan sang perawat ini.
Dua hari sekali Tisa datang mengunjungi Linda. Setelah memeriksa dan memberi obat, kini Tisa memberikan sebuah surat dengan amplop tersegel yang dibisikinya kepada Linda khusus untuk Linda dari Carlo.
Ketika Linda berada di ruangnya seorang diri, Linda membaca isi surat itu sebanyak lima kali. Kini tampaknya Carlo menjadi pandai menulis puisi. Linda membacanya perlahan dan menikmati momen itu. Untuk menghilangkan jejak, Linda akan membakar setiap surat dari Carlo di perapian.
Kenaifan Linda, yang hanya tahu mencintai seorang pria secara rohaniah, membuatnya tidak menyadari, bahwa antara Carlo dan wanita asistennya itu, Tisa Borghi, berlangsung atau pernah berlangsung hubungan yang lain selain hubungan yang bersifat hubungan pekerjaan semata.
Linda yang naif dan polos, tidak merasa ada yang salah ketika mengenal Tisa yang demikian telaten membawa dan mengantar surat-surat serta berbagai bingkisan hadiah pulang-pergi antara kedua orang yang saling mencinta itu.
Tisa memang telah teruji telaten dalam melayani Dokter Carlo, baik untuk urusan relasi kerja, maupun untuk urusan diluar jam kerja. Meski tak pernah secara resmi dinyatakan sebagai kekasih, namun Carlo yang tidak menolak dilayaninya secara total sudah cukup bagi Tisa untuk menikmati hubungan yang tak jelas itu.
Biarlah, lelaki dengan otak secerdas Carlo tentu pada akhirnya tidak akan menyia-nyiakan wanita sesempurna dirinya, pikir Tisa, sang “penjerat”, yang memberikan umpan, kail, serta jaring yang menjerat perlahan demi perlahan.
Carlo memasuki usia lima puluh tahun, lajang serta telah memiliki semua kehormatan yang patut didapatkannya. Namun ia tidak akan menolak bila seseorang dengan penuh perhatian memberi pelayanan baginya dikala ia dilanda rasa kesepian bertahun-tahun lampau, memberinya semangat dan kekuatan.
Serta kehangatan.
Apakah Tisa munafik, dan apakah Carlo picik? Siapa perduli, bila semua ini membahagikan semuanya.
Kini Tisa memiliki rutinitas yang lucu namun bagaimana pun bisa dinikmatinya juga untuk dijalankan setelah cukup terbiasa. Menjadi merpati pembawa surat-surat cinta dan hadiah-hadiah pulang-pergi antara kedua dokter-pasien yang saling mencinta itu.
Sembari menyenandungkan lagu yang sedang tren di zamannya, Tisa berjalan menuju apartemen Linda. Seperti biasa, dan tidak aneh baginya, bila para lelaki di sepanjang perjalanannya akan men-siuli tubuhnya yang molek dengan setelan rok pendeknya, disempurnai cara berjalannya bersepatukan hak tinggi yang mengeluarkan bunyi menderetak ketika ia berjalan di jalan batu conblok.
Satu hal yang membuat aura Tisa demikian menarik perhatian lawan jenis: kepercayaan diri Tisa yang penuh dalam setiap langkahnya, setiap gerak-geriknya, setiap tatapannya, setiap senyumnya, dan setiap perilakunya.
Adalah alamiah bila seorang wanita menikmati keindahan dirinya mengundang perhatian, serta pengakuan. Adalah alamiah pula setiap pria tertarik pada pemandangan indah itu. Memang buat apa lagi keindahan itu diciptakan bila bukan untuk dinikmati? Begitulah Tisa, sang penggoda.
Tiba juga ia di kediaman Bonmartini. Tisa sudah tidak heran bila mendadak Linda muncul ke ruang tamu dengan berbagai luka lebam dan memar baru di tubuhnya. Linda bahkan sudah familier dengan obat-obatan yang akan diterimanya.
Beberapa waktu hal tersebut terus berlangsung. Secara diam-diam. Dan semua pihak menikmatinya. Namun berbagai luka dan penyakit baru yang diterima Linda membuat Carlo gundah juga.
Carlo mengontak kenalan, seorang pengacara, dan kecewa mendapati bahwa peraturan mengenai kekerasan dalam rumah tangga belum diatur di negeri itu, sehingga seorang suami yang menganiaya istrinya dianggap pemerintah cukup diatasi sebagai urusan domestik rumah tangga bersangkutan. Pemerintah tidak ikut campur perihal urusan demikian.
Jika Carlo dapat memutar balik waktu, sudah akan diculiknya gadis malang itu pergi bersamanya ke Tivoli bertahun-tahun lampau.

14
OBSESI
Tengah malam Graf kembali ke rumah dalam keadaan mabuk tak karuan. Berbagai pengalamannya semasa dalam pelesiran dikumandangkan dalam mabuknya itu, membuat risih para tetangga yang mendengarnya.
Mereka sudah tidak asing lagi dengan kehebohan serta kegemparan yang dibuat Graf dalam mencari gara-gara dengan istrinya yang malang. Namun lebih baik bagi mereka bila tidak ikut-campur urusan rumah tangga orang lain.
Cukup disayangkan, kulit wajah Graf tampaknya cukup tebal sehingga tidak memiliki rasa malu telah bersikap lalim terhadap istrinya sendiri. Baginya bersikap “tegas” terhadap seorang istri adalah hak seorang suami. Pandangan konservatif yang masih kerap dijumpai bahkan hingga zaman modern.
Setelah Graf yang berteriak-teriak tak karuan melorot di depan pintu karena tidak dapat memasukkan anak kunci secara tepat ke lubang kunci, segera digotong masuk Linda dengan bantuan pelayan.
Kini Graf yang baik dalam kendali alkohol maupun dalam keadaan sadar, kembali menyalahkan Linda yang dituduhnya menjadi penyebab dirinya kini menjadi pria hidung-belang yang merana.
Graf kemudian tertawa-tawa histeris seperti sudah hilang kewarasan. Linda sungguh malu atas sikap suaminya tersebut, namun para tetangga tetap bersabar dan dapat memaklumi tekanan batin yang dialami Linda.
Terkadang bila ada kesempatan para tetangga akan mencoba memberi penghiburan pada Linda yang cukup mengundang simpatik para tetangganya. Bagaimana pun tegarnya wanita satu itu bersikap, tetaplah ia seorang manusia yang dapat terluka dan merasakan sakit.
Di hari-hari lain, jika Graf setengah mabuk, ia akan menubruk Linda, mengguncang-guncang dirinya, dan berteriak-teriak: “Katakan, katakan bahwa kau mencintaiku! Katakan!”
Linda hanya mematung. Satu dua tamparan sudah biasa diterima olehnya. Ia bahkan pernah dijambak dan dicekik hingga hampir tewas oleh Graf jika bukan karena suara Ninetto yang memanggil-manggil ibunya dari ruangan sebelah.
Graf tidak memperlakukan istrinya sendiri secara manusiawi, seakan istrinya haanyalah patung yang tidak memiliki harkat dan martabat. Lama kelamaan, ia mencandu terhadap rutinitasnya menyakiti Linda.
Mendapati berbagai siksaan fisik tidak mempan terhadap Linda, Graf mulai mencari cara-cara melukai istrinya secara jiwa dan batin.
Jelaslah, betapa besar rasa takut Linda yang melampaui rasa benci dirinya terhadap suaminya sendiri.
Graf mendapatkan apapun yang diinginkannya sebagai seorang bangsawan jutawan, dan berdasarkan statusnya sebagai seorang bangsawan atas. Kehormatan, status sosial, jaringan sosial, kedudukan, serta segala kemewahan seorang bangsawan tuan tanah.
Namun tidak atas hati dan jiwa Linda. Dahulu, kini, maupun dimasa yang akan datang. Graf telah gagal menempatkan dirinya sebagai peran seorang suami.
Kian terobsesi Graf menundukkan Linda, kian frustasi dan menggila dirinya.
Para pujangga mengatakan, manusia selalu diliputi rasa tidak puas, dan akan terus menjadi budak ketidakpuasan. Graf tidak mampu menyadari keberuntungan hidupnya, sebagaimana terbukti dikemudian hari akan melahirkan petaka bagi orang-orang di dekatnya.
Setiap kepulangan Graf, Linda maupun anak-anak merasakan satu perasaan yang sama: jantung berdebar dan menanti-nanti dalam penuh kecemasan akan kemungkinan kekerasan verbal maupun fisik yang dapat dilakukan Graf tanpa dapat diduga.
Namun, atas perlakuan Graf yang bertubi, Linda sudah tidak mampu lagi menitikkan air mata. Ia bahkan siap mati di tangan Graf. Hanya keberadaan anak-anak yang membuatnya merasa penting untuk tetap menjaga kelangsungan nafas serta kewarasannya.
Dan menjadikan kisah rahasia asmaranya sebagai suatu pelarian.
...
Untuk membaca kisah selengkapnya tragedi Linda Murri Bonmartini yang sangat mengharukan dan penuh makna, kirimkan email pemesanan Anda kepada kami pada alamat legal.hukum@gmail.com
Paling lambat 3 x 24 jam setelah dana pembelian E-Book kami terima, E-book akan kami kirimkan pada email Anda.
Mengapa E-Book menjadi evolusi modern media sastra? Karena sifatnya praktis dan mobile, mudah serta dapat dibawa kemana pun sebagai teman bacaan via gadget, tidak rusak termakan kutu buku, terjangkau karena memangkas komponen biaya cetak, go green, serta tidak memakan ruang/tempat. Dengan membeli eBook, berarti kita telah turut menjaga kelestarian lingkungan hidup.

© SHIETRA & PARTNERS Copyright.

Arsip Artikel HUKUM-HUKUM.COM (Dropdown Menu)

Artikel yang Paling Populer Minggu Ini

Konsultan Hukum HERY SHIETRA & PARTNERS